Bukan Sulap, Bukan Sihir “In Progress: Magic Maids” oleh Eisa Jocson dan Venuri Perera
Oleh Razan Wirjosandjojo
Sebidang empat sisi jendela membingkai ruang pertunjukan, saya berdiri di dalam Front of House (FOH) Teater Arena bersama sound operator, mas Kipli. Setelah memberi aba-aba untuk penonton masuk, saya menyaksikan Eisa dan Venuri menata rupa-bentuk koleksi sapu yang tersandar di dinding belakang panggung. Hal itu terjadi sembari Vonjiana membuka acara sebagai MC. Silamnya MC mengubah arah pandang penonton ke dua penampil yang sedang mengambil mangkuk. Mereka melemparkan rajangan jahe kepada penonton sambil berjalan memutari pojok lantai panggung. Setelahnya, masing-masing dari mereka mengambil sebatang sapu lidi yang cukup besar dan panjang, terikat ke batang bambu. Kerasnya batang sapu itu dibentur-benturkan dengan ritmis ke lantai, perlahan terdengar komat-kamit ucapan kedua penampil sembari menunggangi sapu layaknya seorang nenek sihir. Saya sendiri tidak bisa menangkap kalimat yang diucapkan, namun itu adalah cue saya untuk menekan tombol spacebar, memutar file audio pertunjukan ini.
Tetap berucap-ucap, mereka melakukan tapak-tapak kecil, berjalan maju-mundur, berbelok dengan sapu yang dijepit dengan pangkal pahanya di selangkangan. Hening bunyi diiris-iris dengan desis bunyi ucap-ucapan yang mereka lantunkan secara terus-menerus. Langkah demi langkah dilakukan Eisa dan Venuri, berjalan dari satu titik ke titik lainnya. Mereka memandang ke depan dengan kacamata hitam yang baru mereka pakai, diikuti desir suara sapu yang bergeser ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan. Sapu itu setia mengusap jejak-jejak kaki yang tertinggal di belakang. Kesendirian dari masing-masing penampil terus memanjang, merekah hampa.
Lama kelamaan, desir sapu itu menjadi ritmis. Putus hubungan yang terjadi sesaat ketika mereka berjalan-jalan, kini bertemu kembali melalui ritme langkah kaki. Sesekali salah satu dari mereka bergerak ke posisi rangkak, bergerak maju-mundur di tempat. Satu kali Eisa membuka kakinya lebar, melepaskan jepitan sapu di selangkangannya, menjatuhkan sapu ke lantai, merobek sepi dengan bunyi. Beberapa titik detik ia diam, lalu menarik sapunya kembali dengan kaki.
Bebunyian mulai muncul dari musik yang saya putar, perlahan semakin mendominasi ruang dan suasana. Proses jalan-berjalan ini ditutup ketika dua penari berdiri menghadap ke belakang, dan membuka gelang karet yang sebelumnya mengikat rambut. Sepenggal kata “slavee…” terdengar mulai mengulang-ulang. Awalnya tak memanggil ingatan, namun saya menjadi sadar ketika Gaby yang berdiri di belakang saya mengatakan “… Britney”.
Bahasa tubuh kedua penampil seketika berubah. Tekanan lenggang pinggul yang sebelumnya terasa menekan dan berat, kini menjadi lingkar-lingkar yang luwes dan ringan. Gerai rambut dikibas, kacamata dilepas. Seketika energi menggoda terasa sampai ke FOH. Saya, mas Kipli, Gaby, dan Verina yang berada di ruangan tak terikat etika “penonton”, bergoyang bersama dentuman beat musik. Panggung pertunjukan mengalami perubahannya yang pertama, hening yang hampir-membosankan disulap menjadi sebidang fashion show catwalk, langkah-langkah yang kini menampilkan tubuh penari bersama sapu sebagai “perhiasan”.
Sapu melambai di udara, dipangku pada pundak, mekar bagai bulu-bulu merak. Keduanya memoles sapu di atas lantai, lalu ke udara, juga di depan wajah pemirsa. Jika kegenitan penampil berhasil menggoda penonton, penonton itu pula yang harus bersitegang dengan debu-debu yang ikut terbang. Pada titik ini saya merasa bersyukur tidak berada di kursi penonton, karena jika iya, alergi saya akan jadi bagian dari instrumen bunyi repetitif yang tidak diharapkan.
