Merayakan 50 Tahun IKJ Dengan Buku Digital
Oleh Edy Susanto
Judul Buku : Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta, Kronik Seni Budaya
dan Sosok Alumni
Penulis : Tim Redaksi (Penulis Kronik Seni Budaya, Sosok Alumni, dan Esai)
Penerbit : IKJ Press
Tahun : 2021
Tebal : li+685
1
Sebuah katalog, kronik, kaleidoskop, apapun istilahnya, yang pasti ketiganya mengandung pengertian serupa tetapi tak sama, sebagaimana hal yang sama juga terjadi pada kedua istilah arsip dan dokumen; sejatinya istilah-istilah tersebut tidak perlu dipersoalkan bahkan diperdebatkan. Merupakan sesuatu gagasan besar dan langkah berani untuk menghadirkannya di tengah publik, meskipun kemasannya dalam wujud digital atau yang sering disebut e-book (electronic book), sama sekali bukan menjadi problem. Justru yang terpenting adalah isi dari e-book tersebut. Apabila tetap menginginkan bentuknya yang cetak print out, silakan pembaca menge-print sendiri. Buku elektronik bertajuk Kontribusi 50 Tahun Insitut Kesenian Jakarta Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni setebal 685 halaman (dihitung dari bagian isi hingga daftar pustaka, belum termasuk bagian muka (dari cover depan hingga daftar isi dan indeks), pada awalnya adalah gagasan besar sekaligus langkah berani dari seorang Seno Gumira Ajidarma (SGA) yang kala itu menjabat Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ), periode 2016-2020. Gayung pun bersambut, gagasan besar SGA itu segera diapresiasi dan didukung para dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan IKJ, tak terkecuali mereka yang menduduki jabatan struktural. Proyek atau hajatan kolosal penyusunan buku kronik itu juga mengundang para alumni, yang merupakan perwakilan dari ketiga fakultas (seni pertunjukan, seni rupa, film dan televisi). Sebuah tim atau orang dari luar IKJ juga ikut dilibatkan, hal ini penting mengingat pekerjaan besar ini tidak bisa ditangani secara “serabutan” atau “sambil lalu,” apalagi yang menyangkut riset dan pengolahan data serta pekerjaan pra-cetak. Sangat beruntung melibatkan orang luar, dalam hal ini tim periset, tim lapangan (Sulaiman Harahap dan kawan-kawan), yang memang sudah berpengalaman, jika tidak, tetap memaksakan “orang dalam IKJ,” hampir dipastikan akan semakin molor lagi durasi yang diperlukan.
2
Buku Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni disusun, dicetak dan diterbitkan dalam kemasan e-book pada rangkaian Dies Natalis yang ke-50 (Tahun Emas); sebelumnya dimeriahkan dengan pelbagai aktivitas seni budaya dan terpaksa dilakukan secara Webinar (Virtual) karena masih dalam masa pandemi Covid-19. Namun tidak lantas kreativitas bahkan inovasi para seniman akademisi ini menjadi mandek. No problem dengan pandemi Covid-19, show must go on kami berkarya. Pandemi Covid-19 yang bermula dari Maret 2020, yang hingga kini (April 2021) belum reda, tentu juga sangat berdampak bagi IKJ, sehingga telah berakibat merubah keseluruhan pola kinerja sivitas akademika berikut para tenaga kependidikannya, sehingga istilah PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) pun diberlakukan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, tidak terkecuali kegiatan non akademiknya. Acara menyambut ulang tahun IKJ, yang sangat spesial kali ini, sebab bertepatan dengan usianya yang ke-50 atau tahun emas, dengan beragam acara telah digelar sejak Mei dan tepat pada tanggal ulang tahunnya IKJ, 26 Juni 2020, dipergelarkan Tayangan 10 Jam Non Stop yang dimulai dari 09.00 WIB-19.00 WIB, yang terbagi dalam 3 (tiga) sesi dan melibatkan para praktisi akademisi, baik mahasiswa maupun dosen serta alumni dari berbagai disiplin seni yang ada di IKJ hingga rangkaian acara dalam rangka HUT berakhir September 2020 (lihat buku katalog, halaman 638-644).
