Kontroversi (penulisan) Sejarah Indonesia
Oleh Riwanto Tirtosudarmo*
Saya kebetulan pernah bekerja di sebuah lembaga penelitian pemerintah yang pada suatu masa boleh dikatakan didominasi oleh para sejarawan. Pada tahun 1980 saya mulai bekerja di Lembaga Ekonomi dan dan Kemasayarakatan Nasional (Leknas) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, saat itu kantornya di Jl. Gondadia Lama 39 Menteng Jakarta Pusat. Pada awal tahun 1980-an itu berkumpul disana para sejarawan terkenal seperti Taufik Abdullah, AB Lapian, Thee Kian Wie dan Abdurahman Suryomihardjo. Selain para sejarawan di Leknas saat itu juga ada ahli ilmu politik Alfian, sosiolog Mely G. Tan, demographer Suharso, ekonom JL Tamba, antropolog/linguistik Edi Masinambouw, dan yang tergolong peneliti muda saat itu ada Mochtar Pabottingi dan Ninuk Probonegoro. Sebagai sebuah lembaga penelitian pemerintah, posisi Leknas sebagai tempat berkumpulnya para ahli ilmu sosial yang kritis menjadi menarik karena iklim politik yang represif dari pemerintah Orde Baru yang mulai berkuasa sejak tahun 1966, menyusul jatuhnya pemerintah Sukarno dan dihabisinya mereka yang dianggap PKI atau yang dianggap berhaluan kiri.
Pemerintah Orde Baru dibawah Jendral Suharto yang oleh ilmuwan-aktifis Australia Herbeth Feith disebut sebagai Repressive Developmentalist Regime, berkuasa selama 32 tahun (1966-1998). Pada awal tahun 1980an Leknas-LIPI bisa dikatakan sebagai sebuah pusat ilmu-ilmu sosial di Indonesia, sebuah oase ilmu pengetahuan sosial dimana seminar, diskusi dan proyek-proyek pengembangan ilmu-ilmu sosial sangat semarak. Tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial seperti Hasya Bachtiar, Selo Sumarjan, Soedjatmoko, Umar Kayam, Onghokham, Arif Budiman, Juwono Sudarsono, Dawam Rahardjo, Koentjaraningrat, Mochtar Buchori, Sartono Kartodirdjo, Koentowidjojo, Toeti Herati Noerhadi, Parsudi Suparlan, Loekman Soetrisno, Ignas Kleden dan Daniel Dhakidae adalah wajah-wajah yang tidak asing dalam seminar dan diskusi yang diadakan di Leknas-LIPI. Selain para ahli ilmu sosial di Leknas juga sering terlibat dalam diskusi tokoh-tokoh wartawan seperti Aristides Katoppo, George Junus Aditjondro, Goenawan Mohamad dan Atmakusumah. Leknas-LIPI juga menjadi tempat para peneliti asing seperti Clifford Geerts, George Kahin, Harry T. Oshima, Hans Dieter Evers, Herbeth Feith bertemu dengan peneliti Indonesia dan memaparkan hasil penelitiannya.
Sebagai peneliti muda saat itu, saya melihat para sejarawan seperti Taufik Abdullah, Adri Lapian, Abdurachman Suryomihardjo dan Thee Kian Wie; lebih tampil sebagai ilmuwan sosial sekaligus intelektual yang terlibat dalam berbagai isu sosial-politik yang tidak jarang menjadi sensitif karena harus berhadapan dengan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Taufik Abdullah, Thee Kian Wie dan Mely G. Tan termasuk yang dikenai sangsi oleh pemerintah karena sebagai pegawai negeri ikut menandatangani Petisi Keprihatinan tahun 1978. Salah satu peristiwa penting yang saya ingat adalah mundurnya beberapa sejarawan, termasuk Sartono Kartodirdjo dari tim penulisan buku sejarah nasional yang saat itu dipimpin oleh seorang sejarawan militer Nugroho Notosusanto. Mereka mundur karena tidak sependapat dengan Nugroho Notosusanto yang dinilai ingin mengarahkan penulisan sejarah sesuai dengan kehendak penguasa saat itu. Profesor Sartono Kartodirdjo adalah seorang sejarawan senior, sangat dihargai integritas akademiknya di dunia internasional. Taufik Abdullah, Adri Lapian dan Abdurahman Suryomiharjo adalah murid-murid Profesor Sartono Kartodirjo yang meneruskan tradisi sejarawan yang berintegritas meskipun dalam masa-masa yang sulit di zaman Orde Baru. Pada masa itu sebuah buku tentang sejarah pers yang penulisannya dipimpin oleh Abdurahman Suryomiharjo dibredel penguasa karena isinya dianggap mengkritik kebijakan pemerintah.
