Pirous
Oleh Syakieb Sungkar*
Pak Pirous itu seumuran ayah saya. Hanya bedanya, ayah saya sudah lama mati sedangkan Pirous tetap segar bugar sampai sekarang. Ia dilahirkan sebagai Abdul Djalil Saifuddin Pirous, di Meulaboh, pada 11 Maret 1932. Dugaan saya kenapa ayah begitu cepat meninggal dunia, karena: pertama – sudah maunya Tuhan, kedua – ayah saya berbadan gemuk. Sementara Pirous tubuhnya langsing. Hal lain yang membuat saya kagum adalah, daya ingat Pirous luar biasa kuat. Ia bisa menceritakan apa yang terjadi beberapa puluh tahun yang lalu. Itulah karunia Tuhan yang tiada duanya, diberikan umur panjang dan daya ingat luar biasa.
Ia juga mempunyai keunggulan lain: tulisannya rapi. Terlihat dari bahan-bahan kuliahnya yang ditulis tangan untuk persiapan mengajar. Tulisan tangan itu juga ada di belakang kanvas dari lukisan-lukisannya. Ada judul, ukuran, tahun pembuatan, keterangan media, dan tanda tangannya. Ia seorang yang well organized. Hal itu berguna bagi saya kalau ditanya oleh teman atau Balai Lelang, ini lukisan Pirous asli atau palsu. Selain saya mengamat-amati visual karya, saya juga akan membalik belakang kanvasnya. Para pemalsu sering lupa bahwa mirip saja tidak cukup dalam memalsu. Ada hal-hal ekstrinsik yang khas Pirous, yaitu spanramnya dibuat dari kayu yang baik, bukan kayu murahan, ada tanda tangan dan keterangan lukisan di belakang kanvas yang ditulisnya dengan spidol hitam. Ada juga pemalsu yang sedikit cerdas, tetapi tiruan tulisan di belakang kanvas sama sekali tidak mirip dengan tulisan tangan Pirous, sehingga pemalsuannya terbongkar.
Lukisan Pirous mempunyai periodisasi, saya kira hal ini jarang dikupas dalam pembahasan orang tentang karya-karyanya. Biasanya orang mudah sekali menyematkan kata “senirupa Islam” pada Pirous. Sebenarnya tidak serta-merta demikian. Karya-karya Pirous itu berevolusi. Karya-karya Pirous dengan kaligrafi, baru muncul di tahun 1970an ke atas. Dalam catatan saya, karya pertamanya yang berbelok ke kaligrafi Islam itu adalah karya grafis yang berjudul “Surat Ichlas” yang dibuatnya tahun 1970. Karya tersebut dipamerkan pertama kali dalam pameran “Group 18” di Taman Ismail Marzuki, tahun 1971. Katalog pameran itu juga menjadi bukti menarik kalau ada pertanyaan, siapa duluan yang membuat karya kaligrafi, Pirous atau Ahmad Sadali? Jawabnya adalah Pirous. Dalam hal kaligrafi, Sadali terlambat satu dekade dibandingkan Pirous. Karya-karya kaligrafi Sadali baru dimulai tahun 1981. Sebelum tahun itu, Sadali masih sibuk dengan Gunungan emas.
Kalau begitu, bagaimana corak melukis Pirous sebelum era kaligrafi? Corak melukis Pirous sebelum kaligrafi adalah bergaya campuran abstrak dan kubis dengan tone warna yang matang, cenderung gelap, namun menampilkan efek kombinasi warna yang cantik. Saya rasa itulah karya-karya lukisnya antara tahun 1960 sampai 1969, dan merupakan salah satu periode terindah dalam karir kepelukisan Pirous. Periode lain yang cemerlang adalah karya-karya periode Perang Sabil, yang dibuatnya di sekitar tahun 1998-2000, yang akan dibahas kemudian.
Hal itu dapat terlihat dalam karyanya yang berjudul “Pasar Pagi” (1960). Kombinasi warna orange dan kuning oker pada figur orang di pasar dengan background biru dan burn umber menjadikan karya ini sungguh indah. Ukuran karya-karya Pirous di tahun-tahun itu tidaklah besar, biasanya antara 60 sampai di bawah 100 cm saja lebarnya. Namun kecantikan suatu karya bukanlah dari ukuran, bagaimana ia dapat membuat pemirsa menjadi ‘masuk’ dan terbawa dalam suasana yang ingin disampaikannya justru jauh lebih penting. Kombinasi terang gelap pada gambar ingin memperlihatkan waktu kejadian masih pagi sekali sehingga orang-orang itu diterangi oleh cahaya lampu dari dalam pasar bukan dari matahari pagi yang saat itu belum muncul.
