Misionaris dan Kultus Kargo di Tanah Papua

Oleh Tony Doludea*

Pada musim gugur 1950, pemerintah Belanda memberikan ijin kepada C&MA untuk mengirimkan dua utusan Injil baru ke Irian Jaya (Papua). Badan Misi The Christian and Missionary Alliance (C&MA) adalah organisasi misi Kristen yang didirikan pada 1887 oleh Albert Benjamin Simpson (1843–1919) di New York.

Beberapa waktu sebelumnya, C&MA telah mengutus pasangan muda William A. Cutts dan Grace Betty. Mereka menumpang kapal SS Steelworker dari Brooklyn, New York, selama dua setengah bulan berlayar hingga tiba di Makassar (Ujung Pandang). Mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Biak, setelah mengunggu di Makassar untuk beberapa waktu sambil belajar bahasa Indonesia.

Dari Biak, Angkatan Laut Kerajaan Belanda lalu menerbangkan mereka bersama barang-barang menggunakan sebuah pesawat amfibi jenis PBY ke danau Paniai dekat desa Enarotali. Sebuah perahu merapat ke badan pesawat, di dalamnya berdiri sejumlah laki-laki kekar, telanjang dan hanya menggunakan sejenis labu (koteka) untuk selubung zakar mereka. 

Memang sebelumnya, pada Maret 1939, Kel. C. Russell Deibler dan Kel. Walter M. Post  didampingi 3 mahasiswa Sekolah Alkitab Makassar dan 20 orang Dayak sudah mengabarkan Injil di antara suku Ekari atau orang Mee di sekitar Danau-danau Wissel itu.

Perang Dunia II menghentikan sebentar misi mereka, namun dilanjutkan kembali pada Oktober 1946. Selama dua puluh tahunan, Injil berkembang bukan hanya di kalangan suku Mee dan suku-suku lain di sekitar danau Paniai, tapi sudah sampai ke Pegunungan Tengah Papua, yaitu Suku Dani, Moni, Nduga, Damal, Amungme dan lainnya.

Tetapi misionaris pertama yang membawa Injil ke Tanah Papua adalah Carl Willhem Ottow (1827–1862) asal Belanda dan Johann Gottlob Geissler (1830–1870) asal Jerman.  Ottow dan Geissler berangkat dari pelabuhan Rotterdam, Belanda pada 25 Juni 1852 dengan kapal Abel Tasman ke Batavia. Kedua anak muda ini merupakan anak didik Johannes Evangelista Gossner (1773–1858), mantan Imam Katolik.

Gossner adalah pengkhotbah Kristen terkenal di Berlin, salah satu pendiri Berlin Mission Society pada 1824. Namun ia mengundurkan diri pada 1836, kerena menganggap lembaga misi itu terlalu birokratis dalam dan mendirikan The Gossner Mission pada 1836 di Berlin. 

Pada 1850 Ottho Gerhard Heldring (1804–1876), pengkhotbah Belanda menemui Gossner untuk mewujudkan gagasan mereka mengenai rencana pekabaran Injil, yaitu zendelings Werklieden (zending tukang). Bahwa misionaris dapat menghidupi dirinya dengan bekerja sendiri di tempat penginjilan.

Ketika hidup dengan masyarakat asli, para misionaris mempunyai kesempatan untuk mengajarkan ketrampilan yang bermanfaat kepada mereka. Di waktu luang mereka dapat melakukan penginjilan. 

Pada 9 Mei 1854, Ottow dan Geissler meninggalkan Batavia menuju Ternate dan tiba pada 30 Mei 1854. Pada 12 Januari 1855, mereka bertolak menuju Teluk Dore Manokwari, yang dalam peta dunia disebut sebagai “wilayah iblis atau dunia hitam”. Mereka menempuh perjalanan tiga minggu lebih dua hari dan tiba di Pantai Pulau Mansinam, Manokwari, pada  Minggu pagi, 5 Februari 1855, pukul 06.00 WIT. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua.

Sedangkan pertengahan Desember 1950, William A. Cutts (Bill) dan Grace Betty (Gracie) diantar oleh Ken Troutman bersama 40 orang pemikul barang. Melewati sungai, rawa-rawa dan mendaki bukit-bukit, selama tiga hari dalam cuaca hujan dan udara dingin pegunungan. Mereka berjalan kaki menuju Homeyo, daerah tempat tinggal suku Moni. 