Seketika Eisa melepas sapunya, alat pembersih itu jatuh berantakan. Sahutan Venuri menjadi kunci yang membuka pintu menuju ruang yang baru. Kini panggung mengalami perubahan ruang yang kedua; menjadi teras belakang yang santai dan senggang. Venuri mengambil dua seblak (sapu lidi yang digunakan untuk membersihkan kasur). Dimulainya pukulan-pukulan kecil ke Eisa, lalu dibalas ke Venuri. Mereka memukul dengan seblak kepada satu sama lain dengan penuh perhatian. Mata saya melihatnya berbayang ganda, antara memukul dan “membersihkan”. Di tengah rentetan pukulan, mereka meminta lebih banyak, meminta lebih keras, seperti tak puas. Permintaan itu kembali memotong lirik Britney Spears “Hit me baby one more time”. Lakon pukul-pukulan seblak itu bersambung dengan lakon goler-goleran di panggung.
Semua peristiwa ini berjalan dengan penampil yang tetap menjaga sapu tetap dijepit.
Keduanya mulai mengobrol, membahas tema-tema ringan nan sepele. Sekali Eisa bertanya pada salah seorang penonton, menanyakan nama dari sapu yang ia pegang. Satu penonton menyebut, ”seblak”. Jawaban penonton itu tak dijawab, Eisa berpaling mengekspresikan ketertarikan – menuju pemujaan – kepada sang seblak. Ia terkagum dengan benda itu.
Heran, apakah tidak ada seblak di Filipina, sebagai negara kepulauan dengan banyak pohon kelapa? Pertanyaan tersimpan di marjin kanan, panggung pertunjukan masih berjalan dengan sesi rasan-rasan. Para hadirin seketika menjadi terpaksa nguping obrolan mereka.
Seperti semua obrolan, mereka bubar setelah habis semua topik pembicaraan, sapu yang menganggur pun jadi sasaran. Mereka ambil enam sapu panjang yang terlentang, lalu dicantolkan ke benang merah dan putih yang menjuntai di atas kepala mereka sejak awal pertunjukan. Panjang sapu membuat mereka mampu menggapai tingginya benang-benang itu, meskipun sesekali berjinjit dan melompat kecil. Hening merambat setelah mereka berhasil melayangkan sapu-sapu itu di udara. Sihir mereka terhadap sapu itu perlahan menitik perubahan ruang selanjutnya.
Suara mbokdhe Britney kembali hadir, membelah diam tubuh mereka. Panggung seketika terasa mendung mencekam karena atmosfer bunyi yang disertai dengan gerak-gerik kedua penampil yang sempoyongan. Melotot, peran tubuh mereka kini menjadi “tubuh hilang kendali”. Tubuh mereka gerakkan agar tak mampu dikendalikan, semakin jadi, semakin edan. Kegilaan mereka beradu, menekan bahu, pada posisi rangkak kakinya menangkat sapu. Salah satu dari mereka melengking, entah macan, entah kuda. Sempat mereda, tiba-tiba lakon ndadi itu naik kembali. Eisa berlari memutari panggung menunggangi sapunya.
Lambat laun, ketegangan yang sempat terangkat kembali turun, mereka terkapar. Seperti suasana pentas jathilan di 15 menit terakhir. Pada posisi berbaring mereka menjulurkan lidahnya, jalar lidahnya tampak mengitari ruang bersama wajahnya yang melihat-lihat ke sudut ruang. Perjalanan selayang pandang itu membawa mereka menatap satu sama lain. Entah apa gerangan yang terpercik lewat tatapan itu, mereka tertawa terbahak-bahak. Tawa itu bagai busur yang berterbangan menuju dirinya, rekan pentasnya, pertunjukannya sendiri, dan penonton yang mulai merasa seperti naik kora-kora.
