Janapadôdghvaṃsaḥ: Pandemik Aji Caṇḍabirava Dalam Bratayuda Jayabinaŋun Menurut Sěrat Bratayuda Ŋayogyakarta

Oleh Manu J.Widyasěputra

Awal tahun 2020 bhūmi digegerkan oleh menerebaknya pandemi yang disebut Corona Covid-19. Semua negara di seluruh dunia berusaha untuk melindungi warga negaranya, agar tidak menjadi korban penyakit, yang boleh dikatakan virus baru pada abad XXI. Apakah merebaknya pandemi semacam itu baru ada pada saat ini ataukah sejak dahulu sudah pernah terjadi? Berdasarkan data historis di seluruh dunia peristiwa merebaknya pandemi semacam itu bukanlah yang pertama kalinya. Di Jawa khususnya sudah mengenal mengganasnya virus yang membawa korban manusia dan budaya Jawa menyebutnya pagěblug. Bagaimana budaya Jawa berusaha menanggulangi menyebarnya pagěblug semacam itu? Naskah-naskah Jawa, baik Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, Jawa Klasik dan Jawa Baru telah merekam peristiwa malapetaka itu. Salah satu teks yang merekamnya adalah Sěrat Bratayuda Kraton Yogyakarta. Penelitian ini mengangkat itivṛtta, „naratif‟ gugurnya Śalya di Těgal Kurusétra. Ketika majau berperang Śalya megeluarkan Aji-annya yang bernama Aji Caṇḍabirava. Dicermati dari keber- adaannya, Aji Caṇḍabirava mempunyai kemiripan dengan virus Corona Covid-19. Apakah dan bagaimanakah Aji Caṇḍabirava ini dimusnahkan dari medan perang, supaya tidak banyak membawa korban? Untuk memusnahkan Aji Caṇḍabirava bukan sekedar semata-mata menemukan penawarnya secara manu- siawi, tetapi perlu pemahaman kosmologis, yang mungkin dapar dimanfaatkan untuk menumpas Corona Covid-19, yang sedang menimbulak ketakutan manusia modern saat ini di seluruh bhūmi.

I. Pengantar

Penelitian ini adalah tentang bagaimana dan mengapa masyarakat menciptakan dan mengadaptasi pemahaman masa lalu dan memahami dunia psikhis yang mengelilingi mereka. Dalam rangka menggali pemanfaatan naratif untuk membangun gagasan masa lalu dan ruang, saya mengangkat Sěrat Bratayuda Ŋayogyakarta. yang bersasal dari Kraton Yogyakarta dengan no kode naskah W 261. Namun, yang dijadikan permasa-lahan bahwa kesusasteraan dan masyarakat dibentuk oleh interes mendasar dalam bentuk dan tujuan membangfun masa lalu dan ruang dalam teks naratif. .

Sěrat Bratayuda Ŋayogyakarta merupakan sebuah naratif yang luas, yang mengang-kat sejarah, keberadaan, dan tujuan kosmos dan jajaran manusia yang mewarisinya. Sěrat Bratayuda Ŋayogyakarta juga menguraikan sejarah khusus dari suatu keluarga kṣatriya, pengantara Kṛṣṇa deva-pahlawan, dan yuddha, „peperangan‟ yang mengerikan yang menyebabkan gugurnya para kṣatriya dunia. Untuk tujuan itu, kami mengangkat Bhāratayuda Jayabinagun Ŋayogyakarta yang merupakan bagian kecil dari Mahābhārata Ŋayogyakarta secara utuh dan menyeluruh, sebuah teks yang telah disunting secara kri-tis, tetapi tidak ditampilkan dalam penelitian ini dengan jalan memangkas bagian-bagian yang belum diperlukan pada saat2.

Pada kesempatan ini dipermasalahkan mahāmārī atau upadravaḥ, „wabah‟, yang sedang melanda dunia. Kini seluruh prajā, „umat manusia‟ sadang dilanda kleśaḥ, „pen-deritaan‟ sebagai akibat mahāmārī itu. Selanjutnya, mahāmārī itu kalau benar-benar mengancam mematikan banyak manusia disebut dengan janapadôdghvaṃsaḥ, yang kata itu adalah kata Bahasa Sansekerta untuk menyebut pandemik suatu penyakit yang menyebar di wilayah yang sangat luas dan dalam kurun waktu tertentu. Dalam sebuah buku tulisan Michaerl C. LeMay, Global Pandemic Threats. A Reference Handbook3, ketika bicara nasalah pandemik, kita perlu memulai pembicaraan dari peng- ertian epidemik4 sebagai berikut:

Epidemics are like waves: they rise and fall. Sometimes they seem to be spaced at fairly regular intervals of time. Measles may rise to a peak every second or third year…..Topography and climate seem to have something to do with both epidemics and endemics…..Ophthalmia is traditionally associated with Egypt, malaria with the Mediterranian shore, plague with the East, yellow fever with the tropics America. Moreover some diseases spread and become threatening at one season of the year, some at another. Pneumonia is a winter disease, measles seem to reach its peak in the spring, babies die of diarrhea in hot summer months, and one fears poliomyelitis most in the late summer. Some diseases, again, fall upon people all ages, some upon children, some most severely on the old

Selanjutnya, pandemik mengacu ketika suatu epidemik menyebar ke seluruh negeri atau wilayah, dan menjadi multinasional dan bahkan kesempatannya sangat globlal. Pandemik telah disebut sebagai “wabah”, “penularan yang amat luas”, bahkan menjadi “sampar”5. Secara tipikal wabah mengacu pada keadaan yang menyebabjan kondisi tidak sehat yang sangat mengerikan atau mortalitas dan disertai oleh keterpisahan sosial. Seperti yang sedang berlangsung pandemik saat ini yang disebut dengan corona atau covid-19. Epidemik virus corona menghadapkan kita dengan dua tokoh-tokoh berla-wanan yang kuat dalam kehidupan kita sehari-hari: Mereka, seperti para staf medis dan perawat, yang bekerja berlebihan waktunya sampai pada titik kelelahan luar biasa, dan mereka yang tidak mengerjakan apa pun sejak mereka dipaksa atau diharuskan menjadi volentir di rumah masing-masing. Termasuk pada kategori kedua, Slavoj Žižek merasa diwajibkan membiasakan dri dengan keadaan yang sulit dan berbahaya untuk meng-usulkan sebuah refleksi pendek mengenai berbagai jalan, yang di dalamnya kita menjadi lelah. Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini menelusuri janapadôdghvaṃsaḥ, yang terekam dalam teks Sěrat Bratayuda Ŋayogyakarta. Untuk kepentingan itu diper-lukan sebuah landasan pemikiran, yang disebut Filologi

II. Filologi

Teks Sěrat Bratayuda Ŋayogyakarta yang tersimpan diperpustakaan Kraton Yogyakarta dengan nomer kode W 26, belum pernah memperoleh perhatian yang cermat, khususnya dalam hal penyuntingan teks. Lebih dari dua abad, tubuh impresif dari keilmiahan Barat telah dihasilkan untuk mengeksplorasi struktur sistem yang berbelit-belit dan canggih dari analisis bahasa. Namun, apa yang mengherankan bahkan bagi para spesialis di lapangan ini. adalah betapa sedikitnya sarjana yang kita miliki -paling sedikit para sarjana yang mendalam secara historis, tertata secara sistematis, dan kaya secara kon-septual- mengenai bentuk-bentuk Asia Selatan tradisional yang lainnya dari analisis bahasa dan analisis teks, mengatasi fonologi dan morfologi yang merupa- kan bidang gramatika tradisional, yang membawa kita ke dalam wilayah-wilayah yang sebaik- nya kita masukkan di bawah sebuah definisi yang dapat dipertanggungjawabkan tentang filologi -satu bidang yang meminta, bukan sebuah rangkaian yang spesifik tentang ciri-ciri metodologis atau teoretis yang tidak ternilai tingginya melintasi semua ruang dan waktu, tetapi perhatian yang lebih luas dengan membentuk pengertian teks-teks6.

Di bawah definisi semacam itu, filologi dapat dipastikan merupakan suatu penunjuk yang tepat dan sesuai untuk suatu tataran praktek-praktek tekstual dan protokol-protokol interpre- tatif dalam tradisi teks-teks Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk teks Ŋayogyakarta. Apa yang menjadi teka-teki adalah, bahwa praktek-praktek dan protokol-protokol tidak pernah diidentifikasi sebagai sebuah vidyāsthāna7, „bentuk pengetahuan yang terpisah‟. -sungguh tidak ada pengertian yang kurang lebih menunjuk pada “filologi” di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun, di belakang itu semua sangat tidak mengherankan bahwa orang-orang memiliki sebuah konsepsi tentang bagian-bagian dari sebuah hal, tanpa sebuah konsepsi yang utuh menyeluruh; hal itu meng-ingatkan pada argumen kuna Bruno Snell bahwa dalam Bahasa Yunani kuna, meskipun terdapat kata-kata untuk anggpta-anggota tubuh dan urat dan ototnya, kerangka badan dan kulit, tetapi tidak ada satu kata pun yang menyebut anggota badan sebagai sebuah kesatuan organik8. Atau mungkin filologi juga secara menyeluruh meresap ke dalam

dunia pemikiran Asia Selatan dan Asia Tenggara bahkah dapat diidentifikasi, karena di sana terdapat sedikit keraguan bahwa Sansekerta, Jawa Kuna, Jawa Klasik, Thai, Cham, sebagai bahasa para deva, merupakan bahasa yang difilologi- kan paling padat di dunia pramodern9.