Suku Moni merupakan kelompok etnis yang mendiami Kabupaten Intan Jaya di Papua Tengah. Tersebar di wilayah Dogandoga, Kemandoga, Mbiandoga, Weandoga (Paniai), Dumadama dan Domondoga. Mereka berbicara menggunakan bahasa Moni. Moni, sebutan yang diberikan oleh suku Ekari. Namun, Suku Moni sendiri menyebut mereka sebagai Suku Migani. Kata “Migani” berasal dari kata Miga yang artinya asli, murni, tulen dan Ni yang artinya orang, manusia. Sehingga arti Migani adalah “manusia sejati”. 

Suku Moni memiliki tradisi Hane Zambaya, yaitu tradisi memotong jari, yang  dipercaya membuat arwah keluarga yang meninggal untuk tetap tinggal di rumah, sampai luka jari tersebut sembuh serta perasaan sedih hilang setelah luka jari tersebut sudah sembuh. 

Setelah pemakaman, orang yang ditinggalkan itu memotong dua ruas jarinya menggunakan parang, elasangee (kapak batu), atau benda tajam lain setelah diikat dengan tali. Hane Zambaya berlaku untuk semua jari kecuali ibu jari. Tradisi ini dilakukan oleh keluarga inti, sebagian besar dilakukan oleh perempuan. 

Orang Moni memiliki kepercayaan agama sendiri, bagi mereka Emo Zu sangat berkuasa meskipun berada jauh di sana, entah di mana dan tidak peduli pada manusia. Orang-orang yang sedang sekarat menghadapi maut harus mengakui dosa mereka kepada Emo Zu, meskipun ia tidak menghiraukan mereka semua.

Maka orang Moni justru lebih memperhatikan roh-roh jahat, untuk mengambil hati, berdamai dan tidak membuat mereka marah dengan memberikan persembahan kepada mereka.

Orang Moni menyangka Bill dan Gracie adalah roh-roh jahat, yang lebih berbahaya daripada roh-roh jahat yang tidak kelihatan itu. Namun kepala suku tua, Kiguabi menjelaskan kepada orang-orang yang ingin membunuh Bill dan Gracie bahwa mereka itu adalah penggenapan nubuatan nenek moyang mereka dulu, yang mengatakan bahwa suatu saat akan datang Hazi dari arah Barat. Hazi adalah sesuatu yang indah dan kekal, yang dirindukan oleh semua orang.

Bill dan Gracie kemudian mengunjungi kampung-kampung di sekitar untuk mengakabarkan Injil tentang Kapala Suku Langit dan anak-Nya Yesus Kristus,  yang telah mati bagi manusia supaya mereka dapat hidup kekal. Orang Moni mendengar ajaran tentang Kapala Suku Langit itu dan mulai datang pada hari minggu ke Homeyo untuk mengikuti kebaktian.

Bill dan Gracie juga membangun sekolah supaya orang Moni dapat membaca, karena mereka berencana menerjemahkan Injil Perjanjian Baru dan Kitab Suci Perjanjian Lama ke dalam bahasa Moni. Mereka membuat satu seri buku pelajaran untuk belajar membaca dan beberapa buku bacaan sederhana supaya masyarakat tertolong dalam belajar membaca.

Mereka bersama masyarakat Moni juga membangun lapangan terbang “bunu diri” di Homeyo, selama hampir satu tahun lamanya. Serta lapangan terbang di Hitadipa. Untuk lebih mempermudah pembangunan dan pekerjaan misi di situ.

********

Saat Bill dan Gracie tiba di tanah Moni pada Desember 1950, mereka ditemani oleh Ken Troutman, penginjil yang telah lebih dahulu berada di sana dan Kaguabi, kepala suku Moni yang sangat berpengaruh, yang telah disembuhkan dari penyakit asma.

Kaguabi memiliki empat orang anak, yang tertua Isa Sabo kemudian Timu Nggaga Bega (Burung Malam) dan lainnya. Bill dan Gracie banyak dibantu oleh dua orang ini untuk mempelajari bahasa Moni. Sabo yang paling banyak membantu karena cerdas, berkepribadian menarik, bersahabat dan mewarisi sifat kepala suku.

Isa Sabo selain ikut memimpin dan bekerja membangun lapangan terbang tersebut, ia juga banyak mengabiskan waktu dalam usaha Bill dan Gracie menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Moni.

Namun Isa Sabo kemudian menghadapi cobaan hidup yang hebat. Suatu malam istri, anak laki-lakinya dan babi piaraan mereka hangus terbakar dalam honai, pondok kayu mereka di kampung. Isa Sabo sangat terpukul, berduka serta dan meratap luar biasa. Bill berhasil mencegah Isa Sabo saat berusaha melopat ke sungai Kemabu.

