Puisi-Puisi Ni Wayan Idayati
Petang di Santa Cruz
Di tembok sebuah kota yang murung
tak ada yang terdengar
kecuali igau ratap para pemabuk
Sambil melempar koin ke dasar kolam
aku berdoa dan menghitung setiap celah peruntungan
menebak angka gaib nasib baik
Dari sebuah rumah gubuk
di mana mimpi-mimpi nyenyak
antara pekik bising para gelandangan
atau lolong sedih anjing jalanan
di penghujung petang
terpaksa kusaksikan
peruntungan yang tak pasti
Siapa yang akan memberimu nasib baik
dengan koin lima sen
Dengan apa upaya doamu didengar
Supaya kau tak usah ambil giliran
pergi ke garis depan
Bagaimana aku akan fasih pegang senjata
atau lihai sembunyi di gorong-gorong
menghindari bombardir para musuh
Bagaimana aku akan lempar granat
sebelum tanpa sadar menginjak ranjau bunuh diri
Nenek yang selalu murung di depan pintu
potret ibu yang tergantung di dinding
dan si bungsu yang belum lagi pandai naik sepeda
Oh, Ayah bahkan belum sempat kudoakan nisannya
Sewaktu Kremasi
Ke mana perginya jiwa mereka yang mati ?
Menyatu jadi abu atau sirna tanpa nama ?
Sewaktu para serdadu mengokang peluru
Melesat ia bak mantra niskala
Pisahkan raga dari jiwa
Tak sempat mengaduh atau tertegun ragu
Mereka yang berlari memburu peluru
Mereka yang lahir tak sempat dipangku ibu
Mereka yang menunggu waktu
Mereka yang terkepung oleh maut
Sungguhkah api kremasi membebaskan diri si mati
Lebur belenggu jadi abu menuju rumah para leluhur
Sewaktu asap membumbung tinggi
Raganya memuing di bumi
Berselimut wangi dupa dan puja pendeta
Orang-orang terdiam
Doa dan mantra
Lebur bersama duka
Kemana perginya jiwa-jiwa mereka yang mati?
Menyatu jadi abu atau sirna tanpa nama ?
2016
Sajak Sebatang Pensil
Kemana puisi-puisi lenyap
selalu ujung pensilku patah
setiap kali hendak menuliskannya
kemana puisi-puisi sembunyi
kertas-kertas keburu usang
sebelum penyair sempat mengisinya
Bila sebatang pensil bisa menuliskan nasib baik
kuharap ia sungguh menuliskan sebuah cerita
putri negeri dongeng yang menjelma nyata
kotak mimpi penuh rahasia
tempat segala keajaiban bermula
sebatang pensil ini tak lagi milik seorang penyair
ia punya sang pendongeng
pensil ini tak mau menulis sajak
ia mau menuliskan dongeng;
cinderella, putri salju, mungkin juga seorang balerina
tapi ia hanya sebatang pensil
itu hanya selembar kertas
tulislah, tulislah apa kau mau
Bila menuliskan kata-kata bisa membahagiakan sebatang pensil
mungkin akan kubiarkan saja
ia tercuri tangan kanak-kanak
suka hati menulis penuh binar riang
menunggu mimpi yang ranum oleh waktu
Gadis di Pasar Kumbasari
Seorang gadis berambut merah menghampiriku
Sambil menawarkan katalog baju-baju terkini
Bayang lampu taman redup di garis matanya
Tersenyum cemas penuh harap
Ia keluarkan ingatan dari saku kecilnya
Sambil membalik halaman katalog, ia bercerita
Orang tuanya baru saja cerai
Sang ayah sudah menikah lagi
Sementara ibunya selalu bepergian
Entah bekerja, atau mungkin mematai istri baru suaminya
Kubiarkan saja ia terus mengoceh
Dan telaten menawariku mode-mode paling trendi
Lalu katanya:
Di sebuah gedung di tengah kota
Satelit pengintai yang baru tengah didirikan
Pemancar dan detektor serba tinggi dipasang
Kita tengah diawasi
2015
Dalam Sajakmu
di setiap jalan tanpa nama
tak ada yang bertegur
mereka mengigau sambil lalu
serupa daunan musim gugur
mereka kembali jadi akar
menyusup ke celah tanah
ke sela ingatan
di taman yang sama
