Puisi-puisi Mohammad Isa Gautama

TABEK PATAH

merasa diri belum juga punya tambatan perasaan
datanglah ia ke tepi jurang
dipandangnya awan yang mengabut laksana kapas
terayun membuhul kesunyian

sejarah cinta sudah dijilidnya
tak akan diterbitkan lagi
di tepi jurang ia berfoto dengan masa silam
agar dipampang di keramaian

hampir ia terjun lantas terbenam, tak kembali pulang
karena di Tabek Patah semua orang menunggu kabar
seperti menunggu perahu Malin Kundang
merapat di keriuhan zaman penuh gambar

orang-orang bersorak, bukan demi harta karun
orang-orang menggerus layar perahu yang robek ditembus angin
dari paru-paru penuh lubang
radiasi knalpot digital

merasa diri belum juga punya dunia yang penuh taman
ia terjun, orang-orang telah lama pulang
di pinggir jurang celana trendinya tersangkut ranting
wartawan bertanya-tanya, kendaraan apa sampai ke sana

 

PANTAI PADANG

dulu ada sepasang kekasih melempar air mata ke gugusan buih
dilipatnya berita yang mengabarkan kapal pembawa legenda
Siti Nurbaya yang semakin cantik di kaki awan gunung Padang

dulu ada sebo seorang penyamun yang lewat mengendap
tak jauh dari penjara Muara, semakin berkarat oleh sumpah serapah
setelah ratusan tahun kau jilat wajah penjajah

dulu ada sepasang cinta yang terlepas dari sangkarnya
tersangkut dalam bongkahan sampah Desember, saat angin mendingin
dan luka nelayan belum mengering

seperti pantai yang menangis disayat dendang
menyelusup setia membungkus jarak
si buyung belum kenyang memahat jejak

 

SAWAH RAMBATAN

pada suatu sore yang tak berpelangi
zaman telah dibentang dalam kamera
kau dan aku berpose begitu hebohnya
di sisi pematang sawah menguning

orang-orang menertawakanmu dari balik jendela mobil terbaru
untuk apa menyuap dunia dengan bulir-bulir padi
saat tidur selamanya di ruang khayali

begitulah, anakku yang semakin mengerti pahit kopi
meronta mengajakku berfoto berlatar sawah jingga
berenang ia ke lubuknya
lengkap dengan tatapan tak sabar menantang dunia

di ketinggian lazuardi sepasang merpati menjatuhkan kotoran
hinggap di kacamata rayban tiruan
kakiku berselancar, tusukan duri nasib menjalar pelan-pelan
ke sisi terjauh masa yang hilang

gugup menerjemahkan pandangan
harapan tercabik
melimpah dari senyum
gadis Rambatan

 

KAWA DAUN

minumlah, agar kau rasa aroma paling suci
mengalir dari pinggang Marapi
bicaralah dengan hati paling murni
lantas boleh kau caci seluruh luka hari

minumlah, anak-anak petani yang memungut daun kopi
adalah manusia paling kaya
dirinya tertanam jutaan sengketa
lapisan-lapisan sejarah yang menjadi tanah

minumlah, sebelum menderu di atas knalpot
membelah angkasa dengan amarah
seluruh mimpi akan jadi sunyi
kala kau jejali kerongkongan dengan lumpur pematang

ceritakanlah, dunia hanya senda gurau belaka
dan tempurung yang kau genggam demi kawa
sudah lama kau berenang dan mandi di jantungnya
mabuk memupuk air mata dan tawa

 

ORANG BUNIAN

orang-orang lupa, di malam yang ramai penuh pesta
ia duduki singgasana, dikipas dayang jumawa
lantas mahkota berpindah, dendang menyayat
cinta mengesat

orang-orang mendewakannya, raja-raja menemukan dunia
almanak robek membebaskan masa silam
ia duduk melipat kaki, tarian menenggelamkan desah serangga
begitulah malam yang tak pernah menjadi malam di malam yang lain

orang-orang merakit layangan, menerbangkannya di lembah tak terperi
jalan yang ditempuh menitip berita tak terbaca
pohon-pohon melambai tapi tak berdaun tak bertangkai
ia hapus huruf-huruf seperti menjemur pakaian usang

berkacalah ia di cermin retak, orang-orang meniup ngeri
di luar lapangan penonton bersorak, pertandingan hampir mati
orang-orang tak lupa, di malam penuh elegi
ia lontarkan puisi lama

hanya terbaca di nirwana

 

PONGEK SITUJUAH

di sini kita amankan kesedihan
karena hanya ada kelezatan
parkirkan seluruh airmatamu di sisi gerbang
agar sauh ditambatkan dalam-dalam

kita bicarakan seluruh impian yang belum terjaring
karena impian yang dulu kau tawarkan sudah lama mengering
kita susun lagi jalan yang di sisinya ada bunga-bunga membuah
agar cara kita memahami dunia ini berkecambah dalam gairah

di balik gunung yang hijaunya kadang mengabur
sambutlah kata-kataku yang malu
karena rimbun puisi yang kau masak di balik sunyi
telah tersampaikan oleh merpati yang tersesat di sudut kamar

lantas kau terbang ke diri sesungguhnya
di mana seluruh umpat dan cela adalah biasa
lantas kau surukkan kelezatan dalam sejarah
berharap suatu kali kau sampai ke sana

lengkap dengan puisi yang tak sudah

 

LEMBAH ANAI

apa yang tersembunyi di balik hutan, hanya kesunyianlah yang tahu
karena kesunyian lewat di depan hidungmu tanpa permisi
lantas mengantarkanmu pada perjalanan misteri
yang kelokannya tak pernah bisa kau pahami

apa yang bersembunyi di balik samudera daun, hanya jantungmulah yang tahu
karena telah kau baringkan seluruh kecewa dalam rabu yang marah
diam-diam suara hujan membuatnya lebih tajam
agar masuk ke dalam kamar angin yang memiuh rasa rindu

apa yang lebih dingin di balik malam bergelimang doa
hanya sukmamulah yang paling tahu
karena doa-doa tak akan kembali ke ceruk jiwa
usai kau tinggalkan terbata tanpa kawan bicara

di musim yang jauh
kala kau ragukan detik berdetak lamban
mengisi pori-pori waktu

 

PEREMPUAN SUNGAYANG

jalan berkelok, masjid Baiturrahman
hawa pandemi berebut berkelindan
menyusun perangkap
sesiang itu, menyelusupkan pengap
tumpah di lipatan alis
amai Sungayang

akan diantarnya lapek sarikayo, buih senda anak dara
berangkat besar mengaji
menyusur titian sawah
sumringah merajut diri
jauh di rantau tak sudah

menanti musim haji, melewakan syukuran
doa-doa dirapal setelah lama diperam
berita menghimpit
bagai rendang diulang masak

semusim lewat berbaris-baris pergi
berangkat dihalau Corona
senyum perjaka menghampa
terserak di Gunung Ketumba

melipat suratan pelan-pelan, mengusir rindu
gerimis tak henti mengiris
kenangan kado bersulam emas
mulai berkarat di jenjang pelaminan

 

DURIAN SUNGAI TARAB

telah kuhalau kabar tentang dirimu yang meriang
tengah malam, dihantam Corona entah
duri menghadang, membunuh igauan
rusuk dunia penuh perang

telah kucecap manis raja buah segala
dagingnya lembut menggapai langit-langit palatum
mengalir menyusur kerongkongan
tempat segala serapah
hinggap, hidup, melata
menghela umpat dan carut
segala yang pernah terpuruk

telah kufoto seluruh santapan yang kau kirim
ke layar gawai
merajuk tawa lebar kala kau tatap
serentak berharap awan hitam berangkat
ke sarang abadi
tanpa mau melintas menebar sedih
di kampung dan pematang sawah
ketiak Marapi

telah kutulis riwayat perkasihan
antara dirimu dan hijau pohonan
berbaris lampai menembus masa depan
mengalir di sungai belakang Tigo Batua
menghembus hawa gunung agar dapat kau simpan
seluruh rindu dan gelinjang dendam
pada cinta suatu masa yang tak sampai

telah kupanah huruf-huruf melayu
di bulir oksigen
kala mata berair, jiwa tercabik
hama berkecipak
menebas jadwal panen

 

KACANG SAWAH TANGAH

berjalan dari puncak gunung
menjemput samudra sawah
singgahlah di kebun kacang meranum
tak jauh jalan menurun
di masjid Ridha melengkung
tabah jadi saksi
hujan-panas berganti-ganti

meski lebaran tiada yang pulang
begitu riuh duri virus meradang
menghambat roda berputar, kibasan sayap besi
masa depan belum tentu berseri

padahal telah kumasak selaksa pasir
kacang yang kau pesan sebelum paham bercinta
di rantau yang menghampar sepi
pusaran gunjingan tak penting
namun kau kuliti

maka tetaplah menyusun rencana
demi langkah yang ingin juga diayun
detik-detik bersegera mebuyarkan prakiraan cuaca
kadang harum kadang beracun
kau pun lelah bersembunyi
dari gerayang penyamun

demi renyah dan rapuh yang kau gelimang
di rawan geraham
tetaplah berjaga di kelok simpang Simabur
menanti kabar baik berhembus
di sisi debar dan senyum
meramai mengendap di bayang-bayang jatuh
lindap menyaran rangkiang menahun

angin pun tak penat berkesiur
melukis warna tak pernah penuh
dalam gelombang keruh

 

GADIS LINTAU

kita bersua, suhu meraja
serangga meruah di jingga senja
songket Lintau melambai mesra
aku terpana mencari kata
tak siap berlaku seperti apa

selain menepi dalam diri yang belum menjadi
berharap kecambah yang kau rekah
tak hendak mengucap cinta
karena di balik bukit Marapalam yang kokoh
segalanya telah terkatakan
menitip di kesiur burung penggoda sawah

lantas kau hidang kue talam
sekadar meningkah percakapan hampa
kau ulur segelas teh telur madu
penuh, busanya melimpah mendudu
mesti kuseruput dengan jiwa bahagia
terbayang kau racik sumringah
masa depan melempang namun belum tentu arah

orang berbondong ke surau, azan menabuh
ayahmu berbisik, merapal kata tak terdengar
dirimu beringsut ke belakang, membiarku terpaku

alam mengelam
rindu belum tertuju

 

Mohammad Isa Gautama, kelahiran 1976, mengajar di Universitas Negeri Padang. Menulis puisi sejak remaja, dimuat di Media Indonesia, Republika, Bali Post, Lampung Post, Jurnal Puisi, Indo Pos, Majalah Sastra Horison, borobudurwriters.id, dan basabasi.co serta seluruh media cetak Sumatra Barat. Jalan Menangis Menuju Surga, (Penerbit Basabasi, Yogyakarta, 2018) dan Bunga yang Bersemi Kala Aku Sunyi, (Penerbit Bitread, Bandung, 2019) adalah dua buah buku puisinya yang sudah terbit. Pada Sebuah Khuldi (kumpulan Cerpen) akan diterbitkan Penerbit basabasi tahun ini, menyusul kumpulan puisi Syair Cinta tanpa Kopi (hyangpustaka). Emerging writer dalam ajang Ubud Writers and Readers Festival, 2017, juga terpilih dan diundang pada Borobudur Writers and Culural Festival, 2019.