Tak lama reda tawa itu menjadi sesi rasan-rasan part dua. Tak sepanjang bagian pertama, mereka masih memiliki pilihan ruang lain untuk ditunjukkan ke penonton. Kini mereka bersimpuh di atas sapu yang mereka jepit di antara kakinya, kini panggung menjadi kuil. Lantunan kalimat-kalimat berbahasa Inggris menjelma mantra. Tak mampu saya menangkap semua kata, namun mencerap patahan-patahan frasa yang masuk ke pendengaran saya mengalamatkan nama-nama para pekerja, dengan susunan kata yang “menjampikan” berita-berita para pekerja migran yang tertuduh dan tersiksa. Mantra itu mendayu bersama tubuh mereka yang mengayang, lalu merendah pada lantai menuju posisi sujud.
Sampai akhir, sapu masih berada pada jepitan pangkal paha dan terus dijepit hingga akhir pertunjukan.
Momen ini bergulir dengan perubahan ruang terkahir. Eisa berdiri, gerak sirkular sapu-nya menyisir gundukan garam dan kunyit bubuk di tengah panggung. Putaran itu terjadi terus menerus, membesar dan mengecil, membawa butir-butir menuju pinggir. Putaran itu divariasi dengan gerakan sapu yang mengular oleh tangan Venuri. Seluruh putih garam dan kuning kunyit bercampur merata ke seluruh lantai panggung. Tuntas merata, mereka akhirnya melepas tekanan pangkal paha yang menjepit sapu dengan melemparkannya ke belakang panggung, seakan muak dengan sapu yang memborgol mereka setelah sekian lama satu jam pertunjukan.
Pertunjukan terasa mencapai akhir ketika penampil memberikan sapu-sapu yang berjejer di belakang panggung kepada penonton, lalu penampil yang kini tak bersapu naik tangga ke atas beranda teater. Mereka sempat hilang sesaat menyisakan geming di ruang teater. Tak lama, mereka kembali dan mengajak penonton menyapu hasil lukisan garam yang kunyit bubuk yang mereka sebar.
***
Pertemuan Antara “Penyihir” dan “Pembantu”
Suasana naik-turun pertunjukan kembali menanjak pada sesi bincang seniman. Perbincangan dibuka dengan kesan-kesan pantikan yang diutarakan oleh mbak Melati Suryodarmo, lalu disusul dengan kehadiran Eisa dan Venuri yang memaparkan latar belakang ide dan pengalaman penciptaan karya “In Progress: Magic Maids”. Saya cukup menunggu momen ini. Sebagai seseorang yang menuliskan teks publikasi untuk pertunjukan ini, seminggu lebih saya mengantongi pertanyaan tentang hubungan antara sejarah sihir di Eropa pada abad pertengahan yang digandeng dengan berita kekerasan terhadap pekerja migran perempuan di masa sekarang. Saya memahami bahwa kata penyihir dan pembantu merupakan istilah yang bertemu pada dua persimpangan; citra “perempuan” dan konotasi “buruk / rendah”. Pada satu sisi, upaya Eisa dan Venuri untuk menggagas tema ini membuat saya menggarisbawahi simpang jalan dari dua fenomena yang secara historis tak bertemu secara lini ruang dan waktu.
Pertanyaan ini perlahan tercukil dengan cerita beserta argumen yang mereka utarakan. Mereka menceritakan pengalaman mereka mengunjungi Museum Sejarah Farmasi di Basel, Swiss. Kunjungan ini menjadi titik mula yang penting karena mereka menyadari adanya absensi sosok perempuan dalam pencatatan sejarah pengobatan. Hal ini lalu menarik telusur pada proses pembongkaran sejarah kelam dari penyihir (witch). Penyihir sebagai praktik, pada masanya menjadi sumber pengetahuan animistik, yang memaknai alam sebagai sumber daya hidup. Ilmu-ilmu pengobatan sebelum teknologi medis modern dikembangkan melalui bahan-bahan alami. Tumbuh-tumbuhan dan rempah diolah menjadi ramuan obat, hal ini mengikutsertakan praktik mistik yang tidak terpisahkan dari kesatuan hubungan jiwa antara manusia dan alam.