di tikungan yang serupa
kita merindu pohonan
tak henti mengigaukan kata
seperti siul pilu parkit kecil
2019
Sajak Buat Ibu
Di tikungan, di ujung jalan Gajah Mada
orang-orang bergegas, laju mobil dan sepeda ontel
juga pejalan kaki
berlomba berpacu beriring waktu
Di tangan Ibu, ratusan kenang-kenangan
tergesa, berlompatan di kepala
bau amis ikan asin sisa si kucing
dan keringat-keringat masam pedagang sayur
Bunga-bunga di hampar dalam keranjang
ada yang datang menawar dan sebagian menagih hutang
setiap pukul tujuh paman penjaja kopi lewat
sambil teriak suaranya begitu nyaring
Sesekali ingin kutulis kepadamu sebuah sajak
cukup sebuah yang paling bagus
seperti kembang warna warni di keranjang
teman senasib yang terjual separuh harga
Tetapi kata seperti hilang terka
Dirimu yang pergi sedari subuh
Dan aku masih membayangkan diri kita
seperti kanak-kanak yang berlarian
berteriak sesukanya
wajah polos penuh penuh remah roti
atau, menangislah, maka ayah akan datang membawamu pergi
Kenapa tak kunjung bisa ku tulis sebuah sajak yang menarik
seperti kerlap kerlip toko 24 jam
di seberang jalan
riuh oleh mereka yang datang dan bergegas
2015 – 2017
Kota dalam Ingatan
: Tsunami 2004
ulurkan, ulurkan tanganmu, Dik
mari rentangkan angan dan kenangan
berlayar kita ke pulau seberang
sungguh hanya kata
yang kekal dalam cerita
kisah dan ingatan dari seberang
antara kapal-kapal yang hilang
kota yang menyisakan curam bayang
disapu gelombang
dari negeri yang jauh
tanpa surat atau dering telepon
pukul tujuh gelombang datang
sungguh hanya kata
yang kekal dalam cerita
dalam lembar ingatan
ulurkan, ulurkan tanganmu Dik
2020
Batavia
Sebatang pohon tua di tikungan
seperti kota yang kehilangan kekasih
jalan jalan kecil di kampung jauh
jadi bayang penuh patung-patung lilin
Mereka tinggalkan kotanya
rumah rumah kastil
bendera setengah tiang
nyanyian keroncong dari café kecil pinggiran
Balada paruh masa lampau
potret di rumah para noni
ingatan di Batavia
gedung tua kini pusaka kota
Di seberang stasiun
lelaki tua menawarkan ojek sepeda
sambil mengocehkan setiap tinggalan
bandar besar dan pelabuhan
tempat pertama sejarah bermula
*Ni Wayan Idayati menulis puisi, esai dan berita jurnalistik. Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi puisi bersama; “Dendang Denpasar, Nyiur Sanur” (2012), Antologi Pertemuan Penyair Nusantara VI “Sauk Seloko” (2012), Antologi Puisi Lomba Cipta Puisi Komunitas Kopi Andalas (2013), Antologi Puisi Dari Negeri Poci 6: Negeri Laut (2015), Buku Antologi “Dari Gentar Menjadi Tegar” Komunitas Bergerak Seni Indonesia Berkabung (2015), Buku Antologi Puisi “Klungkung” (2016), Antologi Hari Puisi Indonesia 2016 ‘Matahari Cinta Samudera Kata’, Buku Antologi Puisi-Puisi Spriritual dan Sosial “Kavaleri Malam Hari”, diterbitkan Abdurrahman Wahid Centre UI (2017), “Dari Negeri Poci 8: Negeri Bahari” (2018), “Senyum Lembah Ijen “(2018), antologi puisi “Epitaf Kota Hujan” (Pertemuan Penyair Asia Tenggara di Padangpanjang, 2018), “Perempuan Bahari” (2019 dan 2020), Bunga Rampai Puisi Indonesia “Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh hingga MoU Helsinki” (2020) dll. Buku puisi tunggalnya “Doa Ikan Kecil” (Yayasan Sahaja Sehati) terbit tahun 2019. Tahun 2020 meraih Juara Utama Lomba Penulisan Kritik Seni yang diselenggarakan ISBI Bandung. Kini sebagai pengelola program di Bentara Budaya-Bali (ruang kebudayaan Kompas Gramedia).