Uraian yang komprehensif tentang sejarah filologi Asia Selatan dan Asia Tenggara dalam pengertian yang luas kiranya menunjukkan bukan hanya gramatika, tetapi juga Alaṃkāraśāstra, yang meliputi antara lain: leksikografi, metrum, rhetorika, dan Mimāmsā, „hermeneutika‟, semua dengan kaya dikembangkan untuk suatu derajat kekompleksan yang sebenarnya belum dimengerti di mana saja di dunia kuna. Oleh karena tidak ada bahasa lain yang kita ketahui, memiliki, sebagai contoh, sebuah rekonstruksi gramatikal yang lengkap mengenai perubahan bunyi, akar kata kerja, derivasi primer dan sekunder, dan sebagainya, tidak juga, pada tujuan akhir yang lain dari sebuah spektrum, yang demikian sistematis untuk sebuah analisis arti sebagaimana yang dipersembahkan oleh hermeneutika Bahasa Sansekerta, Jawa Kuna, Jawa Klasik, Thai, Cham –Vākyaśāstra, “Pengetahuan Kalimat”- yang kendatipun, dikembangkan untuk eksegesis teks-teks skriptural pada akhir abad sebelum Masehi, tetapi dijumpai aplikasi baru dan luas untuk kesusasteraan sekuler dari abad kesembilan dan sete-rusnya10, sementara hal itu yang pula melengkapi logika eksegetikal bagi jurisprudensi yang lebih kemudian. Sebagai pengganti uraian yang komprehensif tentang filologi Asia Selatan dan Asia Tenggara, Pollock mengusulkan untuk mengkaji di sini sub-spesiesnya yang paling representatif, yakni komentar. Para komentator memusatkan perhatian mereka sendiri dengan menginterpretasi teks-teks -dan kerap kali dengan menetapkan dan menyunting teks-teks itu- dengan seemikian luas suatu tataran kriteria bahwa komentar diangkat dengan agak baik sebagai bagian yang berpihak pada keberanian berusaha yang menyeluruh untuk membentuk makna teks-teks di Asia Selatan dan Asia Tenggara tradisional. Namun, kesarjanaan yang ditujukan pada praktek-praktek komenratial berdiri dalam proporsi alam semesta, baik kuatitatif maupun kualitatif, bagi material-material mereka sendiri. Telah diprakirakan bahwa komentar-komentar merupakan tradisi tulis Asia Selatan dan Asia Tenggara sebanyak-banyaknya 75%11 dan komentar-komentar itu menjelmakan beberapa dari pemikirannya yang paling berwa-wasan mengenai teks-teks. Namun kita mempunyai rabaan atau dugaan yang miskin tentang apakah pemikiran ini terdiri atas, atau tentang bagaimana berbagai macam genre dari komentar-komentar itu berkembang secara historis atau berlainan di antara sejum-lah komentar tersebut di atas..

Shaldon Pollock mempersempit obyek yang telah terbatas ini dari filologi Asia Selatan dan Asia Tenggara lebih jauh dengan membatasi studinya untuk komentar pada dua genre: puisi sekuler dan pustaka suci Vedis. Komentar terhadap karya-karya filo-sofis dan sainstefik yang lain mempunyai sebuah sejarah yang secara khusus berlainan. Inti śāstra mengenai gramatika, hermeneutika dan logika, yang teks-teks landasannya menjadi berbentuk pada akhir abad sebelum Masehi, telah menerima komentar-komentarnya pada permulaan secara tertulis pada awal abad Masehi. Namun komentar-komentar itu jauh lebih diperhatikan dengan gagasan-gagasan dari teks dasar daripada dengan realisasinya sebagai sebuah bentuk bahasa atau teks, oleh karena selama bebe-rapa abad komentar merupakan sebuah genre yang di dalamnya intervensi dan inovasi doktrinal kemungkinan sekali dapat ditampilkan, sampai munculnya prakaraṇa-grantha, „risalah yang independen‟pada awal kurun waktu modern12. Hal yang berla-wanan, perhatian eksegetikal yang sistematis untuk puisi yang sekuler dan untuk Veda-Veda dalam kedua kasus merupakan fenomena yang sungguh lambat, yang muncul pada akhir melinium pertama dan menjalin daya tarik kultural yang luas hanya pada abad-abad berikutnya. Selanjutnya, sementara komentar-komentar ini sering memperlihatkan intelegensia yang sungguh sangat menarik, sejumlah besar komentar itu dengan nyata dan jelas tidak pernah berusaha untuk merebut tempat teks primer; tidak serupa dengan komentar filosofis seperti misalnya karya Kumārila: Exegesis in Verse (Ślokavarttika, sekitar tahun 650 Masehi), komentar literer dan skriptural merupakan sebuah bentuk pemikiran yang sekunder, bukan sebu- ah bentuk pemikiran yang primer13.

Selanjutnya, Sheldon Pollock pertama-tama mencoba untuk memberi ciri apa yang dimaksudkan dengan: menetapkan, menyunting dan menginterpretasi sebuah teks literer (baik vīracarita maupun karya istana), sambil menyela juga untuk mempertimbangkan sebuah pertahanan yang menarik luar biasa dari pertengahan abad ketujuhbelas dari Bahasa Sansekerta, Jawa Kuna, Jawa Klasik, Thai, Cham non-standars (atau, lebih tepat “non-standard”) dalam teks-teks literer atau lainnya, yang memiliki implikasi-implikasi penting untuk menyunting teks. Berikutnya, Sheldon Pollock kembali pada sejarah komentar skriptural, dan mengikuti komen- tar ini dengan menguraikan argumen-argumen kontekstual yang biasa dipergunakan oleh para komentator Vedis untuk memberi kerangka karya-karyanya. Data ini, diangkat sebagai kese- luruhan, semakin bertambah membentuk kecenderungannya untuk hipotesis bahwa aebuah transformasi dalam budaya Asia Selatan dan Asia Tenggara terjadi sekitar permulaan melinium, yang bersifat epistemis, bukan hanya teknologis. Munculnya komentar-komentar filologis merepresentasikan bentuk pengetahuan yang baru, atau distandardkan secara baru, dan bukan hanya keinginan yang baru untuk menjalankan menjalankan pengetahuan oral yang telah ada dalam bentuk tulisan. Oleh karena perhatiannya seluruh peninjauan yang luas adalah lebih besar daripada peninjauan historis, maka Sheldon Pollock berkesim-pulan dengan pemikiran tentang keterkaitan filologi trandisioal dan filologi kontempo-rer dengan terus melakukan penyelidikan sendiri untuk membentuk makna dan pengertian14, karena melalui penelitian secara pribadi dengan mudah dapat ditemukan masalah-masalah yang semula belum sempat menjadi perhatian, baik dirinya sendiri maupun peneliti lain. Setelah kita menyadari betapa pentingnya kita mengerti masalah pemahaman tentang komentar teks-teks, yang dipandang telah ada sebelumnya, maka kini permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan membaca teks secara cermat, agar kita mampu memperoleh pengertian ataupun makna teks, yang sangat bermanmaat untuk kehidupan akademis ataupun kehidupan manusia secara riil yang berlaku sehari-hari. Sebelum mencermati janapadôdghvaṃsaḥ dalam naratif Bratayuda Ŋayogyakarta, terlebih dahulu ditunjukkan tokoh-tokoh yang berperan, baik yang memiliki dan menyebarkan maupun meredam janapadôdghvaṃsaḥ, yang disebut Aji Caṇḍabirava. Tokoh yang memiliki dan menyebar Aji Caṇḍabirava adalah Śalya dan tokoh yang berhasil meredamnya adalah Śrikaṇḍi beserta Krěṣṇa dengan memanfaatkan peranan Yuḍiṣṭira dengan pusakanya Jamus Kalimasada15.

