Negeri Para Kurawa, Ancaman Budaya Kuasa dan Perspektif Kebudayaan
Oleh Purnawan Andra*
Dalam kisah Mahabharata, Astina adalah negeri yang dikuasai para Kurawa—sekelompok pangeran yang menganggap kekuasaan sebagai hak mutlak mereka. Para Kurawa, dengan segala intrik dan kepongahan mereka, memandang dunia dalam skema dominasi: siapa yang kuat harus berkuasa, dan siapa yang lemah harus tunduk.
Di balik kisah ini, kita tahu bagaimana kekuasaan bekerja dalam kehidupan, bagaimana hasrat untuk menguasai membentuk tatanan sosial, dan bagaimana kebenaran sering kali dikorbankan demi stabilitas semu. Pertanyaannya, apakah hal ini relevan jika kita refleksikan dalam konteks Indonesia saat ini?
Gara-gara
Dengan kondisi politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya saat ini, terlihat jelas bahwa pola pikir dan perilaku sehari-hari tidak lagi berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan universal yang seharusnya menyatukan masyarakat. Akibatnya, kekuasaan dan pengaruh politik, modal, dan jaringan sosial lebih sering dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir individu atau kelompok, ketimbang membangun masa depan yang inklusif bagi seluruh rakyat.
Situasi bangsa kini ibarat gara-gara dalam pewayangan, sebuah fase kehidupan yang ditandai dengan ketidakseimbangan anasir alam dan kenyataan kehidupan. Dalam kondisi ini, generasi tua dan muda saling berseteru, berebut posisi kepemimpinan, dan mengejar keuntungan tanpa memperdulikan nilai kemanusiaan.
Seperti dalam tembang yang berujar, “…sepuh anem salang tunjak numbuk bentus, rebut ing ngarsa luru boga tanpa wigih ringa-ringa. Temah telas tilasing kamanungsan, tilar kapribaden, tebih ing katresnan, datan asih mring sesami, datan metang sangsaraning liyan, angger kasembadan kang sinedya” (Sumarsono, 2017). Kenyataan ini mengikis solidaritas dan identitas bangsa, menggantikan nilai-nilai kasih sayang dengan pencarian kepuasan pribadi semata. Indonesia jadi gelap.
Dalam konteks ini, masyarakat seolah-olah hidup di dunia yang diatur oleh “dalang” kekuasaan, mirip dengan Astina dalam kisah pewayangan yang dipimpin oleh para Kurawa. Di Astina, gaya hidup elit ditandai oleh ambisi dan intrik demi keuntungan pribadi dan kelompok, di mana penyalahgunaan wewenang, pemutarbalikan fakta, dan manipulasi hukum menjadi hal yang lazim.
Publik sering dianggap sebagai pihak yang mudah dibodohi, sehingga suara para cendekiawan, rohaniwan, dan rakyat hanya dijadikan formalitas belaka supaya tidak terkesan anti-kritik, bukan sebagai dasar untuk keputusan yang nyata. Praktik retoris dan birokratis ini lebih menutupi maksud utama para penguasa yang berusaha memuluskan keinginan mereka, tanpa benar-benar memenuhi kebutuhan publik.
Realitas yang ada menggambarkan budaya kekuasaan di mana nilai kemanusiaan dan keadilan tersisihkan. Sistem yang berlaku menempatkan kepentingan pribadi di atas aspirasi bersama, sehingga fondasi etika dan solidaritas yang seharusnya menyatukan bangsa terus terkikis. Dalam konteks ini, Astina bukan sekadar nama dalam cerita pewayangan, melainkan simbol dari realitas kekuasaan yang menindas—di mana, seperti para Kurawa yang menggunakan segala cara, baik tipu daya maupun kekerasan simbolik, untuk mempertahankan posisinya, nilai-nilai luhur dikorbankan demi keuntungan semata.
Kekuasaan Hegemonik dan Kekerasan Struktural
Antonio Gramsci, dalam konsep hegemoninya, menjelaskan bagaimana kekuasaan tidak hanya bekerja melalui represi langsung, tetapi juga melalui dominasi budaya dan ideologi. Para Kurawa dalam Mahabharata adalah penguasa yang tak sekadar mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga membangun narasi yang menjustifikasi klaim mereka atas tahta. Di Indonesia, pola serupa tampak dalam bagaimana budaya kekuasaan dikonstruksi: elit mengendalikan wacana, membentuk opini publik, dan menciptakan ilusi stabilitas, bahkan ketika ketidakadilan merajalela.
Misalnya, melalui media sosial, sejak dari musim kampanye Presiden hingga kini, kita sering melihat bagaimana citra penguasa direproduksi sebagai figur paternalistik—pemimpin yang seolah-olah melindungi rakyatnya, meskipun kebijakan yang mereka buat justru mempersempit ruang demokrasi.
