Basoeki Abdullah : Elegi 30 Tahun Lalu

Oleh: Agus Dermawan T.

 

Pada 5 November 1993, tepat 30 tahun lalu,

pelukis Basoeki Abdullah wafat lantaran dibunuh

maling. Ia sudah meramalkan kematiannya.

***

Pada Kamis sore hari tanggal 4 November 1993 Basoeki Abdullah berada di Ratu Plaza, Jakarta Selatan, bersama sekretarisnya, Wiwien Winarti. Mereka berdua sengaja ke mal itu untuk mencari toko yang menjual buku-buku tentang BJ Habibie. Basoeki ingin membeli buku-buku tentang ahli pesawat terbang itu untuk melengkapi referensi.

“Waktu itu Pak Bas mendapat pesanan melukis potret Habibie dan keluarganya, sebanyak tujuh bingkai. Kehidupan Habibie ingin ia dalami,” kata Wiwien.

Di toko itu, selain membeli buku tentang Habibie, Basoeki juga membeli buku tentang pelukis dan penari Bagong Kussudiardja. Di toko lain Basoeki membeli 5 botol parfum Givency untuk Nataya Nareerat, isterinya. Sedangkan Wiwien diberi hadiah bedak dan lipstik Estee Lauder.

Basoeki Abdullah dengan topi Indian.

Sepulang dari toko Wiwien dan Basoeki berpisah. Basoeki pulang ke rumahnya di Jalan Keuangan Raya 19, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, bersama sopirnya. Setiba di rumahnya ia menonton televisi. Sendirian, karena Nataya sedang pergi ke acara perhelatan bersama temannya. Sedangkan anaknya, Sidhawati, sedang tidak tinggal di rumah itu.

Lelah menonton televisi yang menyiarkan ihwal perampok yang membunuh korbannya, Basoeki masuk kamar dan tidur. Hampir tengah malam Nataya pulang. Karena merasa lelah dan mengantuk, Nataya langsung masuk kamar yang terpisah dengan kamar suaminya.

Jam-jam terus berjalan, sampai memasuki hari Jumat menjelang dini hari, tanggal 5 November 1993. Seorang maling menyelinap ke kamar Basoeki. Maling itu berniat mengambil jajaran arloji antik yang ada di kamar itu.

Ketika maling sedang mengoprak-oprek lemari, Basoeki terbangun. Dengan lemah Basoeki berteriak. Si maling terkejut dan berusaha lari. Lalu, dengan lemah pula Basoeki mengambil senapan pemburu yang ia pajang dindingnya. Ia mengokang senjata itu sebisanya. Si maling yang tahu bahwa dirinya akan ditembak, segera berusaha merebut senjata. Pergumulan terjadi. Tapi Basoeki kalah. Senjata berhasil direbut oleh si maling dan kemudiam dipukulkan ke arah Basoeki. Pelukis tua ini pun terjerembab. Tapi Basoeki bangkit lagi dan mengambil buku tebal yang ada di sebelah ranjangnya. Buku itu dilemparkan ke kepala si maling. Tapi si maling berhasil menghindar sambil kembali merangsek. Dengan gagang senapan Basoeki lantas dipukul keras kepalanya. Basoeki roboh.

Kamar Basoeki yang menjadi tempat pencurian dan pembunuhan.

Waktu terus merayap. Dari gelap malam menuju terang tanah.

Lasmini, pembantunya, pada pukul 5.30 pagi membawakan kopi untuk Basoeki. Lasmini melihat majikannya sudah tergeletak di lantai dekat tempat tidur. Di sisi Basoeki nampak senapan yang gagangnya patah. Semula ia mengira bos-nya cuma main-main, lantaran Basoeki memang suka bercanda pura-pura mati. Namun setelah didekati, terlihat ada luka besar di kepala. Lasmini lantas bergegas melaporkan apa yang dilihat itu kepada Yudi Priyono, satpam yang sedang bertugas di depan rumah. Sedangkan  Jumiyati, pembantunya yang lain, membangunkan Nataya yang tidur di kamar lain.

Nataya meraung-raung melihat keadaan Basoeki. Sang suami pun dipeluk dengan erat-erat. Namun ketika diketahui Basoeki sudah tidak bernafas, Nataya pingsan.

Beberapa hari kemudian kasus pembunuhan itu terbongkar. Data-data di kepolisian mengindikasi bahwa dalang dan pelaku pencurian itu adalah Wahyudi, tukang kebun di rumah Basoeki. Maling ini bekerja sama dengan Nanda dan tiga temannya. Wahyudi dan teman-temannya berhasil membawa kabur sejumlah uang dan 32 arloji. Sehingga tak satu pun arloji disisakan dalam lemari.