Pada abad pertengahan di Eropa, Gereja Katolik melakukan perburuan terhadap penyihir. Pemusnahan masal perempuan-perempuan itu dilakukan untuk membersihkan lingkungan dari ajaran-ajaran yang “menyesatkan”. “Malleus Maleficarum” merupakan tajuk buku yang memperdalam kekejaman atas proses pembersihan itu. Buku yang ditulis oleh Heinrich Kramer pada tahun 1487 mendorong sugesti masyarakat atas ketakutan terhadap praktik sihir, serta mendorong upaya pemusnahannya. “Kiat-kiat” memusnahkan ditawarkan dengan beberapa cara, menjadi hal yang seakan mulia untuk dilakukan atas nama Tuhan. Mesin cetak masal hadir sebagai mesin jegal, buku untuk dicetak masal dan disebarkan ke berbagai penjuru Eropa. Pada masa itu, holocaust perempuan menjadi ingatan masal masyarakat luas di Eropa.
Melenting ke beberapa abad setelahnya, Eisa dan Venuri menerangkan bahwa narasi “sihir” dan “migran” bertemu pada tubuh perempuan yang muncul di berita penganiayaan pekerja migran di luar negeri, khususnya kepada kasus penganiayaan yang dilakukan oleh atasan (pemberi kerja) yang mendapati praktik “klenik” pembantu–nya. Praktik “klenik” yang dilakukan oleh pekerja dianggap oleh atasannya sebagai ulah “sihir”. Eisa dan Venuri menyusuri motif dari peristiwa tersebut, kian berhulu pada ingatan masyarakat yang mengalami pemusnahan penyihir pada proses “pencerahan” dan modernisasi. Demikian terkikis, namun pertanyaan yang saya simpan belum juga tuntas.
Bagi saya, tak mudah menelan narasi berita yang menyiarkan pembingkaian praktik “klenik” secara mutlak sebagai sihir. Belakangan saya belajar bahwa praktik kebatinan alternatif (atau bahkan dalam kasus tertentu; praktik kesenian) kerap tertuduh sebagai praktik “magis”, dan pembingkaian ini masih sering saya temukan pada rekan-rekan yang tumbuh di kota-kota besar, pada mereka yang hidup tumbuh dalam lingkungan teknokratis, dan pada mereka yang ahistoris dan skeptis terhadap mistisisme sebagai sumber pengetahuan. Keasingan terhadap lelaku tersebut menguatkan penyematan bingkai “perdukunan” dalam arti menyimpang. Bingkai itu mempertebal jarak yang berkabut, serta rasa asing terhadap persoalan mistik. Keasingan ini menciptakan tradisi ketakutan di dalam masyarakat terhadap yang liyan, baik itu diartikan sebagai sihir, migran, atau perempuan.
Saya menangkap bahwa Eisa dan Venuri menggagas “bingkai” ini sebagai bukti dari pelestarian ketakutan yang tumbuh sejak pemusnahan penyihir di masa abad pertengahan, menjelang masa pencerahan (renaissance). Seakan, kesadaran atas “bingkai” ini membuktikan bahwa kebijaksanaan akal yang berjaya hari ini sedang hidup dengan rasa takut atas kebangkitan “mayat” kebijaksanaan mistik, maka dikubur sedalam mungkin. Pertanyaan yang saya simpan justru terbalut pertanyaan baru; “lalu, dari mana Eisa dan Venuri menatap bingkai itu?”.
Dari Sihir, Jadi Sulap
Beberapa tahun pindah ke Solo membuat saya berkesempatan untuk mengalami berbagai macam pengalaman gerak dan laku tubuh, yang sebelumnya tidak saya temui dan ketahui ketika di Jakarta. Pengalaman itu membuat saya menyadari jarak pandang yang merentang begitu jauh antara diri saya dengan pengetahuan-pengetahuan yang berjangkar di luar jangkauan akal. Pengetahuan yang diajarkan kepada saya, baik melalui lajur-lajur pendidikan formal dan informal, mengasingkan paham “klenik” sebagai praksis pengetahuan.
