Memperingati 100 Tahun Chairil Anwar dan Soedjatmoko
Oleh Yohannes Balitung*
Tak banyak yang ingat tahun ini -2022 adalah 100 tahun Chairil Anwar dan Soedjatmoko sekaligus. Chairil Anwar, penyair besar kita lahir di Medan, Sumatra Utara 26 Juli 1922. Sementara Soedjatmoko, pemikir besar kita lahir 10 Januari 1922 di Sawah Lunto, Sumatra Barat. Mereka hidup sezaman. Usia Soedjatmoko hanya lebih tua lima bulan dari Chairil. Sebagai anak zaman awal abad 20 mereka sama-sama kemudian pernah tinggal di Jakarta –bergerak di antara arus intelektual dan pergerakan saat itu.
Tak banyak yang ingat juga – bahwa baik Chairil dan Soedjatmoko sesungguhnya awalnya tumbuh dari lingkungan pergaulan intelektual dengan Sutan Sjahrir. Bahkan keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan Sjahrir dari jalur sendiri-sendiri. Chairil adalah keponakan Sutan Sjahrir. Sementara Soedjatmoko adalah adik ipar Sutan Sjahrir. Kakak kandung Soedjatmoko, Siti “Poppy” Wahyunah adalah istri Sjahrir. Baik Chairil dan Soedjatmoko dikenal sangat akrab dengan Sjahrir dan sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Sjahrir.
Awal-awal kepenyairan Chairil sangat terbentuk oleh iklim atau atmosfer intelektual yang ada di rumah Sjahrir. Chairil dan ibunya, Saleha pindah dari Medan pada Juli 1942. Mereka pada awalnya – sebelum tinggal di Kwitang menumpang di paviliun tamu kediaman Sutan Sjahrir di Jalan Latuharhary, nomor 19. Suasana intelektual di rumah Sjahrir sangat membentuk wawasan Chairil.
Sjahrir memiliki perpustakaan pribadi yang sangat lengkap. Koleksi buku-buku Sjahrir mencakup buku-buku sastra Belanda dan dunia seperti kumpulan puisi Marsman, Slauerhoff, novel-novel E. du Perron, dan lainnya. Chairil sangat haus membaca. Perjumpaan pertamanya dengan banyak buku sastra dunia adalah di rumah Sjahrir. Saat di Medan Chairil tidak banyak memiliki kesempatan menemukan literatur sastra dunia dan filsafat. Maka dari itulah tatkala di rumah Sjahrir, Chairil seolah seperti menemukan harta karun. Ia berusaha melahap banyak buku sastra dan filsafat. Apalagi kemampuan Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris Chairil juga sangat bagus. Menurut kesaksian Des Alwi dalam bukunya, Chairil sangat senang membaca di depan lemari buku Sjahrir hingga berjam-jam lamanya.
Untuk menyambung hidup sehari-hari, Chairil dan Des Alwi berdagang beli-jual barang-barang bekas milik warga-warga Belanda di sekitar Menteng. Chairil melihat di tahun 1942 itu banyak warga Belanda laki-laki pemilik rumah di Menteng ditangkap oleh Jepang dan dimasukkan ke kamp tahanan. Chairil melihat nyonya-nyonya Belanda yang kehilangan kepala rumah tangganya mengalami kesulitan uang. Chairil memperkirakan keluarga-keluarga itu pasti butuh menjual benda-benda di rumahnya untuk pemasukan ekonomi. Maka Chairil meminjam uang sebesar 50 gulden kepada Sjahrir, sang paman. Bermodalkan uang pemberian Sjahrir, Charil dan Des Alwi lalu menjadi “tukang rombeng” dari satu rumah warga Belanda ke rumah warga Belanda lainnya di Menteng menanyakan apa ada barang bekas yang bisa dibeli mereka. Barang yang mereka beli kemudian mereka jual kembali ke Pasar Senen. Keuntungan jual beli barang bekas itu oleh Chairil lalu dibelikan buku-buku. Chairil memang gila buku.
