Yang Dilawan, Melawan

Oleh Adi Prayuda

“Apa yang paling sering kita tolak atau lawan di dalam diri kita akan cenderung kita tolak dan lawan di luar diri kita. Kita, selama ini, hanya berkelahi dengan persepsi kita sendiri, yang kelihatannya seperti orang lain.”  ~Adi Prayuda

Kita kira ketika kita melawan sesuatu, kita akan mendapat sesuatu yang sebaliknya. Itu mungkin bisa ‘terlihat’ benar di tataran permukaan. Namun, di sisi yang lebih dalam, bisa sangat berbeda. Kita mengira bisa mengalami kedamaian kalau sudah berhasil melawan semua ketidakdamaian. Kita mengira kebahagiaan bisa kita capai dengan bertarung melawan penderitaan. Kita mengira bisa selalu berpikir positif dengan melawan pikiran-pikiran negatif yang muncul. Bukankah justru muncul semakin banyak dan semakin kuat? Kita mengira bisa mendapat tubuh yang lebih kurus dengan melawan tubuh melalui program diet ketat. Kita mengatasi kemarahan dengan melawannya, yang secara tidak langsung perlu membangun kemarahan yang lebih besar agar kemarahan sebelumnya ‘kalah’. Bila kita mengatasi kesedihan dengan melawan dan menekannya melalui berbagai macam kegiatan positif, itu juga tidak menjadikan kesedihan serta-merta lenyap, tapi justru membuatnya ‘tertanam’ lebih dalam. Dan bisa ‘menyerang’ kembali ketika pertahanan logika kita ‘lemah’.

Berpikir positif tentu baik. Melakukan kegiatan positif pun tentu sangat disarankan. Namun, bila ‘kepositifan’ itu kita gunakan untuk melawan atau menekan sesuatu yang sangat tidak kita inginkan, justru itu sama sekali tidak menghilangkan masalahnya. Mungkin membuatnya sedikit ‘tersembunyi’, sehingga ‘tidak tampak’, tapi ‘tidak hilang’. Akhirnya ada orang-orang yang mulai melihat bahwa perlawanan terhadap sesuatu tidak akan menghilangkan inti masalahnya. Kahlil Gibran dikenal sebagai pujangga besar dan menghasilkan karya-karya luar biasa bukan karena kemampuannya melawan luka, tapi justru menyelami luka itu sendiri. Sang Buddha mencapai pencerahan bukan karena upayanya melawan penderitaan (dukkha), namun menyelami dan memahami sebab penderitaan itu sendiri. Namun, itu tentu bukan pekerjaan mudah. Mampu untuk melihat luka-luka, kemarahan, kesedihan sebagai sesuatu yang tidak perlu dilawan saja sudah sangat baik. Itu sudah mengurangi penderitaan.

Bila ada jawaban bagi pertanyaan, “Apa masalah manusia paling berat, sehingga menciptakan penderitaan?”, jawaban yang paling mungkin adalah ingin bahagia, tapi dengan cara melawan sesuatu yang tidak disukai di dalam dirinya sendiri. Masalah manusia, sebagian besar, ada di dalam dirinya sendiri. Ada pada persepsi-persepsi keliru yang tidak disadari. Ada pada identifikasi yang dirajut oleh ego masing-masing terhadap proyeksi/gambaran tertentu yang diciptakan pikiran dan menganggap itu sebagai kebenaran mutlak. Jadi, masalah yang paling besar justru tidak terletak pada kenyataan yang dihadapi, tapi pada rasa percaya terhadap drama yang diciptakan pikirannya sendiri. Dan untuk mengatasi ini, seringkali kita mengambil “langkah ke luar”, bukan menyusuri “jalan ke dalam”. Wajar saja, bahkan manusiawi, karena “jalan di dalam” itu tidak “seterang” “jalan di luar”. Kita, umumnya, lebih mudah menyalahkan keadaan, orang lain, bahkan yang lebih besar dari itu semua, daripada mengambil langkah ke dalam seraya bertanya, “Apakah ada sesuatu di dalam diri yang menyebabkan kejadian ini tampak dalam kehidupan saya?” Seandainya pun jawaban yang muncul tetaplah mengarah pada kesalahan orang lain – karena kita tidak (atau belum) menemukan pemicunya di dalam diri – kita perlu punya kesadaran bahwa setiap orang, termasuk kita sendiri, ingin bahagia. Sehingga, sesalah-salahnya seseorang dalam dunia persepsi kita, sekalipun kesalahan itu belum bisa kita maafkan sampai saat ini, itu dilakukan sebagai tindakan yang paling memungkinkan untuk mengurangi penderitaannya. Oleh karenanya, perjalanan ke dalam diri ini bukanlah perjalanan sekali duduk dan langsung sampai, tapi membutuhkan “upaya” selama masih dianugerahi usia.

