Menilik Berbagai Rupa Opposite dalam Novel Si Bolang dari Baon

Oleh Iin Farliani*

Yang berdiri sendiri-sendiri, terpisah, berseberangan, namun mengisi satu semesta cerita yang sama itulah simpulan pertama saya usai membaca novel karangan Sigit Susanto berjudul Si Bolang dari Baon. Situasi berseberangan atau yang selanjutnya saya sebut opposite kerap pembaca temukan dalam novel ini. Hal ini sudah tertandai dengan jelas lewat dua tokoh utamanya yaitu: Sariyah dan Bolang. Sariyah (manusia) merupakan seorang nenek yang kuat dan mandiri menghidupi dirinya sendiri dan memperkerjakan beberapa pekerja di usaha kopinya yang ia rintis sejak dulu. Bolang (binatang) merupakan binatang ganjil bertubuh kera dari atas sampai pinggul, sedangkan dari pinggul ke bawah bentuk tubuhnya adalah rusa. Dari sana pembaca temui situasi berseberangan antara dunia manusia dan dunia binatang. Sementara dalam diri si Bolang sendiri ada bentuk opposite yang lain yaitu dirinya sebagai campuran kera dan rusa dan opposite berdasarkan cara hidupnya: makan buah-buahan (cara hidup kera) sekaligus makan rumput (cara hidup rusa). 

Pembaca juga menemukan situasi yang berseberangan atau berdiri sendiri-sendiri melalui dua topik utama yang paling terlihat dalam novel ini yaitu: dunia usaha kopi dan dunia buku. Dunia usaha kopi diwakili oleh Sariyah dan cucunya Sar, sedangkan dunia buku diwakilkan oleh Bolang. Dua dunia ini menghuni semesta yang sama di mana ketika ada interaksi antara Sariyah dan Sar dengan Bolang di situ terselip percakapan-percakapan seputar literasi. Begitu juga sebaliknya. Bolang tak pernah lupa menyebut jasa Sariyah dan usaha kopi yang dijalani perempuan tua itu tiap kali ia mengunjungi berbagai tempat di mana ia mencoba menghubungkan penduduk desa dengan buku, dunia menulis dan membaca. Dalam interaksi antara Sariyah dan Bolang, pembaca juga menemukan bentuk opposite yang lain yakni seorang Sariyah yang tak bisa membaca dan menulis berbanding terbalik dengan Bolang yang bisa cepat membaca dan menulis. Binatang ganjil ini bisa dikatakan lebih pintar ketimbang manusia-manusia di sekitarnya. 

Tidak hanya dari segi isi, yang sendiri-sendiri dan yang terpisah-pisah juga terlihat dalam struktur novel ini. Pada pembukaan novel, tokoh sampingan bernama Kek Ros mengisi separuh narasi pembukaan dengan banyak adegan yang berjalan bertahap. Porsi narasi yang diisi oleh Kek Ros memunculkan dugaan di awal bahwa Kek Ros-lah yang menjadi tokoh utamanya. Ternyata di bagian-bagian selanjutnya, Kek Ros hanya muncul sekali dalam pembicaraan lalu hilang selama-lamanya atau tak terlihat lagi perannya dalam cerita. Struktur opposite juga tampak dalam susunan bab novel ini. Ada bab berjudul Buku yang Mendatangi Pembaca dipenuhi dengan figur-figuran yang tidak terhubung langsung dengan dua karakter utama maupun dua topik utama. Meski di dalamnya dipenuhi narasi perihal buku, tetapi dari segi plot ia tampak dengan sengaja menjadi bagian yang terpisah, tak berkesinambungan dengan bab-bab lain. 

Pembaca terus-menerus dihadapkan dengan situasi berbagai rupa opposite ini yang kemudian memicu pertanyaan apa sebenarnya yang merekatkan keterpisahan atau ke-opposite-tan itu? Apa motif dari semua opposite yang disodorkan? Apakah pembaca akan menemukannya dalam novel ini? 

Selain menghasilkan nilai-nilai yang berseberangan, berbagai rupa opposite ini memunculkan paradoksal di sekitar hubungan antar tokoh-tokohnya. Pertama kehadiran Bolang itu sendiri begitu mudah diterima oleh penduduk desa. Betapa binatang yang secara penampilan dan perilaku makannya sangat ganjil ini cuma memicu keterkejutan sesaat bagi penduduk desa. Keterkejutan itu demikian mudah teredam untuk selanjutnya beralih rupa dengan penerimaan dan kekaguman yang tampak sangat berlebihan. Banyak penduduk yang sangat senang dengan kehadiran Bolang bahkan secara aktualisasi diri posisi Bolang jauh lebih melampaui penduduk desa. Ia dipercaya untuk ikut kursus buta huruf, kursus mengetik, dipercaya menjadi mentor untuk belajar membaca, dipercaya menjadi sekretaris desa, bahkan ditugaskan sebagai perwakilan dalam Kongres Kopi Dunia. Bolang melontarkan kritik terhadap dunia manusia yang dianggap sering sewenang-wenang terhadap binatang__dalam hal ini ia memberi contoh kasus tentang eksploitasi musang dalam industri kopi luwak__tetapi di sisi lain Bolang sangat diterima dan dihormati di dunia manusia bahkan diembankan berbagai tanggung jawab yang prestisius untuk ukuran seorang kera bertubuh rusa! Dibandingkan penduduk yang masih harus meraba-raba apa itu buku, apa itu tulisan, apa itu aksara. 