Karya “Pemandangan” (1967) adalah karya favorit saya di periode 60an, dengan dominasi warna merah menyala, dan bentuk pepohonan yang merupakan kombinasi kubisme serta abstrak. Itulah cara pengucapan Pirous yang brilliant tentang pemandangan yang dilihatnya. Apakah pemandangan itu “benar” atau tidak, menjadi tidak penting lagi, kita hanya mengamini saja bahwa ada kumpulan pohon berwarna merah dengan latar belakang langit berwarna abu-abu terang. Saya pernah melihat karya ini dipamerkan di Senayan, yang membuat sulit untuk berpaling meninjau karya-karya lain di sekelilingnya. Karya-karya bagus semacam ini memang butuh nasib baik untuk melihatnya. Pirous menyimpan sekitar 400 lembar karya terbaiknya, yang kelak akan dibuka semua kalau nantinya ada Museum Pirous. Namun sampai saat ini Pemda Bandung atau Pemprov Jabar masih belum terketuk hatinya untuk berkolaborasi dan menganggarkan sebuah Museum untuk Pirous. Maklumlah, kebanyakan birokrat di negeri ini tidak dididik untuk mencintai seni.
Kelemahan dari karya-karya Pirous tahun 60an adalah deformasi figur yang tidak elok. Anatomi sama sekali tidak diperhatikan (atau jangan-jangan ia tidak bisa membuat gambar yang anatomis?), sehingga mengingatkan saya pada karya-karya Jean Dubuffet. Hal itu terlihat pada karya “Pendjadja (Vendor)” (1968), dan beberapa karya lain yang senada. Kiranya dalam melihat karya-karya semacam itu, Pirous lebih menawarkan kombinasi warna dan imaji sebagai pengantar atas ide yang ditawarkan. Pemirsa banyak terbantu dari judul yang diberikan untuk ‘menebak’ apa maksud yang ingin disampaikan pada karya tersebut. Karya yang dominan coklat gelap dan burn sienna dari “Pendjadja (Vendor)” harus dilihat secara teliti agar terbayang mana kepala dan mana badan. Ternyata sosok gelap dalam lukisan adalah sebuah figur yang sedang membawa tampah di kepalanya. Terlihat tangan yang memegang tetampah agar tidak jatuh itu, merupakan gambaran tukang kue zaman dahulu yang berkeliling dari kampung ke kampung dan sekarang sudah tidak ada lagi. Saat ini orang lebih banyak menjual kue di kios atau toko.
Dengan latar penjelasan seperti itu kiranya pergeseran karya memasuki tahun 1970an sudah tepat, membawa Pirous sepenuhnya ke dunia abstrak, karena ia sejak semula tidak mengarahkan karyanya menjadi figuratif. Dan seperti yang sudah disinggung di awal bahwa kaligrafi Islam merupakan pembeda abstrak Pirous dengan abstrak ekspresionisme Amerika pada umumnya, menjadikannya pelopor pada genre itu. Pembeda yang lain adalah abstrak ekspresionisme didasarkan pada pemikiran atas keunggulan manusia yang menjadi setengah dewa dalam menafsirkan karya-karyanya sendiri, sementara abstrak Pirous adalah abstrak yang menyandarkan diri pada Tuhan, dengan menyitir ayat-ayat yang ada dalam Al Quran, dan kadang-kadang Hadits Nabi. Misalnya pada karya “Manusia yang Baik” (2005).
Karya ini menyitir sebuah hadits nabi yang berbunyi, Khairukum anfauhum linnas, yang artinya, “Sebaik-baiknya kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Hadits itu ditulis dalam tekstur tebal yang terbuat dari campuran pasir marmer yang direkatkan pada kanvas. Sementara background kanvas diberi warna merah darah dan hijau. Kanvas itu dibagi atas 3 bidang yang pada bagian tengah merupakan kombinasi orange dan kuning yang diberi penebalan tekstur. Dengan membuat karya kaligrafi seperti ini, maka Pirous terbebas dari melukis figur yang tidak terlalu ia kuasai, namun bagi pembaca yang mengerti bahasa Arab, maka pesan yang ingin disampaikan Pirous dapat langsung diterima. Sementara bagi pemirsa yang tidak mengerti makna di balik karya tersebut, akan tersihir melihat kombinasi warna dan permainan tekstur yang diciptakan pada karya ini.