Peristiwa pun meledak dan jadi pembicaraan di mana-mana. Di keluarga, ruang publik, televisi sampai di koran-koran. Indonesia tenggelam dalam suasana perkabungan.

Senapan yang digunakan untuk membunuh, dan deretan arloji yang dicuri.

 

Mount Blanc sampai Tikus-Tikusan

Jenasah Basoeki Abdullah lalu disemayamkan di rumah duka Jalan Keuangan Raya. Dalam peti mati yang damai Basoeki mengenakan jas kotak-kotak kecil berwarna coklat muda dengan kancing spesial berlogo B (Basoeki). Kemejanya berwarna putih, dengan dasi hitam dan kalung kulit bermata akik blue safir. Basoeki juga mengenakan baret hitam yang berlencana Hanoman emas.

Rumah Basoeki Abdullah yang kini jadi museum.

Sebelum peti jenasah ditutup, benda-benda kesayangan Basoeki satu persatu dimasukkan. Seperti fulpen Mount Blanc yang selalu dibawanya, korek api abu-abu yang selalu ada di sakunya, kacamata hitam yang sering dipakainya. Lalu saputangan biru muda disisipkan di kantung jasnya, dan gelang perak dikenakan di pergelangannya. Tak ketinggalan, tikus-tikusan dari karet yang sering dipakai untuk menggoda para wanita, juga dimasukkan ke dalam peti. Di sisi kanan peti jenasah nampak Alkitab serta buku tentang BJ Habibie yang baru saja dibeli.

Pelayat datang dari berbagai lapisan. Dari pegawai hotel, pemain gamelan, pelukis, penulis, pengusaha, duta besar, penyanyi, model, bintang film. Dan tentu petinggi negara serta isteri para pejabat negara, yang pernah menjadi model lukisan Basoeki. Lalu nampaklah di situ : Sudharmono, Wardiman Djojonegoro, Moerdiono, Ali Alatas, Fuad Hassan, Hartini Sukarno, Nelly Adam Malik, Rahmi Hatta, Mamiek Soeharto dan seterusnya.

Basoeki Abdullah dalam lukisan potret diri.

Sampai beberapa hari kemudian berbagai televisi dan semua media cetak di Indonesia terus menyiarkan musibah ini dalam kolom-kolom besar. Begitu juga media cetak di Singapura, Thailand, Malaysia, Kamboja, Brunei, Filipina dan Belanda. Televisi luar negeri NHK, ABC, BBC juga merilis berita menggemparkan ini. Beberapa stasiun televisi Indonesia bahkan menyiarkan acara talk show untuk membahas sosok Basoeki Abdullah, dan spirit apa yang harus diwarisi oleh dunia seni rupa Indonesia.

Pada masa perkabungan itu ode atau pujian-pujian bertaburan, bagai kembang yang ditebarkan di peti matinya. Seperti yang tertulis sebagai komentar, yang dikutip dari berbagai majalah dan surat kabar.

Tajuk rencana harian Kompas, 6 November 1993, yang berjudul Bukan Kematian Benar Menusuk Kalbu, menulis demikian :

Dari empat tokoh besar seni lukis modern Indonesia, Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan dan R.Basoeki Abdullah RA (semuanya kini sudah meninggal), yang terakhir ini mungkin yang paling lengkap hidupnya, termasuk kematian yang tiba-tiba, dan berbau tragedi. Kehidupan panjangnya yang dipenuhi “hanya” oleh keindahan, tiba-tiba direnggut oleh sebuah kekerasan dari seseorang yang masih misterius….

Tajuk rencana harian Suara Pembaruan, 6 November 199, menutup artikel perkabungannya dengan :

Semua yang hidup harus meninggal. Seorang maestro telah pergi. Kita yang berkesempatan menikmati bakat besar yang ada padanya, patut melepas kepergiannya dengan rasa hormat.

Lukisan Basoeki Abdullah, “Ramayana : Rahwana Diserang Jatayu di Angkasa Raya”

Pada bagian lain sejarahwan Solichin Salam mengumpulkan sejumlah komentar yang diambil dar berbagai media massa dan wawancara. Mochtar Lubis, budayawan yang sesungguhnya tidak menyenangi lukisan Basoeki berkata, “Dia adalah salah satu dari sedikit pelukis Indonesia terbaik yang memiliki reputasi internasional. Sehingga meninggalnya Basoeki Abdullah merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia.”

Hamsad Rangkuti, sastrawan, menyesalkan sikap Pemerintah Indonesia terhadap para seniman yang menjadi aset besar bangsa, seperti Basoeki. “Kok sampai begitu. Kok sampai dia terbunuh. Basoeki adalah maestro tiada duanya yang sepantasnya selalu dilindungi oleh Negara!”

