Mahatma Gandhi

Sheikh Jarrah dan Politik Apartheid Israel

Martin Buber, filsuf dan rohaniawan Yahudi – pengarang buku:  I and Thou yang terkenal pernah menulis surat kepada Mahatma Gandhi mengenai masalah Palestina. Suratnya itu merespon surat terbuka Gandhi yang ditulis Gandhi pada 26 November 1938. Dua kali Gandhi menyatakan pikirannya mengenai Palestina, yaitu  tahun 1938  dan tahun 1946. “Apa yang terjadi sekarang ini di Palestina tidak bisa dibenarkan oleh aturan moral manapun. “Pada suratnya tahun 1938 itu Gandhi mengecam gagasan pulang para zionis yang menimbulkan pengusiran penduduk Palestina dengan dukungan kekerasan. “Tindakan atau panggilan religius apapun tak bisa dilakukan dengan dukungan bayonet dan bom.” Pada surat itu Gandhi menekankan agar para kalangan politisi Israel memegang prinsip non violence. “Orang-orang Israel baru bisa mendiami tempat itu apabila diterima secara baik dan terbuka oleh Arab,“ tulis Gandhi. 

Mahatma Gandhi

Mahatma Gandhi

Surat Gandhi dan respon Martin Buber atasnya itu masih relevan untuk kita baca hari-hari ini.  Pada tanggal 24 Februari 1939 dari Yerusalem dengan gundah –dan setengah reaksioner Martin Buber menanggapi surat terbuka Gandhi itu. Ia memulai suratnya dengan kata Dear Mahatma Gandhi… Buber mengritik Gandhi yang menyamakan penderitaan bangsa Israel dengan penderitaan keturunan India di Afrika Selatan sebagaimana disaksikan Gandhi di Afrika Selatan.  Menurut Buber perbandingan itu tak sepadan. “Kami—orang Yahudi berabad-abad mengalami persekusi, perampokan, penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan. Dan kamu Mahatma Gandhi mengatakan itu sama dengan kondisi warga India di Afrika saat kamu melancarkan aksi Satyagraha di sana. Saya membaca dan membaca ulang lagi kalimat-kalimat di artikelmu tanpa bisa paham. Saya juga  kembali membaca pidato-pidatomu dan tulisan-tulisanmu di Afrika selatan. Apakah kamu tahu seperti apa itu kamp konsentrasi Yahudi dan apa yang terjadi disana? Apakah kamu mengerti penyiksaan dan pembantaian orang Yahudi di kamp-kamp  konsentrasi?” 

Martin Buber adalah pendukung Zionis tulen. Buber lahir di Vienna tahun 1878 dan wafat tahun 1965. Dia bergabung dengan Organisasi  Zionis Dunia segera setelah organisasi ini berdiri tahun 1897. Pada tahun 1898 di kampus Universitas Viennna dia mendirikan Organisasi Mahasiswa Yahudi. Pada tahun yang sama dia mendirikan organisasi Zionis di Leipzig. Setelah lulus dari Universitas Vienna dia bekerja beberapa bulan sebagai editor Die Welt, koran resmi Zionis. Tetapi pada tahun 1902 dia keluar karena memiliki perspektif berbeda dengan tokoh utama gerakan Zionis  Theodore Herzl. Antara tahun 1916-1924 – setelah memperoleh beasiswa mempelajari Hasidisme – mistisisme Yahudi,  ia menjadi editor Journal Der Jude. Di situlah pada tahun 1923 dia menerbitkan bukunya yang sangat tersohor: I and Thou. Pada tahun 1920 an itu ia bersama Franz Rozenweig juga menerjemahkan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Jerman. Pada tahun 1938 – setelah 15 tahun mengajar filsafat agama di Universitas Frankfurt, ia dicopot. Seluruh karya-karyanya dilarang. Ia lalu memutuskan kabur ke Palestina, mengajar filsafat sosial di Universitas Hebrew di Jerusalem sampai pensiunnya. 