Sejak bulan Februari 2025 sebuah kementrian yang baru dibentuk, Kementrian Kebudayaan dan dipimpin oleh Fadli Zon, seorang politisi Partai Gerindra yang saat ini bisa dikatakan menguasai pemerintahan karena ketuanya Jendral Prabowo Subianto, putra ekonom Soemitro Djojhadikusumo dan mantan menantu Jendral Suharto, menjadi Presiden Republik Indonesia, menggagas dan merencanakan penulisan buku sejarah nasional yang baru. Tampaknya apa yang pernah dilakukan oleh Nugroho Notosusanto, sejarawan dari UI yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan pada masa Suharto, kembali terulang, ketika seorang pejabat tinggi pemerintahan, dalam hal ini seorang menteri menggagas dan memimpin sebuah penulisan buku sejarah nasional yang baru, terulang. Sudah diketahui umum bahwa Fadli Zon menunjuk tiga professor sejarah, salah satunya adalah Profesor Susanto Zuhdi dari Universitas Indonesia, yang pernah menjadi pembimbing disertasi doktornya di UI; sebagai editor umum buku sejarah nasional baru yang digagas dan dipimpin penulisannya. Buku sejarah nasional yang baru ini direncanakan akan diterbitkan sekaligus sebagai kado ulang tahun Republik Indonesia yang ke 80 pada 17 Agustus 2025 nanti.
Saya terus terang agak terlambat mengetahui adanya rencana penulisan buku sejarah ini. Pada tanggal 26 April saya dikirimi tulisan sahabat saya Pande K.Trimayuni, seorang aktifis dan alumni FISIP UI, judulnya “Apakah Anda Tahu Pemerintah sedang Menggodok Penulisan Kembali Sejarah Indonesia?”. Dari Pande saya baru tahu kalau Profesor Susanto Zuhdi, kolega saya sejarawan maritime yang menulis disertasi sejarah Buton dari FIB UI menjadi editor umum, disamping Profesor Jajat Burhandudin dari UIN Jakarta dan Profesor Singgih Tri Sulistiono dari UNDIP. Sejak itu, meskipun tidak intensif saya mengikuti kontroversi yang berkembang seputar rencana penulisan buku sejarah nasional itu. Kontroversi itu muncul karena dalam rencana penulisan sejarah, yang akan dianggap sebagai sejarah resmi, karena dikeluarkan oleh pemerintah itu, ada kecurigaan bahwa fakta-fakta sejarah tertentu yang dianggap merupakan sisi gelap dari rezim pemerintahan Prabowo Subianto akan dihilangkan atau diubah narasinya. Sebuah kelompok masyarakat sipil dibentuk oleh beberapa aktifis dan peneliti, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) sebagai reaksi terhadap rencana negara yang dinilai akan memonopoli penafsiran sejarah Indonesia. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah , mendatangi Komisi X DPR yang membidangi kebudayaan dan meminta agar rencana penulisan buku ini dihentikan. Dari beberapa kolega saya juga mendapat kabar kalau salah seorang calon penulis, Profesor Truman Simanjuntak, seorang ahli purbakala, mengundurkan diri, konon karena tidak setuju dengan istilah Sejarah Awal yang akan dipakai oleh Tim Sejarah bentukan Fadli Zon menggantikan istilah Pra-Sejarah yang dianggapnya sudah baku.