Setiawan Djody, pengusaha yang juga keponakan Basoeki berkata, “Kalau beliau meninggal karena sakit tua tidak mengapa, itu memang kehendak Tuhan. Tapi kalau dibunuh orang saya merasa sakit hati. Saya marah!”

Lukisan Basoeki Abdullah tentang Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej.

Sesuai dengan permintaan, Basoeki dimakamkan di pekuburan keluarga, di desa Mlati, Yogyakarta. Maka pada 7 November jenasah Basoeki diberangkatkan dari Jakarta ke Yogyakarta dengan pesawat Pelita Air Service PK-PJN Lengguru, yang dipinjami oleh keluarga Presiden Soeharto. Di dalam pesawat tampak Nataya Nareerat dan anaknya, Cicilia Sidhawati. Di sampingnya ada Saraswati, putri sulung Basoeki dari (mantan) isteri Basoeki pertama, Josephine, yang juga ada di situ. Di sisi lain ada Duta Besar Turki beserta isterinya, serta (mantan) isteri Basoeki yang kedua, Maya Michel Thacker. Kelihatan pula Titiek Hediati Soeharto yang mewakili keluarga Presiden Soeharto.

Beberapa hari setelah penguburan itu polisi mengabarkan bahwa Wahyudi, Nanda dan seorang temannya berhasil ditangkap. Tertangkapnya para maling itu gara-gara ocehan salah seorang pelaku  yang sedang mabuk di kompleks pelacuran Kalijodo, Jakarta. Bagi-bagi hasil yang tidak merata, menyebabkan salah seorang membocorkan rahasia kejahatannya. Para maling itu segera diadili dan dihukum 12 tahun penjara. Sedangkan dua penjahat yang lain ditangkap hampir 10 tahun kemudian, pada 15 Maret 2003.

Saya Juga Bisa Dibunuh

Basoeki meninggal secara menyedihkan karena dibunuh orang, 40 hari setelah ia berkata “Saya juga bisa dibunuh siapa saja” dalam sebuah wawancara khusus dengan saya. Hasil wawancara itu kemudian disiarkan koran Suara Pembaruan edisi 26 Oktober 1993. Judul artikel tersebut adalah Pelukis Basoeki Abdullay : Saya Sedih melihat Dunia. Beberapa bagian artikel itu adalah rangkuman yang ia katakan. Demikian :

Saya sekarang sering sentimental. Apalagi setelah pulang dari Irak yang baru bertempur habis-habisan melawan Iran. Rasa sentimental itu membawa saya berobsesi jadi orang Arab, sehingga membeli busana Arab. Seperti halnya ketika saya terobsesi jadi orang Indian, ketika di Amerika sedang ramai membicarakan petualangan Columbus, dan mengenang aniaya kulit putih atas orang-orang Indian. Kala itu saya membeli perangkat pakaian dan pernak-pernik serta topi suku Indian. Banyak orang tahu ya, busana Arab dan topi Indian itu kadang saya pakai kala menerima tamu. Orang tertawa melihat saya. Tapi saya sedih.

Saya juga terobsesi jadi anggota grup musik Scorpions yang menyanyikan Wind of Change, yang menandai bubarnya Uni Soviet. Saya lalu membeli wig gondrong dan topi yang serupa dengan personil Scorpions.

Semua orang semoga tahu, bahwa gurau-gurau itu adalah refleksi atas kesedihan mendalam saya. Kesedihan ketika melihat kejahatan politik manusia antar negara di dunia. Yang apabila tidak dikendalikan, akan mengerucut kepada kejahatan antar anak bangsa. Lalu semakin menyempit jadi kejahatan antar wilayah dan antar kampung. Sampai akhirnya kejahatan dalam lingkup keluarga.

Oooh, dengan begitu saya pada akhirnya akan terancam jadi korban juga. Saya juga bisa dibunuh oleh siapa saja!”

Basoeki akhirnya memang terbunuh oleh si siapa dan lantaran sebab yang terlalu kecil untuk ditukarkan dengan nyawa.

Basoeki Abdullah dan Nataya Nareerat.

Basoeki Abdullah, maestro kelahiran Solo 1915 – pelukis Istana Raja dan Presiden di 5 negara, penerima amat banyak medali internasional, penggubah lukisan Nyai Roro Kidul yang tak terlupakan – telah pergi dengan tragis persis 30 tahun lalu. Kematiannya kita kenang dengan sedih. Tapi spirit dan jasanya, serta ribuan karyanya, selalu kita eja dengan mata yang ceria. ***

 

*Kritikus seni dan penulis buku “Basoeki Abdullah – Sang Hanoman Keloyongan”.