III. Śrikaṇḍi dan Śalya beserta Yuḍiṣṭira dan Krěṣṇa dalam BratayudaJayabinaŋun

Menurut tradisi Bratayuda Ŋayogyakarta, selama berlangsungnya yuddha di Kuru-kṣetra, pihak Korava dipimpin oleh Śalya16, seorang raja dari Kerajaan Mandaraka seba-gai Sénāpati Agung dan pihak Paṇḍava dipimpin oleh Sénāpati Agung putri, yaitu Śri-kaṇḍī17, istri Arjuna dan putri Prabu Drupada raja dari Kerajaan Cěmpalaradya. Dalam yuddha itu Śalya mengeluarkan aji-annya yang bernama Aji Caṇḍabirava. Menurut sejarah Aji Caṇḍabirava ini diperoleh dari mertuanya, yakni Běgawan Bragaspati, yang mewarisi dari gurunya, yakni Nagacuṇḍila18 dari Kerajaan Jangkar Bumi, salah representasi Durgā sebagai penguasa Pralīna19 „penghancuran‟. Aji Caṇḍabirava mem-punyai karaktersitik yang istimewa tetapi mengerikan. Ia adalah buta bajang kajiman. Apabila terkena oleh berbagai macam senjata ia dapat membelah diri, kemudian memangsa musuhnya, yang mati tanpa diketahui sebab musababnya. Ketika memangsa musuhnya raksasa Canḍābirava tidak meninggalkan jejak dan bekas apa pun dan menjadi Janapadôdghvaṃsaḥ „pandemi‟, sehingga pihak Paṇḍava mengalami kebi-ngungan bagaimana harus membasminya. Lama-lama raksasa Caṇḍabirava itu menjadi berjumlah jutaan dan menyebar ke seluruh penjuru peperangan dan pakuwonpakuwon para Paṇḍava. Śrikaṇḍī sebagai Sénapati Agung Pāṇḍava berupaya untuk menghalau Aji Caṇḍabirava dan berkat eberadaannya sebagai Durganètri berhasil menemukan jalan, yakni: mengangkat Yuḍiṣṭira dengan Jamus Kalimasada-nya sebagai Sénapati Pěrang dengan didampingi oleh Krěṣṇa. Ketika Yuḍiṣṭira dengan pusakanya berhadapan de-ngan Śalya dapat diibaratkan sebagai Yama berhadapan dengan Mṛtyu. Pada saat itulah Aji Caṇḍabirava menyerang Yuḍiṣṭira, seluruh badan raja itu digigitnya, tetapi ia diam tidak ada reaksi apapun. Seketika itu darah putih mengalir dari tubuh Yuḍiṣṭira menerpa ribuan raksasa itu. Oleh karena merasa panas bukan kepalang dan tubuh mereka ibarat terbakar, Aji Caṇḍabirava pun terbakar oleh Jamus Kalimasada bersama-sama, kemudi-an mereka mundur kembali ke asal usulnya yaitu ke tubuh Nagacuṇḍila. Setelah tentara raksasanya musna, Yuḍiṣṭira memegang pusakanya Jamus Kalimasada, yang lalu berubah menjadi Tomara, „sejenis tombak dengan dua mata ketajaman‟, dilepaskan mengenai dada Śalya, maka ia pun roboh dengan memeluk bhūmi. Gugurnya Śalya menyebabkan, Kūrava mundur dari medan perang Kurukṣétra, karena pelindungnya telah musnah. Demikianlah sekelumit mitologi tentang Śalya dan Aji Caṇḍabirava yang membawa ribuan korban manusia. Sebenarnya apakah Aji Caṇḍabirava itu dan kemung-kinan persamaannya dengan keberadaan virus yang melan da dunia dan mematikan banyak manusia pada masa kini, yang belum dapat diberantas hingga saat ini. Pada bagian berikut ini diulas mengenai Aji Canṇḍabirava itu sendiri sebagai Pandemik.

IV. Pandemik Aji Caṇḍabirava

Seperti telah dikatakan di atas Aji Caṇḍabirava, adalah ajian yang dimiliki oleh Śalya. Ia menerima Aji Caṇḍabirava itu dari mertuanya Běgawan Bragaspati. Aji Caṇḍabirava merupakan sebuah ajian yang luar biasa kesaktiannya, karena selain mampu membelah diri jika terkena senjata apa pun, ia tampil menjadi buta bajang, „raksasa kerdil‟, yang menimbulkan malapetaka, jika ia telah mengamuk di medan perang, berubah menjadi ribuan buta bajang dan membunuh semua musuh yang dihadapinya. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan Aji Caṇḍabirava? Di bawah berikut ini dilacak secara Nirukta20, „etimologi‟ sebutan Aji Caṇḍabirava itu.

IV.A. Nirukta Aji Caṇḍabirava

Nirukta memuat diskusi panjang tentang import linguistik dan filosofis. Bahwa Yāska merupakan bagian dari sebuah tradisi panjang, telah ditetapkan untuk mengatasi keraguan oleh Nirukta itu sendiri, walaupun penge- tahuan kita tentang para pendahulunya terungkap di dalam apa yang ditarik dari sejumlah catatan dan kutipan yang terbatas21. Catatan dan kutipan itu menetapkan karya Yāska sebagai pustaka awal dalam tradisi eksegetikal-linguistis Sansekerta. Hal itu menjadi sesuai untuk mempertimbangkan sebuah teks semacam itu sebagai sumber informasi yang bernilai bagi cabang-cabang berlain-lainan untuk indologi modern22. Interpretasi merupakan sebuah permasalahan bahasa dan permasalahan bagaimana bahasa digunakan. Ketika teks Nirukta Yāska menjadi diterima melalui editio princeps yang dikukuhkan oleh Rudolph Roth pada tahun 1852, para sarjana Sansekerta di Eropa sungguh-sungguh tertarik dengan penemuan tentang filologi komparatifDi bawah berikut ini ditunjukkan secara rinci Nirukta, „etimologi‟ kompositum Bahasa Jawa Ŋayogyakarta Aji Caṇḍabirava satu persatu: Aji, Caṇḍa dan Birava.

IV.A.1. Aji

Aji merupakan sepatah kata yang berasal dari Bahasa Jawa Kuna: Aji, „holy writ, “the scriptures”, authoritative text (containing e.g. rule of conduct for a brāhmaṇa; instruction on administration, politics, the practice of arms, the writing of poetry, etc); sacred or magically powerful formula23. Vṛhaspatitattva mengungkapkan bacaan tentang Aji sebagai berikut: Bhaṭāra Īśvara hanê pucak niŋ Kailāsaparvata, sĕḍĕŋ mavarah aji ri saŋ vatĕk devatā kabeh, kañcit vineh śāstra paŋarcana nira ri avak bhaṭāra paramakāraṇa, irikaŋ kāla, hana sira viku riŋ svarga, bhagavān vṛhaspati ŋaranira, sira ta masö mamūjā ri bhaṭāra, saha pañcopacāra, ri huvus nirān pamūjā, manĕmbah ta sira, ri huvus nirān manĕmbah, maluŋguh ta sira, tumakvanakĕn sari saŋ hyaŋ aji kabeh, liŋ nira, „Bhaṭāra Īśvara sedang ada di puncak Kailāsaparvata sedang mengajar ajaran-ajaran suci yang penuh kekuatan Ilahi kepada para dewa semua, apakah yang dimaksud dengan ajaran suci untuk melakukan pemujaan pada anggota tubuh Bhaṭāra Paramakaraṇa. Pada waktu itu ada seorang viku dari svarga, Bhagān Vṛhaspati namanya, ia maju dengan memuja Bhaṭāra, bersama dengan segala macam upacaranya. Setelah ia melakukan pemujaan, ia pun menyembah, setelah ia melaksanakan penyem-bahan, ia pun duduk, ia mengajukan tentang hakikat semua ajaran suci yang penuh dengan kekuatan Ilahi, katanya‟. Bacaan itu memberi pengertian bahwa Aji merupakan ajaran-ajaran suci yang penuh kekuatan Ilahi dan biasanya diberikan dalam bentuk lisan, sehingga cara pengucapannya sama dengan pengucapan mantramantra24. Daya itu berkekuatan luar biasa ketika dilantunkan, sehingga keluarkah vibrasi (Spanda) 25 suara, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

IV.A.2. Caṇḍa

Caṇḍabhirava merupakan kompositum Sansekerta atau Jawa Kuna, yang terjadi dari dua kata: caṇḍa dan birava. Kata caṇḍa berasal dari akar kata Sansekerta √caṇḍ, yang mempunyai bentuk presen dari kelas I dan kelas X, keduanya berbentuk presen medium, sehingga menjadi caṇḍate dan caṇḍayate, „menjadi marah atau murka‟: Dhātup, VIII,

Berdasarkan Nirukta itu dapat diperoleh pengertian bahwa Caṇḍa yang dapat menye-babkan berbagai macam penyakit, sebagai akibatnya ketika Aji Caṇḍabirava ini dikeluarkan dari tubuh Śalya, di sampng semua musuh tidak berdaya, karena kekuata atau daya tahan tubuhnya lalu berjatuhan, mereka juga kemudian juga dijadikan sasaran mangsa buta-buta bajaŋ yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Dengan rakus buta-buta bajaŋ itu makan para prajurit Pāṇḍava, karena prajurit-prajurit itu terkena penyakit yang menyebabkan mreka tidak dapat berbuat apa-apa dan akhirnya mati dengan tubuh menjadi pucat, karena darahnya telah habis disesap oleh Aji Caṇḍabirava.