Pada tanggal 11 Juli malam saya menghadiri pameran lukisan dan pertunjukan ludruk yang dipimpin oleh seorang perupa, sahabat saya Moelyono dari Tulung Agung di Bentara Budaya Kompas Jakarta. Malam itu saya bertemu dengan Seno Joko Soejono, wartawan kebudayaan Tempo yang baru saja pensiun dan ngobrol tentang rencana penulisan buku sejarah. Dari Seno saya diberitahu kalau tanggal 12 Juli akan ada webinar soal penulisan sejarah ini dan salah satu pembicaranya adalah Truman Simanjuntak. Reaksi saya dan Seno waktu itu hampir sama kalau soal pra-sejarah mungkin tidak ada yang kontroversial dibandingkna sejarah yang kontemporer. Kepada Seno saya ceritakan kalau Profesor Susanto Zuhdi memberitahu saya kalau akan ada uji publik naskah buku sejarah yang sedang disusun itu di FIBUI tanggal 23 Juli, dan saya bilang ke Seno bahwa saya akan hadir jika dalam uji publik itu diundang mereka yang pro dan yang kontra dengan rencana penulisan buku sejarah itu. Kolega saya Profesor Susanto Zuhdi berjanji akan memberitahu siapa saja nanti yang akan diundang.
Keeseokan harinya, tanggal 12 Juli, setelah mendapatkan link webinar dari Seno, saya sempatkan untuk mengikutinya. Dari webinar itu saya mencatat beberapa hal yang menurut saya menarik dan penting. Suzanto Zudi sebagai editor umum dari buku sejarah yang sedang dipersiapkan ini secara terbuka mengatakan bahwa penulisan sejarah yang sedang dikerjakan berangkat dari sebuah perspektif tertentu dimana ada kepentingan dan tujuan tertentu yang ingin dicapai. Susanto Zuhdi mengatakan tidak ada yang netral dan memang buku sejarah yang ditulisnya akan bersifat “Indonesia centris”. Namun dia juga mengatakan bahwa penulisan yang dilakukan sudah pasti didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah. Sementara itu Truman Simanjuntak mengatakan bahwa istilah prasejarah (prehistory) adalah istilah yang sudah diakui secara internasional dan sebaiknya tidak diganti karena akan menjadi rancu secara metodologis. Dia juga mengatakan bahwa pengubahan istilah prasejarah dengan istilah sejarah awal atau awal peradaban justru membingungkan dan memaksakan metodologi sejarah kedalam periode prasejarah yang jelas-jelas memiliki metodologinya sendiri. Ada kesan memang Profesor Susanto Zuhdi ingin melakukan penulisan sejarah Indonesia dimana tidak ada keterputusan antara periode pra-sejarah dan periode sejarah dimana menurut Truman Simanjuntak batasnya jelas yaitu zaman sebelum dan sesudah adanya tulisan. Perbedaan ini tampaknya sepele namun saya melihat ada yang bersifat substansial disini, dan menurut dugaan saya disinilah apa yang dikatakan Susanto Zuhdi sebagai landasan perspektif dan adanya kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai dengan penulisan buku sejarah nasional ini perlu mendapat perhatian secara kritis.