Asrul Sani, seperti pernah ditulis oleh Arif Budiman dalam buku: Chairil Anwar Sebuah Pertemuan menceritakan bahwa ia pernah diajak oleh Chairil Anwar untuk mencuri buku di toko buku kenamaan Batavia: Van Dorp & Co yang lokasinya berada di Jalan Juanda Jakarta Pusat. Toko buku Van Dorp saat itu boleh dibilang toko buku terbesar di Hindia Belanda. Ia memiliki cabang di Surabaya, Semarang dan Bandung. Chairil ingin mengutil buku di sana pasalnya toko buku itu memajang buku Nietzsche: Also sprach Zarathustra. Chairil sangat ingin memiliki buku filsafat penting itu. Mungkin Chairil pernah melihat dan membaca buku itu di perpustakaan Sjahrir – saat tinggal di rumah Sjahrir. Atau juga mungkin pernah berdiksusi dengan Sjahrir tentang gagasan-gagasan Nietzsche dalam buku itu. Sebab Sjahrir sendiri sangat mengagumi pemikiran Nietzsche.Dalam sepucuk suratnya kepada istrinya tanggal 17 Maret 1936, Sjahrir pernah menulis: “Nietszche itu kebudayaan. Nietszche itu seni. Nietszche itu jenius.”
Akan halnya Soedjatmoko, jelas karirnya amat dipengaruhi oleh Sjahrir. Pengembaraan Soedjatmoko ke luar negri awalnya tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dari kebijakan Sjahrir. Soedjatmoko juga diketahui adalah anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang didirikan Sjahrir. Pada waktu Sjahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia ia memerintahkan Soedjatmoko mendirikan jurnal mingguan berbahasa Belanda bernama Het Inzicht. Jurnal ini untuk menandingi isyu-isyu yang disodorkan oleh jurnal Belanda : Het Uίtzicht. Soedjatmoko bersama Rosihan Anwar pada 4 Januari tahun 1947 juga mendirikan majalah politik dan kebudayaan Siasat yang terbit tiap minggu. Majalah ini memiliki rubrik kebudayaan bernama Gelanggang. Mereka yang sering berkecimpung di Gelanggang selain Soedjatmoko dan Rosihan Anwar, adalah Rivai Apin, Asrul Sani dan Chairil Anwar.
Pada tahun 1947 itu juga, akan tetapi Sjahrir mengirim Soedjatmoko ke New York sebagai anggota delegasi pengamat Indonesia di PBB. Di New York, Soedjatmoko tinggal di Lake Success, yang merupakan lokasi sementara PBB kala itu. Soedjatmoko adalah orang Indonesia yang di PBB mengikuti debat-debat pengakuan Indonesia oleh negara lain. Meskipun berada di New York hubungan Soedjatmoko dengan dunia majalah-majalah para cendikia Indonesia tidaklah putus. Chairil Anwar misalnya pernah menerjemahkan tulisan Soedjatmoko tahun 1948 berbahasa Belanda berjudul: Over Ware En Onware Culturele Probleemstellingen menjadi berjudul: Kebudajaan Yang Benar dan Yang Tidak Benar. Dan dimuat oleh Chairil di Majalah Gema Suasana, Tahun II no 5 Mei 1949.
Majalah Gema Suasana terbit pertama kali pada tanggal 1 Januari 1948 di Jakarta. Majalah itu diterbitkan oleh Badan Umum Pembangunan-Opbow, Gunung Sahari. Alamat redaksinya adalah di Gunung Sahari 84, Jakarta, Telepon: 3615, Kotak Pos 33. Saat itu Sekretaris majalah dijabat oleh Asrul Sani, sedangkan anggotanya ialah Chairil Anwar, Mochtar Apin, Rivai Apin, dan Baharuddin. Harga eceran majalah itu tahun 1948 sebesar Rp1,00 tiap eksemplar dan harga berlangganan untuk satu tahun Rp12,00, dan harga berlangganan setengah tahun Rp6,00. Bahwa redaksi menganggap tulisan Soedjatmoko pening, menunjukkan bahwa Asrul Sani, Chairil dan kawan-kawan sangat respek terhadap pemikiran Soedjatmoko.