Sangat disayangkan jika lelaku mistik hanya dapat dimaknai sebatas soal “penampakan”, dalam arti-arti yang menyeramkan. Ngelmu dan melatih diri untuk menjadi “sakti” tak lain merupakan upaya dalam menemukan keseimbangan antara kecerdasan tubuh, akal, dan batin. Latihan yang bertujuan untuk menemukan kebijaksaan yang holistik. Baik pada bentuk kebudayaan di Asia maupun di Eropa, saya pikir kehadiran ilmu mistik memiliki peran yang selaras. Ia menjadi disiplin pengetahuan animistik, agar manusia dapat menjaga kebijaksanaan dan mengendalikan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tatanan alam semesta.
Pada satu sisi yang tak tampak, saya merasa karya ini menunjukkan potensinya untuk mengungkapkan ekspresi tubuh yang berupaya merengkuh pengetahuan atas kebijaksanaan yang lama bersembunyi. Namun pada sisi yang tampak, karya ini mencitrakan sihir dengan pendekatan koreografis yang justru menjauhkan esensinya sebagai pengetahuan. Perasaan ini memunculkan praduga di dalam diri saya, bahwa peluru kritik yang sedang dilontarkan karya ini dibidik melalui teropong tua.
Saya mengutip dari secuplik ungkapan mas Joned Suryatmoko setelah menyaksikan karya ini, karena menurut saya menabuh gendang yang semakin menggugah dugaan saya. Sebagai seseorang yang dekat dengan sapu, mas Joned menyinggung penggunaan sapu di karya ini. Penggunaan sapu sehari-hari, selihai apa pun teknik sapuannya, tidak pernah dilakukan dengan mengangkat sapunya dari atas lantai. Sapu yang diangkat tinggi, diputar-putar, dan disodorkan ke wajah penonton, justru menunjukkan bahasa gerak yang lebih erat dengan peran “anak majikan” daripada “pembantu rumah tangga”. Dalam hal ini, saya menangkap bahwa mas Joned sedang menunjukkan hubungan antara tubuh, laku, dan objek sebagai sebuah teks. Demikian secara tidak langsung, menurut saya pendapat mas Joned menampakkan jarak yang tak kasat antara seniman dengan gagasannya.
Terlepas dari teks tersebut, tak dipungkiri eksplorasi materi gerak dan laku dalam karya ini dibawakan secara ciamik dengan kapasitas kepenarian yang terlatih. Eisa dan Venuri menunjukan daya tahan tubuh yang sangat stabil, terkhusus melalui laku menjepit sapu yang bertahan dari awal sampai akhir. Laku ini bagi saya tidak hanya menyoal daya tahan fisik, namun ia juga cukup efektif mempertemukan persimpangan antara penyihir, pembantu, dan perempuan dengan satu jepitan.
Karya ini menunjukkan perancangan koreografis dan skenografis yang penuh pertimbangan. Saya sebagai penonton mampu dibuat hanyut bersama aliran pertunjukan selama satu jam yang tak terasa lama. Kapasitas kepenarian yang “terlatih” dan koreografi-bentuk mutakhir ini dapat dibilang mampu memukau penonton, namun juga menggandeng konsekuensi. Koreografi sebagai perangkat yang mengolah dua narasi penganiayaan perempuan, baik pada bilik magic maupun pada bilik maid, secara tidak langsung menapaki tema magic (&) maid dengan membajak bentuk dari kedua praktik tersebut. Dua bentuk koreografi etok-etok (pura-pura) yang tampak terang dari karya ini terlihat pada; upaya “menirukan” kerasukan, dan bagian rasan-rasan (gosip).
Pola-pola ritualistik dan jampi-jampi merupakan satu benang dalam kerumitan material di dalam karya. Potongan teks lirik lagu-lagu Britney Spears seperti “work it, bitch”, “slave to you”, “hit me baby one more time” dipilih dan diucapkan oleh mereka selayaknya mantra. Menyaksikan mantra ini terucap dari penampil yang sedang menghadirkan dua peran perempuan; pembantu dan penyihir, membuat dahi saya sedikit mengernyit. Mantra dalam ritual acapkali hadir sebagai untaian kata dan suara, dilafalkan untuk mengubahnya menjadi getaran dan pengalaman rasa dalam diri. Getaran itu tersampaikan tidak semata untuk pelafal, namun juga bagi yang mendengarkan. Mantra menjelma air yang menyerap dari kuping dan pori-pori. Apakah berarti mantra di dalam “In Progress: Magic Maids” ini mencoba mengajak hadirin untuk “mengamini” penyebutan para pekerja dengan imbuhan “bitch”?