Berbeda dengan karya-karya di periode 60an, karya-karya Pirous tahun 70an ke atas menggunakan warna-warna yang cerah dengan kombinasi yang berani. Dugaan saya ada beberapa sebab. Sebab pertama adalah dengan bergantinya zaman ke Orde Baru, yang membuat ketersediaan cat tidak mengalami kesulitan seperti dulu. Analogi yang sama terjadi pada penggunaan kanvas-kanvas ukuran besar, karena bahan kanvas di tahun 70an ke atas lebih mudah didapat. Sehingga Pirous lebih leluasa bereksperimentasi dengan warna dan medium. Sebab kedua adalah situasi ekonomi Pirous jauh membaik, karena posisinya menjadi dosen terkemuka di Senirupa ITB serta dibentuknya Decenta, perusahaan design yang dipimpinnya, yang banyak mendapat cipratan order dari proyek-proyek pembangunan di era booming minyak (dan kemudian booming senirupa yang mengikutinya). Menurut saya, ada hubungan antara keceriaan hati dengan pemilihan warna-warni yang lebih genit di zaman Orde Baru. Ketimbang warna-warna dulu yang cenderung gelap, di mana selain kesulitan cat ada kaitannya juga dengan suasana hati yang susah di zaman Orde Lama.
Salah satu mutiara di periode post-60 adalah karya “Iluminasi Warna, Gereja St Marco” (1997), yang dapat menunjukkan bagaimana Pirous telah menunjukkan kemaestroannya memainkan warna. Kaca patri dari jendela gereja St Marco dibuat berwarna-warni dengan aksen merah, ungu dan biru, sementara pada bagian dinding diberikan warna kontras coklat gelap dengan sentuhan kuning emas pada bingkai tembok di pinggiran jendela.
Karya “Sebermula Surat Itu, Iqra” terbagi atas dua bagian, yaitu pada bagian atas adalah surat Al Alaq ayat 1 sampai 5, sedangkan pada bagian bawah yang diberi demarkasi oleh garis hitam adalah terjemahan surat itu dengan menggunakan tulisan Arab Pegon (bahasa Indonesia dengan aksara Arab).
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)
خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)
عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Berikut adalah potongan bagian bawah dari karya “Sebermula Surat Itu, Iqra” yang ditulis dengan Arab Pegon:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,
Yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.
Karya ini sangat indah dan menunjukkan upaya penggalian Pirous atas modernisme yang berakar pada tradisi telah berhasil. Dahulu ia pernah mengatakan karya-karyanya terinspirasi oleh nisan kuburan kuno yang ada di Aceh. Saya melihat karya ini seperti batu bertulis, suatu statement para Raja, dalam hal ini statement Tuhan, surat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang dipahat pada batu, atau diukir pada tembikar. Warna tanah pada latar belakang mengkonfirmasi kesan yang ingin diciptakan Pirous atas kenangannya pada masa lalu.
Ia mengatakan dalam bukunya, “A.D. Pirous – Vision, Faith and Journey in Indonesian Art, 1955-2002”, bahwa bakat seninya didapatkan dari ibunya, seorang asli Aceh yang sangat ahli menyulam di atas kain, beludru, lakan, dan kain sutra dengan benang-benang emas yang digunakan dalam upacara perkawinan dan sunatan. Sehingga wajar jika ia sering berkonflik dengan Ries Mulder, gurunya di ITB, yang berusaha mencangkokkan senirupa Barat ke dalam dirinya. Penolakan atas Reis, mengantarkannya pada era baru pasca penolakan propaganda Realisme Sosialis. Di mana 1970an adalah tahun yang penuh dengan eksplorasi dalam senirupa Indonesia. Selain Pirous yang menggali kembali tradisi Aceh, ada Mochtar Apin yang bereksperimentasi dengan batik, Abas Alibasjah yang melukis Totem, Ahmad Sadali yang membaca ulang gunungan orang Jawa, Widajat dengan flora dan fauna, Gregorius Sidharta serta Sunaryo yang menampilkan citra Irian dalam karya-karyanya. Tahun 1970an adalah tahun yang hiruk-pikuk dengan dekoratisme berbau tradisi dan kepurbaan. Sebagai arus balik sekaligus sintesa serta respon terhadap seni Bandung dan Jogja. Hasil dari konstelasi itu semua telah menjadikan karya Pirous terpilih dalam lima besar juara pada Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) yang diselenggarakan oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta pada 18-31 Desember 1974 di Taman Ismail Marzuki.
Memang menciptakan karya bertekstur dengan menggunakan campuran pasir merupakan sesuatu yang baru ketika itu. Di tahun 70an, setidaknya kita mengenal empat perupa Bandung yang intens melakukan pengolahan medium dengan menggunakan tekstur pasir ini: Sadali, Pirous, Sunaryo, dan Umi Dachlan. Selanjutnya, gaya ini diikuti oleh lingkaran yang lebih luar, seperti Abay Subarna dan Heiyi Makmun. Tidak begitu jelas dari mana ide pembuatan tekstur dengan medium pasir seperti itu, walau ada variasi di sana-sini, Sunaryo, misalnya, menggunakan butiran pasir yang lebih besar, sehingga teksturnya terlihat lebih kasar. Kemungkinan besar mereka terinspirasi oleh seniman Spanyol, Antoni Tapies (1923-2012), yang juga bertolak dari dari medium yang serupa. Kelemahan karya-karya Pirous pada pasca 1960, adalah penggunaan penggaris sehingga dalam beberapa segi, eksekusi karya terlihat lurus namun kaku. Mungkin hal ini terjadi karena pembawaan Pirous yang well organized, sehingga ia tidak ingin ‘salah’ dalam membangun bidang dan kombinasi warna yang menyertainya.
Kini tibalah untuk membahas suatu periode yang istimewa dalam kesenimanan Pirous, yaitu periode Perang Sabil. Periode ini dimulai pada tahun 1998, ketika Orde Baru tumbang. Pirous terlihat lebih bebas dalam membuka pemikiran tentang karakteristik kejuangan orang Aceh, dan menuangkannya dalam lukisan. Pengolahan unsur-unsur Aceh yang awalnya lebih banyak berorientasi pada elemen etnis dan kepurbaan kemudian berubah bentuk menjadi semangat perang dan perjuangan. Dengan itu ia membangun narasi kemarahan dan rasa ketidakadilan atas kekerasan yang terjadi terhadap orang Aceh dan GAM yang berlangsung selama Orde Baru berkuasa. Beberapa karya yang diciptakannya antara tahun 1998 – 2000 penuh berisi simbol-simbol berupa kitab hikayat Perang Sabil, bait-bait puisi Aceh, rencong, cipratan darah, serta sosok Teuku Umar yang sedang memegang pedang seperti pada karya “Suatu Ketika Ada Perang Suci di Aceh: Penghormatan kepada Pahlawan yang Gagah Berani, Teuku Oemar, 1854-1899” (1998). Tulisan Arab Pegon yang menyertai karya-karya pada periode tersebut sangat rapi, walau hurufnya kecil-kecil tetapi memberikan aksentuasi yang pas disertai cipratan cat yang merah darah. Kiranya karya-karya semacam ini telah meninggalkan dimensi kontemplatif yang telah dibangunnya sejak tahun 1970 sampai 1997.
Namun hal itu tidak lama, Pirous kembali meditatif setelah kemarahannya lewat. Terlihat dalam karya “Keramik di Pantai Aceh” (2008). Ia mengambil potongan-potongan keramik yang terangkat ke atas ketika terjadi Tsunami di Aceh pada tahun 2004, untuk kemudian dijadikan ornamen lukisan. Memandangi lukisan itu seperti kita melihat dasar laut dari atas pada pantai yang bening. Permainan terang gelap pada bidang putih dengan bercak-bercak coklat muda telah berhasil menggambarkan kontur yang cetek dan berpasir. Dan saya sudah tidak tahu lagi apakah karya ini dikategorikan sebagai abstrak atau realis, karena gambaran tentang pantai yang diciptakannya terasa nyata.
Pada hari lahirnya yang ke 90, ia merayakannya dengan pameran bersama 14 seniman muda di Serambi Pirous. Pirous terlihat sehat mengenakan rompi dan topi, bergerak lincah ketika mematikan lilin ulang tahun dengan kertas yang dikibas-kibaskan tangannya. Tidak ada tanda-tanda keuzuran sama sekali. Suatu kebahagiaan bagi seorang seniman jika ia menjadi panutan seniman yang lebih muda dan karya-karyanya menjadi objek studi generasi di bawahnya. Selamat ulang tahun Pak Pirous.
*Penulis adalah kolektor seni rupa.