Sajak-Sajak Willy Fahmy Agiska
QUE SERA SERA
Terduduk juga
di tembok halaman,
keluar dari keliaran
jalan dan angin.
Selamat datang
segala yang sempat
dan belumlah datang.
Bandung utara 21 celcius malam,
Tuhan yang mengetik metabahasa
di atap atap rumah bisu warga.
Dan terasa ada “amin”
dari diamnya jalan
dan angin.
2020
WANAYASA
Anggap saja sajak ini sebuah situ di hatimu.
Perahu-perahu angsa kabur entah ke mana.
Burung-burung mengikik di pohon-pohonnya.
Sesekali sehelai koran lusuh, sesekali plastik-plastik
terjungkir-jungkir di udara dengan girangnya. Tuhan
mungkin angin, mungkin yang senang bermain-main.
Adapun rumput-rumput di tepi telaga, betapa asyiknya
menyinggung-nyinggung duduknya seorang pengelana
dan akhirnya berkata: “tunjukanlah kepada kami yang liar
dan hampa ini, di manakah domba-domba lapar sodara?”
2020
DARI SEBERANG JALAN KECIL DI YOGYA
-Iman Budhi Santosa
Dari seberang jalan kecil di Yogya,
pintu kost terbuka dan korsi rotan itu
masih kukira dirimu.
Kenapa masih melihatmu datang serupa itu.
Serupa angin-angin dari pohon sawo tua
menyalami benda-benda
umpama kawan-kawan lama.
Di mana pernah mengembus hari
dan seribu diri asing, pada semua kata
dan bekas-bekas perhitungan kemarin.
Di hari yang lain lagi
di pelataran depan kamar kost itu,
diam diam puisi dan sepi datang
dengan paras yang riang.
Asyik mencoba jurus lempar jarum Cina
ke muka pintumu yang pernah terbuka
seperti sebuah aforisma.
2020
SEMUT
Di atas batu bata segenggaman,
semut semut jalan dan berciuman.
Adakah mereka pernah sengsara
oleh hutang dan kesendirian, God?
2020
UNBOXING 2020
Cek cek, monitor.
Apakah kamu masih melihat nasi
dan air minum bersih dalam rasa takutmu?
Silakan ambil, ini kartu monopoli bebas parkir untukmu.
Aku menunggumu di regency. Menunggumu di agen-agen ekspedisi
yang kurang tidur. Menunggumu di kedai kopi dan jadwal live streaming.
Menunggumu di bandara dan nonton hantu2 beragama.
Menunggumu, sebelum bersedih di pintu rumah sakit
untuk semua kematian siapa, di antara kemanusiaan kita
yang pernah sehat di meja makan keluarga.
Silakan duduk, itu hanger untuk meletakkan identitas
dan semua tanda tanya kepada tahun-tahun yang belum ada.
Juga semua “kenapa” yang sering membuatmu insomnia
di semua malam. Mari bicara tentang bagaimana.
Bagaimana menghancurkan kenyataan di mimpi-mimpi buruk kita,
di luar semua kesulitan membeli kuota dan memindai Tuhan.
Apakah saku celanamu masih menyimpan ponsel itu,
untuk semua usaha menyembunyikan atau menggali diri sendiri
dari kesibukan-kesibukan orang lain? Tutup mulut dulu sebentar.
Aku punya stiker-stiker doa dari para peminta sumbangan beragama.
Tidak pernah ada kebahagiaan/penderitaan yang unlimited, bukan?
Berat sama dipukul, ringan sama digunjing. Kamu jadi tidak banyak
komentar dan sering ingin tutup akun.
Maafkan aku. Aku terlalu banyak menyimpan kemarahan
dan ucapan-ucapan maaf dalam masker-masker tempias biru,
dari belakang dirimu.
Which is, mari kita tidur dan berdoa, semoga esok hari
masih bisa jatuh cinta lagi pada kebohongan-kebohongan
untuk sekian superego kita yang sering berengsek.
2020
*Willy Fahmy Agiska, lahir di Ciamis, 1992. Kini tinggal di Bandung dan bekerja sebagai redaktur puisi Buruan.co. Buku puisinya yang telah terbit, Mencatat Demam (2018, Kentja Press) dianugerahi penghargaan “Buku Puisi Terbaik Anugerah HPI (hari Puisi Indonesia) 2019”. Beberapa puisinya yang lain pernah terbit di media massa cetak dan digital, di antaranya di Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Indopos, Radar Tasik, Suara NTB, Majalah Kandaga, Buruan.co, dan Sastra Digital.
Takdir kata
Suka cita
Tanpa nama
Tulus lumus
Santun halus
Tulus lurus
ARROY