Membaca Bentara Budaya dan Peranan P.K. Oyong

Oleh  Agus Dermawan T.

Menyimak sejarah dan menelaah usia institusi kebudayaan milik Kompas-Gramedia. Bentara Budaya menanamkan jasa besar kepada perkembangan kebudayaan dan kesenian di Tanah Air.

————-

PADA 2024 kemarin Bentara Budaya dinyatakan genap berusia 42 tahun. Namun usia di atas – yang dihitung dari kelahiran Bentara Budaya Yogyakarta pada September 1982 – bagi saya adalah bukan usia sebenarnya. Karena apabila dirunut jauh ke belakang, embrio dari institusi kebudayaan milik Kompas-Gramedia ini sudah ada sejak awal tahun 1970-an, yang ditandai dengan sebilik kecil galeri di kawasan Pintu Besar, Jakarta Barat. Galeri ini kemudian dipindah dan dikemas lebih besar pada 1974, di Jalan Patelehan, Jakarta Selatan. Ruang pamer mengkilap ini -yang dipublikasikan resmi pada awal 1975 – dinamakan Gramedia Art Gallery. Dengan merujuk Gramedia Art Gallery sebagai awal, maka sesungguhnya Bentara Budaya kini berusia 50 tahun. Bulat setengah abad!

Gagasan mendirikan Gramedia Art Gallery didorong oleh keinginan Ouwjong Peng Koen, atau Petrus Kanisius Oyong, atau P.K. Oyong (1920-1980), pendiri Kompas Gramedia. “Saya telah mengumpulkan begitu banyak karya seni untuk Kompas dan Gramedia. Semua itu harus dikembangkan mutu dan jumlahnya, dan dipelihara  keberadaannya. Kita perlu wadah,” katanya. 

P.K.Oyong, perintis pengoleksian karya seni di Bentara Budaya. (Sumber: Dokumentasi Kompas)

Sementara itu diketahui, keinginan Oyong mendirikan Gramedia Art Gallery diilhami oleh apa yang ia lihat di Amerika Serikat. Syahdan pada suatu kali ia berkunjung ke kantor majalah Reader’s Digest. Dinding kantor itu dipenuhi lukisan dalam tata dekorasi yang apik. Dalam ketertegunan ia bertanya, bagaimana kalau pengoleksi lukisan tak bisa menghentikan hasratnya untuk terus mengumpulkan. Apakah dinding kantor akan mampu menampung? Seorang redaktur Reader’s Digest menjawab, bahwa di luar dinding kantor, manajemen telah membuat galeri yang siap mendisplay karya-karya seni rupa yang sudah menjadi koleksi. Besarnya galeri akan terus membiak bersama dengan perkembangan jumlah koleksi. Oyong tersentak. Ternyata ruang untuk seni bisa dan boleh tanpa batas! 

Sepulang dari Amerika ia semakin menggalakkan niatnya untuk mencari karya seni. Maka, sambil bekerja sebagai wartawan dan pimpinan perusahaan, dirinya menyempatkan berkeliling ke berbagai daerah untuk bertandang ke studio-studio seniman. Dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta sampai Bali. Lalu lukisan modern perintis karya Gusti Solichin, Djajeng Asmoro, Trisno Sumardjo, R.J. Katamsi, Masariku, dibeli. Lukisan Popo Iskandar, Barli, Soedibio, dikoleksi. Selera seni Oyong tentulah tinggi, dan ia sangat berhati-hati dalam menyeleksi. Termasuk kala ia memilih keramik-keramik antik, dari celengan Trowulan sampai guci dan tempayan Tiongkok dinasti Sung, Yuan, Ming sampai Ching. 

Bentara Budaya Jakarta. (Sumber: Istimewa)

Koleksi Bentara Budaya, karya maestro Bali Anak Agung Gde Sobrat. (Sumber: Agus Dermawan T)

—–

Oyong juga menyenangi lukisan tradisional Bali. Ia sering mendatangi studio para pelukis Bali, dari Ida Bagus Made Poleng, Ida Bagus Made Nadera, Anak Agung Gde Sobrat, Ketut Regig dan sebagainya. Dia pula yang meminta G.M. Sudarta untuk menulis buku lukisan Bali yang terbit pada 1975, dalam judul Seni Lukis Bali Dalam Tiga Generasi. Hasrat pengoleksian ini terbilang ganjil, karena pada kurun 1970-an sangat jarang kolektor Indonesia mengumpulkan lukisan Bali tradisional.

