Puisi-Puisi Kurnia Effendi
RUMAH DOA BUKIT RHEMA
– dari sitar Ayako Veena
Tidak – tidak kudengar petikan dawai selain
doamu yang lenyap dalam nyanyian. Pelataran
– tempat kita meramu cinta – mulai kehilangan senja
Mahkota menangkap sulur surya penghabisan
Mengubahnya jadi berkah. Dan Sulaiman menolak
bala dengan mantra yang dipahatkan
Sesudah semua yang terang, kita sabar merayapi
lorong-lorong gelap. Ada singup surga dan bau
getah buah – mengingatkan pada hujah
Lalu diperkenalkan sebuah altar, tempat
harapan dihampar: “Ada apa dengan dosa?”
Tanpa hujan, bunyi petir terasa sangar di luar
Bukan – bukan sengaja aku absen pada kilau senyuman
Biarlah ia berlumut di wajah lukisan. Mungkin – pada
suatu kapan – akan membebaskan hukuman
Semadi belum selesai meski telah kautinggalkan
bangku batu. Keindahan wujudmu memaku indra
– Dan aku disulap jadi arca. Selamanya
2019
MENJELANG AMANJIWO
Biarlah Gunadharma berbaring tidur –
mendengkur – seumur-umur
Kita pamit dari Omah Mbudhur
Meninggalkan lembah menuju tanah dhuwur
Kita sedang memasuki istana, hilang suara
Melalui jendela, menyempit cakrawala. Hanya
pucuk sukma arupadhatu. Lebam membiru
Undakan tinggi menciutkan nyali
Namun yang kita cari ada di sini
: Suwung yang berisi
Titah, ya sebaris titah akan dirambah
Sebelum itu, hati kita digeledah
Mungkin menyimpan zarah –
Titik dendam paling merah
Bukan setanggi yang dinyalakan
Sebab kertak api akan mencederai iman
Di kolam bening kita tenggelam dalam
hening. Angin berdiam di pintu yang terbuka
Murka – sehelai demi sehelai – murca
2019
COOLING DOWN
Lewat jendela kita mudah memindai:
Angin yang patuh
Gerimis yang jatuh
Kemuning yang terbasuh
Tenggelamlah ke palung paling biru
Mengurai diri dari seteru
Kembali kepada taksu
Jauh setelah ngilu
Mata yang tak sanggup memandang
wujudnya
: sebuah anugerah
Pikiran tak mau menyerah
Cinta dibangun dari rumah
Ada saat kita menepi dari sengat
Tunas-tunas cemas datang dari
banyak celah, nyaris tak mampu
kita cegah
Dalam lengang perasaan, kita
bertanya:
Benarkah mereka musuh?
Yang kita halau dengan wisuh
Demam lahir dari jiwa keruh
Pada selarik cakrawala, kita ciptakan
ruang-ruang sederhana
Untuk memahami diri sendiri
2020
THE REAL SERENITY
Tak ingin kudengar lirih desau
lewat telinga – tak ingin kupandang
berkas silau dengan mata
Ragaku surut dari ingar-bingar
Ke dalam rumah yang jembar
Kubayangkan: sebuah dunia yang kosong
Kutolak cemas yang berisik dalam
pikiran – kuusir jeri yang hinggap di
rimbun perasaan
Pada ruang paling sepi: jantung
berhenti menghitung. Kumulai lagi
masa ketika belum diciptakan suara
Diam mungkin sebuah jawaban, seperti
hening mengatasi segala prasangka
– Dan cinta menggenapkannya
2020
DI BAWAH LINDUNGAN WABAH
Akhirnya kami kembali ke rumah
Sehari hingga waktu yang berakhir entah
Mungkin saat tak lagi tersisa remah
Cara-Mu asyik dan mengejutkan
Arogansi kami terusik, takhta berantakan
Siapa di antara kami yang mampu bertahan?
Di luar musibah, pastikan ini limpahan berkah
Tiada seorang pun luput dari hujah dan getah
Itu jika masih ingin kepada-Mu berserah
Perjalanan pulang yang dekat tertempuh jauh
Rongga pikiran penuh oleh hal-hal keruh
Kami masuk ke dalam meditasi, membasuh ruh
Cahaya kami ciptakan dari kegelapan
Meski tak sanggup membayangkan hari depan
Di bawah lindungan wabah: memintal harapan
2020
SOSROWIJAYAN
– Adri Darmadji Woko
Yogya kembali menemui musim hujan
Langit bermatahari
Percayalah
Ketika aku mulai (kembali) hafal jalan-jalan
hangat dan ketat di tulang belikat Malioboro –
semestinya menyala tanda bahaya
Seluruh cecabang gang akan jadi kenangan
Mbok gudeg di emperan, dapur yang memasak
sarapan di teras, sapa ramah perempuan bungah
– ah, mungkin malam Minggu tamu berlimpah
Pintu dan jendela kayu yang bertahan
rapat, penanda penghuninya masih penat
Dan sorot matahari membidik langkah yang
tak lagi kuhitung. Disambut ruap kopi dari
berbagai arah. Pagi sebagian tumpah, sebagian
merajah lengan yang bekerja gegabah
Losmen-losmen melepas hawa lembap
dengan citarasa tersendiri
Kuciptakan labirin bernama Sosrowijayan
agar punya alasan tersesat
Ketika di ujung gang lepas seluruh pandang
: tak ada lagi pasar kembang
2020
DARI 17.000 PULAU INI
Menguap segala harap menjadi asap
Siapa sungguh tahu muasal badai sakal?
Berpusing seperti gasing
Satu dan lain merasa asing
Kita alpa pada narwastu
: Akar yang mengikat batu-batu
Terbenam di ranah kalbu Ibu
Darahku, darahmu, satu rasa kaldu
Mengambang bimbang antara kiri dan kanan
Ke mana arus membawa hanyut harapan?
Jauh lubuk dari rantau, lepas dari jangkau
Sepucuk bendera membuat kasih cedera
Selat dan teluk memisah setiap nusa
Murka dan dusta berebut takhta dan mahkota
Andai pulau demi pulau disatukan lautan
Kita sepakat pada gurih semangkuk santan
Hampir lenyap gema mantra kaum muda
Tanah dan air kehilangan harga, jatuh merana
Wangsa berserak serupa gerabah pecah
Bahasa larut ke dalam pusaran labirin
Bahkan ketika tiba tamu tak kasat indrawi
Retas pula ikatan handai tolan
Bulan demi bulan tak henti jatuh korban
Saat ringkih, kembalilah, wahai Kekasih
2020
*Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis puisi dan cerpen sejak 1978. Menerbitkan 25 buku, 6 di antaranya berupa kumpulan puisi: Kartunama Putih (1997), Mendaras Cahaya (2012), Senarai Persinggahan (2016), Hujan Kopi dan Ciuman (2017), Percakapan Interior (2018), dan Mencari Raden Saleh yang beroleh penghargaan pustaka terbaik bidang puisi dari Perpusnas RI (2019). Tahun 2017 mengikuti program residensi penulis dan memilih Negeri Belanda untuk riset penulisan novel Pangeran dari Timur yang ditulis bersama Iksaka Banu, terbit Februari 2020.