Sardono, Pantai Cemara dan Migrasi Burung
Menjelang usia 80 tahun, penari Sardono W Kusumo masih keranjingan riset ke pelosok-pelosok untuk menggali ide-ide tarinya. Energi Sardono masih kuat untuk melakukan perjalanan yang tak mudah ke tempat-tempat terpencil nusantara. Tahun lalu dia menetap di Mentawai, bergaul degan para sikerei – dukun-dukun Mentawai dan mempelajari tatto Mentawai, sekarang dia mempelajari migrasi burung-burung di Jambi.
Tak banyak yang tahu dari bulan September sampai Desember tiap tahun ada fenomena alam yang menarik di Jambi. Ribuan burung-burung dari kawasan Rusia yang dingin terbang bermigrasi mencari tempat yang hangat. Dan mereka memilih Pantai Cemara Jambi untuk tempat tinggal sementaranya. Sardono ingin melihat ribuan burung-burung dari Rusia itu dan merekam suaranya. Sardono berniat membuat pementasan di situs Koto Mahligai Muara Jambi – situs yang masih dikelilingi hutan kecil bertema migrasi burung tersebut pada acara BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) November nanti. “Karya-karya saya selalu berbasis biodiversity nusantara,” katanya.
Tanggal 14 September lalu ia bersama komposer Otto Sidarta, dan ahli burung serta ekosistem hewan liar Dr Sunarto datang ke Jambi. Hari pertama di Jambi , Sardono bersama tim BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) langung melakukan survey di situs Koto Mahligai, Muara Jambi. Sardono tampak mengamati benar situs yang dikelilingi pohon-pohon Sialang tinggi besar berumur ratusan tahun itu. Esoknya, jam lima pagi dari sebuah hotel dekat Sungai Batanghari Jambi, Sardono, Otto dan Sunarto bertolak menuju Pantai Cemara. Mereka dijemput oleh Prof Mahdi Bahar- guru besar tari dan etnomusikologi Universitas Jambi, mantan rektor ISI Padang Panjang. Mahdi Bahar sahabat lama Sardono. Mereka pernah sama-sama pentas di Expo di Kanada dan pernah bareng-bareng mengunjungi air terjun Niagara. Mereka menuju Pantai Cemara menggunakan Jeep Rubicon milik Mahdi Bahar.
Perjalanan dari Jambi menuju Pantai Cemara cukup jauh dan menempuh medan yang sulit. Pertama-tama mobil harus sampai ke Kecamatan Nipah Panjang, Tanjung Jabung Timur. Durasi yang ditempuh mobil antara kisaran 5-6 jam untuk sampai ke sana. Kecamatan Nipah Panjang sendiri adalah kawasan historis karena pelabuhan Zabag – yang sangat dikenal pelaut-pelaut Cina dan Arab pada era lampau lokasinya di kecamatan itu.”Wah gila jalan ke sana sangat bergelombang. Meski kita naik Rubicon badan goyang terus,” kenang Sardono.
Sesampai di kecamatan Nipah Panjang, mereka makan siang dan jeep dititipkan di rumah seorang bekas mahasiswa Mahdi Bahar. Lalu rombongan melanjutkan perjalanan menyebrang sungai menuju bagian kawasan kecamatan Nipah Panjang yang lain. Rombongan menggunakan perahu ketek-ketek – perahu kecil yang biasa menjadi transportasi penyebrangan sungai di Jambi. Sampai di sebrang sungai mereka melanjutkan perjalanan menggunakan mobil warga.
Sebenarnya perjalanan menuju Pantai Cemara bisa melalui sungai dengan menggunakan speedboat, namun Sardono memilih jalan darat meski medannya susah karena masih jalan tanah liat dan penuh semak-semak sana sini. “Takut nanti speedboat tiba-tiba ngadat – berhenti di sungai dan kita tak bisa apa-apa,” kata Sardono. Kawasan yang akan dilalui kendaraan adalah kawasan Taman Nasional Berbak Sembilang. Taman Nasional ini dikenal sebagai habitat harimau Sumatra. “Kami lewat jalan dekat pemukiman agar aman,” kata Sardono. Perjalanan ke Desa Sungai Cemara berjam-jam karena jalan lebih mirip jalan setapak. Semestinya begitu sampai di Desa Sungai Cemara, untuk mencapai pantai bisa menggunakan sepeda motor. Namun saat Sardono sudah sampai di Desa Sungai Cemara, air laut sudah mulai pasang. Menuju Pantai Cemara harus menggunakan kapal nelayan. Meskipun ombak cukup kuat, rombongan Sardono kemudian mencari kapal nelayan dan menumpanginya menuju Pantai Cemara.
Sampai di Pantai Cemara menjelang maghrib Sardono Bahagia karena ribuan burung-burung asal Rusia itu masih ada di pantai, Sardono dan Otto mendekat ke kawanan burung itu. Otto merekam suara-suara burung itu. “Ini data langka,” kata Otto. Sardono dan Otto kurang lebih satu jam setengah mengamati burung-burung itu dan beranjak ke Desa Air Hitam Laut via kapal nelayan lagi saat hari sudah gelap. “Sesampainya di Desa Air Hitam Laut, para aktivis lingkungan dan peneliti-peneliti Taman Nasional berkumpul bersama kami dan berdiskusi bersama tentang ekosistem di sini,” kata Sardono.
Esoknya mereka balik ke Jambi . Beristirahat satu hari di hotel. Meski badan masih capek Sardono dan Otto masih semangat mengadakan workshop di Universitas Jambi. Otto membagikan rekaman suara burung-burung yang melakukan migrasi itu ke para mahasiswa musik. Dan meminta mereka menyimpannya di HP masing-masing dan kemudian mengajak membunyikan bersama-sama sahut menyahut . “Mereka nanti akan saya libatkan dalam pertunjukan,” kata Otto. Sementara Sardono, yang dari pagi setelah bangun dari hotel jalan-jalan ke pasar dan membeli perlengkapan nelayan seperti jala dan jaring-jaring membawa bahan-bahan itu untuk workshop dengan mahasiswa tari. Para mahasiswa tari disuruh bereksprimen dengan jala-jala nelayan sembari diiringi soundscape burung-burung yang direkam Otto,
Lebih 1200 tahun, candi Koto Mahligai tak dimasuki publik sejak zaman Sriwijaya. Dan nanti November di acara BWCF, Sardono dan Otto boleh dibilang seniman pertama yang menggunakan areal itu sebagai tempat pertunjukan. Mari datang ke Jambi November.
BWCF 2023