Tahun 1980 Oyong wafat. Rekannya, Jakob Oetama, ingin menghormati jerih payah Oyong dalam mengoleksi karya seni. Lalu didirikanlah Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), pada 1982. Sambutan seniman dan budayawan atas insitusi ini sangat menggembirakan. Sehingga didirikanlah rumah budaya kedua di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta, 1986, dengan nama Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Beberapa tahun kemudian menyusul yang ketiga di Solo, dengan menggunakan nama Balai Sudjatmoko. Dan yang keempat di Bali, dengan nama Bentara Budaya Bali (BBB). 

Namun demikian Bentara Budaya tidak hanya difungsikan sebagai galeri penyimpanan, atau museum yang siap ditonton umum. Untuk menjunjung Oyong, Bentara Budaya lantas dijadikan sebagai wadah para seniman untuk berekspresi. Konsep ini kemudian dikembangkan secara luas oleh para pemikir budaya di Kompas-Gramedia. Seperti Rudy Badil, Efix Mulyadi, Ipong Purnama Sidhi, Wiediantoro, J.B. Kristanto, Frans Sartono, Hari Budiono, Warih Wiratsana, Putu Fajar Arcana, Hariadi Saptono. Sampai yang sekarang, Sindhunata, Glory Rosari Oyong, Ilham Khoiri, Hilmi Faiq dan kawan-kawannya.   

“Tanpa spirit Pak Oyong, Bentara Budaya tidak akan pernah ada, dan tidak akan pernah menjadi besar,” kata G.M. Sudarta (1945-2018) karikaturis Kompas yang pernah menjadi motor Bentara Budaya.

Sejak Star Weekly

Kedekatan Oyong dengan seni rupa sesungguhnya berlangsung jauh sebelum ia mendirikan Kompas. Ketika di majalah Star Weekly tahun 1950-an, ia sudah “menginstruksi” pelukis Siauw Tik Kwie (Oto Swastika) untuk membuat komik Sie Djin Koei, yang dimuat secara bersambung dari tahun 1954-1961. Komik 700 halaman yang akhirnya legendaris.

“Oyong membayar saya Rp7,50 untuk satu halaman komik. Karena dimuat per minggu, maka dalam sebulan saya bisa dapat Rp30,- Uang itu sangat cukup untuk hidup sebulan. Selebihnya, saya diminta untuk membuat ilustrasi artikel dan cerpen, dengan honorarium lain lagi. Oyong sangat memperhatikan keuangan seniman. Atas doa Oyong, selama 7 tahun komik itu tak pernah absen di Star Weekly. Dan selama itu saya tak pernah sakit. Oyong bilang resepnya: seorang seniman akan senantiasa sehat, apabila ekonominya juga selalu kuat,” kisah Siauw Tik Kwie.

Komik Sie Djin Koei karya Siauw Tik Kwie, yang merupakan pesanan P.K. Oyong untuk majalah Star Weekly tahun 1950-an. (Sumber: Agus Dermawan T.)

—–

Oyong juga memperhatikan dunia kesenian anak-anak. Di majalah Star Weekly ia membuka “ruang sastra” untuk anak-anak, dalam rubrik Taman Anak-anak. Ada cerpen dan puisi di situ. Untuk memperkaya rubrik, ia menyiapkan ruang kartun. Lalu ditemukanlah Goei Kwat Siong, seorang kartunis yang juga guru di Pekalongan. Di rubrik itu muncullah secara berkala kartun berjudul Si Apiao. 

Oyong senang sekali dengan Si Apiao, sehingga Goei juga dibayar mahal. Keluarga Goei pun sejahtera. Anak-anaknya bersekolah dengan baik. Bahkan cucunya meneruskan jejak seni sang kakek: jadi staf artistik di perusahaan televisi CNN, Atlanta.

Menatap eksistensi “50 tahun” Bentara Budaya, ingatan memang segera dibawa kepada sepak terjang P.K. Oyong, sang visioner luar biasa. Sosok yang tak hanya menyigi soal artistik dan estetik, tetapi juga aspek infrastrukturnya. Yang tak cuma memelihara keragaman budaya dan seni Indonesia, tapi juga urusan ekonomi budayawan dan senimannya. Dalam seumur hidupnya! 

