Dunia Tak Selalu Hitam-Putih, Bisa Juga Hijau-Pink
Oleh Raihan Robby
Dalam sistem masyarakat kita, dan cara berjalannya sistem itu, seolah menciptakan dunia yang sempit. Dunia yang terdiri hanya berdasarkan dua warna: hitam-putih. Dunia yang ditentukan oleh yang menang, sementara yang kalah menderita. Atau sebaliknya, dunia yang diisi oleh orang-orang kalah untuk menjatuhkan para pemenang. Dunia yang dikaburkan oleh sudut pandang yang harus memilih antara benar dan salah. Dunia yang dijalankan oleh nilai-nilai baik atau buruk.
Seperti halnya kondisi dunia saat ini, perang militer antara Rusia-Ukraina, hingga perang ideologi Kanan-Kiri. Peperangan yang tak menemukan jalan tengah, peperangan yang selalu berselisih dan menimbulkan korban.
Dengan keironian dunia inilah, Maas Theater and Dans, menggelar pertunjukan “BullyBully” dalam helatannya ke Indonesia. Pertunjukan ini digelar di beberapa tempat seperti Taman Budaya Jambi, Erasmus Huis Jakarta, Gedung Pertunjukan Jurusan Teater ISI Yogyakarta, hingga Pendhapa Art Space. Pertunjukan yang berlangsung mulai dari 9-19 Januari di berbagai kota itu dipersembahkan oleh Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta, Indonesia.
Jika merujuk pada pamflet, pertunjukan ini dikhususkan untuk keluarga dan anak-anak usia 3 tahun ke atas. Sebuah sentilan terhadap para penonton dewasa yang masih terperosok dalam sempitnya pandangan dualisme itu, dan sebuah upaya dekonstruksi sejak dini kepada anak-anak dalam memandang dunia yang penuh dengan pertengkaran.
Kami, para penonton telah memadati Auditorium Jurusan Teater ISI Yogyakarta sekitar pukul 15.00 WIB, kondisi waktu yang ramah untuk menonton teater bagi keluarga dan anak-anak, meski pertunjukan itu dilaksanakan pada saat week day, antusiasme penonton begitu terasa, terlihat jelas dengan kami mengantre masuk ke dalam gedung pertunjukan.
Para penonton memadati kursi yang telah disediakan, dan untuk membuat pertunjukan lebih intim, beberapa penonton memenuhi serambi panggung yang dapat dengan jelas melihat kedua orang aktor: Pink King (Sanne Bokkers) dan Green King (Sue-Ann Bel) yang telah menyapa kami sebelum pertunjukan dimulai.
Kedua raja itu dengan ramah menyambut kami, mereka melambai, tersenyum, tertawa yang membuat para penonton mendapatkan impresi awal penuh keceriaan. Keceriaan yang benar-benar hadir tak hanya melalui sapaan kedua raja itu, melainkan juga melalui komposisi warna dan bentuk.
Pink King dengan totalitas warna merah muda membalut seluruh tubuhnya, mulai dari sepatu, kostum, hingga buntalan bergelombang dari dada hingga ke leher yang tampak sangat menggemaskan. Belum selesai sampai di situ, kumis yang menempel pada wajah Pink King pun tampak memenuhi bagian atas mulutnya. Menciptakan semacam lanskap komedi dalam benak penonton. Begitu pula yang hadir pada Green King keseluruhan warna pada tubuhnya, benar-benar hijau dengan rambut yang seolah berbentuk simbol cinta.
Para raja itu duduk di atas kedua pilar kekuasaannya masing-masing, mereka dalam bisnis akting yang kecil memang telah menunjukan percikan-percikan pertengkaran. Namun seolah tetap ingin menampilkan kesan keakraban di hadapan para penonton.
Tak lama, bunyi trompet terdengar. Bunyi trompet yang menandakan dimulai—dan berhentinya—perselisihan di antara mereka. Bunyi trompet yang disusul dengan bunyi jepretan kamera. Saat mendengar bunyi dari trompet dan kamera inilah kedua raja itu seolah berdamai, seolah menampilkan kesan diplomatis dalam lakuan mereka.
Namun, di balik bunyi, dan setelah kepalsuan untuk berpura-pura damai itu, mereka kembali berselisih. Pertengkaran yang dihadirkan pun penuh dengan komikal, permainan dengan mimik wajah yang saling meledek.
Pilar yang semula tempat mereka duduk, perlahan berganti menjadi monumen wajah mereka masing-masing. Yang menarik, untuk menunjukan bagaimana perselisihan itu terbangun, kedua raja tidak menggunakan bahasa verbal. Melainkan dengan gestur tubuh, dengan benda-benda yang memiliki bobot kuasa. Simbolisasi kuasa itu pun dapat berupa apa saja: pengeras suara, pedang, bendera, hingga monumen wajah. Maka, jika semakin besar benda itu, semakin besar pula kuasa dari sang raja, yang tentu raja lainnya tak ingin kalah, baik secara ukuran maupun secara kedinamisan tubuh.