Pada suatu hari saat kebaktian, sesudah Doa Berkat dipanjatkan, Isa Sabo berlari keluar gereja. Tidak lama kemudian ia kembali dengan busur dan anak panahnya, duduk di pintu dan mengatakan akan membunuh Bill, karena ia telah membuat banyak masalah dalam hidupnya.  

Menurut Isa Sabo, ia telah menerjemahkan hampir semua Injil ke dalam bahasa Moni. Namun itu semua bagian yang tidak penting. Menurutnya lagi, Bill secara sengaja menutupi bagian-bagian penting yang mengajarkan mereka untuk bisa mendapatkan barang-barang seperti yang misionaris miliki itu.

Menurut Bill tuduhan Isa Sabo terhadap para misionaris seperti itu merupakan suatu bentuk pengharapan yang sangat kuat, yang telah menyebar di seluruh tanah Papua dan banyak merintangi penerimaan Injil. Pengharapan ini berasal dari kepercayaan, yaitu Kultus Kargo.

Kultus Kargo mengajarkan kepada mereka bahwa ada gunung-gunung yang di dalamnya terdapat barang-barang yang dimiliki oleh para misionaris dari Barat itu. Para Misionaris tersebut memiliki kunci untuk membuka ruangan-ruangan yang penuh berisi barang-barang tersebut. Mereka bebas mengambil barang-barang apa saja yang mereka inginkan. Namun mereka secara sengaja menyembunyikan kunci-kunci itu dari penduduk setempat.

Menurut cerita burung, di bahwa rumah Bill dan Gracie itu mempunyai jalan bawah tanah. Setelah mengunci pintu, jendela dan memadamkan lampu rumah pada malam hari, mereka menggunakan jalan itu untuk mengambil barang-barang yang mereka perlukan.

Istilah “cargo cult” ini muncul pertama kali pada November 1945 di Pacific Islands Monthly, yang ditulis oleh Norris Mervyn Bird, untuk mengungkapkan keprihatinannya pada dampak Perang Dunia II, ajaran misionaris Kristen dan meningkatnya usaha warga lokal untuk memerdekakan diri dari kekuasaan para penjajah.

Masyarakat asli setempat merasakan ketidakadilan, penindasan dan menyatakan bahwa banyak kapal bermuatan barang-barang yang dikirim untuk mereka oleh nenek moyang mereka. Tetapi orang kulit putih (penjajah) secara licik mencegat kapal-kapal tersebut dan mengambil kargo itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Dengan lain kata, Kultus Kargo adalah suatu gerakan sosio-religius yang berkembang di masyarakat yang belum maju, akibat berhubungan dengan budaya yang ilmu pengetahuan dan teknologinya sudah maju. Hal ini khususnya terjadi di Pasifik Selatan selama Perang Dunia II (1939-1945), ketika masyarakat setempat berjumpa dengan ribuah tentara Jepang dan Amerika.

Militer Amerika membangun lapangan terbang, rumah sakit, dan markas militer. Mengangkut berton-ton barang untuk menghidupi ratusan ribu tentaranya. Penduduk asli setempat menyaksikan itu sambil berpikir bahwa orang-orang kulit putih tersebut dapat mendatangkan radio, permen, mobil, obat-obatan dan lemari pendingin dengan menggunakan kekuatan ilahi.

Mereka percaya bahwa barang-barang para tentara tersebut, yang datang dengan pesawat terbang itu merupakan pemberian dari Allah, setelah orang-orang asing itu melakukan ritual tertentu. Sesudah tentara itu pergi dari pulau-pulau mereka, beberapa orang setempat mencoba mendatangkan juga barang-barang dari langit seperti yang mereka bayangkan.

Gerakan Kultus Kargo ini sudah berproses pada 1885, ketika seorang pemuka agama Fiji mengumumkan bahwa nenek moyang mereka akan segera datang, sehingga kekuasaan penjajah asing itu tinggal sebentar lagi. Mereka melakukan ritual campuran Kristen dan tradisi suku mereka, supaya mereka memperoleh barang-barang orang kulit putih dan hidup yang kekal.

Orang Spanyol dan Portugis adalah bangsa Eropa yang pertama berlayar ke Pasifik Selatan pada Abad XVI. Selama dua abad selanjutnya, Belanda, Perancis dan Inggris terus berperang untuk menguasai wilayah tersebut.