Pada tiap-tiap pukulan Eisa dan Venuri dengan seblak kepada satu sama lain di awal bagian rasan-rasan, mereka memenggal kata “baby hit me one more time” menjadi “more, more” atau ”hit me, hit me baby”. Suasana ini sekilas jenaka, dan semakin terkesan lucu jika mengetahui bahwa penggalan teks itu bersumber dari lirik Britney Spears. Dibalik kejenakaan itu, ada keterkaitan yang tak kasat tentang kasus-kasus penganiayaan, yang juga mereka ucapkan secara deskriptif di akhir pertunjukan. Dalam hal ini, muncul pertanyaan, “apakah bagian tersebut mencoba menghadirkan “pukulan terus-menerus” sebagai komedi?”
Baik dibaca melalui struktur pertunjukan, maupun melalui kualitas (gerak) tubuh, saya menangkap bagian menuju akhir pertunjukan dengan terang memperlihatkan upaya peniruan bentuk-bentuk “kerasukan”. Menjulurkan lidah, berlari-lari pada putaran, saling menyeruduk, serta gerak-gerak lain yang sarat atas kesan-kesan “ndadi”. Saya merasa kehadiran dari rangkaian gerak itu didorong secara dominan oleh hasrat fisikal. Teriakan dan tertawaan yang menciptakan suasana “mencekam” menjadi lampu sorot dari peniruan itu. Hal ini terasa menjadi kendala bagi saya, karena metode koreografi etok-etok lama menjadi mesin cetak yang laris, menciptakan “tari yang terinspirasi dari ritual” sejak masa kolonial. Secara keseluruhan, apakah karya ini mencerminkan fenomena karya seni kontemporer sebagai korban sekaligus pelaku pelestarian tradisi koreografi yang menjelma malaikat, yang berabad abad turun untuk menyudahi alam bawah sadar tubuh di dalam berbagai kebudayaan, agar membawa dunia yang kelam menuju “pencerahan” dan kemajuan?
Modernisasi Tari via Koreografi Etok-Etok
Film yang diproduksi oleh Greggory Bateson dan Margaret Mead bertajuk “Trance and Dance in Bali” dapat menjadi tapak awal dalam menyusuri bentuk etok-etok kesurupan di Nusantara. Film yang dirancang oleh sepasang suami-istri etnograf ini menyajikan cerita Calonarang dalam bentuk film dokumenter. Mencuat dugaan saya, kerja dokumentasi ritual dilakukan dengan kamera sebagai alat rekam peristiwa yang asing bagi masyarakat Bali pada masa itu. Keadaan itu sejatinya membuat sajian karya film etnografis ini “berbau amis”.
Saya memperhatikan kamera yang selalu memiliki posisi “strategis” dalam penangkapan gambar. Penyusunan pola lantai dan peristiwa film ini kuat dengan pertimbangan sinematografis. Film berjalan dalam struktur peristiwa yang kental dengan elemen pembabakan yang terkesan “drama tiga babak”. Meskipun film ini menampilkan aksi menusuk diri dengan begitu atraktif, film ini menghadirkan penggunaan komponen-komponen objek dan material dengan “ganjil”, tak terasa adanya kerenggangan dengan para pelakunya. Monolog Mead terdengar seperti laporan penelitian sekaligus ringkasan naskah teater, yang membuat saya tak mampu meyakinkan diri mana yang lebih dulu muncul.
Kuat bau amis bagi saya mengisyaratkan bias posisi Bateson dan Mead sebagai etnografer atau koreografer di dalam film ini. Film terbungkus dengan narasi deskriptif yang menyempit-dangkalkan kompleksitas cerita Calonarang yang rentan kemelesetan tafsir. “Koreografi” pertunjukan di dalam film ini, jikalau pun merupakan kesepakatan para penampil, kuat berkesan “menaskahkan” bentuk ritual Calonarang. Dalam arti yang cukup tegas, koreografi mengemas peristiwa ritual menjadi karya film tari, menunjukkan peristiwa kesurupan pada akhir filmnya dengan sangat “spektakel”.