Martin Buber

Martin Buber

Buber mengikuti proses gagasan-gagasan pembentukan negara Israel sedari awal. Baginya diaspora Israel yang terlunta-lunta berabad abad dan disana sini mengalami persekusi berhak memiliki ibu pertiwi sendiri. Menurut Buber kultur anti semitisme yang tak pernah padam selalu menjadi hantu menakutkan bagi warga yahudi. Maka dari itu bagi Buber, keinginan warga Yahudi memiliki negara sendiri dimana anti semitisme tak ada adalah masuk akal. Israel bangsa yang unik. Israel menurutnya memiliki hak untuk mengatur kebudayaan, religiusitas dan spiritualitasnya sendiri –sesuatu yang mustahil terjadi apabila bertempat tinggal di tanah orang lain. Pandangan Buber tentang negara lebih bersumber dari Biblikal daripada politik. Buber menginginkan negara Israel  adalah negara yang sehari-hari warganya sadar keunikan sejarah bangsanya dan memiliki cara pandang dan cara hidup yang spiritualis. Buber tidak setuju dengan sikap tokoh pendiri Zionis Theodor Herzl yang terlalu politis dan tak menganggap penting kebudayaan atau spiritualisme Yahudi. 

Buber mendukung gagasan bi-national atau dua negara. Ia beranggapan bahwa nilai-nilai spiritual Yahudi mampu merealisasikan gagasan hidup berdampingan dengan kesetaraan hak antara masyarakat Yahudi dan Arab. Buber memperjuangkan pikiran bi-national ini dalam sebuah organisasi politik kecil bernama Brit Shalom yang didirikan tahun 1925. Grup ini sangat kecil – anggotanya tidak mencapai seratus orang, namun sangat berpengaruh. Salah seorang pendukung grup ini adalah Albert Einstein. Buber senantiasa menyuarakan pendapat bahwa tujuan spiritualitas dan moral yang tinggi dari masyarakat Yahudi tak akan tercapai bila Israel tak memberi tempat kepada Palestina. 

Kepada Gandhi – Buber mengatakan bahwa memvonis saja tidak akan menyelesaikan masalah yang kompleks. Menurut Buber yang harus dilakukan adalah bersama-sama terus menerus mencari cara-cara baru untuk mewujudkan rekonsiliasi penuh damai. Buber terlihat agak emosi saat Gandhi menyatakan bahwa bangsa Arab adalah pemilik tanah Palestina yang sah dan memperingatkan Gandhi bahwa klaim demikian juga dikarenakan sejarah penaklukan dan  pendudukan Turki dan pendudukan Mamluk selama ratusan tahun. Buber terasa menghindari pembicaraan soal kekerasan yang terjadi dengan mengatakan bahwa di India pun akar kekerasan juga belum selesai. Ia mengatakan kepada Gandhi: “India, kau katakan tumbuh dari kultur anti kekerasan. Tapi setahu saya Mahabrata adalah sebuah epos yang penuh kekerasan. Dalam Bhagavad Gita – Arjuna mulanya menolak terlibat pertempuran – karena ia tak ingin berdosa membunuh sepupunya sendiri. Tapi Tuhan dalam Bhagavad Gita menyebut sikap Arjuna merupakan sikap tak ksatria dan memalukan .”

Gandhi agaknya tak merespon balik apa yang ditulis Buber menanggapi suratnya. Tapi  pada 21 Juli 1946 – setelah PD 2 selesai, Gandhi kembali mengungkapkan pikirannya mengenai Palestina dalam sebuah artikel. Dari kota Panchagani dia menulis surat terbuka lagi. Gandhi tetap konsisten mengkritik keinginan Israel untuk merambah Palestina. Gandhi menyoroti bantuan dana Inggris dan Amerika di belakang upaya pendirian negara Israel dan kekerasan-kekerasan serta pengusiran terhadap warga Palestina sebagai sebuah terorisme. Seperti surat pertamanya, Gandhi memperingatkan Israel agar selalu bertumpu kepada asas non-violence dan Satyagraha. Yang demikian itu menurut Gandhi sesuai dengan ajaran yang ada dalam teologi Yahudi sendiri. Dalam suratnya ke Gandhi sendiri pada tahun 1938 itu, Buber sangat optimis bahwa perdamaian memiliki prospek. Dia berharap akan terjadi di masa depan suatu koeksistensi damai antara Israel-palestina. Dalam tulisannya berjudul: Martin Buber: Philosopher of Dialogue and the Resolution of Conflict, Prof W John Morgan mengatakan Martin Buber percaya bahwa dialog merupakan bagian integral dari humanism Yahudi. Bagi Buber, dialog seharusnya menjadi prinsip moral utama yang memandu komunitas Yahudi di Palestina. 

Martin Buber

Martin Buber

Tapi kini hidup koeksistensi penuh damai yang diharapkan Buber itu makin jauh dari panggang api. Ide tentang hidup berdampingan yang tenang semakin menyempit. Israel makin menunjukkan agresinya di Sheikh Jarrah. Pencaplokan-pencaplokan pemukiman Palestina di Sheikh Jarrahlah yang kemudian menyulut kerusuhan di Aqsa dan membuat perang tak seimbang baru-baru ini terjadi. Sheikh Jarrah adalah kawasan yang dihuni mayoritas Arab Palestina dan berjarak hanya 2 kilometer dari kota tua Yerusalem. Pada tahun 1948, puluhan keluarga Palestina yang tergusur dari Yafa dan Haifa usai perang 1948, diizinkan mengungsi ke kawasan ini oleh Yordania, yang saat itu menguasai Yerusalem Timur. Pemerintah Amman saat itu berjanji memberikan sertifikat kepemilikan lahan kepada para pengungsi. 

Namun saat Israel tahun 1967, merebut di Yerusalem Timur mereka menganggap seluruh pemukiman di situ legal milik organisasi Yahudi. Sejak itu pembangunan permukiman bagi warga Yahudi terus muncul hingga mencapai 200 ribu perumahan. Israel juga memiliki peraturan yang membolehkan akuisisi tanah untuk kepentingan publik. Hukum Israel mendukung orang Yahudi yang kehilangan harta benda di Yerusalem Timur pada 1948 untuk mengklaim kembali harta miliknya. Sebaliknya, UU tersebut tak mengizinkan warga Palestina untuk mengklaim kembali properti mereka yang hilang di Israel pada 1948. Sejak itu, warga Palestina di Sheikh Jarrah diperlakukan sebagai penyewa. Asosiasi pemukiman Israel terus menerus berusaha meminta pengadilan menggusur rumah warga Palestina sampai sekarang.

Pada dasarnya apa yang dilakukan otoritas Israel di Sheikh Jarrah adalah tindakan apartheid. Gandhi telah menyaksikan Afrika Selatan di masa lalu melakukan politik apartheid terhadap warga-warga kulit berwarna. Dan Gandhi menangkap bahwa yang demikian itu akan terus terjadi di Palestina. “Di Afrika Selatan saya memiliki banyak teman baik Yahudi. Dari mereka saya tahu sejarah penderitaan Yahudi. Saya simpati terhadap mereka tapi kesimpatian ini tak menutup mata saya terhadap ketidak adilan yang dilakukan Israel terhadap Palestina” tulis Gandhi pada surat pertamanya di tahun 1938 itu. 

Gencatan senjata memang telah terjadi sekarang. Tapi apabila Israel tak menghentikan tindakannya menyerobot pemukiman-pemukian warga Palestina di Sheikh Jarrah, tak mustahil sewaktu-waktu perang akan meledak lagi. Konflik Israel-Palestina bukanlah konflik agama atau teologi. Tapi murni aneksasi. Kolonisasi. Betapapun Israel – saat ini secara prosedural dianggap negara yang bisa menjalankan prinsip-prinsip demokratis tapi dalam kasus ini Israel sama sekali bukan negara demokratis. Israel seolah sebuah negara traumatik yang dalam perspektif psikoanalisa- gagal mengatasi kecemasan-kecemasan yang dideritanya masa lalu. Beratus tahun Israel menjadi  warga pariah di Eropa, mengalami pogrom, mengalami holocaust. Israel seolah tak bisa melupakan pengalaman buruknya tapi dengan cara melakukan hal yang pernah dialaminya terhadap orang lain- dalam hal ini Palestina. Terus menerus wilayah Palestina dianeksasi sehingga makin menyempit. Terus menerus sikap apartheid ditunjukan otoritas Israel terhadap warga Palestina. Gagasan bi-national, ko-eksistensi damai seperti yang diimpikan Buber, pemuka spiritualis  Zionis  seharusnya menjadi panduan. 

 

------©BWCF2021------