Di Pulau Tanna, Provinsi Tafea di Vanuatu, setiap tanggal 15 Februari mereka melakukan ritual untuk menghormati John Frum, sosok mistik tentara Amerika. Nama John Frum itu kemungkinan besar berasal dari kebiasaan tentara Amerika dalam memperkenalkan nama mereka, John from” America.   

Pengikut Kultus Kargo ini membawa bendera Amerika, menuliskan “USA” di dada mereka dan berbaris berkeliling menggenggam bambu runcing. Mereka berharap doa dan ritual mereka itu dijawab dan Frum segera kembali seperti yang telah dijanjikannya, dengan membawa hadiah dan memberi kemakmuran.

Gerakan kargoisme atau Kultus Kargo ini merupakan suatu gerakan “mesianik”. Yaitu suatu pengharapan kepada sosok pemimpin, yang berperan sebagai nabi, mengajar dan mempersiapkan segala hal kepada masyarakatnya untuk menyambut kedatangan leluhur dari dunia sana, yang akan membawa pembaharuan hidup secara radikal.

Sejak 1857 para misonaris di wilayah Teluk Cendrawasih Papua telah mencatat cerita tentang Manarmakeri. Orang Biak-Numfor di situ memiliki pengharapan dan kepercayaan pada kedatangan seorang “mesias” berdasarkan mitos Manarmakeri. 

Mereka percaya dan berharap pada Yawi Nusyado atau Manarmakeri, yang diberi gelar “Manseren Manggundi” (Tuhan Sendiri). Manarmakeri akan memberikan kemerdekaan, kesejahteraan dan kehidupan baru bagi orang Biak-Numfor. 

Manarmakeri berasal dari bahasa Biak, man artinya laki-laki, armakeri artinya kudis. Artinya, laki-laki tua kudisan yang kulitnya telah berubah menjadi bersih. Nama lain Manarmakeri adalah Kayan Sanawi dan Kayan Biak. 

Munculnya gerakan mesianis di Biak, Papua tidak lepas dari ketidaknyamanan masyarakat Biak, Papua terhadap keberadaan orang Barat yang membawa kebudayaan Baratnya, terutama agama Kristen ke tengah-tengah mereka.

Ketidaknyamanan ini muncul karena terjadi ketidakadilan kesejahteraan dan ketidakpedulian pemerintah kepada warga setempat. Maka rakyat Biak merindukan tokoh yang akan membangkitkan kejayaan masa lalu mereka. Yaitu koreri, yang memberikan kesejahteraan, pemerataan dan kebaikan bagi semua.

Koreri berasal dari bahasa Biak, ko artinya kita dan rer artinya ganti kulit. Koreri melambangkan harapan pada perubahan dan pemulihan kehidupan yang lebih baik, seperti kulit baru yang sehat. Koreri secara luas berarti “kita menjadi baru kembali”. 

Manarmakeri meninggalkan orang Biak dan pergi ke arah Barat bersama rahasia koreri dan berjanji akan kembali pada suatu saat. Ia meninggalkan orang Biak karena mereka lalim, dipenuhi nafsu duniawi, ketidakjujuran, ketidakadilan dan suka menumpahkan darah. Ia akan kembali jika sifat-sifat itu telah ditinggalkan oleh orang-orang Biak. 

Manarmakeri adalah orang yang telah dipersiapkan oleh Manseren Nanggi (Dewa Langit) sebagai mesias, “Koreri Syeben” yang dinanti-nantikan orang Biak-Numfor. Manseren Manggundi membawa Koreri, yang di dalamnya terkandung hidup baru, kebahagiaan, kesejahteraan dan kekayaan ke arah Barat.

Manseren Manggundi berpesan bahwa setelah tujuh generasi, ia akan kembali dari arah Barat untuk memenuhi janjinya, yaitu memberikan koreri kepada orang Biak-Numfor.  Memberi hidupa baru, hidup kekal, kebahagiaan dan kesejahteraan, kekayaan yang tidak pernah berakhir. 

Kedatangan Manseren Manggundi akan diumumkan oleh utusannya, yaitu “konor” seorang pembawa berita atau perintis jalan. Konor mendapat perintah dari Manseren Manggundi melalui mimpi atau penglihatan untuk memberitahu bahwa tokoh mesias akan segera datang.

Orang Biak-Numfor percaya bahwa jika upacara adat digelar, yaitu upacara Mansar Manarmakeri, maka sang tokoh mitologi tersebut akan gelisah dan akan segera datang melihat penderitaan saudara-saudaranya. Melalui syair dan lagu pada upacara adat itu mereka menggugah Mansar Manarmakeri untuk segera kembali.