IV.A.3. Birava

Sementara itu kata birava berasal dari kata Sansekerta Bhairava, sementara bhirava ber-asal dari akar kata Sansekerta √bhī, bibheti

IV.B. Karakteristik Aji Caṇḍabirava

Aji Caṇḍabirava merupakan kekuatan Ilahi yang dimiliki oleh Śalya, ia mempunyai karateristik yang sangat mengerikan, karena ia tidak dapat mati apa;agi dibunuh. Setiap kali seseorang bermaksud membinasakannya dengan menggunakan berbagai macam senjata, Aji Caṇḍabirava mempunyai kekuatan membelah dirinya menjadi buta bajaŋ kajiman, „raksasa kerdil yang berbentuk jim‟, yang jumlahnya beribu-ribu. Begitu terluka oleh senjata yang sangat sakti ia bertambah banyak seperti bertambahnya deret ukur. Begitu jumlahnya semakin banyak, Aji Caṇḍabirava menjadi semakin ganas. Keberadaan buta bajaŋ kajiman itu tentu saja membawa akibat banyak musuh yang mati disadap darah, cairan, dan kekuatannya. Musuh yang menjadi mangsanya pasti mengalami pembusukan tubuhnya, sehigga medan perang Těgal Kurusétra dipeuhi oleh bau bangkai yang menyebar dengan sangat cepat merata. Dinyatakan dalam teks bahwa bau bangkai yang busuk itu menembus sampai ke Něgara Ŋastina dan juga Nagara Ŋéndrapraṣṭa, sehingga para kavula yang tinggal di kedua negara itu menjadi sangat ketakutan dan merasakan kengerian yang luar biasa27

IV.C. Serangan Aji Caṇḍabirava

  1. Laŋkuŋ gěgilani praŋ aguŋ katiga, sadaŋuniŋ ajurit, na{434}têŋ Mandraka, kasoran sañjataña, pinusus mriŋ kaŋ jěmpariŋ, Bima Palguna, sirna prabavaniŋ jurit.
  2. Dadya krodanira Saŋ Dipati Śalya, sarosa iŋ ajurit, pra Caṇḍabirava, vinatak vus minantran, luměpas sigra u{435}mijil, ditya sayuta, těluŋ yuta nusuli.
  3. Lir ampuhan věktuné lésus rasěksa, kumrěsěk rěbut ḍimin, amarani měŋsah, anubruk jambak-jambak, aŋěrah aŋobrak-abrik, bělěk payudan, iŋ vuri jě{436}jěl gili.
  4. Kaŋ Paṇḍava balâkèh kiněmah-kěmah, malědug amrih ŋuŋsi, kaṭah iŋkaŋ pějah, miris bala Paṇḍava, yudané aŋuluvihi, ŋagěm běḍama, tuŋka palu myaŋ piliŋ.
  5. Něŋgala kaŋ samo galimpuŋ sěrampaŋ, saŋkěp kěprabon{437}n jurit, vus kaṭah kaŋ rusak, vadyaniŋ para nata, myaŋ vadyaniŋ bupati, bupatinira, ŋumpul samya aŋuŋsi.
  6. Maraŋ Prabu Krěsna Prabu Yuḍiṣṭira, sraŋ-sraŋan kaŋ vadyâlit, binujuŋ dèn maŋsa, déniŋ Caṇḍabirava, alěksan iŋkaŋ {438} ŋěmasi, Narêndra Krěsna, sigra dènña ŋuṇḍaŋi.

IV.D. Peredaman Aji Caṇḍabirava

IV.D.1. Jamus Kalimasada

  1. Prabava {445} Caṇḍabirava aglis, taŋi saŋkiŋ bisuné umaŋsah, pan muŋsuh ñěkěl gěgamané, samya měrvasa śatru, Prabu Yuḍiṣṭira nulyâglis, ŋuculakěn sě{446} ñjata, kuměbul ambruḍul, gurnita nirêŋ gěgana, sru nibani iŋ muŋsuh kaŋ yutan něŋgih, gaṇḍéva mětu diktya.
  2. Saŋsaya galak Yuḍiṣṭirâji, sěñjatanira iŋ vuri tumpa, suŋsun tumumpaŋ galaké, Arya Palguna sampun, {447} béla ŋuculakěn jěmpariŋ, mijil sayuta samya, amběbujuŋ muŋsuh, Věrkudara Bargavâstra, vus luměpas dalěděg suŋsun atiṇḍih, pok-pok kumupak-apak.
  3. Bayak tibané kaŋ panah sami, Nata Mandraka měmpěŋ sarosa, {448} měṇṭaŋ laŋkap sru kurdané, Caṇḍabirava gupuh, iŋuculkěn mantra pinuṣṭi, větuniŋ kaŋ děnava, agěŋ-agěŋ puŋkur, mivah galak-galak samya, amrih muŋsuh kaŋ kěparag larut ŋisis, kèh loŋé vadya pějah.
  4. Yuḍiṣṭira miyat iŋ vadyâlit, karépotan iŋ sěñjata warna, buta ayutan praptané, sigra ŋuculi sampun, jěmpariŋ mayuta kěṭi, Arjuna Věrkudara, samya gupuh-gupuh, naŋkis pra-Caṇḍabirava, Madrimputra Ḍuṣṭajuměna Sěntyaki, pranata myaŋ Ki Sěmar.
  5. Brubul Sěmar tuté{449}maŋka taŋkis, riŋ Buta Caṇḍabirava ika, blěg yutan tut Sěmar brot-brot, Ki Sěmar tuté ampuh, buta iŋkaŋ kababad kěni, kaé rainé kiklak, Garèŋ lavan Pétruk, kěpéŋiné mriŋ ramakña, mětokaké ěntut pan koŋsi pěcérit, amuŋ ŋisiŋ kévala.
  6. Saŋsayâkèh kaŋ panah pěnaŋkis, srěsěk ŋampuh añjějěl ŋaviyat, niyup aŋamèt muŋsuhé, naŋiŋ saŋsaya aguŋ, mati sèvu roŋ èvu prapti, sakěṭi iŋ-kaŋ sirna, roŋ kěṭi kaŋ nusul, vuvuh gěḍé galak-galak, ………., piraŋ-piraŋ sě{450}ñjata iŋkaŋ pěnaŋkis, naŋiŋ datan katulak.
  7. Bala Paṇḍava laron upami, větuné brubul mariŋ ŋaviyat, anibani gěni gěḍé, sigra Śri Krěsna ŋutus, pinèŋětan maraŋ Prabu Dvaravati, tandaŋé lir věkasan,…………., ………., ………., ………
  8. Siněmèdi Kalimaôsadi, sinidikara sa{451}mpun minantran, luměpas kilat ṭaṭité, dahana mubal murub, ŋalad-alad ŋêběki bumi, gumuruh iŋ papraŋan, dahana aněmpuh, saguŋ děnava kabakar, dadi avu tan ana kari saviji, déniŋ Kalimasada.

Kecuali dengan Jamus Kalimasada, Sěmar sebagai Vidūṣaka juga turut ambil bagian dalam menghalau Aji Caṇḍabirava dengan ajiannya yang bernama Aji Kumbalagěni, yang berupa mantram sebagai berikut:

Hong Ilahèng, Hong Ilahèng, Hong Ilahèng, Awighnam Astu Namas Sidḍam, puniki wěḍaring Aji Kumbalagěni:

Bug bug magabug, gěrobyag paḍa susah suwěng sěpi cumlěng balaning Kala

IV.D.2. Śānta

IV.D.3. Priŋ Apus

V. Penutup

 

*Penulis adalah peneliti sastra Jawa kuno dan ketua penelitian Paguyupan Trah Paŋéran Dipaněgara Yogyakarta

___________________________________

  1. Jeniffer Lindsay, R.M. Soetanto, Alan Fanstein, Katalog Induk Nusantara. Jilid II: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1994, p. 68.
  2. Jonardon Ganeri, (ed.), The Collected Essay of Bimal Krishna Matilal.. Ethics and Epics. New York: Oxford University Press, 2002, p. 369-380.
  3. Michaerl C. LeMay, Global Pandemic Threats. A Reference Handbook. Santa Barbara, California Denver, Colorado: An Imprint of ABC-Clio, 2016
  4. Geddes Smith, Plagues on US. New York: Osxford University Press, 1946, p. 122; cf. Mark Jerome Walters, Six Modern Plagues and How We Are Causing Them. Washington, DC: Island Press/Shearwater Books, 2004, p. 19-46.
  5. Joseph Byrne, Encyclopedia of Pestilence, Pandemics and Plagues. Westport, CT: Praeger 2008; Robin Cook, Contagion. New York: G.A. Putnam‟s Son, 1995; Arno Karlen, Man and Microbes: Diseases and Plagues in History and Modern Times. New York: Touchstone Book, 1995; John Kelly, The Great Mortality: An Intimate History of the Blach Death, The Most Devastating Plague of All Time. New York: Harper Collins, 2005; George C. Kohn, Encyclopedia of Plague and Pestilence from Ancient Time to the Present. New York: Infobase Publishing, 2008; Lester K. Little, (ed.), Plague and the End of Antiquity: The Pandemic of 542-750: Cambridge: Cambridge University Press, 2006; William McNeil, Plagues and People. New York: Anchor Book, 1989; Lloyd Moote and Dorothy Moote, The Great Plagues: The Story of London’s Deadlist Year. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 2004; Michael Oldstone, Viruses, Plagues and History. New York: Oxford University Press, 1998; Joseph R. Oppong, Pandemics and Global Health. New York: Chelsea House, 2011; Geddes Smith, ibid., 1946; Mark Jerome Walters, ibid., 2004
  6. Sheldon Pollock, “What Was Philology in Sanskrit?”, in: Sheldon Pollock, Benjamin A. Elman, and Ku-ming Kevin Chang, (eds.), World Philology. Cambridge, Massachussets, London, England: Harvard University Press, 2015, p. 114; James Keith Elliot, “Recent Trends in the Textual Criticism of the New Testament. A New Millenium, a New Beginning?”, Babelao 1, 2012, p. 117-136.
  7. Mengenai pembagian ini dapat dibaca dalam: Sheldon Pollock, “Future Philology? The Fate of Soft Science in a Hard World”, in: J. Chandler and A. Davidson, (eds.), The Fate of Disciplines, Critical Inquiry 35, no.4. Special Issues, 2009, p. 931-961; cf. Satya Vrat Varma, Splendour of Sanskrit Research. Delhi: Eastern Book Linkers, 2015, p. 81-126; V. Raghavan, Sanskrit Essays on the Value of the Language and the Literature. Madras: The Sanskrit Education Society, 1972, p. 40-66.
  8. Tentang ketidakhadiran sebuah konsepsi tentang tubuh sebagai suatu keutuhan dalam Bahasa Yunani Homerik, sesuatu yang yang lebih daripada “hanya sebuah kerangka bagian-bagian independen dan bermacam-macam yang dijalin bersama-sama”, lihatlah: Bruno Snell, The Discovery of Mind. New York: Harper, 1960, p. 6; cf. Padmabhusana, Vidya Niwas Misra, The Structure of Indian Mind. New Delhi: Shri Lal Bahadur Shastri Rashtriya Sanskrit Vidyapeethe, 2009, p. 10-43.
  9. Shaldon Pollock, op.cit., 2015, p. 115; cf. P.K. Gode, “Textual Criticism in the Thirteen Cnetury”, in: Mohammad Shafi, (ed.), Woolner Commemoration Volume (in Memory of the Late Dr. A.C. Woolner). Lahore: Mehar Chand Lachhmand Das, 1940, p. 106-108; Peter G. Stormberg, “Ideological Language in the Transformation of Identity”, American Anthropologist, New Series, Vol. 92, No. 1, March, 1990, p. 42-56.
  10. Dalam Ānandavardhana abad kesembilan sebagai contohnya menyatakan: Veda adalah sekuler secara teleologis; Bhaṭṭa Nāyaka abad kesepuluh menyatakan bhāvanā atau arti sebagai “repreduksi” hermeneutikal dapat diterapkan dalam keduanya; Bhoja abad kesebelas menyatakan dua paket dari enam pramāṇa, atau diagnostik tekstual, yang biasanya membentuk pengertian perintah Vedis dapat dipergunakan untuk syair atau puisi. Untuk kesuanya itu lihatlah: Lawrence McCrea, The Teleology of Poetics in Medieval Kashmir. Cambride, Mass.: Harvard University, Department of Sanskrit and Indian Studies,  2009:  Shaldon  Pollock,“What  Was  Bhaṭṭa  Nāyaka  Saying?.  The  Transformation  of  Indian Aesthetics”, in: Shaldon Pollock, (ed.),  Epic and Argument in Sanskrit Literary History. Delhi: Manohar, 2010. p.  143-184  (bagian akhir  masih tetap  belum diteliti  dari  gubahan Bhoja  ini,  sebagai  contoh: Śṛŋgāraprakāśa 481-485; juga 318-322; 397-399; 1212-1218); Shaldon Pollock, “The Language of Science in Early Modern India”, in: Shaldon Pollock, (ed.), Forms of Knowledge in Early Modern South Asia. Durham, N.C.: Duke University Press, 2011. p. 19-48, dalam artikel ini ia membahas masalah pemahaman Mīmāsā untuk bahasa-bahasa pribumi baik di Assia Selatan maupun di Asia Tenggara.
  11. Menurut Ashok Aklujkar, “Good Sayings Fall on Critical Ears: Reflections on Subhāṣitas (part 1)”, in: Chaturvedi, Mithilesh, et.al, (eds.), Avaniśriḥ, Professor Avanindra Kumar Felicitation Volume. Delhi: Vidyanilayam, 2005; Ashok Aklujkar, “Good Sayings Fall on Critical Ears: Reflections on Subhāṣitas (part 2)”, in: Sharma, Ram Karan, (ed.), Encyclopedia of Indian Wisdom: Professor Satya Vrat Shastri Felicitation Volume. New Delhi: Bharatiya Vidya Prakashan, 2005; (dikutip oleh Oskar von Hinüber, “Buddhistische  Kommentare  aus  dem  alten  Indien:  Die  Erklarung  des  Theravāda  Kanons”,  in:  M.Quisnisky and P. Walter, (eds.), Kommentarkulturen: Die Auslegung zentraler Texte der Weltreligionen ,ein vergliechender Überblick. Cologne: Böhlau,  2007, p. 99); cf. Johannes Bronkhorst, “Bhaṭṭoji Dikṣita and  the  Revival  of  the  Philosophy  of  Grammar”,  in:  Chikafumi  Watanabe,  Michele  Desmarais, Yoshichika Honda, (eds.), Saṃskṛta-Sādhutā. Good- ness of Sanskrit. Studies in Honour Professor Ashok N. Aklujkar. Ramesh Nagar, New Delhi: D.K. Printworld (P) Ltd, 2012, p. 54-85.
  12. Untuk uraian sejarah komentar tentang logika cermatilah: Karen Preisendanz, “Text, Commentary, Annotation: Some Reflections on the Philosophical Genre”, Journal of Indian Philosophy 36, no. 5-6, 2008, p. 599-618; untuk analisis praktek komentarial dengan hermeneutika, cermatilah Walter Slaje, “Der Sanskrit-Kommentar”, in: M. Quisnisky and P. Walter, (eds.), Kommentarkulturen: Die Auslegung zentraler Texte der Weltreligionen , ein vergliechender Überblick. Cologne: Böhlau, 2007, p. 69-97; Tampilnya dan rasionalitas prakaraṇagrantha masih menanti penelitian yang spesial; Jennifer Steele Clare, “Canons, Conventions and Creativity. Defining Literary Tradition in Premodern Tamil South India”, Dissertation at University of California, Berkeley, 2011, p. 32-58, 59-83; David Dean Shulman, and Shaul Migron, Language, Ritual and Poetics in Ancient India and Iran: Studies in Honour Shaul Migron. Jerisalem: The Israel Academy of Sciences and Umanities, 2010.
  13. Shaldon Pollock, op.cit., 2015, p. 116; Shaldon Pollock, “Mīmāṃsā and the Problem of History in Traditional India”, Journal of the American Oriental Society, Vo. 109, No. 4, Oct-Dec, 1989, p. 603-610; cf. Alex Wayman, “Notes on the Sanskrit Term Jñāna”, Journal of the American Oriental Society, Vol. 75, No. 4, Oct-Dec., 1955, p. 253-268; Vidyasankar Sundaresan, “Conflicting Hagiographies: The Pjace of Śankaravojaya Texts in Advaita Tradition”, Internatonal Journal of Hindu Studies, Vol. 4, No. 2, Aug., 2000, p. 109-184.
  14. Shaldon Pollock, ibid., 2015, p. 116-117; cf. Peter L. Shillingsburg, “Interpretive Consequences of Textual Criticism”, Text, Vol. 16, 2000, p. 63-65; Ted-Larry Pebworth, “Manuscript Transmission and the Secelction of Copy-Text in Renaissance Coterie Poetry”, Text, Vol. 7, 1994, p. 243-261; Sati Shanker, “The Critical-Philology-Paradigm and Our Ādhyātmika Tradition”, Submitted for WAVES 2016, 12th International 20th India Conference of World Association of Vedic Studies (US), held at New Delhi, December 15 to December 18, 2016, p. 1-21