Kebijakan dibuat tidak dengan mekanisme logika berbasis data dan visi komprehensif, tapi lebih bersifat “cek ombak”: dilemparkan wacana, tunggu reaksi publik, bila masyarakat bereaksi negatif terhadapnya, pemegang kebijakan membatalkannya (dengan drama emosi untuk memperkuat peran). Kesan pahlawan jadi mengemuka dibanding seorang pemimpin yang mengerti betul kondisi dan kebutuhan masyarakatnya.
Semua itu diperkuat dengan intervensi kekuatan para pendengung hingga konsolidasi pemilik media massa untuk membentuk opini publik yang mengesankan keseragaman pandangan. Hegemoni ini menciptakan sebuah kesadaran palsu masyarakat yang terkomodifikasi politik.
Terkait hal ini, Jean-Paul Sartre dalam pemikiran eksistensialismenya menekankan bahwa manusia dikutuk untuk bebas, tetapi dalam kebebasan itu, banyak yang memilih untuk menyangkal tanggung jawab moral mereka dengan menjadi “l’inauthentique” (tidak autentik). Kurawa adalah simbol dari keberadaan yang tidak autentik: mereka menolak kebebasan sejati dengan terus-menerus mencari validasi atas kuasa mereka, bahkan dengan cara yang destruktif.
Di Indonesia, fenomena ini tercermin dalam perilaku banyak pejabat dan elit yang tidak melihat kekuasaan sebagai tanggung jawab, melainkan sebagai sarana untuk menegaskan keberadaan mereka. Jabatan menjadi sumber eksistensi, dan kehilangan kekuasaan berarti kehilangan diri. Akibatnya, praktik politik dinasti, manipulasi hukum, dan kooptasi lembaga publik menjadi bagian dari mekanisme mempertahankan dominasi. Kekuasaan tidak lagi menjadi alat untuk melayani, melainkan semata-mata tujuan itu sendiri.
Johan Galtung dalam Violence, Peace, and Peace Research (1969) memperkenalkan konsep kekerasan struktural—suatu bentuk kekerasan yang tidak kasat mata tetapi beroperasi dalam sistem sosial, menyebabkan ketidakadilan yang terus berulang. Dalam Mahabharata, Duryodhana sebagai pemimpin Kurawa melakukan berbagai strategi untuk memastikan bahwa Pandawa tidak mendapatkan hak mereka. Ia tidak perlu membunuh mereka secara langsung; cukup dengan menciptakan sistem yang membuat mereka tersingkir.
Di Indonesia, bentuk kekerasan struktural ini terlihat dalam sistem ekonomi yang terus memperkaya segelintir kelompok, dalam birokrasi yang berlapis-lapis sehingga rakyat kecil sulit mengakses keadilan, dan dalam kebijakan yang lebih berpihak pada pemodal ketimbang masyarakat umum. Seperti Kurawa yang menganggap tahta sebagai warisan, banyak pejabat dan elit yang memandang kekayaan alam dan sumber daya negeri ini sebagai milik mereka, bukan sebagai amanah yang harus dikelola demi kesejahteraan bersama.
Membangun Budaya Perlawanan
Namun, Mahabharata bukan hanya kisah tentang dominasi, tetapi juga tentang perlawanan. Pandawa, meski terus-menerus disingkirkan, tidak pernah kehilangan kesadaran akan hak mereka. Seturut pemikiran Paulo Freire, kesadaran kritis adalah kunci untuk membebaskan diri dari dominasi. Rakyat tidak bisa selamanya menjadi subjek pasif dalam narasi kekuasaan; mereka harus menjadi aktor yang memahami sistem yang menindas mereka dan berani menggugatnya.
Di Indonesia, ruang-ruang perlawanan budaya masih terus tumbuh. Ruang-ruang diskusi, gerakan intelektual hingga film-film dokumenter independen, karya lukis dan rupa, hingga musik mulai membentuk kontra-narasi terhadap hegemoni dominan. Kesadaran ini perlu terus diperkuat, bukan dengan sekadar menolak kekuasaan, tetapi dengan membangun ulang makna kekuasaan itu sendiri: bukan sebagai dominasi, tetapi sebagai tanggung jawab moral terhadap sesama.
Astina dalam Mahabharata akhirnya runtuh karena kebanggaan buta para Kurawa yang menolak melihat bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang abadi. Di Indonesia, pertanyaannya adalah: apakah kita akan mengikuti jejak Astina yang hancur karena kerakusan penguasanya, ataukah kita bisa menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih adil dan beradab?
Jawabannya bergantung pada bagaimana kita memahami dan melawan budaya kekuasaan yang menindas, serta bagaimana kita membangun kesadaran kolektif yang lebih autentik dan kritis terhadap sistem yang ada. Seperti dalam Mahabharata, sejarah bukan sekadar ditentukan oleh penguasa, tetapi juga oleh mereka yang berani melawan ketidakadilan.
***
*Purnawan Andra, alumnus Governance and Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.