Habermas, Bhiku Parekh dan Pendidikan Multikultur

 

Habermas, Bhiku Parekh dan Pendidikan Multikultur

(Studi Kasus Kabupaten Sambas dan Kabupaten Poso)

Oleh Mikka Wildha Nurrochsyam

 

Kemajemukan religi merupakan berkah, tetapi sekaligus berpeluang menimbulkan berbagai persoalan jika tidak dikelola dengan baik. Nilai religiusitas akan menjadi dilema ketika diterapkan secara monologal yang tidak melihat konteks etika sosial dan budaya masyarakat multikultur. Nilai religiusitas yang diajarkan secara fundamental dan tekstual dapat mengakibatkan intoleransi.

Pada kondisi masyarakat Indonesia saat ini, terdapat beberapa fenomena yang mengindikasikan sikap intoleransi terhadap masyarakat yang plural. Tulisan ini ingin melihat bagaimana pendidikan multikultur berjalan di sekolah-sekolah di dua kabupaten : Sambas dan Poso (serta Pontianak dan Palu) sekarang ini. Kita ketahui bersama dua kabupaten itu pernah mengalami konflik kekerasan rasial – yang tentunya tak ingin kita lihat lagi terjadi.

Menurut Jurgen Habermas sebagaimana dikutip Giovanna Borradori dalam buku: Philosophy in a Time of Teror, Dialogues with Jurgen Habermas and Jacques Derrida – kekerasan merupakan kendala komunikasi. Habermas mengatakan hubungan antara fundamentalisme dan terorisme dimediasi oleh kekerasan yang dipahaminya sebagai patologi komunikasi (Borradori, 2003). Menurut Habermas religiusitas harus diikuti oleh nalar.Tanpa rasionalitas,akan dihasilkan teror dan kekerasaan.

Dalam konteks pendidikan, implementasi nilai religiusitas kepada peserta didik harus seimbang dengan implementasi nilai komunikasi. Teori etika diskursus dari Jurgen Habermas mempersoalkan ‘apa yang adil’. Etika diskursus hendak menjawab persoalan ‘apa yang adil’ karena keadilan mempunyai sifat yang universal. Etika diskursus tidak berhenti pada tahap berlakunya norma universal,tetapi keadilan perlu dijustifikasi dalam diskursus rasional diantara partisipan melalui saling pengertian untuk mencapai kesepakatan.

Menurut Habermas,terdapat dua prinsip dalam etika diskursus. Prinsip pertama, yakni universalitas (U), yang mengatakan, “All affected can accept the consequences and the side effectofits general observance can be anticipated to have for the satisfaction of everyone’s interest..” (Habermas 2007). Prinsip ini menyatakan bahwa pertimbangan moral yang saya kehendaki akan berlaku benar kalau dikehendaki oleh semua orang. Kedua yakni, prinsip diskursus (D) yang berbunyi, “ Only those norms can claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all affected in their capacity as participants in a practical discourse” (Habermas, 2007).

Dalam etika diskursus itu peran dialog atau komunikasi sangat menjadi penting karena kebenaran sebuah nilai itu tidak ditentukan secara subjektif oleh pemikiran seseorang atau kelompok saja, tetapi kebenaran akan nilai itu ditemukan ketika dilakukan dalam dialog. Dalam melihat sistem pengajaran di sekolah-sekolah di Pontianak dan Palu – teori etika diskursus Jurgen Habermas akan saya gunakan untuk melihat problem yang terkait dengan nilai-nilai dalam masyarakat yang multikultur.

Menurut Bhiku Parekh dalam bukunya Rethinking Multiculturalismkeaneragaman budaya dalam masyarakat multikultural mempunyai beberapa bentuk. Tiga diantaranya yang paling umum adalah Pertama, keanekaragaman subkultural. Dalam masyarakat ini anggotanya memiliki satu budaya umum yang luas, tetapi mereka memberikan ruang-ruang untuk gaya hidup yang berbeda. Kedua, keanekaragaman perspektif, yaitu mereka yang anggota masyarakatnya seringkali menentang budaya dominan. Ketiga, Ketiga, masyarakat modern yang terdiri atasbeberapa macam komunitas yang kurang lebih erorganisasi dengan baik dan menjalankan hidup dengan sistem keyakinan dan praktik mereka yang berlainan (Parekh, 2008:16).Multikulturalisme adalah sebuah paham, pemikiran yang pertama kali muncul ketika aliran liberalisme perlu dikoreksi karena meninggalkan unsur penting, yaitu tentang pluralism kebudayaan.