Foto dari buku (Fakultas Seni Rupa)
3
Buku katalog setebal 685 halaman ditambah “LI” (51 dalam angka romawi) sehingga total 736 halaman; berisi 1.203 entri kronik dan 102 sosok alumni serta 5 esai (tari, musik, film, rupa dan teater), masing-masing ditulis Bambang Bujono (sekaligus sebagai editor esai), Marselli Sumarno, Seno Joko Suyono dan Cholil Mahmud; penulis kronik seni budaya: Esha Tegar Putra dan kawan-kawan; penulis sosok alumni: Albertus Wida dan kawan-kawan. Diperlukan puluhan ribu arsip sejak 1970-2020 yang “diburu” dari Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Dokumentasi H.B. Jassin yang ada di Taman Ismail Marzuki; berbagai media massa cetak maupun daring, terutama Pusat Informasi Kompas dan Pusat Data dan Analisa TEMPO, serta perpustakaan di IKJ, FFTV, FSR dan FSP dan wawancara dengan para nara sumber, dosen dan alumni. Beragam arsip yang dilacak tersebut berasal dari liputan media, kalender acara, buklet (buku acara), katalog, jurnal, dokumen dan poster; yang kemudian diseleksi dan disusun berdasar sejumlah pertimbangan, yang meliputi: pelaku, jenis kegiatan dan karya dengan merujuk pada derajat keterlibatannya (lihat halaman xii, Editorial Kontribusi, buku katalog). Perlu di diketahui di sini, yang dimaksud “pelaku” adalah IKJ dan sivitas akademika (dosen dan mahasiswa), atas nama lembaga, kelompok, individu; bisa berarti kampus, rektorat, fakultas, organisasi mahasiswa, ikatan alumni, dan kelompok seni inisiasi anggota sivitas akademika dalam “batasan tertentu.” Patut digaris-bawahi untuk karya dan aktivitas yang dilakukan oleh “ individu mantan dosen” dan “individu mantan alumni,” termasuk mereka yang tidak lulus, tidak dicatat dalam buku katalog ini. Setelah kategorisasi berdasar pelaku, jenis kegiatan dan karya, maka kontribusi setiap pelaku, diketengahkan ke dalam enam kategori: acara, karya, partisipasi, kabar, peristiwa, dan fenomena. Seluruh arsip yang telah disinggung di atas, selanjutnya diolah menjadi kronik yang isinya meliputi: urutan deskripsi ringkas, lengkap dengan elemen informasi tambahan yang merincikan konteks waktu, lokasi, dan keterlibatan (lihat halaman xii, Editorial Kontribusi, buku katalog). Demikian, penulis rasa sudah cukup jelas kriteria yang diinginkan oleh tim penyusun buku katalog ini.
4
Lalu apa sebenarnya yang diinginkan oleh buku katalog 50 tahun IKJ setebal 736 terbitan IKJ Press ini, maksud dan tujuan serta manfaat atau kegunaannya, baik bagi IKJ sendiri maupun publik umum? Merekam dengan menunjukkan data secara valid melalui katalog ini, sebagai bukti nyata bahwa selama 50 tahun IKJ berdiri, telah banyak memberikan kontribusi bagi seni budaya (baca: kesenian) Indonesia; sebagaimana disampaikan Seno Gumira Ajidarma, mantan Rektor IKJ dalam pengantarnya. Katalog ini adalah lebih dari sekedar catatan sejarah sekaligus menjadi bahan refleksi bagi masa depan IKJ, ucap Rektor IKJ, Dr. Indah Tjahjawulan, S.Sn., M.Sn., dalam sambutannya. Katalog ini memperlihatkan arti penting dalam hubungannya dengan ekosistem seni budaya, kata Suzen H.R. Tobing, S.Sn., M.Hum., mantan Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama. Pada akhirnya terdapat tiga subjek penting yang perlu dicatat: IKJ sebagai institusi yang mendidik para calon seniman akademisi; karya-karya seni yang dihasilkan oleh para seniman akademisil; dan para seniman akademisi yang merupakan hasil didikan IKJ. Menengok selama 50 tahun, idealnya jelas setiap kurun waktu 4-5 tahun (sesuai masa tugas pejabat struktural dan penilaian BAN PT), ketiga subjek tersebut dapat berkaca guna berbenah diri demi pencapaian yang lebih mumpuni lagi menuju persaingan regional maupun global.
