Kisah di Balik Lukisan yang Batal Dipinjamkan (Dari Pameran “Revolusi!” di Rijksmuseum, Amsterdam)
Oleh Agus Dermawan T.
Tujuh lukisan koleksi Istana Presiden batal dipinjamkan
ke Rijksmuseum. Mengapa? Banyak kisah unik
di balik lukisan-lukisan yang bernominal amat tinggi itu.
Sepanjang 11 Februari sampai 5 Juni 2022 Rijksmuseum Amsterdam menggelar pameran besar berjuluk “Revolusi! Indonesie Onafhankelijk” (Revolusi! Indonesia Merdeka). Pameran ini dikutarori oleh Amir Sidharta, Bonnie Triyana dari Indonesia, dan Harm Stevens serta Marion Anker dari Belanda. Pameran menampilkan 200 koleksi seni dan benda bersejarah tentang situasi perang di Indonesia tahun 1945 sampai 1949, yang dibagi dalam beberapa periode.
Salah satu yang jadi konten pameran itu adalah periode gerakan “Bersiap”. Periode yang dimulai beberapa hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Menurut sejarah versi Belanda, “Bersiap” adalah kode dari gerakan para pejuang Indonesia yang melakukan pembantaian terhadap orang Belanda, Indo Belanda dan pro Belanda yang baru keluar dari penjara Jepang. Gerakan “Bersiap” baru mereda ketika tentara Belanda beraksi kembali di Indonesia pada Maret 1946.
Ketika para pihak Belanda memasukkan periode “Bersiap” sebagai bagian dari pameran “Revolusi!”, kurator Indonesia pun sangat keberatan. Karena “Bersiap” itu dianggap rekasejarah yang rasis, tidak adil dan sengaja dibikin untuk menutupi hasrat Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Serta untuk menetralisasi brutalitas tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda I – 1947 dan Agresi Militer Belanda II -1948. Polemik pun terjadi, dan pameran “Revolusi!” pun menjadi kontroversi.
Pameran “Revolusi!” siap memajang lukisan-lukisan yang menggambarkan situasi revolusi kala itu. Karya para maestro tersebut dipinjam dari berbagai institusi. Tercatat pula 7 lukisan koleksi Istana Presiden Republik Indonesia, yang oleh penyelenggara akan dihadirkan sebagai ikon dan harus ditonton. Lukisan itu adalah “Persiapan Gerilya” (1949) karya Dullah, “Mengungsi” (1947) karya Henk Ngantung, “Ir Sukarno, Pada Hari Proklamasi” (1945) karya Basoeki Abdullah, “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (1946) karya Affandi, “Biografi II Malioboro” (1949) karya Harijadi Sumadidjaja, “Kawan-kawan Revolusi”(1947) dan “Sekko” (1949) karya S. Sudjojono.
“Kami sangat gembira bisa mendapat pinjaman tujuh lukisan penting karya para maestro dari koleksi Istana Kepresidenan Indonesia,” kata Harm Stevens, kurator sejarah Rijksmuseum, dalam konperensi pers daring, 11 Januari 2022. “Lukisan-lukisan tersebut adalah jiwa dari pameran ini,” sambung Bonnie Triyana dalam kesempatan nyang sama.
Namun sayang tiga ribu sayang, 7 lukisan tersebut mendadak batal dipinjamkan. Padahal pengepakan lukisan sudah disiapkan di Istana Presiden Yogyakarta. Menurut pihak Istana Presiden, pembatalan peminjaman itu karena faktor merebaknya wabah Covid 19-Omicron di seluruh dunia. Suatu hal yang menyebabkan rute ekspedisi mendadak berubah, tersekat-sekat, sehingga memakan waktu lama untuk sampai Rijksmuseum. Selain itu Istana juga jadi tidak bisa menyertakan person yang ditugaskan menjadi pengawas lukisan-lukisan itu sampai berada di ruang pajang. Istana Presiden tidak menghubungkan pembatalan dengan polemik “Bersiap”.
Kisah Pengintai dan Hormat Pesepakbola
Mengapa tujuh lukisan itu dinyatakan sebagai ikonik dan harus ditonton, setidaknya ada 2 hal yang menjadi faktor. Pertama, adalah faktor presentasi visualnya yang sanggup menggugah ingatan kepada momen revolusi, dan memberikan gambaran kepada generasi sekarang : begitulah darah dan keringat revolusi. Kedua, adalah cerita yang ada di balik lukisan-lukisan itu. Apalagi ketika dikaitkan dengan konten pameran yang merujuk peristiwa agresi militer.
Kisah di balik lukisan-lukisan itu tertutur demikian, sebagaimana yang saya tulis untuk keperluan dokumentasi Istana Kepresidenan.
Lukisan “Sekko” karya Sudjojono menggambarkan seorang gerilyawan sedang melakukan pengintaian di daerah Prambanan, dekat Yogyakarta. Pengintaian terjadi pada 1948 saat terjadi Agresi Militer II. Tidak diceritakan, siapa yang menjadi “sekko” (pengintai, bahasa Jepang) dalam lukisan tersebut. Namun dari penggambaran postur tubuh yang pendek, lelaki itu jelas bukan tentara, tapi rakyat biasa yang sukarela ikut bertaruh nyawa.
Syahdan setelah dilakukan pengintaian, penyerangan pun dimulai. Para gerilyawan bahkan sempat memasang ranjau tarik untuk meledakkan jembatan kereta api di Sungai Opak, yang terletak di wilayah Bogem dan Prambanan. Pada saat itu jalanan dipenuhi barikade yang dipasang para gerilyawan Indonesia. Pohon-pohon besar terpaksa ditebang untuk penghalang. Batu-batu nisan dari kuburan desa diambil dan dipasang di tengah jalan untuk hambatan. Kendaraan tentara Belanda itu oleh para gerilyawan diyakini akan menyerang Yogyakarta, yang kala itu dijadikan ibukota dan pusat pemerintahan Indonesia sejak 1946. Lukisan “Sekko” adalah penanda penting perlawanan terhadap agresi tentara Belanda yang tak kenal ampun.
Selanjutnya, apabila “Sekko” lahir dari medan pertempuran, lukisan “Kawan-kawan Revolusi” Sudjojono lahir dari sebuah perbincangan yang sederhana. Dan itu dimulai dari usikan kecil pelukis dan penulis Trisno Sumardjo kepada Sudjojono. “Djon, bagaimana cara pelukis bisa kelihatan berguna dalam masa revolusi? Een echte bijdrage leveren aan de revolutie?” Sudjojono merasa tersindir. Beberapa hari kemudian ia melukis 19 wajah teman-teman seperjuangannya. Lukisan yang sangat terkenal itu diselesaikan hanya dalam sehari.
“Kawan-kawan Revolusi” dihadirkan pertama kali dalam pameran Seniman Indonesia Muda (SIM) yang diselenggarakan Biro Perdjuangan di Yogyakarta pada Mei 1947. Seperti awal gagasannya, lukisan itu tampil sangat simpel : hanya menggambarkan wajah-wajah orang belaka. Pada bagian atas lukisan ada inskripsi begini : Kenangan djaman membawa kami ke satoe roeang, ke satoe tempat, ke satoe langit, ke satoe repoloesi. Repoloesi ini ialah Repoloesi Indonesia.
Presiden Sukarno yang terpikat kepada inskripsi itu segera melontarkan pertanyaan : wajah siapa yang dilukiskan di situ. Sudjojono bercerita bahwa lukisan itu diilhami oleh kepahlawanan pemuda yang biasa dipanggil Bung Dullah (bukan pelukis Dullah). Pemuda ini telah menghancurkan empat tank Belanda, terakhir dengan bom serta granat yang dililitkan di pinggangnya. Sementara wajah-wajah yang ada di situ adalah para pejuang, yang sebagian besar adalah para seniman di sanggar SIM. Dalam jajaran itu justru tidak diketahui mana yang Bung Dullah. Yang unik, pada bagian tengah-bawah tampak wajah Tedja Baju, putera Sudjojono yang masih berusia 2 tahun.