  15. Menurut tradisi Mahābhārata Yogyakarta, Jamus Kalimasada terjadi dari dua orang bidadari dan seorang raja. Dua bidadari itu bernama Baṭari Sadatvati dan Baṭari Kěñcanavulan. Adapun rajanya adalah Prabu Kalimadéva seorang rja yang bertahta di Něgara Cintakavěḍar. Ketika itu Prabu Kalimadéva mempunyai hasrat untuk melamar Baṭari Sadatvati dan Baṭari Kěñcanavulan. Ia mengutus saudaranya Dèwi Bramastravati dan Radèn Sarutama untuk melamar kedua orang bidadari itu pada raja para dewa yaitu Baṭra Guru. Oleh karena raja itu sangat sakti, maka Baṭra Guru minta bayi yang bernama Bambang Sěkutrěm dan berhasil mengalahkan raja itu dengan mendorong dua bidadari, sehingga berbenturan dengan Prabu Kalimadéwa, mereka bertiga berubah wujud menjadi sebuah pustaka. Prabu Kalimadéwa berubah menjadi kertasnya, Baṭari Sadatvatī berubah menjadi tulisannya dan Baṭari Kěñcanavulan menjadi sampulnya. Pustaka itu lalu diberi nama Jamus Kalimasada. Peristiwa itu dapat disimak dalam Lampahan Lairipun Banbaŋ Sěkutrěm.
  16. Śalya adalah seorang putra raja dari Kerajaan Mandaraka, yang bergelar Prabu Andanadéva, yang masa mudanya bernama Andanaputra. Śalya, yang masa mudanya bernama Narasoma, beristrikan Pujavati atau Sětyavati. Putri ini adalah putri Běgavan Bragaspati, paman Śalya sendiri sebenarnya. Oleh karena malu mempunyai seorang mertua yang berwajah raksasa, Śalya meminta Pujavati supaya ayahnya berkenan memberikan Aji Caṇḍabirava kepada suaminya. Demi sang anak Běgavan Bragaspati merelakan Aji Caṇḍabirava kepada Śalya, tetapi dengan imbalan nyawanya. Akhirnya Běgavan Bragaspati pun maning-gal dan Aji Caṇḍabirava dimiliki oleh Śalya, tetapi dengan pesan bahwa kelak dalam Pěraŋ Bratayuda Jayabinaŋun Běgavan Bragaspati akan menjemput Śalya untuk menghadap Saŋ Ilahi. Sejak itulah Śalya menjadi tokoh yang sakti dan tangguh berkat Aji Caṇḍabirava. Untuk mengtahui naratif ini silakan baca: Lampahan Narasoma Krama.
  17. Śrikaṇḍī adalah avatāra, „titisan‟ Saŋ Hyaŋ Durganètri atau Saŋ Hyaŋ Gloganètri. Ia adalah putra Saŋ Hyaŋ Mandara Gěni. Sebenarnya deva ini berputra tiga deva, yakni Durgadéva, Durganètri dan Durga-pěrtivī. Durgadéva diberi tugas menjadi penjaga viji ratu, Durganètri menjadi Sénapati Agung Jagattraya dan Durgapěrtivi menjaga kesuburan bhūmi. Durgadéva dan Durganètri menitis pada dua putra raja Drupada: Durgadéva menitis pada Truṣṭajuměna dan Durganètri menitis pada Śrikaṇḍī, dan ia diperistri oleh Arjuna, yang emas kawinnya berupa yuddha, „perang‟: lihatlah Lampahan Gěrboŋ Balé Lumur atau Lampahan Śrikaṇḍī Jěmpariŋan. Untuk mengetahui naratif menitisnya Durgadéva dan Durganètri silakan aca Lampahan Tumurunipun Taman Maérakaca atau dibut juga Lampahan Lairipun Śrikaṇḍī. Oleh karena itulah dalam Pěraŋ Bratayuda Jayabinaŋun Śrikaṇḍī menjadi Sénapati Aguŋ Pāṇḍava menjadi imbangan Śalya sebagai Sénapati Aguŋ Kurava.
  18. Nagacuṇḍila adalah seorang raja raksasa dari Negara Jaŋkar Bumi. Ia gugur dalam perang me,awan Běgavan Dhomya, tetapi ia lalu berubah menjadi Lintang Kěmukus, dalam naskah Mahabarata Braŋta kusuman diperoleh keterangan sebagai berikut: Dumugi samaŋké manavi iŋ jagat kětiŋal maṇṭěriŋ Kintaŋ Kěmukus, těmtu jagat punika baḍe dumados pagěblug iŋkaŋ agěŋ, jalaran lintaŋ wvau mava buntut iŋkaŋ kědadosan sakiŋ visanipun Peabu Nagacuṇḍila, pramila botěn mokal kalamun visa vau añjalari gěsaŋipun saha ŋrěmbakanipun savarniniŋ sěsakit, iŋgih sěsakit tumrap janma manuŋsa, naŋiŋ iŋgih tumrap sato kévan saha taněman: ditranskripsi oleh Manu J. Widyasěputra tuvun Dhiyan Prastiyono, Lampahan Jamur Candranagara. Kapěṭik sakiŋ Sěrat Mahabarata Braŋtaksusuman. Jogjakarta: Panitia Sarasèhan dan Pagělaran Vayaŋ Universitas Gadjah Mada, 2008, p. 28.
  19. Pralīna merupakan rangkaian Bhāvacakra atau Punar Bhāva, „lahir kembali‟. Adapun rangkaian itu ialah: Utpatti, „lahir‟, Sthiti, „hidup sehari-hari‟, Pralīna atau Pralaya, „hancur, musnah, mokṣa
  20. Nirukta merupakan sebuah pustaka terutama yang berkaitan dengan analisis kata-kata. Pada prinsipnya Nirukta adalah sebuah ulasan tentang daftar kata-kata, Nighaṇṭu, karya leksikografi paling awal yang bertahan sampai saat ini di lingkungan studi Sansekerta. Kata-kata yang didaftar dalam Nighaṇṭu adalah kata-kata Vedis (Nighaṇṭu I, 12), dan tumpukan karya-karya Yāska sungguh dipersembahkan untuk analisis kata-kata Vedis Yang sangat sulit dimengerti. Satu bagian yang khusus diarahkan untuk memahami nama-nama dewa Vedis. Dalam tetap mempertahankan prinsipnya bahwa sepatah kata sebaik-nya tidak diterangkan secara terpisah dan menyendiri, tetapi harus dipertimbangkan konteksnya, Yāska mengulas ratusan śloka Vedis. Selanjutnya, Nirukta memuat diskusi panjang tentang import linguistik dan filosofis. Bahwa Yāska merupakan bagian dari sebuah tradisi panjang, telah ditetapkan untuk mengatasi keraguan oleh Nirukta itu sendiri, walaupun pengetahuan kita tentang para pendahu- lunya terungkap di dalam apa yang ditarik dari sejumlah catatan dan kutipan yang terbatas. Catatan dan kutipan itu menetapkan karya Yāska sebagai pustaka awal dalam tradisi eksegetikal-linguistis Sansekerta. Hal itu menjadi sesuai untuk mempertimbangkan sebuah teks semacam itu sebagai sumber informasi yang bernilai bagi cabang-cabang berlain-lainan untuk indologi modern. Interpretasi merupakan sebuah permasalahan bahasa dan permasalahan bagaimana bahasa digunakan. Ketika teks Nirukta Yāska menjadi diterima melalui editio princeps yang dikukuhkan oleh Rudolph Roth pada tahun 1852, para sarjana Sansekerta di Eropa sungguh-sungguh tertarik dengan penemuan tentang filologi komparatif. Lihatlahlebih lanjut: Paṇḍit Satyavrata Śāmasramī, The Nirukta with Commentaries. Vol. I-IV. Calcutta: Printed by J.W. Thomas, Baptist Missio Press, 1882; cf. Lakshman Sarup, Fragment of the Commenraries of Skandasvamin and Mahesvara on the Nirukta. Lahore: Published bythe University of the Panjab, 1927; Pt. Mukund Jhā Bhaksi, The Niruktam of Yāska Muni (in the Form Nighantu Bhāsya of Kaśyapa Prajāpati) with the Niruktavivṛti Commentary and Exaustive Notes. Bombay: Propietor of the “Nirnaya-Sagar” Press, 1930; Bishnupada Bhattacharya, Yāska’s Nirukta and the Science of Etymology. An Historical and Critical Survey. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhyay, 1958; Eivind Kahrs, “Yāska‟s Nirukta. The Quest for A New Interpretation”, Indologica Taurinensia XII, 1984, p. 139-140
  21. Bishnupada 1958: 62-96
  22. 1.Kahrs 1984: 139-140
  23. 1.P.J. Zoetmulder, Old Javanese-English Dictionary I, „s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1982, p. 33.
  24. Mengenai pengertian mantra, lihatlah: Harvey Alper, Mantra. Albany: State University of New York Press, 1989, p. 1-14; David Frawley, Mantra, Yoga and Primal Sound. Secres Seed (Bīja) Mantras. Twin Lakes, USA: Lotus Press, 2010, p. 21-26; André Padoux, Tantric Mantras. Studies on Mantrasastra. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2011, p. 24-80; Thomas Ashley-Farrand, Śakti Mantras. Tapping into the Great Goddess Energy Within. New York: Ballantine Book, 1996, p. 19-23; Pandit Rajmani Tigunait, The Power of Mantra & The Mystery of Initiation. Honesdale, Pennsyl-vania, USA: Himalayan Institute Press, 1996, p. 13-26; 63-78
  25. Mark S.G. Dyczkowski, The Doctrin of Vibration. An Analysis of the Doctrines and Practices of Kashmir Shaivism. Delhi Varanasi Patna Bangalore Madras: Motilal Banarsidass, 1989, p.1-32; 77-88; Madhusudan Kaul, The Divine Vibration (Spandanirṇaya). Delhi: Chaukambha Sanskrit Pratishthan, 2006, p. 1-51. Mark S.G. Dyczkowski, The Stanzas of Vibration. The Spandakarika with Four Commen-taries. Albany: State University of New York Press, 1992, p. 33-48.
  26. Sir Monier Monier Williams, ibid., 1960, p. 383; V.S. Apte, The Practical Sanskrit English Dictionary. Containing Appen- dices on Sanskrit Prosody and Important Literary and Geographical Names of Ancient India. Revised and Enlarged Edition. Delhi, Varanasi, Patna, Madras: Motilal Banarsidass, 1985; V.S. Apte, The Student’s Sanskrit-English Dictionary. Delhi: Motilal Ba narsidass, 2000; Theodore Benfey, Sanskrit-English Dictionary with References to the Best Editions of Sanskrit Authors and Etymologies and Comparison of Cognate Words Chiefly in Greek, Latin, Gothic and Anglo-Saxon. London: Longmans Green, And Co, 1866; Carl Cappeller, A Sanskrit-English Dictionary Based upon The Petersburg Lexicons. Strassburg: Karl J. Trübner, 1891; A.A. Macdonell, A Sanskrit English Dictionary Being a Practical Hand- book with Transliteration, Accentuation, and Etymological Analysis Throughout. London: Longmans Green, And Co, 189.
  27. cf.  Janet Kamphorst, “In Praise of  Death. History and Poetry in Medieval Marwar (South Asia)”, Proefschrift Rijksuniversiteit Leiden, 2008, p. 10-26;   S. Westphal-Hellsbuch, “DiggingWells While House Burn?: Writing Histories of Hinduism in a Time of Identiry Politics”, History and Theory 45, no. 4, 2006, p. 104-131.