Lalu, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk memulai perjalanan “ke dalam diri”? Luka batin dan kesadaran. Lebih tepatnya, luka batin bisa digunakan sebagai penuntun perjalanan pulang ke hati kita sendiri. Tidak ada yang lebih sanggup membawa kita ke bagian terdalam diri selain luka-luka kita sendiri. Seperti seorang anak kecil yang sedang bermain bola dengan teman-temannya di lapangan pada suatu sore. Saking asyiknya, sampai lupa waktu. Ibunya datang memanggil, sampai berteriak, menyuruhnya pulang, tapi tidak dipedulikan. Sampai akhirnya, sang anak kecil terjatuh dan kakinya terluka. Tanpa diminta, dia pun berjalan pulang ke rumah sambil menangis dan menyerukan nama ibunya. Ketika kita “terluka”, seketika itu juga kita ingat “pulang”. Dunia ini terlalu indah, terlalu terang, terlalu bising, sehingga seringkali menyilaukan dan membuat “suara ibu” yang memanggil kita “pulang” menjadi “tidak terdengar”.

Selain itu, diperlukan juga kesadaran. Tanpa kesadaran, luka batin yang kita miliki bisa menjelma menjadi “pisau” yang rentan “melukai” orang lain di sekeliling kita. Sedikit saja orang lain bicara tentang sesuatu yang menyentuh titik luka kita, sekalipun tidak dengan maksud menyinggung, kita bisa langsung bereaksi dan marah. Luka batin kita juga bisa bertransformasi menjadi “lensa kacamata”, yang sangat memengaruhi pandangan kita dalam menilai apapun yang hadir di saat ini. Tanpa kesadaran, dengan segala dinamika batin, sesungguhnya manusia rentan terluka dan melukai orang lain. Banyak orang tau bahwa bahagia itu sederhana, tapi mungkin banyak yang lupa bahwa menderita itu juga sederhana. Menyadari bahwa kita sedang terluka itu tidak mudah. Mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja pun perlu melampaui ego. Karena mungkin saja kita sudah terbiasa dengan kehidupan yang bahagia dan baik-baik saja di mata orang lain. Dan kita nyaman dengan itu. Ego kita ingin mempertahankan identitas sebagai orang yang “dinilai baik dan bahagia” di hadapan orang banyak. Di luar tampak kuat, padahal di dalam begitu sumpek dan berat.

Kadang, kata-kata – seperti tulisan ini – tidak terlalu berpengaruh dalam upaya “menyibak” tirai ego kita. Beberapa orang mungkin bisa mendapat inspirasi setelah membaca tulisan ini. Namun, inspirasi saja tidak cukup memicu hadirnya kesadaran dalam diri, yang sebenarnya tidak pernah pergi, hanya saja seringkali “terhalangi cahayanya” oleh begitu banyaknya ambisi yang kita miliki. Yang dibutuhkan justru bukan lebih banyak kata-kata, tapi keberanian untuk mengakui bahwa luka itu ada. Kata-kata digunakan seperlunya saja, sebagai alat untuk “memutar pandangan”. Yang selama ini lebih sering melihat ke luar, jadi tergerak untuk melihat ke dalam. Berlindung pada kata-kata atau nasehat indah, yang hanya menyamankan ego, tidak membuat kita mengayunkan langkah pertama untuk menyusuri jalan ke dalam. Ini perjalanan pribadi, tidak ada yang bisa menemani. Bahkan orang terdekat sekalipun. Orang lain hanya sanggup menunjukkan jalan, kita yang menyusurinya sendirian.

Kita itu mungkin cuma sama-sama kesepian, tapi berbeda cara dalam memamerkan ‘kebahagiaan’. Merasa akhirnya kesepian kita terobati, dengan kekaguman orang lain, tapi ternyata cuma memberi ‘selimut’ bagi kesepian itu agar berdiam lebih lama dan nyaman di dalam diri kita. Kesepian tidak ada hubungannya dengan jumlah orang di sekitar kita. Kita bisa sedang sendiri dan tidak kesepian. Bisa juga sedang di tengah keramaian, namun kesepian. Ini tentang merasa nyaman dengan diri kita sendiri.

——

*Penulis adalah Pengasuh “Ruang Jeda