Pun dalam hubungan Bolang dengan Sariyah sebagai sesama tokoh utama, timbul pertanyaan apa sebenarnya yang merekatkan hubungan mereka? Bila kita tilik hubungan antara Sariyah dan Bolang bukanlah merupakan sesuatu yang berat timbal-baliknya karena Sariyah sendiri ialah seorang perempuan tua yang mandiri. Di usianya yang senja dia masih sanggup menempuh jalan puluhan kilometer untuk mencari biji kopi. Juga meski sesaat timbul kekhawatiran Sariyah akan hilangnya pelanggan akibat teralihnya perhatian mereka ke Bolang__yang terbukti kemudian hal itu tak terjadi__siratan konflik itu juga tak menyumbang kepada situasi yang bisa kita bayangkan adanya timbal-balik antara dua tokoh itu. Dengan kata lain Bolang dan Sariyah hubungannya bisa saja netral. Bantuan Bolang untuk usaha kopi itu juga tak begitu signifikan. Baik ada ataupun tak ada bantuan darinya, tak jadi soal sebab tanpa Bolang menjadi tukang angkut kopi pun, kopi buatan Sariyah tetap laris-manis dan dicari-cari pelanggan setianya.

Ideologi Pengarang   

Usai membaca novel ini, maka kita akan bertanya apa motif utama novel ini? Katakanlah apa yang menjadi tulang punggung utamanya? Bila kita membahas satu per satu dari sekian hal opposite yang disodorkan, maka akan ada uraian panjang tentang itu. Misalnya dunia kopi. Usaha kopi tradisional yang rinciannya bisa kita dapatkan dari novel ini. Begitu pula industri kopi modern, gambaran besarnya dapat menjadi informasi tambahan bagi pembaca. Adapun mengenai kehidupan di desa, sedikit-banyak tergambarkan dengan baik di novel ini. Terkait berbagai situasi berseberangan yang tidak berlangsung berkesinambungan namun menghuni satu semesta cerita yang sama, hal itulah yang kemudian menimbulkan pertanyaan apa sebenarnya yang kemudian dipertaruhkan dalam novel ini?

Kalau kita melihat ada banyak narasi yang begitu terang bisa teraba idenya, terutama pada pidato panjang Bolang yang sudah dapat pembaca temukan maksud utamanya, maka sangat terang pula bisa dikatakan novel ini sangat bertumpu pada ideologi pengarang. Sebab ia bertumpu pada ideologi pengarang maka narasi yang muncul ke permukaan menampakkan semua dengan jelas cita-cita pengarang novel atau bayangan ideal yang ingin dia capai dalam kenyataan termasuk apa yang menurutnya tidak ideal dan mengundang kritikannya terhadap hal tersebut. Bisa kita katakan ada rasa empati yang mendalam terhadap sosok perempuan tua yang hidup sendiri dan mandiri menunjang perekonomiannya diwakili oleh tokoh Sariyah dan Sar, minat terhadap dunia kopi yang dibangun masyarakat kecil, dunia literasi yang mestinya menjangkau banyak masyarakat desa, hidup binatang dan manusia yang bisa saling berdampingan tanpa mengeksploitasi satu sama lain, dan lain sebagainya.

Bayangan itu memang ideal dan sulit ditemukan dalam kenyataan sehari-hari sehingga kita akan menemukan banyak hal berseberangan, baik yang bisa saling mengisi maupun menimbulkan pertentangan baru. Itu sebabnya selalu ada jarak antara kehendak dengan cita-cita. Seberapa panjangkah jarak yang mesti ditempuh itu, seberapa absurdkah hal-hal yang mungkin timbul dari sana, barangkali sudah dapat diwakilkan oleh novel ini. Di sana kita banyak menemukan bayangan yang ideal, tapi tetap saja timbul jarak, tetap ditemui banyak bentuk yang opposite. Kemudian karena tak ada pilihan selain terus melanjutkan hidup atau cita-cita, kita pun melakukan perjalanan kembali. Boleh jadi pulang kembali ke diri kita, seperti yang dilakukan Bolang pada akhirnya ia meninggalkan cara-cara hidup manusia dan kembali ke hutan asal muasalnya. Meski di penghujung novel ini pun, kita masih diberi pertanyaan yang menggantung, setelah pulang kembali ke dalam muasal, akankah Bolang masih tetap bisa bertahan?  

***

*Iin Farliani penulis dari Mataram.