Selama menjadi anggota delegasi PBB di New York, Soedjatmoko menyempatkan diri mengikuti kuliah di Littauer Center yang merupakan bagian Harvard Graduate School of Public Administration. Selama masa kuliah, karena ia masih anggota delegasi PBB ia harus pulang-pergi dari New York ke kota-kota lain. Setelah dibebas tugaskan dari anggota delegasi ia kemudian selama setahun kulah di Littauer Center. Pada 27 April tahun 1949 ia sempat berpidato di Universitas Havard seputar gerakan nasionals di Asia dan Indonesia. Kuliah Soedjatmoko terganggu ketika selama tiga bulan ia kembali mendapat penugasan sebagai wakil pemerintah Indonesia. Ia menjadi chargé d’affaires–yang pertama untuk Indonesia di London Inggris.
Pada tahun 1952 ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia yang dibentuk Sjahrir pada tahun 1948. Ia lalu terpilih sebagai anggota konstituante. Dia juga menjadi bagian intelektual jurnal: Konfrontasi. Konfrontasi adalah majalah kebudayaan yang didirikan tahun 1954 Redaksi majalah ini adalah S. Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Beb Vuyk, Hazil Tansil. Alamat redaksi Konfrontasi adalah Jalan Belitar 6, Jakarta. Majalah ini terbit dua bulan sekali. Secara reguler redaksi majalah Konfrontasi menyelenggarakan diskusi internal dengan para intelektual yang tergabung dalam kelompok studi Konfrontasi. Setiap bulan diskusi diadakan dengan seorang pembicara dari kelompok ini ditambah seorang intelektual dari luar. Topik diskusi senantiasa terkait dengan persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Soedjatmoko tergabung dalam kelompok studi Konfrontasi.
Tatkala majalah itu terbit perdana Juli-September 1954 , Soedjatmoko memberi kata pengantar pada edisi tersebut. Judul tulisan tersebut adalah: Mengapa Konfrontasi. Topik itu diangkat dari empat kali diskusi Majalah Konfrontasi yang melibatkan Soedjatmoko .
Dalam esainya tersebut Soedjatmoko menyatakan terdapat gejala krisis dalam sastra Indonesia. Krisis itu menurutnya sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Soedjatmoko menyatakan sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis para sastrawan hanyalah cerpen-cerpen kecil, sedangkan roman-roman besar tiada ditulis.
Pendapat Soedjatmoko mendapat banyak respon dari kalangan intelektual. Yang pertama menolak pendapat Soedjatmoko adalah Boejoeng Saleh Poeradisastra. Setelah Boejong berpendapat, sastrawan dan cendikiawan lain turut menanggapi artikel Soedjatmoko. Tulisan-tulisan mereka tidak hanya dimuat di Konfronasi tapi juga di Majalah Siasat – dimana Soedjatmoko juga menjadi redakturnya. Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan misalnya secara tandas menolak penamaan “krisis sastra”.
Pada Simposium Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Indonesia tanggal 4 Desember 1954, H.B Jassin menyampaikan prasarannya berjudul: Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis. H.B Jassin juga sedikit banyak menolak pendapat Soedjatmoko. Tapi setelah H.B Jassin turut menanggapi isyu tersebut , sampai tahun 1955 pun masih banyak bermunculan artikel-artikel dari para sastrawan berkenaan dengan topik itu . Di Majalah Siasat 13 Maret 1955, Asrul Sani misalnya menulis: Salah Sangka Sekitar ‘Krisis‘. Bahkan dua tahun kemudian—tepatnya tahun 1957 di Majalah Siasat —Pramoedya Ananta Toer masih berkomentar tentang topik itu dengan mengirim tulisan berjudul: Lesu; Kelesuan; Krisis;Impasse.