Jauh sebelum menjadi menteri kebudayaan Fadli Zon selalu mengatakan perlunya apa yang dia sebutkan dalam bahasa Inggris sebagai “reinventing Indonesia”. Saya tidak tahu apa terjemahan yang tepat dari “reinventing Indonesia” yang dikatakannya, “menemukan kembali Indonesia”, “mendefinisikan kembali Indonesia”, atau apa? Tapi yang tidak bisa disembunyikan adalah keinginannya untuk mengubah atau membentuk sebuah keindonesiaan yang baru, yang berbeda dengan yang sudah ada. Dengan kata lain penulisan sejarah adalah penulisan ulang sejarah. Menjadi pertanyaan kemudian “Indonesia seperti apa yang ingin ditulis ulang”, “narasi keindonesiaan seperti apa yang ingin diciptakan”? Sampai disini memang kemudian menjadi problematik bagi Profesor Susanto Zuhdi ketika dia mengatakan bahwa penulisan itu akan tetap berlandaskan kaidah-kaidah ilmiah. Problemnya, mana yang akan menjadi prinsip utama yang akan diikuti, kaidah-kaidah ilmiah atau kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai yang tidak mungkin tidak bersifat politis-ideologis. Dalam sebuah kesempatan seorang teman lama saya di LIPI dulu Hermawan Sulistyo, yang menulis disertasi doktor sejarahnya di ASU (Arizona State University) tentang bagian dari sejarah 1965, ketika rame-rame saat itu orang berdebat tentang pelurusan sejarah pasca lengser keprabonnya Suharto, mengatakan bahwa sejarah tidak ada yang lurus, sejarah selalu bengkok-bengkok, katanya. Kita tahu bahwa yang dimaksudkan adalah selalu ada kepentingan dan tujuan tertentu yang ingin dicapai dalam setiap penulisan sejarah. Kepentingan dan tujuan inilah yang akan selalu membengkokkan hasil penulisan sejarah.
Melihat gelagatnya, meskipun banyak yang menentang dan meminta penulisan buku sejarah yang sudah dilakukan dihentikan atau minimal ditunda, Fadli Zon dan tim penulis buku sejarah yang dipimpin oleh bekas pembimbingnya Profesor Susanto Zuhdi akan berjalan terus, meskipun tentu akan ada penyesuaian dan perubahan disana-sini setelah munculnya banyak protes dan keberatan publik; untuk mengurangi kontroversi sekecil mungkin, dan pada tanggal 17 Agustus nanti buku itu, minimal dummy-nya, akan menjadi kado ulang tahun republik. Menggunakan istilah kawan saya Hermawan Sulistyo bahwa tidak ada hasil penulisan sejarah yang lurus, apa yang dihasilkan oleh Fadli Zon dan tim penulis sejarahnya juga hampir bisa dipastikan bengkok – meskipun sudah diupayakan melalui metode ketok mejik dari Blitar sekalipun.
Saya sendiri berpendapat bahwa sejarah Indonesia terlalu besar untuk bisa dimonopoli oleh Fadli Zon dan segelintir sejarawan disekitarnya. Di zaman keterbukaan informasi sperti sekarang ini, saya menyaksikan minat terhadap sejarah dan menuliskan sejarah dalam berbagai bentuk di berbagai tempat menggeliat. Besarnya respon baik yang mendukung maupun yang meprotes rencana penulisan buku sejarah resmi oleh Kementrian Kebudayaan memperlihatkan antusiasme masyarakat terhadap sejarah negeri dan bangsanya, juga terhadap sejarah lokah daerahnya masing-masing. Meskipun dilihat dari sisi lain, sejarah Indonesia jangan-jangan harus diakui lebih banyak ditulis oleh peneliti sejarah asing daripada oleh sejarawan Indonesia sendiri. Buku-buku tentang sejarah 1965 atau tentang Papua untuk menyebut dua contoh yang didalam negeri dianggap tabu dan sensitif, bisa dipahami lebih banyak ditulis oleh orang asing daripada oleh orang Indonesia, dan bukan rahasia lagi kemampuan mengumpulkan data, menggunakan arsip dan menuliskannya lebih meyakinkan penulis asing daripada penulis dari Indonesia sendiri. Ketakutan dan self censorship bisa dibayangkan mudah menghinggapi para penulis dari Indonesia sendiri.
Penulisan ulang sejarah Indonesia yang diberi label oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai “reinventing Indonesia” adalah sebuah proyek politik dengan agenda dan tujuan politiknya sendiri. Narasi tentang Indonesia dan keindonesiaan seperti apa yang ingin disampaikan – marilah kita tunggu bersama.
Pasemaden Tonjong Bogor 13 Juli 2025.
—-
*Riwanto Tirtosudarmo adalah peneliti.