Puisi-Puisi Mohammad Isa Gautama

Orang-orang Bersorak

orang-orang bersorak
tak henti membahas tema
yang tak penting dan tak ada
di gerbong tinja

orang-orang menabung persangkaan
menyiram racun purba

menggunungkan sungai abu
mengaliri nadi
menghabiskan persediaan rindu
mencemari mimpi

tanpa percakapan
melempar luka
bersorak
setiap masa

 

Hujan Segelas Teh Telur

seseorang telah begitu sabar
menyimak jarum hujan
di pinggir gaun
bergelombang

membanjir ke rusuk jiwa
mematut putik
ranting jelaga

membakar restoran
tempat sepasang kekasih
menyedu aroma

bertengkar dalam kenangan
tentang kuning telur siapakah
hanyut menyisir cuaca

berbisik
membujuk prahara

 

Luka Kata (2)

sebidang awan luruh
di senja terlantar
kala sepucuk surat masih dikirimkan
menyelip antara alamat yang terlipat
dalam laci Tuhan

telah kita percakapkan
segala perang
tergagap mendekap keriangan
hanyut di batu runcing
menjilid kecewa luka
tak henti berlari
menjemput nanah lama

kawan dari masa lalu yang cantik
terperosok di rimba ultrasonik
menukar jantung dengan bom
mengeja gagap manusia
dalam baskom

 

Cuaca di Neraka

pagi-pagi suara paling merdu
bersenandung lirih
memagut pedih

pagi-pagi suara
merangkai ringkih

memadatkan daging
rel kejadian bertasbih

sore lindap, api mengeruh
orkestra dewa
mendaki napas menganga

ramalan cuaca resah berkabar
di langit tak berhujan
panas menjelma
sumsum angkara

 

Pada Sebidang Luka

setelah sibuk mencium luka
menyungai dari sesal sesiapa
kupotret pagi penuh serangga

gerombolan mayat bicara
di telepon pintar
dikirim jaring pertemanan

kerusuhan selalu ada
menanak puisi
tak berpenghuni

berpendar ngilu
serpihan napas
pengelana

 

Malam yang Mencair (2)

telah kuputuskan untuk tak menulis apa-apa
tentang kisah kita
karena malam yang basah oleh suara
menjelma gunung berapi purba

meledak di hari kering
menggusur sinar mentari juling
untuk apa saputangan sengaja kautinggal
jika tangis tak melata
merebus jiwa

mencair, menyusun kisah kerdil
pematang yang sama
kupaketkan rindu yang fana

beranjak diam-diam menjauhi lumut paras sesiapa
menempel, mengunci alamat
menunggangi haru
yang sengaja kau cecerkan
di rintih kereta

 

Badai Melintas

hidung sesiapa yang terjaga
kala badai melintas
orang-orang menjahit pelipis
menanam prahara

segunung dering merayu, serahkan masa silam itu
ke pendakian lorong biru
tidurlah dalam insomnia
lubang setan berapi

badai akan melintas selamanya
sepanjang kau hunjamkan mata
aku sibuk mematahkan cuaca
tersedak bergelimang cuka

tak henti menyisir sepi
semata demi kosong
kau tulis surat pada kasmaran
menggulai dendam
menanak kelam

kau benturkan cermin
sekadar ada manusia
menghuni seserpih ruang
dalam dada

 

Cinta di Tubir Bukit

pernah aku bercinta
ditingkah desah purba
memahat zebra
dalam dada

bersemayam di lereng pinggangmu
yang terminal resahku
di jalan setapak menuju bukit
kugali gelinjang menyempit

putik topan menyeringai
meraung menumpas janji
kau hamburkan debu cemara
menghapus bara diari

di kerisik daun kesumat
kau tukar cinta dengan duri larat
kulepas kapal penuh empedu
menyapih samudra ganas
tak bertuju

 

*Mohammad Isa Gautama, kelahiran 1976, mengajar di Universitas Negeri Padang. Menulis puisi sejak remaja, dimuat di Media Indonesia, Republika, Bali Post, Lampung Post, Jurnal Puisi, Indo Pos, Majalah Sastra Horison, borobudurwriters.id, balipolitika.com dan basabasi.co serta seluruh media cetak Sumatra Barat. Tiga buku puisi tunggalnya adalah Jalan Menangis Menuju Surga, (Basabasi, Yogyakarta, 2018), Bunga yang Bersemi Kala Aku Sunyi, (Bitread, Bandung, 2019) dan Syair Cinta tanpa Kopi (hyangpustaka, Cirebon, 2022). Emerging writer dalam ajang Ubud Writers and Readers Festival, 2017, juga terpilih dan diundang pada Borobudur Writers and Culural Festival, 2019. Dapat disapa di IG @migatama.