Gerakan Koreri pertama tercatat di 1938, yang dipimpin oleh Angganeta Manufandu. Kemudian pada 1942 di Biak muncul pemimpin Koreri lainnya, seperti Stefanus Simopiaref, Mangginomi, Sangaji Namber, Steven Daman dan Korinus Birmori.

Angganeta adalah seorang perempuan berasal dari Supiori dari Kampung Sowek, Kepulauan Insobabi. Secara adat disebut “Inseren Sowek.” Ia terkenal juga dengan sebutan “Bin Dame”, pembawa damai. 

Gerakan Koreri ini diawali dengan peristiwa ajaib yang dialami Inseren Sowek. Karena ia saat itu menderita penyakit kulit sehingga diungsikan ke suatu tempat. Namun ketika ia kembali ke sanak keluarganya di Pulau Insumbai, ia telah sembuh dari penyakit kulit dan menjadi cantik. 

Angganeta menceritakan bahwa ketika ia berada di tempat pengasingan itu, ia dikunjungi seseorang yang memberinya makan lalu ia sembuh. Kemudian orang asing itu memberkatinya dan memilihnya untuk menjadi pembawa berita dan perintis jalan bagi kehidupan kekal dan abadi.

Angganeta mengaku bahwa orang asing yang menyembuhkannya itu adalah Manamarkeri. Ia lalu mengutus Angganeta untuk memimpin masyaraktnya menuju Koreri. Karena melalui dia  orang Biak-Numfor akan menuju pada jalan Koreri. 

Berita kesembuhan dan pesan dari orang asing kepada Angganeta itu menyebar ke seluruh Pulau Biak dan Numfor. Maka ia  diberi nama Bin Damai atau Bin Mas ro Judea (Putri Damai atau putri emas dari Judea). 

Pengikut gerakan koreri ini beranggapan bahwa agama Kristen yang dibawa orang kulit putih itu sama dengan mitologi Biak yang mereka yakini. Namun mereka berpendapat para misionaris merahasiakan sebagian dari kitab suci. 

Mereka beranggapan bahwa apa yang sebenarnya dimuat dalam kitab suci Kristen itu tidak lain adalah mitologi Biak. Namun mereka percaya bahwa Manarbew, putra Manarmakeri dan Insoraki itu adalah Yesus, Insoraki adalah Maria. 

Sementara pihak Belanda dan misionaris berusaha menutupi kabar tersebut. Angganeta kemudian disakralkan oleh penduduk situ, apa yang disampaikan olehnya itu benar dan harus ditaati.

Mulai saat itu terjadilah gerakan melawan agama Kristen dan kedatangan orang Barat dan mereka menginginkan terbentuknya agama dan pemerintahan baru berdasarkan pada mitologi Biak. 

Banyak orang datang ke Insumbabi untuk menyaksikan dan menerima langsung perintah Kayan Sanawi melalui Angganeta. Banyak juga orang yang menemui Angganeta untuk beroleh kesembuhan.

Kepala distrik Pemerintah Kolonial Belanda dan pendeta Kristen yang berkedudukan di Korido meminta Angganeta dan pengikutnya untuk menghentikan gerakan mereka.

Namun Angganeta menolak perintah itu. Sehingga kepala distrik itu mengirimkan satu kesatuan polisi ke Insumbabi dan membakar semua rumah di sana dan melarang orang untuk membangun rumah dan tinggal di daerah itu.

Menanggapi larangan tersebut, semakin banyak penduduk yang membangun rumah di Insumbabi. Pemerintah kemudian menangkap Angganeta dan dipenjara di Serui.

Pada 1941 Angganeta dibebaskan, karena berkelakuan baik dan atas jaminan keluarganya, serta syarat untuk menghentikan gerakan itu. Setibanya di kampung Sowek, Angganeta disambut meriah oleh pengikutnya.

Namun, semakin banyak orang datang ke sana dan mendorong Angganeta untuk secara terbuka menyatakan perang terhadap penjajah dan para misionaris. Ketika itu pecah perang Jepang-Sekutu, yang semakin membuka kesempatan bagi Angganeta untuk memperluas pengaruhnya.

Pertemuan-pertemuan umum dilakukan di Insumbabi, diikuti pertentangan antara kelompok yang mendukung misionaris dengan kelompok yang menentang misi, sehingga terjadi pertumpahan darah. 

Pada 8 Mei 1942 Angganeta ditangkap dan dibawa ke Bosnik. Pada 11 Juni 1942, tentara Jepang tiba di Bosnik untuk menggantikan pemerintahan Belanda. Lalu pihak Jepang pada 29 Juni 1942 mengasingkan Angganeta ke Manokwari.

