Ahmad Sahidah: Antara Filsafat dan Kehendak Berkuasa
Oleh: Musyafa Asy’ari
Judul buku: Kehendak Berkuasa dan Kritik Filsafat
Penulis: Ahmad Sahidah
Penerbit: IRCiSoD
Cetakan: April, 2021
ISBN: 978-623-6699-98-0
Ketebalan: 192 halaman
No. buku perpustakan: 22SR39891820.2
Di tengah berbagai isu datang kian meluap dan silih berganti, sempat terlintas di pikiran saya tentang apa makna dari sebuah buku yang di dalamnya termuat berbagai isu yang beragam? Jawabannya sangat singkat yaitu indah. Ibarat sebuah taman yang terisi oleh berbagai bunga dengan varian warna yang berbeda, tentunya akan menghasilkan keindahan yang tiada tara. Lalu, apakah bisa dalam satu buku termuat berbagai isu yang beragam? Tampaknya pertanyaan tersebut tidak perlu jawaban iya atau tidak, karena di tangan Ahmad Sahidah semua itu adalah mudah, ia mampu memadukan berbagai tema dalam satu rajutan kuat. Tentunya, tidak semua intelektual bisa melakukannya.
Ahmad Sahidah merupakan pengajar Filsafat Ilmu Manajemen di Universitas Nurul Jadid Paiton. Sebelumnya, ia pernah mengajar Sosiologi Agama di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dan mengampu Sains Pemikiran (Filsafat) Etika di Universitas Utara Malaysia. Penikmat lagu Rhoma Irama ini juga pernah menulis beberapa buku, di antaranya: Kata yang Rapuh (2019) dan Agama Sipil Robert N Bellah (2020). Dua buku pernah ia terjemahkan yaitu Truth and Method dan Dialectic of Enlighnment. Penulis adalah seorang intelektual dan akademisi Indonesia yang cukup lama di Malaysia. Sehingga ia berjaya mampu mengaitkan denyut nadi dua negara dengan jalinan intelektual tanpa dibatasi oleh garis bangsa.
Buku ini adalah fragmen-fragmen pemikirannya yang berserak di media cetak, lebih tepatnya di rubrik opini Jawa Pos dalam kurun waktu 2012-2020. Keunikan dan kekuatan buku ini terletak pada pembahasan persoalan yang beragam, dari mulai agama, politik, bahasa, hingga pendidikan. Semuanya dibalut dengan pendekatan filsafat. Akan tetapi, Sahidah mampu merubah hal-hal filosofis yang berat menjadi ringan. Saya rasa buku ini mencoba membuat kita memahami persoalan dengan kritis tapi tetap arif.
Menurut saya, yang paling menarik dari buku ini terletak di penulisnya yakni seorang santri berintelektual. Seperti yang kita tahu, bahwa banyak santri pintar tapi tidak banyak yang berintelektual. Hal ini tentu bisa dibuktikan. Sahidah menyajikan tema pembuka dari buku ini yang memuat tentang filosofi keagamaan, seperti makna puasa, santri, maulidan, dan politik islam.
Menurut Sahidah puasa merupakan ajang untuk mengasah hakikat diri yang terdiri dari jiwa bukan hanya raga. Pemuasan kehendak raga selama sebelas bulan harus diredam dalam satu bulan penuh berpuasa, semua itu bertujuan agar kita mampu menemukan keseimbangan dalam bulan-bulan selanjutnya. Karena orientasi dari puasa itu sendiri ialah mencetak manusia yang mampu mengalahkan hasrat tubuhnya dan kepuasan jasmani tanpa henti. Oleh Sahidah, kritik ini diberi judul “Agar Puasa Tak Sia-Sia,” (Jawa Pos, 9 Agustus 2012) (Hal 26).
Tak hanya soal ibadah, Seruan mondok juga ia selipkan di bukunya dengan judul “Ayo (Jangan) Mondok,” (Jawa Pos, 4 Juni 2015) (Hal 30). Sahidah mengatakan bahwa, pondok pesantren mampu membuat seorang manusia dengan kecerdasan fisiologis dan kematangan psikologis. Bagaimana tidak, di pondok pesantren seorang santri akan ditempa, diasah, dan diasuh. Kendati demikian, suasana klasik juga terpancar dari sekeliling pondok pesantren. Tentunya, hal ini bertujuan untuk merawat tradisi agar lestari. Sahidah juga mewanti-wanti kita agar selalu mawas diri terhadap pondok-pondok baru yang berdiri megah, kehadirannya justru membuat warga resah, sebab ustadz dan pengasuhnya tampil secara eksklusif dan mencekoki santrinya dengan doktrin tertutup.
Buku yang dipengantari Muhammad Al-Fayyadl ini, bukan semata mengajak pembaca untuk memandang isu-isu dengan mata panorama dan melebarkan pandangan dengan sapuan panoramik. Lebih dari itu, kita seakan diajak untuk kembali berselancar dan bernostalgia terhadap beberapa peristiwa sosial sampai politik yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir. Misalnya, ada kasus Hambalang yang menyangkut nama Nazaruddin dan Anas Urbaningrum (Ketua Umum Partai Demokrat pada masa itu). Kasus Hambalang adalah pencurian uang negara yang membuat Anas Urbaningrum ditantang bersumpah pocong oleh Nazaruddin untuk memastikan siapa yang jujur dan bohong di antara mereka. Tantangan ini lahir dari pernyataan Anas yang bersedia digantung di monumen nasioanal jika terbukti terlibat dalam kasus Hambalang itu. Oleh Sahidah, peristiwa ini dicatat dengan judul Mengajak Pocong Bersumpah, (Jawa Pos, 17 Maret 2012) (Hal 63).
Mengutip dari perkataan Al-Fayyad pada pengantar buku ini, meski buku ini menyajikan banyak fragmen-fragmen pemikiran, buku ini tetap tidak kehilangan ruh sebagai sebuah buku utuh. Ada banyak dampak positif yang dihasilkan ketika membaca buku ini, di antara energi positif yang dipancarkan dari buku ini berupa ajakan untuk berdiskusi, merenung, dan berprikir kritis, (Hal 14).
Dengan pemikiran-pemikirannya yang bernas, Sahidah sukses membedah dan mendiskusikan sebuah peristiwa-peristiwa sosial dengan kata-kata yang amat sederhana dan lunak. Dengan tetap tidak kehilangan nilai ilmiah dan nalar kritisnya. Saya yakin Sahidah menulis bukan semata dengan ilmu dan pengetahuan, akan tetapi banyak mengunakan hati, pikiran, dan perasaan. Maka dari itu, bisa kita tarik benang merah bahwa buku ini sangat layak bagi semua kalangan baik untuk referensi ilmu maupun kehidupan.
Purwokerto, 15 September 2022.
*Musyafa Asy’ari. Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri KH Syaifuddin Zuhri Purwokerto.Lahir di Benda, Sirampog, Brebes, 1 Juni. Agama Islam. Bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah kepenulisan sastra peradaban). Karyanya pernah terpublikasikan di beberapa media online seperti ngewiyak.com, cerano id, go kenje, Borobudur Writers, sksp literary. Balipolitika.com Sekarang sedang berdomisili di Ponpes Al-Hidayah Karang Suci Purwokerto, dan Ponpes Darul Ghuroba Al-Hikmah 1.