***
Pontianak, Kalimantan Barat merupakan wilayah yang memiliki keberagaman sosial dan budaya. Salah satunya adalah Kota Pontianak. Berdasarkan data Dinas Penduduk dan Catatan Sipil (Dukcapil) semester II tahun 2018, jumlah penduduk Kota Pontianak adalah 665.694 jiwa. Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat yang beragama Islam menempati populasi terbanyak yaitu 502.553 jiwa, kemudian Budha dengan 88.203 jiwa, Katholik dengan 40.134 jiwa, Kristen32.940 jiwa, Konghucu 1.679 jiwa, dan Hindu 360 jiwa. Adapun penganut kepercayaan yang tercatat dalam Dinas Dukcapil berjumlah 5 jiwa. Oleh karena itu, Kalimantan Baratmerupakanwilayah unik dengan beragam etnis.

Sementara itu, berdasarkan data BPS tahun2018, proporsi etnis yang ada di Pontianak sebagai berikut (1) Melayu/Dayak 34.50%, (2) Tionghoa, 18.81%, (3) Bugis, 7.92%, (4) Jawa, 13.84%, (5) Madura, 11.96%, (6) Lain-lain, 12.98%.Keragaman etnis juga terdapat di wilayah Sambas diantaranya adalah suku Melayu yang paling besar, suku Dayak, Tionghoa, Banjar, Jawa, Batak dan Minangkabau. Sementara itu, penganut agama mayoritas adalah Islam sebesar 84.82%; Buddha 8.01%; Kristen 3.56%; Katolik 3.14%; Konghucu 0 03%; dan lain-lain sejumlah 0.12%.

Beberapa kelompok etnik menempati beberapa wilayah tersendiri, misalnya,Kabupaten Sambas menjadi teritori Melayu Sambas dan Kabupaten Pontianak menjadi teritori Melayu Mempawah, Bengkayang menjadi teritori Dayak Bekati, Landak menjadi teritori Dayak Kanayatan, Sekadau menjadi teritori Dayak Mualang, Melawi menjadi teritori Dayak Keninjal dan Melayu Pinoh, serta Kayong Utara menjadi teritori Melayu Kayong. Di kabupaten seperti Sintang Dayak Ketungau terbentuk kabupaten sendiri. Di Kabupaten Kapuas Hulu Dayak Iban,Taman, Kantu,dan Suhaid di Kabupaten Ketapang Dayak Simpang dan Dayak Keriau berdirikabupaten baru. Di Kabupaten Sanggau Dayak Bidayuh dan Dayak Tayan mendirikan kabupaten baru.

Etnik Cina dan Madura terkonsentrasi di sekitar perkotaan. Bersama Bugis dan Jawa, keempat kelompok etnik tersebut menjadi mayoritas di beberapa lokasi kota perdagangan penting di Kalimantan Barat,seperti Kubu Raya, Pontianak,dan Singkawang. Adapun Singkawang telah menjadi teritori Cina, bukan hanya dari aspek demografis, melainkan juga simbolis. Di Kalimantan Barat terjadi dinamika antaretnis sejak lama. Dalam relasi sosial itu seringkali terjadi konflik. Jejaknya bisa dirunut sejak tahun 1967, saat terjadi kerusuhan anti-Cina di kawasan ini. Sejak saat itu, di wilayah ini, banyak diwarnai aksi dan konflik rasial. Kalimantan Barat,khususnya di Kota Pontianak dan Kabupaten Sambas, merupakan masyarakat dengan multikultur sebagaimana diuraikan di atas yang dapat menimbulkan potensi konflik sosial jika tidak dikelola dengan baik.

Oleh karena itu menurut saya perlu mendapat perhatian khusus penyelengaraan pendidikan di sekolah karena sekolah merupakan tempat yang memungkinkan bertemunya berbagai etnis yang ada sekaligus melakukan interaksi satu sama lain. Dalam rangka penguatan pendidikan karakter di sekolah, diperlukan adanya informasi tentang bagaimana implementasi nilai-nilai karakter di dalam sekolah sebagai lingkungan pendidikan.

Dalam penelitian kuantitatif saya terhadap pendidikan yang diajarkan kepala sekolah dan guru-guru sekolah-sekolah di Pontianak dan Kabupaten Sambas pada tahun 2019 meskipun beberapa aspek karakter utama religiusitas sering dan bahkan sangat sering diimplementasikan oleh guru kepada siswa, para peserta didik belum melakukan implementasi secara optimal terhadap pandangan yang kritis dan rasional terhadap religiusitas. Atas pertanyaan seputar pengajaran sikap rasional terhadap agama di Kota Pontianak dan Kabupaten Sambas tsaya memperoleh data terdapat jumlah total 55% responden kepala sekolah dan guru di KabupatenSambas yang menyatakan sering (42%) dan sangat sering (13%) mengajarkan sikap kritis dan rasional dalam beragama, dibandingkan dengan 65 % responden kepala sekolah dan guru di Kota Pontianak yang menyatakan hal yang sama.

Foto penulis bersama guru-guru SMPN Sambas

Artinya, kendatipun persentase tanggapan responden di Kota Pontianak lebih tinggi menyatakan sering dan sangat sering, perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Karena itu,dapat dijelaskan bahwa pengajaran sikap kritis dan rasional telah dilakukan di kedua lokasi tersebut. Meskipun responden yang menjawab sering dan sangat sering 55% di Kabupaten Sambas dan yang menjawab sering dan sangat sering 65% di Kota Pontianak,terdapat responden di Kabupaten Sambas yang menjawab 6,5% tidak pernah; 6,5% menjawab jarang dan 32% menjawab kadang-kadang. Sementara itu, di Pontianak diketahuiyang menjawab tidak pernah 7%, yang menjawab jarang 7%,dan yang menjawab kadang-kadang 18%. Hal ituberartibahwa sikap kritis dan rasional belum menjadi karakter utama di kedua wilayah tersebut karena masih terdapat guru yang tidak pernah dan jarang mengajarkan sikap rasional dan kritis terhadap religiusitas.

Menurut Habermas sikap rasional dalam beragama itu juga sekaligus mengandaikan adanya sikap komunikatif, yaitu sikap yang terbuka terhadap pemeluk agama lain dengan melakukan dialog dalam menyelesaikan persoalan yang terkait dengan religiusitas,baik terhadap perdedaan pendapat dalam satu agama maupun di luar agama. Dalam penelitian saya sikap komunikatif itu telah diimplementasikan dalam pendidikan sekolah-sekolah di Sambas dan Pontianak, misalnya,guru melarang untuk bersikap eksklusif terhadap pemeluk agama lain.

Dari data yang saya peroleh para pendidik di Kota Pontianak cenderung lebih besar mengimplementasikan sikap komunikatif itu ke dalam PPK,yaitu sebesar 58% menjawab sering dan 24% menjawab sangat sering sehingga jumlah total adalah 82%.Angka itucukup besar, sedangkan di Kabupaten Sambas berjumlah 42 % menjawab sering dan 32% menjawab sangat sering sehingga kalau ditotal berjumlah 74 %. Sikap komunikatif yang tinggi ini menunjukkan bahwa di kedua wilayah tersebut terdapat hubungan yang baik antarpemeluk agama yang berbeda-beda.

Saya melihat dalam kaitannya dengan sikap komunikatif, nilai toleransi menjadi penting, yaitu sikap toleran, yang menunjukkan hubungan kelompok kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah agama dan kepercayaan untuk saling memahami satu sama lain. Dari data yang saya peroleh implementasi sikap toleransi ke dalam PPK di wilayah Kabupaten Sambas dan Kota Pontianak sangat tinggi, yaitu 38% menjawab sering dan 58% menjawab sangat sering. Kalau ditotal, jumlahnya 96%.. Bahkan tidak ada seorang guru atau kepala sekolah yang menjawab tidak pernah dan jarang. Hal ituberarti bahwa mereka sangat intensif mengajarkan toleransi kepada peserta didik.

Demikian pula dengan para guru dan kepala sekolah,yang mengajarkan hidup rukun dan damai antar pemeluk agama di kedua wilayah penelitian Kabupaten Sambas dan Kota Pontianak, sangat intensif menyampaikan kepada peserta didik. Para guru dan kepala sekolah tidak ada yang menjawab tidak pernah dan jarang. Karena itu,mereka sangat intensif menyampaikan sikap rukun dan damai antarumat beragama. Yang menjawab sering 36% dan yang menjawab sangat sering 60,5%.Kalau ditotal,jumlahnya96,5%, hanya 3,5% saja yang menjawab kadang-kadan
***

Setelah melakukan penelitian di Pontianak dan Sambas, pada tahun 2019 saya juga melakukan penelitian di Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang beragam sosial dan budayanya. Berdasarkan data BPS Kota Palu, penduduk Sulawesi Tengah pada 2016 berjumlah 29.217.000 jiwa. Penduduk Kota Palu sendiri sebesar 374.000 jiwa,sedangkan update data terbaru menurut BPS, penduduk Kabupaten Poso berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2019 sebanyak 256.393 jiwa yang terdiri atas 132.592 jiwa penduduk laki-laki dan 123.801 jiwa penduduk perempuan.

Berdasarkan komposisi agama di Kota Palu pada tahun 2015 mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu sebesar 84,06 %; Protestan sebesar 8.16 %; Katolik sebesar 2.23%; Hindu sebesar 2 %,dan Buddha 3.55 %. Sementara itu, komposisi agama di Kabupaten Poso mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan sebanyak 89.585 jiwa,sedangkan penduduk yang beragama Islam sebanyak 83.361 jiwa,Kristen Katolik 2.894 jiwa,Hindhu 13.033,dan Bhuddha sabanyak 4 jiwa.

Pada tahun 2019 terdapat sebanyak 820 rumah ibadah di Kabupaten Poso. Ada 176 masjid, 73 musala, 455 gereja Protestan, 19 gereja Katolik,dan 97 pura. Masjid terbanyak ada di Kecamatan Poso Pesisir ,yaitu sebanyak 35 buah, gereja Protestan terbanyak ada di Kecamatan Pamona Pusalemba,yaitu sebanyak 62 buah, dan pura terbanyak ada di Kecamatan Pamona Barat,yaitu sebanyak 28buah. Sulawesi Tengah terdiri dari beragam suku bangsa.

Berdasarkan data dari Direktorat Nilai Budaya dan Tradisi, Direktorat Kebudayaan, tercatat kurang lebih terdapat sebanyak lima belassuku bangsa tersebar di seluruh Sulawesi Tengah,yaitu suku Banggai, Seasea, Salua, Balantak, Pamona, Lore, Bada, Bungku, Mori, Kulawi, Kaili, Lauje, Tialo, Toli-Toli, dan suku Buol.

Sulawesi Tengah yang beragam dalam dinamika sosial antar warganya sekarang menunjukkan kehidupan yang harmoni di antara warganya. Mereka hidup berdampingan dan saling menjaga kerukunan. Namun, pada masa lalu terdapat dinamika konflik yang cukup tajam sehingga menimbulkan duka dengan hilangnya ratusan nyawa dari warganya yang saling bertikai antara dua kubu Islam dan Kristen.Tercatat adatiga gelombang kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso. Gelombang pertama bersamaan dengan maraknya unjuk rasa dan kekerasan di seluruh Indonesia pasca keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998.

Gelombang kedua, terjadi pada tahun 2000 setelah lebih satu tahun mengalami ketenangan, gejolak politik dan hukum lokal menimbulkan ketegangan. Gelombang ketiga adalah konflik yang paling parah dan meluas yang terjadi yaitu sekitar bulan Mei 2000.Pengalaman yang memilukan ini telah menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Kabupaten Poso untuk tidak mengulang lagi konflik yang mengorbankan ratusan nyawa dan banyak harta benda. Beberapa upaya telah dilaksanakan,antara lain,dalam dunia pendidikan yakni melakukan pendidikan harmoni untuk menginternalisasi nilai-nilai solidaritas

Sama dengan di Pontianak dan Sambas saya melakukan penelitian mengenai sikap kritis dan rasionalitas dalam Religiusitas terhadap guruguru sekolah di Palu dan Poso. Seperti kesimpulan yang saya peroleh di Pontianak dan Sambas beberapa aspek karakter utama religiusitas sering dan bahkan sangat sering diimplementasikan oleh guru kepada siswa tetapi para peserta didik belum melakukan implementasi secara optimal terhadap pandangan yang kritis dan rasional terhadap religiusitas.

Berdasarkan hasil analisis data yang saya lakukan tidak terdapat perbedaan tanggapan yang signifikan secara statistik mengenai mengajarkan sikap kritis dan rasional dalam beragama di Kota Palu dan sekitarnya dan Kabupaten Poso. Terdapat jumlah total 87% responden kepala sekolah dan guru di Palu dan sekitarnya yang menyatakan sering (64%) dan sangat sering (23%) mengajarkan sikap kritis dan rasional dalam beragamajikadibandingkan dengan 63 % responden kepala sekolah dan guru di Kabupaten Poso yang menyatakan sering (40%) dan (23%) menyatakan sangat sering. Artinya, kendatipun persentase tanggapan responden di Kota Palu dan sekitarnya lebih tinggi menyatakan sering dan sangat sering, perbedaannya tidak signifikan secara statistik. Karena itu,dapat dijelaskan bahwa pengajaran sikap kritis dan rasional telah dilakukan di kedua lokasi tersebut. Tabel 17menunjukkan bahwa responden di Kota Palu dan sekitarnya tidak ada yang menjawab tidak pernah dan jarang,sedangkan yang menjawab kadang-kadang sebanyak (14%).

Namun, di Kabupaten Poso data menunjukkan yang menjawab tidak pernah 11 %, yang menjawab jarang 4% dan yang menjawab kadang-kadang 22%. Ini artinya bahwa sikap kritis dan rasional masih belum menjadi karakter utama dalam pengajaran PPK di Kabupaten Poso khususnya masih terdapat guru yang tidak pernah dan jarang mengajarkan sikap rasional dan kritis terhadap religiusitas.

Akan halnya sikap yang terbuka terhadap pemeluk agama laindengan melakukan dialog dalam menyelesaikan persoalan yang terkait dengan religiusitas,baik terhadap perdedaan pendapat dalam satu agama maupun di luar agamai telah diimplementasikan dalam PPK di Kota Palu dan Kabupaten sekitarnya dan Kabupaten Poso. Para pendidik di Palu dan sekitarnya menurut data saya cenderung lebih besar mengimplementasikan sikap komunikatif itu yaitu sebesar 55% menjawab sering dan 41% menjawab sangat seringsehingga jumlah total adalah 96%.

Foto murid-murid sekolah di Palu

Sementara itu, peserta didik di Kabupaten Poso berjumlah 66 % menjawab sering dan 21% menjawab sangat sering sehingga kalau ditotal berjumlah 87 %. Sikap komunikatif yang tinggi ini menunjukkan bahwa guru dan kepala sekolah telah menyampaikan sikap komunikatif yang baik kepada peserta didik. Implementasi sikap toleransi ke dalam PPK di wilayah Kota Palu dan Kabupaten sekitarnya dan Kabupaten Poso sangat tinggi, di KotaPalu dan sekitarnya menunjukkan sebanyak 32%menjawab sering dan 64%menjawab sangat sering, yang kalau ditotal berjumlah 96%.

Di kedua wilayah penelitian Kota Palu,kabupaten sekitarnya,dan Kabupaten Poso para guru dan kepala sekolah sangat intensif mengajarkan hidup rukun dan damai antar pemeluk agama kepada peserta didik. Tabel 20 menunjukkan bahwa para guru dan kepala sekolah baik di Kota Palu dan Kabupaten sekitarnya dan Kabupaten Poso tidak ada yang menjawab tidak pernah dan jarang. Bahkan,di Kabupatn Poso tidak ada seorangpun dari peserta didik menjawab kadang-kadang, semua peserta didik menjawab sering (25%) dan sangat sering (76%). Demikian pula di Kota Palu dan Kabupaten sekitarnya yang menjawab sering (36%) dan yang menjawab sangat sering (51%). Di wilayah Kota Palu dan Kabupaten sekitarnya serta Kabupaten Posoguru dan kepala sekolah sangat intens untuk mengajarkan tentang menghargai keberagaman. Berikut ini adalah perbandingan antara Kota Palu dan sekitarnya dengan Kabupaten Poso dalam pengajaran guru dan kepala sekolah mengenai sikap menghargai keragaman.

Foto gambar di tembok karya murid-murid di sebuah sekolah di Poso

***

Kesimpulan dari penelitian yang saya lakukan di Pontianak dan Palu itu adalah sangat mendesak pendidikan multikultur diterapkan di pengajaran sekolah seluruh Indonesia. Persoalan yang terkait dengan ekstrimisme dan fundamentalisme akarnya adalah persoalan rasionalitas. Tanpa nalar agama akan dihasilkan fanatisme. Karena itu, sains sebagai cara berpikir secara rasional dan ilmiah sangat diperlukan untuk menginternalisasi sikap agama yang tekstual.

Saya melihat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu memberikan fasilitasi dan dukungan terhadap penyediaan buku-buku untuk literasi terkait dengan tokoh-tokoh ilmuwan agama dan tokoh-tokoh ilmuwan Barat terkait perkembangan ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan religiusitas. Religiusitas tidak hanya dipahami sebatas ritual dan pemahaman secara tekstual,tetapi dipahami melalui proses penerapannya dalam ilmu pengetahuan.

Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan kebijakan implementasi nilai-nilai multikultur ini melalui aktivitas di luar sekolah, seperti kunjungan ke rumah jompoatau yatim piatu untuk menumbuhkan sikap kepedulian sosial. Demikian juga aktivitas yang menumbuhkan nilai toleransi, seperti bekerja bakti di rumah ibadah agama lain atau melakukan kegiatan lain di luar sekolah untuk menumbuhkan penghayatannya terhadap nilai-nilai multikultur.

 

*Penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendikbud