Kemilau Toeti Heraty 92 Tahun: Pameran ‘Menyingkap Pretensi’

Oleh: Bambang Asrini*

 

Sebuah helatan milad, atau peringatan kelahiran seorang tokoh budaya memberi beban tersendiri bagi seorang penulis, apalagi menafsirkan cendekiawan skaliber Toeti Heraty yang multi-talenta dan penekun ilmu-pengetahuan filsafat pun seorang penyair.

Tokoh kompleks dan sumbangsihnya yang nyata bagi pergerakan dan advokasi perempuan, penulis sajak-sajak yang piawai merangkai kata dan makna, seorang maesenas seni-lukis dan patung yang jarang tertandingi, mewariskan ‘harta pengetahuan seni’ tak main-main: sebuah museum seni rupa sekaligus galeri seni!

Sebuah kerja penulisan esai yang menginterpretasi jejak langkahnya dalam peringatan 92 tahun, serasa ‘menangkap angin-kabut’ dari sosok kesejatian seorang tokoh ini, bagi penulis.

Toeti, juga dikenal semasa hidupnya, seorang pemikir tulen studi kebudayaan pun pergerakan politiknya jelang era reformasi dan usainya hiruk-pikuk 1998, yang dengan kesadaran penuh mengumpulkan tokoh-tokoh publik yang merasa prihatin pada kondisi negeri saat itu di titik-krusial.

Yakni, membentuk kelompok pemikir tangguh dan para aktivis dan ilmuwan yang menghadirkan forum Majelis Amanat Rakyat (MARA), dikemudian hari menghasilkan sebuah partai politik.

Beberapa tahun jelang wafat, seperti diungkap salah seorang sahabatnya, ia tak habis berceloteh tentang mimpi-mimpinya di usia 80-an, memberi pesan pada para pewarisnya, lembaga yang ia dirikan, Lingkar Budaya Indonesia (LBI) yang bermisi membina, mengembangkan, dan memanfaatkan, peradaban, kebudayaan dan persatuan bangsa.

Yang kita semua tahu, tentunya muskil bisa terlaksana saat ini, bahkan mungkin sampai satu generasi mendatang. Saat ini, sungguh Indonesia tercerderai krisis multi-dimensi.

Toeti setidaknya memberi kita sebuah kompas. Arah untuk menjadi manusia bervisi jauh melampaui usia. Ia tak lelah memberi tauladan, bahkan cita-cita untuk negerinya kelak; akan melangkah membawa “nilai-nilai kebudayaan”, entah sesiapa akan memanggulnya dari sejumlah generasi di atara anak-anak kita, ke depan untuk Indonesia?

Dalam sambutan acara ‘Kemilau Toeti Heraty 92 Tahun’, para ‘ahli waris biologisnya dan semoga juga ideologisnya’, yaitu adik perempuan bungsunya, anak lelakinya serta Direktur Cemara 6 dan Museum Toeti Heraty, sekaligus salah satu putrinya, yakni Inda C Noerhadi—pengkaji kebudayaan dan seni serta seorang pelukis–, merespon dengan lugas, sembari matanya berkaca-kaca, yang mungkin teringat pada almarhumah:

“Beberapa tahun terakhir, Museum Toeti Heraty meraih penghargaan sebagai museum inspiratif baik dari manca negara, semacam asosiasi profesional dan lembaga museum global berkompeten dan tak lupa juga dari pemerintah Republik Indonesia”, ungkapnya.

Inda juga memberi penekanan bahwa dengan dukungan seluruh keluarganya; ia bertekad melanjutkan warisan Ibunya dalam kecintaan pengkajian seni dan budaya, khususnya seni rupa dan komitmen pemberian ruang cukup luas bagi seniman perempuan terus digulirkan di program-program di galeri Cemara 6.

“Dalam beberapa tahun ini, kita juga menerbitkan publikasi dan helatan besar seni rupa Indonesian Women Artist di Galeri Nasional, yang akan dilaksanakan untuk ke-3 kalinya, pada Maret 2026 kelak’’ kata Indah, sebagai perwujudan pesan-pesan almarhum Toeti Heraty.

Toeti, masih dalam imajinasi penulis, sebagai kegelisahannya yang dituturkan dalam sajak-sajaknya, yang terpampang di dinding galeri Cemara 6, saat pameran “Kemilau Toeti Heraty 92 Tahun” bisa ditafsirkan bebas totalitas cintanya dalam ‘hidup dan berkebudayaan Indonesia’, yang ditulis tahun 1973:

 

Andaikan Hidup

 

andaikan hidup itu baju

ia terlalu ketat bagiku!

merekah, karena gairah kemilau

tersangkut di lereng bianglala

warna lunglai, lamban meraih ke langit

tak menyampai

sekali tersapu sebelas penjuru

dari petuah kelabu.

 

Ketunggal-nadaan

berkomat-kamit tak jemu-jemu

aneh juga, ia terlalu longgar

dijerat erat hati meringkuk

di rumah keong bertekuk-lekuk

karena kuncup dan embun kucari

kemana berlari?

gemuruh mesin menghitung angka pasti

mengejar manusia celaka

ah, dunia sudah terlalu tua katanya

tapi kutukan tetap sakti juga

 

Sajak-sajak 33 (1973)

 

Saat sama, penulis juga berkesempatan menelisik, meski tak lama, menjadi saksi. Di sela-sela helatan pameran seni rupa di Cemara 6 Galeri November lalu, menemukan sebuah ‘artefak sakral’, sebuah tesis doktor di sebuah pojok-privat di Museum Toeti Heraty yang di ruang lain, dikelilingi ribuan buku-buku koleksi privatnya; yang dikutip oleh keluarganya menyebut Toeti—dengan kesaksiannnya sendiri– sebagai ‘subjek-objek’ diantara ia dan budaya.

“Bila ‘Aku’ ini subjek, maka “Budaya” adalah objek-objek yang dihadapinya” yang ditampilkan tesis tersebut dalam kotak kaca dan teks tersemat di dinding kaki-kaki penyangganya. Toeti diakui komunitas intelektual dan Universitas Indonesia (UI) pada 1979, sebagai doktor pertama dalam kajian filsafat di Jakarta dengan ‘Tesis Aku dalam Budaya’, serta akhirnya menjadi Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Sastra UI (1994).

 

Pameran Menyingkap Pretensi Yang Kontekstual

Pretensi, sebagai yang tertulis di KBBI adalah kata benda yang bermakna keinginan seseorang yang minim fundamen nalar, seperti sebuah kepura-puraan, atau bahkan sebuah dalih dari niat yang palsu.

Penafsiran baku dari KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia online selayaknya menambahkan, kata sifat yang lebih kaya tentang arti ‘pretensi’, tentunya melekat pada karakter seseorang dengan makna: seseorang yang berpura-pura seolah ahli, namun telah berbohong besar dalam tindak-perilakunya; yang hal itu sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Bangsa besar ini, usai satu dekade telah tertawan konsep besar ‘pretensi kolekif’ para pemimpinnya, dengan budaya melawan meritokrasi—kompetensi dan kapabilitas ditanggalkan–yang membawa negeri terlilit hutang sangat besar.

Kemelaratan akut terjadi pada lebih dari separuh jumlahnya dalam populasi 285 juta jiwa, yang memiriskan hati rusak-parahnya sumber-sumber alam yang dulunya kaya tersebab salah urus — yang terkini hastag #Pray for Sumatera viral di media sosial, merespon fenomena terjadinya banjir bandang di Sumatera yang menewaskan lebih dari 100 orang.

Tersebab deforestasi, kompleksitas tata-kelola sumber daya alam lumpuh — serta berbagai cobaan lain; dengan sifat koruptif di segala lini hidup dan mental degradatif-kolektif menyukai kekerasan verbal oleh persaingan politik banal saling serang di media-sosial dari kelompok-kelompok relawan politikus-politikus besar.

Pameran ‘Menyingkap Pretensi’ bisa jadi memiliki makna ganda dari justru konsep tentang pemberian penghormatan yang layak atas sumbangsih kesejatian seseorang untuk masyarakatnya. Konsep tersebut, disusun oleh dua kurator muda internal galeri Cemara 6, Bagus Purwoadi dan Nirwan Sambudi yang direspon selama dua minggu oleh program residensi tiga seniman muda, salah satunya masih menempuh perkuliahan.

Mereka berkolaborasi dengan kurator merespon pemilihan salah satu karya koleksi kesayangan Toeti Heraty dengan karya seniman dari pelukis senior Suparto, dengan judul lukisan “Wanita dan Angsa”, cat akrilik di atas kanvas, 115x 104 cm, tahun 1982.

Sungguh sebuah aktifitas program yang benar-benar menantang secara estetik pun konteksnya memahami Indonesia hari ini dari sosok Toeti Heraty yang ‘tanpa pretensi’, melawan lupa, berbekal kejujuran akademisi, intelektualitas yang tak tergadai, serta aktivisme tak kompromi dalam pergerakan keperempuanan.

92 tahun dengan tajuk ‘Kemilau Toeti Heraty’ dan ‘Menyingkap Pretensi’ bisa dipahami dalam sebuah pameran seni rupa dengan itikad ‘upaya membawa pencerahan-pencerahan visual’ yang merespon warisan sumbangsih gerak pikir dan rasa Toeti bagi anak-negeri, menyingkap ‘borok-kepalsuan’ yang terjadi selama ini pada sebagian mental generasi kita semua.

Seniman-seniman muda, di pameran tersebut, baik perempuan dan laki-laki yang ingin menauladani ‘kilauan mutiara kecendekiawanan sang tokoh’ lewat interpretasi visual dan konsep-konsep tertentu; dengan menafsirkan garis-garis lembut ilustratif dan intuitif milik Suparto, bergambar wanita molek bertelanjang dada serta eloknya hewan angsa yang berlatar liris garis-garis putih-kebiruan-merah muda.

Perupa Ruth A Kaligis, yang berintimasi dengan pembuatan karya trimatra dan dwimatra, yakni patung dan lukisan, mencoba sebagai apa yang dikatakannya dengan pendekatan konsep teologis-psikologis, dengan karya tahun 2024 yakni The Windmill of Mind, dan karya lainnya hasil residensi.

Yang menarik bagi penulis justru karya tahun 2025, yang Ruth dengan semangat membawa abstraksi sosok patung seseorang yang dibungkus oleh akrilik tembus pandang dan plastik. Hal itu segugus eksperimentasi sosok mungil didalam kantung tersebut, yakni berjuluk Confused, resin dan plastik, 7×4,5x 17, 5 cm, 2025.

 

Karya patung mungil, Ruth A Kaligis, Confused, resin dan plastik, 7 x 4,5 x 17,5 cm, 2025

Rupanya Ruth, mencoba menginternalisasi kondisi psikis dirinya dalam ‘kebimbangan’ dari, dan ‘proses’ internalisasi figur Toeti Heraty, yang mungkin saja dengan menjauh dari –tak terinspirasi oleh lukisan Suparto—atau membebaskan dirinya, bahkan dari sajak-sajak yang terekat di dinding galeri.

Dalam wawancara Ruth mengaku memahami konsep feminisme gelombang awal, yakni dari buku Simone de Beauvoir atau pemikir perempuan Mesir, Nawal El Sadawi yang tenar dengan Perempuan di Titik Nol itu.

 

Karya koleksi Museum Toeti Heraty, Wanita dan Angsa, lukisan pelukis senior Suparto, cat akrilik diatas kanvas, 115 x 104 cm, tahun 1982

Pergerakan perempuan di abad ke-20, dalam kajian ilmu dan praktik, memang rumit dan terus bergejolak dalam dimensi lebih tak hanya hanya pada perjuangan pembebasan gender dan kesetaraan proposisi lelaki-perempuan, kesetaraan privat-publik, namun juga gelombang lebih rumit akhirnya terhampar pada abad ke 21.

Yang meluas dan dinamis dengan amunisi media sosial; dengan dimensi ‘wacana terkini’ bahwa energi advokasi dan kajian-kajian feminitas selaras dengan ingatan atas peminggiran masyarakat minoritas—etnis-etnis yang dikucilkan dan keyakinan-keyakinan yang tersegregasi, ancaman kekerasan terbuka—konflik terbuka antar negara dan meretas hambatan upaya pembebasan kemiskinan serta pembelaan terhadap nasib bumi dan lingkungan; serta kelantangan mengontrol kekuasaan rezim politik yang menindas.

‘Paska-feminisme’ membuka gerbang-peluang terhadap wacana pun praktik penolakan yang tak hanya terhampar pada ingatan-ingatan kolektif semata. Saat sama, juga internalisasi diri pada jejak-jejak absurditas dan rembesan budaya pop yang menyentuh dalam diri seniman perempuan dan nasib ingatan kolektif bangsanya merajam kesadaran privat. Tentu saja, hal-hal tersebut mengemuka hari ini, fenomena gelombang protes yang berbuntut chaos di Nepal dan fenomena masif demonstrasi di Srilangka, Bangladesh serta Indonesia dengan simbol-simbol budaya pop, seperti anime One Piece yang marak digemari gen-Zi.

Perupa lain dan masih berstatus berkuliah di perguruan tinggi seni di Jakarta, kembali kita menerka tentang sebuah perjalanan ke dalam diri, yakni Aisha Kastolan, seorang model, pelakon filem dan perupa yang mencoba berefleksi atas dirinya dan sajak Toeti Heraty yang tertaut pada angka 33, tahun 1973.

 

Karya Aisha Kastolan, Rust of Resilience, resin, 38 x 30,5 x 39,3 cm, 2025

Aisha melihat sajak itu sebuah kegalauan besar personal pun mungkin sosial dengan menyasar pada bentuk tubuh perempuan, emosi yang menggetarkan secara abstraktif, kondisi-kondisi psikologis keperempuanan yang ‘meng-andaikan ’ ia sebagai Toeti Heraty dan dirinya menyatu dalam sebuah ‘kegalauan berat’.