 

Bibliografi

Jeniffer Lindsay, R.M. Soetanto, Alan Fanstein, Katalog Induk Nusantara. Jilid II:

Kraton Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1994, p. 68.

Jonardon Ganeri, (ed.), The Collected Essay of Bimal Krishna Matilal.. Ethics and Epics. New York: Oxford University Press, 2002, p. 369-380.

Michaerl C. LeMay, Global Pandemic Threats. A Reference Handbook. Santa Barbara, California Denver, Colorado: An Imprint of ABC-Clio, 2016

Geddes Smith, Plagues on US. New York: Osxford University Press, 1946, p. 122

Mark Jerome Walters, Six Modern Plagues and How We Are Causing Them.

Washington, DC: Island Press/Shearwater Books, 2004, p. 19-46.

Joseph Byrne,  Encyclopedia  of  Pestilence,  Pandemics  and  Plagues.  Westport,  CT:

Praeger 2008; Robin Cook, Contagion. New York: G.A. Putnam‟s Son, 1995

Arno Karlen, Man and Microbes: Diseases and Plagues in History and Modern Times.

New York: Touchstone Book, 1995

John Kelly, The Great Mortality: An Intimate History of the Blach Death, The Most

Devastating Plague of All Time. New York: Harper Collins, 2005

George C. Kohn, Encyclopedia of Plague and Pestilence from Ancient Time to the Present. New York: Infobase Publishing, 2008

Lester K. Little, (ed.), Plague and the End of Antiquity: The Pandemic of 542-750:

Cambridge: Cambridge University Press, 2006

William McNeil, Plagues and People. New York: Anchor Book, 1989; Lloyd Moote

and Dorothy  Moote, The Great Plagues: The Story of London’s Deadlist  Year.

Baltimore: The Johns Hopkins University Press,  2004

Michael Oldstone, Viruses, Plagues and History. New York: Oxford University Press, 1998

Joseph R. Oppong, Pandemics and Global Health. New York: Chelsea House, 2011

Sheldon Pollock, “What Was Philology in Sanskrit?”, in: Sheldon Pollock, Benjamin A. Elman, and Ku-ming Kevin Chang, (eds.), World Philology. Cambridge, Massachussets, London, England: Harvard University Press, 2015

James Keith Elliot, “Recent Trends in the Textual Criticism of the New Testament. A New Millenium, a New Beginning?”, Babelao 1, 2012, p. 117-136.

1 Mengenai pembagian ini dapat dibaca dalam: Sheldon Pollock, “Future Philology? The Fate of Soft Science in a Hard World”, in: J. Chandler and A. Davidson, (eds.), The Fate of Disciplines, Critical Inquiry 35, no.4. Special Issues, 2009, p. 931-961; cf. Satya Vrat Varma, Splendour of Sanskrit Research. Delhi: Eastern Book Linkers, 2015, p. 81-126; V. Raghavan, Sanskrit Essays on the Value of the Language and the Literature. Madras: The Sanskrit Education Society, 1972, p. 40-66.

¹Tentang ketidakhadiran sebuah konsepsi tentang tubuh sebagai suatu keutuhan dalam Bahasa Yunani Homerik, sesuatu yang yang lebih daripada “hanya sebuah kerangka bagian-bagian independen dan bermacam-macam yang dijalin bersama-sama”, lihatlah: Bruno Snell, The Discovery of Mind. New York: Harper, 1960, p. 6; cf. Padmabhusana, Vidya Niwas Misra, The Structure of Indian Mind. New Delhi: Shri Lal Bahadur Shastri Rashtriya Sanskrit Vidyapeethe, 2009, p. 10-43.

1 Shaldon Pollock, op.cit., 2015, p. 115; cf. P.K. Gode, “Textual Criticism in the Thirteen Cnetury”, in: Mohammad Shafi, (ed.), Woolner Commemoration Volume (in Memory of the Late Dr. A.C. Woolner). Lahore: Mehar Chand Lachhmand Das, 1940, p. 106-108; Peter G. Stormberg, “Ideological Language in the Transformation of Identity”, American Anthropologist, New Series, Vol. 92, No. 1, March, 1990, p. 42-56.

¹Dalam Ānandavardhana abad kesembilan sebagai contohnya menyatakan: Veda adalah sekuler secara teleologis; Bhaṭṭa Nāyaka abad kesepuluh menyatakan bhāvanā atau arti sebagai “repreduksi” hermeneutikal dapat diterapkan dalam keduanya; Bhoja abad kesebelas menyatakan dua paket dari enam pramāṇa, atau diagnostik tekstual, yang biasanya membentuk pengertian perintah Vedis dapat dipergunakan untuk syair atau puisi. Untuk kesuanya itu lihatlah: Lawrence McCrea, The Teleology of Poetics in Medieval Kashmir. Cambride, Mass.: Harvard University, Department of Sanskrit and

Indian  Studies,  2009:  Shaldon  Pollock,“What  Was  Bhaṭṭa  Nāyaka  Saying?.  The

Transformation of Indian Aesthetics”, in: Shaldon Pollock, (ed.),  Epic and Argument in

Sanskrit Literary History. Delhi: Manohar, 2010. p. 143-184 (bagian akhir masih tetap

belum diteliti dari gubahan Bhoja ini, sebagai contoh: Śṛŋgāraprakāśa 481-485; juga 318-322; 397-399; 1212-1218); Shaldon Pollock, “The Language of Science in Early Modern India”, in: Shaldon Pollock, (ed.), Forms of Knowledge in Early Modern South Asia. Durham, N.C.: Duke University Press, 2011. p. 19-48, dalam artikel ini ia membahas masalah pemahaman Mīmāsā untuk bahasa-bahasa pribumi baik di Assia Selatan maupun di Asia Tenggara.

1 Menurut  Ashok  Aklujkar,  “Good  Sayings  Fall  on  Critical  Ears:  Reflections  on

Subhāṣitas (part 1)”, in: Chaturvedi, Mithilesh, et.al, (eds.), Avaniśriḥ, Professor

Avanindra Kumar Felicitation Volume. Delhi: Vidyanilayam, 2005; Ashok Aklujkar,

“Good Sayings Fall on Critical Ears: Reflections on Subhāṣitas (part 2)”, in: Sharma,

Ram  Karan,  (ed.),  Encyclopedia  of  Indian  Wisdom:  Professor  Satya  Vrat  Shastri

Felicitation Volume. New Delhi: Bharatiya Vidya Prakashan, 2005; (dikutip oleh Oskar

von Hinüber, “Buddhistische Kommentare aus dem alten Indien: Die Erklarung des Theravāda Kanons”, in: M. Quisnisky and P. Walter, (eds.), Kommentarkulturen: Die Auslegung zentraler Texte der Weltreligionen , ein vergliechender Überblick. Cologne: Böhlau, 2007, p. 99); cf. Johannes Bronkhorst, “Bhaṭṭoji Dikṣita and the Revival of the Philosophy of Grammar”, in: Chikafumi Watanabe, Michele Desmarais, Yoshichika Honda, (eds.), Saṃskṛta-Sādhutā. Good- ness of Sanskrit. Studies in Honour Professor Ashok N. Aklujkar. Ramesh Nagar, New Delhi: D.K. Printworld (P) Ltd, 2012, p. 54-85.

¹Untuk uraian sejarah komentar tentang logika cermatilah: Karen Preisendanz, “Text, Commentary, Annotation: Some Reflections on the Philosophical Genre”, Journal of Indian Philosophy 36, no. 5-6, 2008, p. 599-618; untuk analisis praktek komentarial dengan hermeneutika, cermatilah Walter Slaje, “Der Sanskrit-Kommentar”, in: M.