Itu memang merupakan akhir dari gerakan Angganeta, tapi ini merupakan awal lahirnya gerakan Koreri di Papua. Seperti pada 1947 Lukas Rumkorem memimpin gerakan perlawanan rakyat Biak terhadap penjajahan Jepang. Juga pada 1998, Gerakan Farkankin Sandik menentang  pemerintahan NKRI.

Gerakan menentang pemerintah NKRI ini menurut Bernarda Materay  terjadi karena identitas kepapuaan muncul lebih dulu daripada identitas keindonesiaan. Identitas kepapuaan sudah muncul sejak 1927, melalui pendidikan dan agama Kristen. Ketika anak Papua dari berbagai wilayah disekolahkan di Merauke yang disponsori oleh misi Kristen. Sementara pengaruh Indonesia tidak dirasakan sampai 1963 ketika Perjanjian New York memutuskan Papua adalah bagian dari Indonesia.

Kepapuaan menurut mereka adalah ras kulit hitam, rambut keriting dan mempunyai bendera bintang kejora, memiliki simbol burung Mambruk (Cendrawasih) serta memiliki wilayah yang sekarang meliputi Papua dan Papua Barat.

Proses kepapuaan terbangun hingga menjelang proses jajak pendapat di 1961. Pengalaman bersama sebagai bangsa yang dirasakan mengikat mereka adalah pengalaman di bawah pengaruh Sultan Tidore, yang memiliki pengaruh luas sampai ke Raja Ampat. 

Karena kepapuaan telah hadir lebih dulu dari keindonesiaan. Kesadaran orang Papua sebagai bagian dari Indonesia tidak mudah dan penerimaan konsep keindonesiaan juga tidak mudah. Setelah 1963, proses pengindonesiaan orang Papua dilakukan dengan kekerasan dan pemaksaan. 

********

Beberapa waktu kemudian, Isa Sabo pulang kembali ke Homeyo, kampung halamannya, setalah membantu pekerjaan misi Bill dan Gracie di Hitadipa. Namun ujung panah yang tertinggal di dadanya, akibat perang suku dulu itu, mulai mengganggu kesehatannya. Akhirnya Isa Sabo meninggal. 

Setelah bekerja sebagai misionaris selama 35 tahun (Desember 1950-Mei 1985) di Homeyo dan Hitadipa, akhirnya Bill dan Gracie harus pulang ke negara asal mereka, mengakhiri perjuangan dan pelayanan mereka bagi Suku Moni.

Mereka memberikan hadiah besar bagi orang Moni, yaitu Kitab Suci dalam bahasa Moni, kemampuan mereka untuk membaca dan mengajar isi Injil itu dalam bahasa ibu mereka semdiri. Sekolah Alkitab dan puluhan gereja didirikan di kampung-kampung mereka. Lapangan-lapangan terbang yang membuka pintu ke dunia luar dibangun. 

Sementara Don dan Alice Gibbons, setelah 42 tahun (1956-1994) melayani di Pegunugan Tengah Papua, seperti Boega, Jila, Ilaga, Sinak dan Tembagapura juga harus pulang, mengakhiri misi Tuhan. Bersama keluarga misionaris lainnya, yaitu Gordon dan Peggy Larson serta John Ellenberger mewariskan Kitab Suci dalam bahasa Damal dan Dani. Juga kemampuan membaca dan mengajar berita Injil itu. Sekolah Alkitab dan gereja-gereja serta lapangan-lapangan terbang. 

Demikian juga halnya dengan Suku Mee, yang berdiam di sekitar Danau Paniai. Mereka mendapatkan pelayanan yang sama dari Keluarga Ken dan Vida Trourtman, Keluarga Einar Mickelson, Keluarga Gerry Rose dan Mary McIlrath, Marion Doble, Elze Stringer dan lainnya.

Sedangkan para misionaris hasil binaan Johannes Gossner dan Ottho Heldring, yaitu Ottow, Geissler dan JKG Jaesrich.  Serta utusan Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV),  yaitu JL. Van Hasselt, FJF. Van Hasselt (anak JL. Van Hasselt), Ottekspoor, Klaassen Frans  Mosche, Rudolf Beijer, Carl Beijer, N. Rinnooy, W. Woelders,  Izaak Samuel Kijne dan F C. Kamma. 

Mereka berkarya di sebagian besar wilayah pesisir, teluk-teluk dan pulau-pulau di sekeliling Papua. Melalui pelayan mereka itu maka berdirilah Gereja Kristen Injili (GKI) Papua pada 26 Oktober 1956. 

Oleh pekerjaan para misionaris itu, salah satunya Papua mulai dapat melonggarkan diri dari cengkeraman Kultus Kargo, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk membuat hubungan logis antara sebab dan akibat. Karena kurangnya pengetahuan dan karena hasrat kuat untuk  mendapatkan kargo dari sebuah mujizat, yang  tiba-tiba turun dari langit.

Kultus kargo juga merupakan gerakan bangsa Melanesia untuk mendapatkan kembali harga diri mereka. Mereka berusaha meraih kebanggaan itu dengan perjuangan melalui gerakan religius ini. Mengaku bahwa merekalah pusat dunia, mengklaim keunggulan diri mereka atas orang kulit putih.

Para pengikutnya cenderung mengabaikan akal sehat dan percaya pada “nubuat-nubuat” dan “khayalan”. Mudah menciptakan berbagai dongeng, yang kemudian dilegitimasi secara religius serta mengandalkan kekuatan magis.

Maka terbentuklah sikap oportunis dan mendua hati, yang terwujud pada mudahnya mereka menerima tawaran materi dan kekuasaan. Serta mudah mengurbankan sesuatu yang bernilai demi kekuasaan dan kemewahan itu.

Karena harapan berlebihan kepada pihak yang dapat membebaskan penderitaan mereka itu, justru menumbuhkan sikap pasif, pasrah dan mengarah pada keputusasaan. Juga perasaan rendah diri dan tidak percaya diri sehingga secara gampang menyalahkan dan menyalahkan pihak lain, yang mereka harapkan untuk secepatnya meringankan beban mereka. Juga membentuk mental malas, mudah tersinggung dan peka terhadap kritik. 

Sikap pasif itu menyebabkan mereka secara ringan melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak. Merusak diri sendiri maupun orang lain, seperti alkoholisme, penggunaan obat-obatan terlarang dan tindakan kriminal. 

Mereka tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menemukan jawaban dan jalan keluar, sehingga cenderung melemparkan beban kepada pihak lain. Mental mereka labil, sehingga mudah terpengaruh bujukan dan godaan pihak tertentu dan mudah dimanfaatkan.  

Meskipun ditemukan pada masa Perang Dunia II di wilayah Melanesia, namun di Abad 21 ini Kultus Kargo makin marak ditemukan justru pada masyarakat di kota-kota besar modern dunia. 

Pengikut Kultus Kargo modern ini dihubungkan dengan keinginan pada barang dan kemewahan, terkait erat dengan konsumerisme dan kapitalisme. Penyembah dan pemburu barang mewah dan berteknologi tinggi ini juga melakukan ritual dan berperilaku mirip seperti suku-suku terpencil itu tanpa sadar dan berharap mendapatkan barang, kemewahan dan kenikmatan yang sangat mereka hasrati itu.

Masyarakat Kultus Kargo modern non-Melanesia ini menyembah “ilah selain TUHAN” itu, tepat di dalam rumah ibadah agama mereka masing-masing. Agama yang terlembaga, resmi dan ortodoks ini menjadi kedok yang ampuh bagi  praktik penyembahan berhala mereka itu. 

Mereka memperlakukan Tuhan seperti Lampu Ajaib Aladin. Mereka menggosok-gosok lampu itu dengan doa-doa, ibadah-ibadah, amal perbuatan baik dan aksi mogok makan, supaya suasana lebih khidmat. Meskipun sesekali diselingi ngemil sembunyi-sembunyi, supaya stamina tubuh tetap terjaga dan menenteramkan perut yang sudah ndangdutan. Lalu berharap tingkap-tingkap langit akan terbuka dan kargo itu turun dari surga, penuh dengan barang mewah, kenikmatan, ketenaran, kekuasaan, kesehatan, umur panjang dan hidup kekal di surga.

Pelaku Kultus Kargo modern ini tanpa malu memamerkan barang mewah dan kenikmatan hidup mereka di media sosial dan media arus utama. Mereka tidak akan pernah ragu-ragu melakukan tindakan kriminal untuk membantu dan mempercepat terwujudnya jawaban doa mereka kepada “tuhan selain Allah” itu. Penipuan, pemerasan, pencurian, perampokan dan korupsi tanpa takut dan malu mereka lakukan terang-terangan.