Salah satu foto dalam buku (Pementasan Miss oleh Julie Prodi Teater)
5
Hampir 90 persen, jika boleh mengira-ngira, lulusan IKJ adalah praktisi: pencipta atau penyaji sebuah karya, baik teater, tari, musik, rupa dan film; masing-masing karya-karya tersebut dipamerkan dan dipertunjukan. 10 persennya adalah pengkaji: pengamat, kritikus. Namun justru menjadi keunggulannya di bidang praktisi ini, asal dengan syarat mengikuti perkembangan yang ada, seperti: saling berbagi dan bertukar dalam berkarya dengan sesama seniman lain yang dari “luar” serta banyak membaca referensi tertulis (buku dan sejenisnya) yang dapat mengisi wawasan intelektualnya sehingga menjadikan keunggulan yang dihasilkan berimbang, seniman akademi yang kreatif dan inovatif sekaligus pemikir. Dengan kata lain perbandingan adalah 90 perseni praktisi dan 10 persen pengkaji. Hal ini sangat beralasan, mengingat dari segi historis IKJ yang sebelumnya LPKD (Lembaga Pendidikan Kesenian Djakarta, kata Jakarta masih menggunakan ejaan lama) sejak berdiri 1970 (tepatnya 26 Juni); dan masih menempati lantai III yang digunakan untuk gedung perkantoran Taman Ismail Marzuki, dengan jumlah mahasiswa 57 orang, 20 dosen, dan 6 karyawan administrasi dengan 4 akademi (Tari, Musik, Teater, dan Seni Rupa, akademi sinematografi baru berdiri 1971); dan LPKJ (sudan menggunakan ejaan baru) benar-benar gedungnya berdiri pada 1976 (diresmikan oleh Presiden Soeharto , 25 Juni); sejak awal berdiri itu pendekatan dan sistem pembelajaran yang digunakan adalah workshop dan gaya sanggar atau padepokan, dengan pengajarnya hampir seluruhnya para seniman tulen. Maka dari sini para lulusannya banyak melahirkan praktisi, yang untuk bidang tulis menulis tidak terlalu menguasai, mereka lebih terbiasa dengan bahasa lisan dan para lulusannya ini tidak menerima gelar akademik, tetapi sebagai bukti telah lulus waktu itu hanya diberi sertifikat dan sangat didengungkan saat itu bahwa yang terpenting adalah karya bukan ijazah.
6
Buku katalog yang rencana penyusunannya sejak 2018, dan mulai dengan tahap awal pada akhir 2018 hingga pertengahan 2019 antara lain mengerjakan desain riset dan survei alumni; selanjutnya pada 14 Oktober 2019 dibentuklah tim kurator seleksi yang akhirnya pada Februari 2020 ditetapkan 102 nama alumni untuk ditulis dalam katalog ini. Berbarengan dengan itu, sebagian besar proses riset telah selesai dilakukan. Namun patut disayangkan, proses penyusunan selanjutnya turut terdampak oleh pandemi global Covid-19 yang turut mengubah pola hidup dan kerja para awak periset dan penyusun, kalau tidak mau dibilang pola kerja jadi “kacau” dan seperti tidak siap menghadapi peristiwa yang tiba-tiba ini, yang mau tidak mau harus belajar beradaptasi lagi untuk memulai atau melanjutkan lagi kerja besar ini. Sejumlah data dan arsip yang perlu diambil dari IKJ sempat terkendala dengan adanya pandemi ini, dan rencana penerbitan katalog ini juga perlu ditata kembali. Semestinya katalog ini hendak diluncurkan pada 23 Juli 2020, bersamaan dengan acara akbar perayaan ulang tahun IKJ ke-50. Tetapi apa daya, peluncuran katalog ini molor hingga pada November 2020 selesai dicetak print out beberapa ekslempar (lihat Penyusunan Kontribusi, halaman x-ix, buku katalog) dan peluncurannya malahan baru Senin, 29 Maret 2021 di Gedung Tom Fakultas Film dan Televisi IKJ dan dibagikan pada peserta yang hadir dalam bentuk e-book.
7
Ketebalan buku Kontribusi 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta, Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni, terasa cukup dan sesuai, malahan terkesan agak tebal (kelebihan), sebab katalog yang memuat dan merekam perjalanan IKJ lima dekade (1970-2020), misalnya saja satu dekade (1970-1979, seperti pembagian dalam katalog), selama 10 tahun, katakanlah memerlukan 100 halaman maka bila sampai lima dekade, 50 tahun, jumlah totalnya memerlukan 500 halaman. Sebab cukup banyak yang mestinya dipangkas (dibuang) terutama kronik yang menyangkut kategori fenomena, peristiwa dan kabar; yang tidak ada hubungannya secara langsung dengan kontribusi IKJ. Namun jangan buru-buru mengatakan seperti itu, jika ukurannya bahwa kategori yang masuk “fenomena,” “kabar,” dan “peristiwa,”, berperan melengkapi konteks kontribusi IKJ dan menjadi saksi bagi kontribusi IKJ yang lebih langgeng sifatnya serta berfungsi menuliskan kembali adanya berita-berita tentang proses dan pencapaian karya yang tanpa ditemukan dokumentasi tentang karya itu sendiri, sebagaimana yang diterangkan pada Editorial Kontribusi, halaman xii, jelas sangat setuju. Maka total ketebalan 736 buku katalog ini sangat sesuai, bahkan terasa kurang, mengingat banyak hal terlewatkan. Sebut saja sosok alumni dari teater bernama Rahman Yacob, angkatan 1980 pernah melakukan hal yang cukup fenomenal dengan membuat rumah seperti menara yang semua bahannya terbuat dari bambu dan anyaman dari bambu dengan ketinggian tertentu; dengan pekerjaannya ini diberi judul 7 Hari 7 Malam Tanpa Menginjak Bumi, maksudnya ia selama itu menetap di atas terus tanpa turun ke bawah (menginjak tanah) dengan makan tidur bahkan mandi dan buang air besar di atas rumah bambu itu. “Pertunjukan” ini dilakukan dalam rangka HUT Kemerdekaan RI ke-50 (1995) yang ditampilkan di pelataran TIM Jakarta. Berikutnya performan dari para dosen, alumni dan mahasiswa lintas jurusan dan fakultas pada waktu itu (Mei 1998) bertetapan dengan jelang Presiden Soeharto lengser, Sena A Utoyo bersama Subarkah Hadisarjana, dan lain-lain; melakukan performan di kubangan penuh lumpur dan becek, yang merupakan bekas bongkaran Gedung Teater Arena dan Teater Tertutup TIM. Demikian juga pertunjukan Randai dengan tajuk Bujang Panjudi lakon ditulis A. Kasim Achmad dan tarian, nyanyian dan kaba digarap oleh Tom Ibnur, sedangkan bagian dramanya digarap oleh Azuzan JG, berpentas di Malaysia medio 1994 (?). Pementasan di Teater Luwes, menghadirkan sutradara bule sebagai sutradara dan pembicara dengan lakon Anjing dan Tuannya (?) dengan memperkenalkan gaya akting Bertolt Brecht pada 1995 (?) para pemain mahasiswa dari UGM Yogyakarta, berlanjut dengan diskusi. Pementasan teater di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) lakon Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek karya Danarto, sutradara Ence Bagus produksi Teater, The Next Generation pada 2005 (?). Pertunjukan lakon Liangkarya Kentut yang diterjemahkan dari bahasa Jawa Ngoko gaya Solo ke bahasa Indonesia oleh Pramana Padmodarmaya dan Theresia Rini (mahasiswa jurusan teater, angkatan 1997), berpentas di Taman Budaya Surakarta pada 2004 (?), Pementasan teater oleh Teater Genk berjudul End Game, naskah drama terjemahan Joko Quartantyo yang sekaligus menjadi sutradaranya. Para pemain: Joseph Ginting, Mathias Muchus dan Siti Artati, dan terakhir pementasan Miss Julie pada 2012 di Teater Salihara, produksi Teater Luwes (bukan atas Teater Lembaga). Beberapa pertunjukan yang telah disebut di atas, entalah kira-kira dimasukkan ke dalam kategori apa (karya, peristiwa, fenomena dan lain-lain), dan secara kebetulan semua performan seni teater, seluruhnya terlewatkan dari penyusunan untuk kronik seni budaya dalam katalog ini. Bisa jadi dari beberapa hal tersebut tidak ada dokumentasi atau arsipnya.