Soedjatmoko mewariskan ratusan tulisan- hasil dari mulai ceramah, pidato –baik di luar negri maupun artikelnya di majalah dan sebagainya. Dalam visi-visinya tampak sekali Soedjatmoko menginginkan Indonesia- negara yang baru lahir saat itu mampu menuju negara modern. Indonesia dalam bayangannya bukanlah Indonesia yang secara kultural meneruskan tradisi feodalisme atau nasionalisme yang chauvinisitis atau IIndonesia yang mengelu-elukan atau mengglorifikasi masa lalu zaman kerajaan , zaman leluhur tapi sebuah Indonesia yang kosmopolit. Dalam artikelnya di tahun 1954, ia mengkritik nasionalis anti-modernitas dan industri semacam Gandhi sebagai contoh tipikal pemikiran Asia yang akan ditinggalkan oleh laju zaman.
Soedjatmoko disebut-sebut sering berhubungan dengan forum intelektual internasional yang menjadi bagian dari kampanye anti-komunisme Amerika, Congress for Cultural Freedom (CCF). Didirikan pada tahun 1950, CCF menghimpun intelektual independen kiri non-komunis maupun anti-komunis dengan mempromosikan anti totalitarianisme. Dari tulisan satu ke tulisan lain Sooedjatmoko selalu mencari, mencari memikirkan masyarakat agar tercipta masyarakat yangg baik dan humanis. Soedjatmoko maka dari itu merasa kehilangan saat Romo Drijakara wafat.
Dalam sebuah tulisannya berjudul: In Memoriam Prof N Driarkoro yang ditulis di Jakarta 12 Debruari 1967, Soedjatmoko menyebut Romo Drijakara turut memikirkan apa yang disebutnya zaman baru. Romo Drijakara menurutnya adalah salah satu penyuluh utama dalam usaha modernisasi alam pikiran Indonesia. Romo Drijakara dianggapnya berani menghadapi masalah pokok moril manusia dan masyarakat Indonesia. Romo Drijakara selalu memperingatkan agar manusia Indonesia hidup di dalam tanggung jawab dan kebebasannya dan memiliki sikap kritis serta kemampuan bersikap kritis terhadap dirinya sendiri. Bagi Soedjatmoko hal demikian merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan kedewasaan manusia dan masyarakat Indonesia.
Soedjatmoko juga sering mengumandangkan pentingnya studi tehadap masa depan. Dalam ceramahnya di UI 18 Desember 1974 di hadapan wartawan-wartawan yang mengikuti kursus non-degree, Soedjatmoko menekan pentingnya mengamati masa depan. Pendapat Soedjatmoko ini demikian sangat relevan dalam kondisi pandemi dan berubahnya situasi masyarakat global sekarang. Saat itu Soedjatmoko memperingatkan bahwa masyarakat akan menghadapi dunia yang lain sama sekali. Maka dari itu menurutnya semua masalah memerlukan kebijakan jangka panjang. Soedjatmoko menandaskan bahwa hari depan tidak boleh hanya dipikirkan oleh negara-negara industri besar tapi juga negara berkembang. Menurut Soedjatmoko jika kita menghindar untuk memikirkan masa depan dan hanya bergulat dengan masalah-maslah jangka pendek – maka kita akan terperosok.
Tahun ini adalah 100 tahun Chairil Anwar dan Soedjatmoko. Keduanya saling mengenal. Keduanya juga sering dilihat sebagai seorang yang terpengaruh Sjahrir. Chairil terbuka wawasannya setelah masuk dalam dunia intelektual Sjahrir. Soedjatmoko sering disebut Sjahririest atau pengikut Sjahrir. Keduanya meski berbeda cara – dikenal sama-sama memperjuangkan hal dasar yaitu: kebebasan individu (otonomi) dalam alam Indonesia pasca kemerdekaan serta humanisme.
*Penulis bekerja di sebuah penerbitan indie