Lantas panggung dapat berubah menjadi arena battle dance. Para raja dengan kepiawaiannya merespons lagu-lagu yang hadir, lagu-lagu yang seolah berasal dari seluk beluk dunia beserta tariannya. Seperti lagu pop Arab, Afrika, hingga Single Ladies-nya Beyoncé. Penonton bersorak-sorai dan tak henti-hentinya bertepuk tangan melihat battle dance itu.
Semula saya berpikir, peniadaan bahasa verbal menjadi konsepsi yang menarik, setidaknya ini menujukan bahwa teater tak sepenuhnya bergantung pada bahasa, dan para aktor dari Belanda itu tak perlu susah payah untuk menyampaikan gagasan yang mereka bawa melalui Bahasa Indonesia. Sebab para penonton dapat memahami ‘bahasa tubuh’ dari para aktor yang memang telah disusun dengan sangat baik.
Tapi asumsi saya meleset, Maas Theater and Dans tetap menghadirkan bahasa verbal, yang berupa antomim kata “Ya” dan “Tidak”. Ini sungguh strategi yang menarik, setidaknya antonim kata itu dapat menunjukan keberlawanannya sendiri, yang lebih mudah ditangkap oleh penonton. Meski strategi ini agak berlebihan sedikit bagi saya, ketika turut menghadirkan perbendaharaan kata dari bahasa lain. Sehingga transformasi kata “Ya” dan “Tidak” itu dibarengi dengan kata “Sì, Oui, Ja, Yes, Nee, No”, dan sebagainya.
Apa yang dilakukan kedua raja itu, telah dijelaskan berbarengan dengan selebaran pamflet pertunjukan di Instagram. Bahwa adanya benturan kekuatan dunia dengan cara penyampaian level Duplo. Secara sederhana, Duplo dapat berarti dobel atau duplikat. Maka sepanjang pertunjukan yang berdurasi sekitar satu jam itu, bentuk dobel dan duplikat dari dua raja yang seolah-olah mempunyai banyak kemiripan itu pun dipertentangkan. Hanya dipertentangkan, tidak sampai terjadi perusakan.
Perusakan (secara tidak sengaja) dipantik oleh Pink King, saat ia menjatuhkan monumen wajah dari Green King, dan alih-alih memperbaikinya, Pink King justru kabur seolah tak melakukan perusakan itu. Melihat monumen wajahnya dihancurkan, Green King pun akhirnya membalas dendam dengan menghancurkan pula monumen wajah kepunyaan Pink King.
Untuk menciptakan ending yang bahagia, mendekati akhir pertunjukan dengan dramatisnya mereka berdua seolah merasa bersalah sekaligus merasa saling memiliki. Maka komponen wajah yang telah terburai itu pun mereka susun kembali, namun dengan potongan-potongan monumen wajah yang digabung, sehingga menciptakan konsepsi titik tengah, atau pertemuan yang menyatukan mereka berdua.
Jalan tengah itu pun tak hanya bersatunya komponen monumen wajah kedua raja tersebut, melainkan juga hadirnya sosok bayi berwarna kuning, bayi yang seolah hasil hubungan kedua raja itu. Bayi yang memiliki gen dari kedua raja itu melalui rambut dan kumis yang hadir di wajahnya. Lalu terdengar bunyi trompet, dan seolah didamaikan melalui kehadiran si bayi, kedua raja itu pun tak perlu lagi bersitegang, mereka telah sepenuhnya berdamai.
Pertunjukan yang disutradarai oleh René Geerlings dan pimpinan produksi oleh Djoeke Westdijk ini setidaknya memberikan pandangan yang sering kali luput dalam lakuan masyarakat kita. Bahwa untuk terciptanya sistem dan seluruh komponen masyarakat, kita memerlukan persamaan dan perbedaan.
Kita tak bisa memilih untuk selalu hidup dalam lingkup yang penuh akan kesamaan, sehingga menjadi golongan yang homogen, bahkan di dalam masyarakat homogen sendiri, tiap pemikiran manusianya memiliki perbedaan. Mereka hanya disatukan atau disamakan oleh beberapa faktor seperti etnis, golongan, agama, dan lain-lain.
Perbedaan terus menerus pun seakan dipenuhi rasa pengap, manusia lantas mencari-cari kesamaan, untuk membangun harmonisasi. Maka jalan tengahnya adalah kita membutuhkan persamaan dan perbedaan itu, bukan untuk sebagai pilihan, melainkan untuk saling mengisi, sehingga menimbulkan berbagai macam warna, yang lagi-lagi tak hanya hitam-putih, atau hijau-pink. Barangkali ada warna lain serupa warna bayi itu, warna kuning. Dan warna-warna lainnya yang menunjukan bahwa dunia tak selalu muram, jika melihat dengan cara pandang yang luas.
Pertunjukan ini, menjadi refleksi bagi keluarga untuk mengajarkan kepada anak usia dini bahwa hidup tak selalu dipenuhi oleh dualisme, bahwa ke depannya, hidup lebih membutuhkan jalan tengah. Jalan tengah yang lebih mementingkan perdamaian, daripada perselisihan.
*Raihan Robby, adalah kritikus seni pertunjukan