Koreografi etok-etok kini kian lestari seiring dengan tumbuhnya “seni pertunjukan” di Indonesia. “Koreografi” masuk sebagai istilah dan metode, menyuguhkan toolbox yang sedemikian rupa mampu mengemas kembali praktik ritual – menjadikannya tontonan. Salah satu pemandangan yang dapat kita tatap adalah pengaruh koreografi dalam pembajakan bentuk laku wuru dalam kesenian ebeg, yang kini berkembang di beberapa kelompok sebagai metode jasmaniah yang dipelajari sebagai sebuah kelihaian teknis.
Dalam kepentingan tertentu, teknik etok-etok ini dapat diperjualbelikan sebagai atraksi pementasan, yang dihargai sesuai dengan kerumitan teknisnya. Teknik menggigit batang lampu, leher ayam, dan kaki kambing tentu berbeda, namun semua sudah ada tekniknya. Serantai dengan ebeg, praktik kesurupan dalam jathilan yang dilakukan sebagai ekspresi protes – kini memiliki cabang pop berkat koreografi. Jathilan kini memiliki memiliki kemasan yang lebih “kekinian”, menampilkan ajang adu pesona rias, kerap diisi oleh manis gempita para penari yang feminin. Semakin juita, semakin mahal bayarannya.
Perkembangan “koreografi” terhadap praktik ritual di berbagai kebudayaan nyaris tidak mampu mengelak dari perannya yang hampir-menjatuhkan praktik ritual dan trans sebagai hal “bercanda / tidak betulan”. Koreografi menjadi serdadu yang memukul mundur fungsi dan teknik tubuh untuk “menjadi”, terjungup dan terkapar dengan stigma “kesetanan” – yang semakin populer melalui berbagai “tontonan atraktif” dalam panggung prosenium seni pertunjukan. Lebih dahsyat lagi, industri pertunjukan hiburan di Indonesia menciptakan blender yang lebih canggih dalam mencampur-adukkan bentuk tari dari berbagai kebudayaan di satu panggung pertunjukan. Kebhinekaan khatulistiwa kini ditawarkan sebagai “semangkuk sop buah siap santap”.
Koreografi sempat diterjemahkan sebagai “tata tari”, namun sepertinya dianggap tidak sesuai dan dikembalikan pada kata serapannya. Koreografi belum bisa diterjemahkan pada kata yang tersedia di kamus bahasa nasional, maupun daerah. Hal ini bagi saya dapat menjadi titik renung, untuk melihat kerentanan koreografi sebagai perangkat yang “mengatur” peristiwa, terkhusus jika digunakan untuk mengolah praktik trans dan ritual di Nusantara. Koreografi yang mendekati praktik ritual dan trans sebagai sumber ide kerap luput dan meleset dari motif dasar dan tekniknya, baik terjadi karena sengaja ataupun tidak. Berkelanjutan, kini telah panjang lembar masa seni pertunjukan di Indonesia, mencetak citra trans sebagai laku “menjadi” (ndadi/becoming) dalam pikiran masyarakat sebagai sebuah kebohongan.
Koreografi datang dari kapal Eropa, ditawarkan sebagai obat penangkal dari malaria bernama alam bawah sadar (saya sendiri merasa kata “alam bawah sadar/subconcious” menempatkan “kesadaran” itu pada posisi yang tidak-lebih tinggi). Lalu koreografi menjadi kekuatan baru dalam tubuh yang merampas rempah-rempah kesadaran, pengetahuan, dan spirit keleluhuran. Labuhnya mengikis sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap konsep dan teknik yang tumbuh dari tanahnya sendiri. Kini masyarakat menjadi takut dan alergi dengan gerak yang muncul dari kesadaran “yang lain”, menjadi acuh dengan keniscayaan tubuh sebagai organisme yang pelik dengan soal ketidaksadaran. Koreografi yang sukses membajak, menuntaskan pekerjaannya dengan membangun pikiran sebagai penjara tubuh, tubuh tak berdaya untuk menalar hidupnya dengan rasa, hari ini kita dibuat tergantung dengan akal sebagai satu gang menuju pencerahan dunia yang maju dan sejahtera, namun perlahan kita memandang kebuntuan jalur tersebut.