Komik Si Apiao karya Goei Kwat Siong. Pesanan dari P.K.Oyong untuk ruang sastra anak-anak di majalah Star Weekly. (Sumber: Agus Dermawan T)

Satu-satunya di Indonesia

Dari upaya yang diawali P.K. Oyong (dan Jakob Oetama) ini Kompas-Gramedia menjadi satu-satunya perusahaan swasta di Indonesia yang secara kontinyu dalam waktu lama menjadi motor dan fasilitator kebudayaan dan kesenian Indonesia. 

Sementara kita tahu, penyelenggaraan acara “investasi dan syiar spiritual” seperti ini membutuhkan biaya. Sedangkan setiap acara agak mustahil menghasilkan uang kembali, apalagi laba. Dan yang dilakukan oleh Bentara Budaya tidak hanya berlangsung sepuluh atau dua puluh tahun, tapi setengah abad! Ini jelas melebihi sponsorship yang dilakukan oleh banyak perusahaan di seputar bumi. Kita baca perbandingannya.

Bank of America lebih dari tiga dasa warsa menjadi pendukung utama museum seni Asia di Smithsonian National Museum, Washington. Terakhir yang sensasional, menjadi sponsor pameran “KAWS : Time Off” di Parrish Art Museum, Water Mill, New York.  

Perusahaan perbankan dan jasa keuangan ING, Amsterdam, sejak 40 tahun lalu membangun ekosistem kebudayaan dengan mengoleksi karya-karya seni rupa eksperimental. Dan sejak 1989 menjadi sponsor Royal Concertgebouw Orchestra milik Kerajaan Belanda, sehingga kelompok musik ini dinobatkan sebagai “Orkestra Terbaik di Dunia”. 

Perusahaan rokok Big Tobacco sejak belasan tahun silam menjadi sponsor utama British Museum di London serta Museum Hermitage di Saint Petersburg di Rusia.

Patung wajah P.K.Oyong dan Jakob Oetama, di halaman Bentara Budaya Jakarta. (Sumber: Agus Dermawan T)

—-

Grup Hugo Boss, sebuah rumah mode dan gaya hidup di Metzingen, Jerman, sejak puluhan tahun lalu mendukung penyelenggaraan pameran seni kontemporer di berbagai galeri dan museum besar. Bahkan perusahaan ini melakukan kerja sama yang tertib dengan kreator dan kelompok kreator di seluruh dunia.

Grup Wurth, perusahaan bahan rakitan di Kunzelzou, Jerman, mendirikan yayasan untuk mendukung kesenian pada tiga dekade silam, seraya melembagakan Robert Jacobsen Award khusus bagi reputasi seni patung kontemporer. Untuk musik klasik yayasan ini bekerjasama dengan Jeunesses Micales Deutschland selama beberapa dekade. Dan dalam banyak kesempatan memberikan Reinhold Wurth Award untuk kompetisi biola yang rutin diadakan. 

Bloomberg, perusahaan keuangan, produser perangkat lunak, dan perusahaan televisi swasta yang berkantor di Manhattan, punya lembaga yang menyokong kebudayaan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir berkontribusi dalam perkembangan kreasi para seniman muda dengan cara menyeponsori dan mengoleksi.

Usaha perbankan UOB (United Overseas Bank) yang berpusat di Singapura juga menyelenggarakan kompetisi seni lukis dan seni rupa UOB Art Award se Asia Tenggara, sejak tahun 1982.

Namun uluran tangan mereka yang spektakuler itu belum sepanjang yang dilakukan Bentara Budaya. 

Yang bisa melebihi Bentara Budaya saya kira (di antaranya) adalah Guggenheim dan Rockefeller. Dua perusahaan raksasa di Amerika Serikat ini punya yayasan yang terlibat dalam kebudayaan dan kesenian di seluruh dunia sejak lebih dari 60 tahun silam. Selain tentu kelompok penerbitan Reader’s Digest, yang menjadi panutan P.K. Oyong. ***

 

*Agus Dermawan T. Kritikus, penulis buku-buku budaya dan seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden RI.