8
Apa yang sudah dirumuskan dalam catatan Editorial Kontribusi mengenai pemilahan dan kriteria sudah benar. Satu hal lagi yang penting dan menjadi persoalan adalah dalam pemilihan sosok alumni. Memang harap maklum, untuk pemilihan sosok atau tokoh bagaimanapun selalu menjadi persoalan. Lihat saja ketika Presiden Habibie memberikan anugerah “Pahlawan Nasional” kepada istrinya Ainun, mendapatkan kritikan dari masyarakat. Pencantuman gambar sosok Pahlawan Nasional di uang kertas terbitan terbaru, menjadi problem. Juga pada saat Korrie Layun Rampan menerbitkan buku Angkatan 2000 sosok-sosok seniman (sastrawan) yang masuk kategori tersebut banyak mendapat kritikan. Termasuk pemilihan sosok alumni dalam katalog ini, meskipun “suara-suara” yang beredar tidak seheboh yang terjadi jika dibandingkan dengan hal-hal tersebut di atas. Selain gambar (foto) para sosok alumni terlalu besar, satu lembar tersendiri, mestinya bisa diefektifkan menjadi satu lembar, yang memuat 4 sosok alumni dengan tulisan tinggal disesuaikan kebutuhan sosok alumni tersebut; bahkan sejumlah sosok alumni yang seharusnya perlu ditampilkan, ini malah tidak ditampilkan sama sekali. Sebut saja dari Fakultas Film atas nama Nurhadi Irawan (angkatan 1974), Tony Prabowo, Otto Sidharta, Fahmi Alatas (asal Departemen Seni Musik); Ugo Haryono, (angkatan 190) asal Akademi Seni Rupa; Sukarji Sriman (asal Jurusan Tari); dan Eddy De Rounde (angkatan 1970), Ray Sahetapy (angkatan 1977), Zak Sorga (angkatan 1984) tidak tampil sosoknya di buku katalog. Memang beberapa kriteria sebetulnya sudah memenuhi syarat semua. Jika acuan atau kriterianya sosok yang popular, mengapa Ray Sahetapy tidak masuk kategori. Jika kriterianya karena tidak sampai lulus kuliah, maka batasannya perlu melihat Cok Simbara yang kuliah juga tidak sampai lulus, Harry Roesli dari Akademi Musik, kuliah juga tidak sampai lulus; mengapa keduanya masuk ke dalam buku katalog. Tentu ini yang paling bertanggung jawab adalah Mathias Muchus sebagai tim anggota kurator penyeleksi sosok alumni yang berasal dari Jurusan Seni Teater. Tetapi biarlah, lagi-lagi masalah keterbatasan waktu, dan harus juga memilih sosok alumni yang mesti “dihilangkan,” setelah diseleksi atau dengan bahasa lain, ada sosok alumni yang harus dikorbankan. Sekali lagi maklum, ini suatu pekerjaan atau proyek kolosal, besar, dan mungkin perlu sekali diapresiasi sekaligus sangat layak dipuji, buku Katalog 50 Tahun Institut Kesenian Jakarta, Kronik Seni Budaya dan Sosok Alumni, sesuatu yang “langka” atau “jarang sekali” disusun dan diterbitkan oleh insitusi lain, selain IKJ yang untuk pertama kalinya berani menerbitkan buku katalog dan hal ini dapat merangsang institusi lain, melakukan hal serupa. Selain itu dengan terbitnya buku katalog ini menjadikan kita banyak hal tahu, yang sebetulnya tidak tahu; misalnya saja ada informasi Festival Teater yang kemudian menjadi Festival Wahyu Sihombing, nama Norman Benny yang masuk FFTV sebagai angkatan 1972 penulis juga baru mengetahuinya. Buku katalog ini akhirnya telah membuka mata kita, bahwa dokumen atau arsip bukti-bukti tentang kontribusi IKJ banyak yang terlewatkan dan ini membuktikan IKJ dalam hal tata kelola atau manajemen penyimpanan dokumen sangat lemah. Dengan adanya buku katalog ini menyadarkan kita semua akan begitu pentingnya sebuah dokumen. Selamat, Anda adalah Dedikasi 50 Tahun Berkarya, Bukti Nyata Kontribusi IKJ dalam Seni Budaya Indonesia.
Gunung Sindur, 9 April 2021
*Penulis adalah Dosen Prodi Teater IKJ