Menghayati Kesucian Borobudur dari Segala Sisi

Oleh Bhadra Ruci, biksu

Dan siapapun, Ananda, yang meninggal ketika berziarah [ke keempat tempat tersebut], dengan hati penuh keyakinan, dia ketika tubuhnya terurai, setelah meninggal, akan terlahir kembali di alam kebahagiaan surgawi.” Kutipan yang diambil dari Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya 16 ini kerap dianggap sebagai sumber rujukan utama praktik peziarahan agama buddha. Keempat tempat tersebut merujuk kepada Lumbini, tempat lahir beliau; Bodhgaya, tempat beliau mencapai pencerahan sempurna; Sarnath, tempat beliau memutar roda Dharma untuk pertama kalinya dan Kushinagar, tempat beliau menunjukkan parinibbana beliau.

Tapi apakah tempat suci agama Buddha hanyalah keempat tempat itu saja? Kita mengenal cerita-cerita masa lampau dari banyak tokoh Buddhis terkenal yang menjalankan nasihat Buddha untuk berziarah ke tempat-tempat suci, beberapa di antaranya adalah Raja Ashoka, Fa Hsien, Hsuan Tsang, I-Ching dan masih banyak lagi. Di tahun 249 SM, Raja Ashoka memulai sebuah ibadah ziarah beliau yang sangat terkenal karena di setiap tempat yang beliau singgahi, beliau membangun sebuah monumen yang akhirnya dikenal sebagai Pilar Ashoka. Secara khusus, Raja Ashoka menyebutkan delapan tempat agung untuk berziarah (astamahasthana), yakni: Lumbini, Bodhgaya, Sarnath, Kushinagar, dan ditambah lagi dengan Sravasti (tempat Buddha menunjukkan Keajaiban Ganda), Sankasya (tempat Buddha turun dari surga Trayastrimsa), Rajgir (tempat Buddha menaklukkan si gajah mabuk Nalagiri) dan Vaishali (tempat monyet-monyet mempersembahkan madu kepada Buddha). Penyebutan tempat-tempat tambahan tersebut pun sebenarnya bisa ditemukan di dalam Buddhavamsa. Selanjutnya, Fa Hsien yang melakukan perjalanan ziarah beliau di kisaran 399-414 M bahkan mencatat pulau Jawa di negeri tercinta kita ini sebagai salah satu titik pemberhentian beliau. Demikian pula, I-Ching yang melakukan perjalanan ziarah beliau di kisaran 671-695 M bahkan mencatat pemberhentian beliau selama 10 tahun di pulau Sumatera. Catatan-catatan perjalanan dari para musafir agung inilah yang kemudian sangat berjasa membantu Sir Alexander Cunningham menggali berbagai situs-situs suci sejarah Buddhis baik di India maupun di luar India.

Catatan-catatan sejarah tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa tempat ziarah suci umat Buddha sangatlah banyak dan tidak hanya terpaku pada empat situs yang dirujuk dalam Mahaparinibbana Sutta. Kenapa demikian? Karena keahlian (upaya kausalya) Buddha sangatlah tak terbayangkan. Beliau mengajarkan 84.000 pintu Dharma demi menyesuaikan ajaran beliau dengan berbagai jenis kecenderungan batin para makhluk yang hendak beliau tolong. Ambil contoh, di dalam Samadhiraja Sutra, Buddha mengatakan bahwa jika seseorang melukis sebuah gambar Buddha yang sederhana di dinding, maka gambar itu pun akan menjadi sebuah objek suci yang berkekuatan mengantar orang-orang yang sekedar memandangnya saja untuk bertemu dengan 10 juta Buddha. Demikian pula misalnya di dalam Guhyasamaja Tantra, Buddha mengajarkan bahwa stupa pada dasarnya adalah istana para Buddha berdiam, dan para makhluk yang tidak memiliki karma untuk bertemu Buddha yang sesungguhnya maka mereka membutuhkan objek-objek suci yang mewakili tubuh, ucapan dan batin Buddha, yakni patung, kitab dan stupa, sebagai ladang kebajikan mereka. Jadi, Buddha sebenarnya mengajarkan banyak sekali metode-metode praktik menghimpun kebajikan melalui tempat-tempat suci, objek-objek suci dan sejenisnya. Apa yang diajarkan oleh Buddha di dalam Mahaparinibbana Sutta adalah salah satunya namun bukan satu-satunya.

Bagaimana pula dengan Candi Borobudur? Banyak sekali kitab suci yang bisa diidentifikasi sebagai basis dibangunnya Candi Borobudur. Yang paling utama tentu saja adalah Buddhavatamsaka Mahavaipulya Sutra (bisa ditelusuri di Kanon Tibet, Kangyur edisi Narthang, volume 41) atau yang biasanya lebih dikenal dengan nama singkatnya, Avatamsaka Sutra. Dari sini, Gandavyuha Sutra, yang merupakan salah satu bab di dalam Avatamsaka Sutra, membentuk 128 keping relief di badan candi. Kemudian, Arya Bhadracarya Pranidhana Raja, yang merupakan bagian doa dedikasi dari Gandavyuha Sutra (dan hingga sekarang pun menjadi bait-bait doa dedikasi yang dilantunkan setiap hari di biara-biara Buddhis di India dan bahkan di Indonesia!) membentuk 332 keping relief di badan candi.

Lebih lanjut lagi, Dasabhumika Sutra, yang juga merupakan salah satu bab dari Avatamsaka Sutra, bahkan membentuk kerangka arsitektur utama dari candi yang terdiri dari sepuluh tingkat. De Casparis di tahun 1950 bahkan mencoba merekonstruksi nama asli sang candi berdasarkan nama Sutra ini, yakni: Bhumisambharabhudara, yang berarti Gunung Akumulasi Kebajikan dalam Sepuluh Tingkat Bodhisatva.

Selain itu, tentu saja kita perlu melihat lagi Lalitavistara Sutra (bisa ditelusuri di Kanon Tibet, Kangyur edisi Dege, Volume 46) yang membentuk 120 keping relief di badan candi. Selanjutnya, Karmavibhanga Sutra (bisa ditelusuri di Kanon Tibet, Kangyur edisi Dege, Toh 338) membentuk 160 keping relief di badan candi. Lalu terakhir, namun tak kalah penting, adalah kisah-kisah Jataka dan Avadana, yang bisa ditemukan bahkan di Kanon Pali maupun Kanon Sanskrit, yang membentuk 720 keping relief di badan candi. Satu keseluruhan bangunan Candi Borobudur, dari bawah hingga ke atas, setiap lekukan indahnya, adalah kitab suci. 

Kemudian kita juga bisa kaji dari sisi Tantra yang juga diajarkan oleh Buddha Shakyamuni demi kebahagiaan semua makhluk. Di dalam sistem Tantra, benih Kebuddhaan para makhluk itu dipahami sebagai kelompok-kelompok sifat tertentu (yang masih tercemar) dari manusia seperti kita saat ini, yang kemudian bisa dilatih dan ditransformasi menjadi kelompok-kelompok sifat tertentu (yang akhirnya menjadi murni) sebagaimana yang dimiliki oleh seorang Buddha. Dalam sistem Anuttara Yoga Tantra, benih Kebuddhaan ini dikategorikan menjadi lima kelompok sifat yang disimbolkan menjadi Lima Keluarga Buddha, yakni: Aksobhya, Vairocana, Ratnasambhava, Amitabha dan Amogasiddhi. Ini bersesuaian dengan keberadaan patung-patung Panca Dhyani Buddha di Candi Borobudur. Bagaimana cara memahaminya? Sebagai contoh, Candi Borobudur mengajarkan cara kita mentransformasi sifat tercemar (klesha) kita saat ini yang berbentuk kekikiran dan kesombongan menjadi sifat murni Buddha yang berupa “kesadaran yang melihat semua makhluk sebagai setara”, dengan cara memeditasikan Buddha Ratnasambhava. Dan seterusnya pula, untuk kelompok-kelompok Buddha yang lain.

Jadi, ketika kita sebagai praktisi Tantra melihat kehadiran berbagai jenis Buddha dengan mudra-mudranya yang spesifik seperti itu di Candi Borobudur, maka kita bisa memahami bahwa candi tersebut jelas adalah menyimpan ajaran-ajaran suci Tantra dari Buddha. Ini juga bisa ditelusuri lebih lanjut dari lontar-lontar kuno Buddhis yang merupakan kitab suci peninggalan leluhur kita dari masa lampau, seperti misalnya Sanghyang Kamahayanikan, lalu ada pula teks Kalpabuddha dan Nagabayusutra dari Bali, dan sebagainya.

Dari berbagai sudut pandang manapun juga sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka Candi Borobudur seyogyanya memang berhak menyandang status sebagai tempat suci umat Buddha. Sama sebagaimana hak yang juga dimiliki oleh Angkor Wat di Kamboja. Atau Grdhrakuta (Gunung Puncak Burung Nazar) di India, yang populer dikenal sebagai tempat Sang Buddha membabarkan Prajna Paramita Sutra dan hingga kini ramai dikunjungi oleh umat Buddha dari berbagai tradisi. Atau bahkan sama pula dengan hak yang dimiliki oleh Reruntuhan Universitas Nalanda di India, yang sempat menjadi pusat peradaban Buddhis terbesar di dunia selama lebih kurang satu milenia dan bahkan secara historikal bisa ditelusuri relasi arkeologinya dengan bangsa Indonesia.

Jika merujuk ke contoh dari agama lainnya, maka kita juga bisa membandingkannya dengan Masjid Nawawi ataupun Gereja Vatikan. Vatikan misalnya bukanlah tempat kelahiran atau terkait langsung dengan peristiwa kehidupan Yesus, namun tetap saja menjadi pusat penziarahan bagi para umat Katolik yang berkeyakinan.

Jadi sebagai penutup dan kesimpulan, peziarahan dan kesucian merupakan suatu fenomena yang sangat luas, subtil sekaligus mendalam. Sulit bagi kita untuk mencernanya dengan sekedar indera kesadaran, penglihatan yang fana; namun, dengan mengandalkan indera keyakinanlah maka kita akan bisa lebih mendekatkan pemahaman kita akan sesuatu yang transedental.

Lokah Samastah Sukhino Bhavantu, semoga seluruh alam semesta berbahagia.

 

*Bhadra Ruci, biksu adalah Ahli Ikonografi Candi Nusantara, Sekretaris Jenderal Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI), Nayaka Sangha Vajrayana SAGIN (2012-2017), Plt. Mahanayaka SAGIN (2012-2017)