Quisnisky and P. Walter, (eds.), Kommentarkulturen: Die Auslegung zentraler Texte der Weltreligionen , ein vergliechender Überblick. Cologne: Böhlau, 2007, p. 69-97; Tampilnya dan rasionalitas prakaraṇagrantha masih menanti penelitian yang spesial;

Jennifer Steele Clare, “Canons, Conventions and Creativity. Defining Literary Tradition in Premodern Tamil South India”, Dissertation at University of California, Berkeley, 2011, p. 32-58, 59-83; David Dean Shulman, and Shaul Migron, Language, Ritual and Poetics in Ancient India and Iran: Studies in Honour Shaul Migron. Jerisalem: The Israel Academy of Sciences and Umanities, 2010.

¹Shaldon Pollock, op.cit., 2015, p. 116; Shaldon Pollock, “Mīmāṃsā and the Problem of History in Traditional India”, Journal of the American Oriental Society, Vo. 109, No. 4, Oct-Dec, 1989, p. 603-610; cf. Alex Wayman, “Notes on the Sanskrit Term Jñāna”, Journal of the American Oriental Society, Vol. 75, No. 4, Oct-Dec., 1955, p. 253-268; Vidyasankar Sundaresan, “Conflicting Hagiographies: The Pjace of Śankaravojaya Texts in Advaita Tradition”, Internatonal Journal of Hindu Studies, Vol. 4, No. 2, Aug., 2000, p. 109-184.

Shaldon Pollock, ibid., 2015, p. 116-117; cf. Peter L. Shillingsburg, “Interpretive Consequences of Textual Criticism”, Text, Vol. 16, 2000, p. 63-65; Ted-Larry Pebworth, “Manuscript Transmission and the Secelction of Copy-Text in Renaissance Coterie Poetry”, Text, Vol. 7, 1994, p. 243-261; Sati Shanker, “The Critical-Philology-Paradigm and Our Ādhyātmika Tradition”, Submitted for WAVES 2016, 12th International 20th India Conference of World Association of Vedic Studies (US), held at New Delhi, December 15 to December 18, 2016, p. 1-21

¹Nagacuṇḍila adalah seorang raja raksasa dari Negara Jaŋkar Bumi. Ia gugur dalam perang me,awan Běgavan Dhomya, tetapi ia lalu berubah menjadi Lintang Kěmukus, dalam naskah Mahabarata Braŋta kusuman diperoleh keterangan sebagai berikut:

Dumugi samaŋké manavi iŋ jagat kětiŋal maṇṭěriŋ Kintaŋ Kěmukus, těmtu jagat punika baḍe dumados pagěblug iŋkaŋ agěŋ, jalaran lintaŋ wvau mava buntut iŋkaŋ kědadosan sakiŋ visanipun Peabu Nagacuṇḍila, pramila botěn mokal kalamun visa vau añjalari gěsaŋipun saha ŋrěmbakanipun savarniniŋ sěsakit, iŋgih sěsakit tumrap janma manuŋsa, naŋiŋ iŋgih tumrap sato kévan saha taněman: ditranskripsi oleh Manu J.

Widyasěputra tuvun Dhiyan Prastiyono, Lampahan Jamur Candranagara. Kapěṭik sakiŋ Sěrat Mahabarata Braŋtaksusuman. Jogjakarta: Panitia Sarasèhan dan Pagělaran Vayaŋ Universitas Gadjah Mada, 2008, p. 28.

¹Pralīna merupakan rangkaian Bhāvacakra atau Punar Bhāva, „lahir kembali‟. Adapun rangkaian itu ialah: Utpatti, „lahir‟, Sthiti, „hidup sehari-hari‟, Pralīna atau Pralaya, „hancur, musnah, mokṣa

¹Nirukta merupakan sebuah pustaka terutama yang berkaitan dengan analisis kata-kata. Pada prinsipnya Nirukta adalah sebuah ulasan tentang daftar kata-kata, Nighaṇṭu, karya leksikografi paling awal yang bertahan sampai saat ini di lingkungan studi Sansekerta. Kata-kata yang didaftar dalam Nighaṇṭu adalah kata-kata Vedis (Nighaṇṭu I, 12), dan tumpukan karya-karya Yāska sungguh dipersembahkan untuk analisis kata-kata Vedis Yang sangat sulit dimengerti. Satu bagian yang khusus diarahkan untuk memahami nama-nama dewa Vedis. Dalam tetap mempertahankan prinsipnya bahwa sepatah kata sebaik- nya tidak diterangkan secara terpisah dan menyendiri, tetapi harus dipertimbangkan konteksnya, Yāska mengulas ratusan śloka Vedis. Selanjutnya, Nirukta memuat diskusi panjang tentang import linguistik dan filosofis. Bahwa Yāska merupakan bagian dari sebuah tradisi panjang, telah ditetapkan untuk mengatasi keraguan oleh Nirukta itu sendiri, walaupun pengetahuan kita tentang para pendahu-lunya terungkap di dalam apa yang ditarik dari sejumlah catatan dan kutipan yang terbatas. Catatan dan kutipan itu menetapkan karya Yāska sebagai pustaka awal dalam tradisi eksegetikal-linguistis Sansekerta. Hal itu menjadi sesuai untuk mempertimbangkan sebuah teks semacam itu sebagai sumber informasi yang bernilai bagi cabang-cabang berlain-lainan untuk indologi modern. Interpretasi merupakan sebuah permasalahan bahasa dan permasalahan bagaimana bahasa digunakan. Ketika teks Nirukta Yāska menjadi diterima melalui editio princeps yang dikukuhkan oleh Rudolph Roth pada tahun 1852, para sarjana Sansekerta di Eropa sungguh-sungguh tertarik dengan penemuan tentang filologi komparatif. Lihatlah lebih lanjut: Paṇḍit Satyavrata Śāmasramī, The Nirukta with Commentaries. Vol. I-IV. Calcutta: Printed by J.W. Thomas, Baptist Missio Press, 1882; cf. Lakshman Sarup, Fragment of the Commenraries of Skandasvamin and Mahesvara on the Nirukta. Lahore: Published bythe University of the Panjab, 1927; Pt. Mukund Jhā Bhaksi, The Niruktam of Yāska Muni (in the Form Nighantu Bhāsya of Kaśyapa Prajāpati) with the Niruktavivṛti Commentary and Exaustive Notes. Bombay: Propietor of the “Nirnaya-Sagar” Press, 1930; Bishnupada Bhattacharya, Yāska’s Nirukta and the Science of Etymology. An Historical and Critical Survey. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhyay, 1958; Eivind Kahrs, “Yāska‟s Nirukta. The Quest for A New Interpretation”, Indologica Taurinensia XII, 1984, p. 139-140

¹P.J. Zoetmulder, Old Javanese-English Dictionary I, „s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1982, p. 33.

1 Mengenai pengertian mantra, lihatlah: Harvey Alper, Mantra. Albany: State University of New York Press, 1989, p. 1-14; David Frawley, Mantra, Yoga and Primal Sound. Secres Seed (Bīja) Mantras. Twin Lakes, USA: Lotus Press, 2010, p. 21-26; André Padoux, Tantric Mantras. Studies on Mantrasastra. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2011, p. 24-80; Thomas Ashley-Farrand, Śakti Mantras. Tapping into the Great Goddess Energy Within. New York: Ballantine Book, 1996, p. 19-23; Pandit Rajmani Tigunait, The Power of Mantra & The Mystery of Initiation. Honesdale, Pennsyl- vania, USA: Himalayan Institute Press, 1996, p. 13-26; 63-78.

¹Mark S.G. Dyczkowski, The Doctrin of Vibration. An Analysis of the Doctrines and Practices of Kashmir Shaivism. Delhi Varanasi Patna Bangalore Madras: Motilal Banarsidass, 1989, p.1-32; 77-88; Madhusudan Kaul, The Divine Vibration (Spandanirṇaya). Delhi: Chaukambha Sanskrit Pratishthan, 2006, p. 1-51. Mark S.G.

Dyczkowski, The Stanzas of Vibration. The Spandakarika with Four Commen- taries. Albany: State University of New York Press, 1992, p. 33-48.

¹Sir Monier Monier Williams, ibid., 1960, p. 383; V.S. Apte, The Practical Sanskrit English Dictionary. Containing Appen- dices on Sanskrit Prosody and Important Literary and Geographical Names of Ancient India. Revised and Enlarged Edition. Delhi, Varanasi, Patna, Madras: Motilal Banarsidass, 1985; V.S. Apte, The Student’s Sanskrit-English Dictionary. Delhi: Motilal Ba narsidass, 2000; Theodore Benfey, Sanskrit-English Dictionary with References to the Best Editions of Sanskrit Authors and Etymologies and Comparison of Cognate Words Chiefly in Greek, Latin, Gothic and Anglo-Saxon. London: Longmans Green, And Co, 1866; Carl Cappeller, A Sanskrit-English Dictionary Based upon The Petersburg Lexicons. Strassburg: Karl J. Trübner, 1891; A.A. Macdonell, A Sanskrit English Dictionary Being a Practical Hand-book with Transliteration, Accentuation, and Etymological Analysis Throughout. London: Longmans Green, And Co, 1893