Tari dan koreografi saya rasakan selayaknya pohon dan jalan. Kehadiran tari / gerak tubuh sebagai pohon yang akar cabangnya tumbuh organik, dan koreografi sebagai lajur-simpang jalan yang mengelola ruang di antaranya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghardik koreografi sebagai jalan-jalan yang telah membawa kita pada berbagai bentuk ilmu pengetahuan. Juga tidak menawarkan fanatisme terhadap tari sebagai sesuatu yang liar dan purba. Namun, kita menyaksikan sendiri bagaimana pembangunan jalan terus menerus menggerus pepohonan kita, lalu dihuni manusia yang takut untuk memasuki hutan. Dari tulisan ini, saya membayangkan satu taman hutan, di mana jalan dibangun menyesuaikan dengan pohon yang telah tinggal lebih dulu. Saya membayangkan jalan-jalan itu meliuk-liuk, sekilas tidak kubik, tidak efisien, dan tidak masuk akal. Bagaimana pun, jalan ikut belajar menjadi akar yang penting dalam merawat keberlangsungan nilai-nilai hidup.
Dari renungan ini, saya merasa karya “In Progress: Magic Maids” mampu menggunakan sisa waktunya sebagai karya-sedang-tumbuh untuk mempertajam tatapan terhadap tema magic (dan) maids sebagai simpang jalan dua fenomena global. Alih-alih menunjukkan kemutakhiran koreografis yang menjebak tema sihir menjelma sulapan (lebih berbahaya – menatap jalan buntu “drama tari ndadi pembantu”), karya ini punya potensi dalam mengungkapkan tabir penyihir dan pembantu sebagai satu fakta historis, menumbuhkan semangat atas pelebaran cakrawala pandang, tak lagi melihat gejala mistik sebagai fatamorgana belaka, namun mencoba menelusurinya sebagai oase pengetahuan yang lama tersembunyi.
***
Sore-sore di masa kecil saya, saya sering melihat acara sulap bersama ayah saya. Jika saya tidak salah ingat, rutin setiap sore atau di akhir minggu. Beberapa nama yang saya ingat seperti Dedy Corbuzier, Demian, dan Denny Darko merajai dunia sulapan di televisi. Saya sering berdebat lucu dengan mendiang ayah saya ketika melihat trik mereka yang cukup memuaskan imajinasi, seperti menebus tembok atau jendela, menghilangkan benda dan menampakkannya di titik yang tidak masuk akal, atau melarikan diri di kondisi yang mustahil.
Saya ingat kita saling mengigau jika aksi itu sulap, atau sihir. Mengulas pertunjukan ini membuat saya melihat lagi video-video mereka di YouTube, sembari menemukan para pelaku itu menjadi YouTuber dan entertainer yang cukup laris. Akhirnya sihir pun menjadi hal yang diterima pada tubuh laki-laki. Pertanyaan, “bohongan atau beneran?”, “apakah dia buat perjanjian dengan setan?” hanya berhenti sebagai fantasi yang melipur lelah kerja dan menghibur mereka yang sedang menunggu waktu Maghrib dan makan malam bersama.
*Razan Wirjosandjojo, saat ini mengerjakan aktivitas keseniannya di Solo, Indonesia. Menyelesaikan studinya di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta setelah aktif menari sejak 2010 dan mempelajari bermacam disiplin tari dari berbagai ruang dan komunitas di Jakarta sampai dengan tahun 2017. Setelah berpindah studi ke Solo, Razan belajar dari Melati Suryodarmo dan Studio Plesungan, sejak tahun 2018 hingga sekarang. Dari 2020 Razan mulai menciptakan karyanya sendiri dan memperluas sudut pandangnya dalam melihat tubuh sebagai wahana, dan mengembangkannya dalam wujud teks, rupa, dan peristiwa. Saat ini Razan merupakan murid dan staf paruh waktu di Studio Plesungan.