Padahal Ibn Athaillah  (1260-1309) sudah lama menegur orang seperti itu dalam Al-Hikam, bahwa apabila seseorang meminta dari Allah, maka ia sama saja telah menuduh-Nya. Apabila orang itu meminta kepada Allah, maka ia telah mengumpat Allah. Sementara jika seseorang meminta kepada selain-Allah, maka orang itu tidak punya malu kepada Allah. Apabila ia meminta dari selain-Allah itu berarti ia jauh dari-Nya.

Sedangkan pada hari Selasa sore, 4 Dzulhijjah 545 H di madrasah, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (1079–1175) mengingatkan majelis bahwa karena cita-cita mereka hanya sebatas pada gamis, serban, makan, rumah, nikah, toko, duduk dan bersenang-senang dengan mahkluk. Maka mereka harus menyingkirkan cinta mereka terhadap semua itu.  Tetapi tetap berdiri bersama Al-Haq Azza wa Jalla.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani menegaskan kepada mereka bahwa seorang mukmin adalah orang yang merasa asing di dunia ini. Seorang zuhud adalah orang yang asing di akhirat. Sedangkan orang yang ma’rifat adalah orang yang merasa asing terhadap segala sesuatu “selain Allah”. Ia menalak dunia tiga kali, menceraikan akhirat dan lari dari dirinya dan dari “selain Allah”, lalu berdiri tegak bersama “Yang Maha Benar, Maha Perkasa dan Maha Agung” (Al-Haq Azza wa Jalla).

Maka saat ini tidak adil jika Kargoisme ini dibebankan hanya kepada bangsa Melanesia saja, jika kenyataannya suku-suku non-Melanesia di kota-kota besar juga mengidap wabah yang sama.

Kargoisme saat ini berupa Teologi kemakmuran, yaitu  keyakinan yang diungkapkan melalui doa, persembahan, ibadah,  perbuatan baik itu, akan menghasilkan kesehatan, kekayaan dan kebahagiaan duniawi bagi orang beriman. Bahwa kekayaan, kesehatan dan kesuksesan material adalah bukti nyata berkat Allah kepada orang percaya yang setia. 

Para pengikut Kargoisme memohon kepada Allah agar diberi “selain Allah”, yaitu barang mewah, kenikmatan, kemakmuran, ketenaran dan kekuasaan. Maka para misionaris di Abad 21 ini masih akan berhadapan-hadapan langsung dengan “Kargoisme” dalam kemasan baru dan menarik hati itu. Sehingga mereka harus membawa warta nasihat Rasul Yohanes (meninggal 99 M) kepada jemaat Tuhan:

“Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya. (1 Yohanes 2: 15-17)

 ——-

Kepustakaan

Al-Jailani, Abdul Qadir. Kayakan Hatimu dengan Zuhud terhadap Dunia. Cipta Media, Yogyakarta, 2007.

Athaillah, Ibn. Al-Hikam. Serambi, Jakarta, 2012.

Cutts, William A.  Yang Lemah Di Tanah Moni. Kalam Hidup, Bandung, 2000.

Gibbons, Alice. Orang-orang Yang Terlupakan oleh Waktu. Kalam Hidup, Bandung, 2013.

Kamma, F C. Koreri. Messianic Movements IN The Biak- Numfor Culture Area. Martinus Nijhoff, The Hague, 1972.

Kamma, F C. Ajaib di Mata Kita I. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1981.

Kamma, F C. Ajaib di Mata Kita II. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982.

Kamma, F C. Ajaib di Mata Kita III. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994.

Kaplan, Martha. Neither Cargo Nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Duke UP, Durham, North Carolina, 1995.

Lawrence, Peter. Road Belong Cargo: a Study of the Cargo Movement in the Southern Madang District, New Guinea. Manchester University Press, Manchester, 1964.

Lindstrom, Lamont. Cargo Cult.  University Of Hawaii Press, Honolulu, 1993.

Mansoben, Johsz R. Gerakan Koreri di Daerah Biak Antara (1938-1943). Majalah Prisma, tahun 1980, hlm 78-91.

Maher, R. New men of Papua: a Study in Culture Change. University of Wisconsin Press, Madison, 1961.  

Meteray, Bernarda. Nasionalisme Ganda Orang Papua.  Kompas, Jakarta, 2012.

Strelan, John G. dan Godschalk, Jan A. Kargoisme di Melanesia. Pusat Studi Irian Jaya, Jayapura, 1989.

Steinbauer, F. Melanesian Cargo Cults: new salvation movements in the South Pacific. Queensland University Press, St. Lucia, 1979. 

————-

*Tony Doludea, Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indo.