Patung mungilnya, berkelir kecoklatan dalam judul Ruth of Resilence, resin, 38×30,5 x 39,3cm, 2025 dan berkarakter monolith (utuh dan tunggal-menyatu) yang belum meloncat ke eksprimentasi materi, misalnya ‘instalasi digital tertentu’; yakni ungkapan ekspresi lebih mencuat; namun bisa kita maklumi bersama, sebagai sebuah awal perjalanan seorang perupa dalam pameran.

Sebagai yang dituturkan oleh kurator di teks kuratorial bahwa Toeti Heraty adalah sosok ‘ibu yang mengemong’, tatkala sekelompok seniman-seniman muda; bahkan masih kuliah mempertautkan sebuah ‘revolusi visual dan pemikiran’ pada kondisi zaman kala Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) th 1975 terlahirkan. Namun pameran ‘Menyingkap Pretensi’ memang ‘tak menghamparkan kebaruan materi pun koseptual seni’.

Semisal, usainya hingar-bingar seni NFT (non fungiable token) dan seni digital pun juga fenomena AI (artificial intelligence) dan seni yang sempat menjadi polemik hangat bahkan dipolitisir itu –mahasiswi dari ITB yang membuat meme Presiden dan mantan Presiden berciuman awal 2025 lalu–; sewajarnya terikat pada ‘spirit pemberontakan’ seniman-seniman gen-Zi.

Ekspresi dengan ‘konsep galak nan menggedor benak’, memang belum selaras dengan liarnya GSRB, yang Toety Heraty adalah maesenas seni saat itu; bahkan mendukung penuh gerakan seni eksperimentatif tersebut.

Perupa terakhir, laki-laki, yakni Nadhief Ashr, yang memilih untuk tak secara langsung terhubung juga dengan sosok Toety Heraty, namun kita bisa saja menghubungkan sebaggai sebuah perumpamaan privat yang dimiliki oleh keluarga Toety dengan metafora ‘9 nyawa kucing-kucing’ yang diimajinasikan oleh Nadhief dalam lukisan-lukisannya itu yang diletakkan secara acak di sejumlah dinding-dinding galeri Cemara 6.

Di karya What’s The Chime for Death O’clock, cat minyak di kanvas, 100 x 120cm, seseorang sedang memperhatikan kucing kesayangannya yang berebahan di kursi dan apa yang disebut dalam pengandaian Nadhief dalam konsep tertulisnya di sebelah kanvasnya, alangkah indahnya hidup, seperti kucing yang survival dengan mudah, seakan hidup seadanya.

Sembilan nyawa kucing, bisa jadi talenta luar-biasa sebagai pengertian ‘nyawa‘ adalah ekspresi beragam kekaguman pada kekuatan kecendekiawanan dan kemampuan kepenyairan Toety Heraty di masa silam yang memang luar biasa. Namun, penulis memilih karya lukisan Nadhief yang lain sebagai ketertarikan subyektif, yakni Isolation (catarsis series), cat air, gouache, grafit, 2025 di kertas yang Nadhief piawai membuat komposisi dan frame lukisan yang cukup kreatif.

Karya Nadhief Ashr, Isolation (catarsis series), cat air, gouache, grafit di kertas, 2024

Nadhief dalam karya ke-2nya ini, memberi kita ungkapan-ungkapan enigmatik, yakni gambaran sosok-sosok manusia di kiri kanvas terkelompok pada posisi dengan impresi terdesak dan terkurung, sementara sosok binatang menyerupai gajah liar atau yang sosok hewan terbang sepertinya memperhatikan dan memasuki lorong-lorong labirin teka-teki, serta di kanan kanvas, sosok angsa? —Yang mungkin dihasratkan sebagai sesuatu yang sakral– menyerupai gambaran koleksi karya kesayangan Toety Herawaty; milik pelukis senior Suparto.

Diluar konteks pameran seni rupa dari tiga perupa muda ini, yang tentunya masih terus berproses menuju kematangan dengan tantangan-tantangan untuk berpameran di masa depan, kita tetap bersyukur bahwa kenangan atas 92 Tahun, andai ia sang Pencerah hidup, seorang  pemikir, pejuang dan maesenas seni terus saja dihidupi dan dihidupkan oleh generasi-generasi yang lebih muda.

Tentunya, sebuah esai sederhana tak bisa tuntas menyingkap ‘pengandaian’ ala Toeti Heraty yang bervisi membumbung tinggi, melampaui usia, seperti juga sajak-sajak privatnya yang gelisah:

 

andaikan hidup itu baju

ia terlalu ketat bagiku!

merekah, karena gairah kemilau

tersangkut di lereng bianglala

 

***

—–

*Bambang Asrini, penulis dan kerani seni.