Lukisan ini lalu “dibeli” oleh Sukarno. Namun sampai dua tahun tidak kunjung dilunasi. Pada 1949 Sudjojono yang sedang tak punya uang, menagih hutang kepada Sukarno. Ternyata sang presiden hanya punya uang Rp20.000 untuk membayar. Uang yang sedikit itu lalu dibayarkan, dengan disertai bonus pakaian-pakaian bekas.
Sukarno bangga benar atas lukisan itu. Setiap tamu yang datang ke kantornya selalu ia beri cerita mengenai perjuangan Bung Dullah yang heroik. Termasuk kepada rombongan kesebelasan sepakbola Lokomotif dari Uni Soviet, sehingga Valentin Bubukin (kepala rombongan) lantas mengajak semua anggotanya untuk mengheningkan cipta di hadapan lukisan itu.
Lukisan Affandi : Desain Poster
Lukisan “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” Affandi menggambarkan sejumlah pemuda sedang berkumpul di suatu tempat persembunyian untuk merancang penyerangan ke basis musuh. Lukisan ini dibikin tahun 1946, ketika pemerintah Indonesia mendengar bahwa tentara Belanda dengan mendompleng NICA (Netherlands Indies Civil Administration) akan datang lagi ke Indonesia. Bahkan berusaha untuk menduduki kembali kota-kota penting di Indonesia.
Untuk melawan itu Sukarno dan Sutan Syahrir menganjurkan agar Affandi membuat poster-poster yang membulatkan semangat bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan. Salah satu rancangan gambar poster itu adalah lukisan ini. Itu sebabnya di lukisan itu tertulis semboyan: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka” yang memotivasi rakyat Indonesia untuk jangan mau dijajah lagi.
Namun, ketika akan ditransformasi sebagai poster, Sukarno mengambil lukisan itu. Presiden merasa sayang apabila lukisan itu rusak hanya karena digunakan sebagai master pembuatan poster. Lukisan pun dijadikan koleksinya, walau ada bagian yang sudah terlanjur terlipat.
Lukisan “Persiapan Gerilya” karya Dullah juga menyisakan cerita unik. Lukisan ini semula berformat 250 x 350 cm. Namun karena dianggap terlampau panjang, Sukarno minta lukisan dipotong. Dullah dengan kesal melaksanakan instruksi. Potongan lukisan tersebut lantas ditimpa dan dijadikan lukisan baru, “Pemandangan di Kaliurang”. Beberapa hari setelah selesai, Dullah melaporkan peristiwa penablekan kanvas berlukis itu. Sukarno terbahak sambil berkata : “Kedua lukisan itu milik saya!”
Sedangkan lukisan Harijadi Sumadijaja, “Biografi II Malioboro”, menceritakan suasana hati bangsa Indonesia yang gundah dan bingung setelah merasa memiliki negara sendiri, dan harus menjalankan negaranya dengan kekuatan dan kemampuan sendiri, sejak 17 Agustus 1945. Lokasi bergundah dan berbingung itu digambarkan di tengah Jalan Malioboro, tempat semua unsur bangsa Indonesia pernah berkumpul dan berjuang bersama. Dalam lukisan tertulis inskripsi bahasa Belanda yang diantaranya terbaca (terjemahannya) : “...untuk Bersatu, harus diuji terlebih dahulu”.
Sayang sekali lukisan-lukisan yang berkisah seru dan berkualitas adikarya itu tidak hadir ke hadapan masyarakat Belanda. Sebagai ujung kalam adalah info kecil : 7 lukisan tersebut, untuk keperluan asuransi, diestimasi Rp364 milyar. *
*Agus Dermawan T. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden