Puisi-Puisi Budhi Setyawan
Sajak Seperti Kuda
kata kata di dalam sajak ini
mestinya tetap gesit dan merdeka
seperti serombongan kuda yang melompat
menembus kabut melubangi pagi
menuju padang sabana
yang menanti
lalu memyambangi rumputan segar
yang kirimkan gelitik pada bibir
yang menyentuhnya
seperti ucapan selamat datang pada kekasih
puaskan, aku tak akan mengelak dari rakusmu
dan mengalir lancar darah di pembuluh
menyusun kekar otot ototnya
hingga mereka semakin menegak
lalu asyik berjingkrak
menciumi wajah matahari
Bekasi, 17 Maret 2021
Separuh Dongeng
sepasang penganut kepercayaan pada asmara,
berjanji bertemu di sebuan taman yang berjela. ada
bangku yang menunggu, juga bermacam bunga
yang wajahnya memekarkan waktu. jalan yang
mereka lalui tersusun dari ribuan andai, seperti
teramat mulus dan landai. ada gugusan gegas yang
terus memburu di benak, serta warna hari pun turut
kirimkan desak.
mereka mengeja harum perjumpaan, seperti sedang
melakukan koor dengan suara satu dan dua
bergantian. bersahut sahutan panggilan dan
penyebutan layaknya euforia anak kecil menemukan
mainan kesayangan. jangan ditanya seperti apa
kerajinan mereka dalam mencipta cumbu, cium dan
pelukan. seperti musim hujan yang keranjingan
mencurahkan basah pada segala lekuk bumi.
seperti tak sengaja atau memang demikian jalan
ceritanya, mereka melihat sebuah buku tergeletak di
rumput yang berwarna lucu. buku itu berjudul
dongeng kesetiaan, seperti pernah terlintas di kelok
angan. mereka pun berebut mengambilnya, ingin
memiliki dan menyimpan di dalam tubuhnya.
barangkali memang begitu, sebuah yang baru selalu
saja memancing terbitnya aku.
akhirnya buku itu lepas terbagi dua, masing masing
dari mereka mendapatkan separuh buku, dan
sepertinya sudah cukup untuk menjadi bekal yang
seru. mereka pun pulang ke alamat masing masing,
sambil menahan sekelumit pusing. dibakarnya dua
bagian buku itu oleh mereka, dan abunya mereka
seduh dengan air dingin lalu diminum segera.
seperti ada rasa segar meski tak seberapa besar.
di uluran jarak yang entah dibilang dekat atau jauh,
mereka tertawa, menertawakan yang hadir ganjil
saat berdua. bukankah selalu ada pertarungan dan
pertaruhan, selisih keberadaan, distorsi ingatan,
ambivalensi ruangan, kemudian disusul selebrasi
mitos mitos yang diawetkan kejumudan cuaca.
barangkali telah penuh tubuh oleh diri yang nanar
dalam diam terpeluk sangsi.
Bekasi, 8 Maret 2021
Barangkali Puisi Ini Tak Dapat Kau Maknai
sebenarnya kata kata itu telah pasrah saat mereka
tertangkap setengah basah, karena kau entah
sengaja atau memang diniatkan mengikuti mereka
yang sedang bikin kerumunan. mereka pun duduk
bersandar lesu pada dinding bahasa, seperti saksi
yang waswas menanti perubahan status jadi
tersangka. bahkan sebelum diinterogasi, terbit
keringat nyeri. terlintas bayangan menggigil oleh
tembok penjara yang dinginnya melebihi kutub utara.
sepertinya mereka hanya bercanda layaknya anak
anak muda yang kumpul kumpul bersama, tertawa
tawa dan melupakan nasib mereka yang selalu
dipaksa berada di lingkar intensi sepi. tetapi
tampaknya kau terlalu masyuk mengartikan apa itu
ketertiban dan subversi. mana mungkin mereka
merencanakan provokasi atau malah kudeta bagi
kenyamanan padamu yang kerap berubah atau
mungkin masih terperangkap di cita cita.
keterburuan persepsi batu yang kaubawa menutup
jalan jalan kecil yang seperti jendela untuk melihat
variasi warna dan gerak dari kemungkinan lema.
barangkali kau masih menyukai foto hitam putih dari
masa lalu, karena awet dan tak mudah lengket.
tetapi kau bisa jadi terlupa bahwa saat pengambilan
gambar itu pada masa kecilmu, lonjak ringan yang
kerap terbang bersama capung dan burung karena
tak pernah terbebani oleh kepastian apa saja.
Bekasi, 14 Maret 2021
Ketaksaan Urban
detik arloji berlari mengejar waktu, seperti pekerja
kantoran yang terburu. takut nanti terlambat, gaji
dipotong dan meletup ngiang ancaman dipecat.
segalanya ingin cepat sampai, mengubah ihwal yang
berjejalan di ruang andai. seperti itukah nujum
telangkai keberadaan yang terus saja pasi, jadi bulan
bulanan persinggahan nyeri.
siang adalah panggung terbuka pertunjukan yang
digelontorkan dari siasat dan rencana. tikaman
tikaman jarum jam menghunjam di dalam kepala.
gemeretak mesin mesin mengungsikan nyanyi angin,
aneka fragmen berseteru dalam garib warna
menyusun nyala. orang orang mudah terbakar oleh
kabar, tak cukup jarak buat menghindar.
adakah ingatan pada para urban, yang tunaskan
pertanyaan, semacam pengaduan untuk pengakuan.
tak ada liburan dalam labirin nasib yang mengelam.
langit sedikit menganga, saat malam mengulurkan
kata kata: bagimu aku siapa. mirip kerlap berahi,
hanya kilas kembang api yang lekas tumpas, padam
diredam hujan dini hari.
Bekasi, 6 Januari 2021
Syahwat Kata Kata
kata kata adalah serombongan kuda
berlarian lontarkan gelegak
menuju padang rumput terbuka
menjemput kesegaran yang disediakan pagi
dengan tarian berjentera uarkan nyali
dan matahari menyaksikan bagai dewa
dari langit dengan teramat asyiknya
selalu ada ketegangan
antara melepas dan mengekang
bagaimana bisa luaskan jelajah di luar sana
sekaligus tak melupakan istal yang setia
meski masih ada mitos menyisir surai
di leher yang jadi bagian dari penyaksi
pertarungan teramat alot dan liat
kecamuk ambigu yang menderu
kata kata adalah serombongan kuda
dalam bermacam warna
paduan ringkiknya menggetarkan
pacuan jantung malam yang betina
sementara ada bayang bayang
yang memanggil tafsir percintaan
mengisi pada derap belia yang dititipkan
dalam kamar temaram sebuah bahasa
Bekasi, 11 Januari 2021
*Budhi Setyawan, atau Buset, lahir di Purworejo, 9 Agustus 1969. Mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB), serta tergabung dalam Komunitas Sastra Kemenkeu (KSK) dan Komunitas Sastra Setanggi. Bekerja sebagai dosen. Saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, Indonesia.