Dominique Willem Berretty: Seorang Indis Yang Menjelma Raja Media Hindia-Belanda
Oleh Imran Hasibuan
Mungkin tak banyak orang mengenal nama Dominique Willem Berretty (1891-1934). Padahal, ia merupakan salah satu tokoh sejarah kolonial Belanda abad ke-20 yang paling kontroversial dan penuh misteri. Kees Snoek dalam resensinya atas buku “Een Groots En Meeslepend Leven: Dominuque Beretty-Indisch Persmagnaat” (Walburg Pers, 2018) karya Gerard Termorshuizen dan Coen van ’t Veer, menulis: “Setelah kematiannya, pada usia 43 tahun, dalam kecelakaan pesawat di gurun pasir Suriah, berita kematian menekankan kompleksitas kepribadian tokoh ini: yang kehidupan publiknya menunjukkan ambisi yang kejam, sedangkan kehidupan pribadinya memiliki nuansa romantik”.
Dominique Berretty lahir di Yogyakarta, 20 November 1891. Ia adalah putra Léon Berretty, seorang Italia yang bekerja sebagai guru, dengan istri Jawa-nya, Maria Salem. Setelah menamatkan sekolah menengah, di usia 16 tahun, Berretty muda pergi ke Batavia untuk bekerja di Posts Telegraafend Telefoon Dienst (PTT) atau Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT), pekerjaan yang lumayan bagus untuk seorang Indis di masa itu. Tapi, anak muda yang ambisius dan bersemangat itu tak puas dengan pekerjaannya. Maka, di tahun 1910, di usianya yang masih 20 tahun, Berretty melamar pekerjaan di surat-kabar Bataviaasch Nieuwsblad. Awalnya ia bertugas sebagai korektor. Baru setahun kemudian, ia diangkat sebagai reporter.
Foto Dominique Williem Berretty
Berretty mengerjakan tugasnya sebagai reporter dengan antusias. Lagipula, ini merupakan pengalaman pertamanya bekerja sebagai jurnalis. Koran tempat ia bekerja juga merupakan koran terkemuka di Hindia Belanda masa itu. Bataviaasch Nieuwsblad yang didirikan P.A. Daum di abad 19 berpendirian liberal, bahkan seringkali kritis, terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda. Di koran ini pula bekerja para jurnalis dari kaum Indo atau Indische yang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial, seperti: Karel Zaalberg dan Ernest Douwes Dekker.
Sebagai reporter muda, Berretty bekerja dan bergaul dengan para jurnalis progresif tersebut. Dan ia bisa menyesuaikan diri dalam pergaulan yang bersifat personal. Bisa jadi, karena ia sendiri adalah seorang Indis. Meski begitu, Berretty tidak sepenuhnya mengikuti pendirian dan sikap politik Ernest Douwes Dekker dan kawan-kawan. Ia bukanlah seorang idealis, dan tidak terlalu berempati terhadap pergerakan kebangsaan kaum pribumi yang sedang gencar. Anak muda ini lebih gandrung dengan gaya hidup yang glamour dan flamboyan.
Secara ideologis, Berretty memposisikan dirinya pada sayap kanan politik kolonial. Berulang-ulang, kedua penulis biografinya, Termorsuzhen dan Van‘t Ver, menunjukkan bahwa Berretty mendukung sikap kolonial yang konservatif dengan cara yang jelas maupun tersamar. Dia menolak upaya kaum nasionalis Indonesia yang memperjuangkan otonomi atau kemerdekaan, meskipun di tahun 1916, ia juga menekankan perlunya mendidik rakyat Indonesia. Ia percaya bahwa pendidikan pada akhirnya akan menguntungkan penguasa kolonial.
Berretty lebih cocok dengan sikap politik Karl Zaalberg, sang pemimpin redaksi. Zaalberg, yang juga seorang Indo, dikenal luas dengan sikap politik yang moderat. Zaalberg yang mendirikan Indo-Europeesch Verbond (IEV), organisasi massa dan politik yang menghimpun kaum Indo Hindia-Belanda. Organisasi ini didirikan tahun 1919 dengan tujuan awal menyuarakan kepentingan kalangan Indo, yang pada waktu itu posisi sosialnya semakin terdesak oleh kalangan pribumi dalam jawatan-jawatan pemerintah sebagai pegawai menengah. Selain itu, organisasi ini dimaksudkan untuk meredam ide-ide radikal nasionalis di kalangan pribumi terdidik dan sejumlah orang Eropa yang menghendaki otonomi hingga kemerdekaan penuh Hindia Belanda dari Belanda. IEV kemudian menjadi instrumen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mendapatkan dukungan di Volksraad, dan menjadi mayoritas yang menguasai kalangan Eropa di lembaga perwakilan itu.
Setelah lima tahun bekerja di Bataviaasch Nieuwsblad, di tahun 1915, Berretty memutuskan pindah kerja ke surat-kabar Java Bode. Di koran beraliran konservatif ini, ia hanya sebentar: tak sampai dua tahun. Pergaulannya yang sudah meluas membuka jalan baginya mendirikan sebuah perusahaan media sendiri.
Di tahun 1915, Berretty memutuskan pindah kerja ke surat-kabar Java Bode, yang beraliran konservatif. Jabatannya naik sebagai editor. Ini lebih cocok dengan gaya hidup Berretty yang tak terlalu peduli dengan soal-soal ideologi dan politik kaum pergerakan. Apalagi, ketika Berretty mulai bekerja di koran ini, pemimpin redaksi Java Bode adalah Dirk Verbeek (1883-1954), yang menyukai “kebudayaan popular” seperti: komidie stamboel, tonil, film, dan hiburan lainnya. Kelompok komidie stambul terkenal masa itu, antara lain: Union Dhalia Opera, Miss Riboet Orion, dan Dardanella.
Di Java Bode, Berretty bekerja tak lama: hanya sekitar dua tahun saja. Meski begitu, ada pengalaman mengesankan saat bekerja di surat-kabar ini: ia pernah ditugaskan melawat ke Amerika Serikat untuk meliput perkembangan situasi sosial politik internasional. Di negeri Paman Sam itu pula ia mengikuti perkembangan terakhir di bidang penyediaan berita. Dari sinilah ia punya ide untuk membuka sebuah kantor berita.
ANETA dan Masa Kejayaan
Pada awal abad ke-20, dalam hal lalu lintas telegraf, surat-kabar di Hindia-Belanda terutama bergantung kepada layanan agen kantor berita Inggris, Reuters, di Batavia. Sementara itu, setelah tahun 1900, ada kebutuhan yang semakin besar akan berita dari luar Hindia-Belanda. Terutama komunitas bisnis yang berkembang pesat ingin mendapatkan informasi secara memadai mengenai pasar saham dan laporan perdagangan lainnya. Dan populasi orang-orang Eropa yang berkembang pesat ingin terus mendapat informasi tentang berbagai peristiwa dunia. Terutama selama Perang Dunia I, publik Hindia-Belanda tertarik pada berita terkini tentang perang yang meletus di Eropa itu. Tapi, justru informasi itulah yang sering terlambat sampai Hindia Belanda.
Situasi ini makin memantapkan tekad Berretty mendirikan sebuah kantor berita. Ia melihat hal itu sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Pergaulan Berretty yang telah meluas dengan kaum elit Batavia, membuka peluang untuk mewujudkan ide tersebut. Ia kemudian mendirikan sebuah perusahaan pers sendiri: Persen Knipsebureau (Biro Pers dan Kliping Koran) yang berdiri awal April 1917, dengan modal pinjaman dari seorang pengusaha kapal. Berkat keuletan Berretty, biro kecil itu terus berkembang. Hingga kemudian, 23 April 1924, dijadikan perseroan terbatas dengan nama Algemeen Nieuws end Telegraaf Agent Schap (yang kemudian dikenal sebagai: ANETA), sebuah perusahaan yang bergerak di keagenan berita dan telegraf, semacam kantor berita.
Sejak awal, Berretty fokus mendapatkan berita yang lebih beragam dan lebih cepat daripada para pesaing langsungnya: Lembaga Pers Hindia Belanda (NIPA), yang didirikan pada 1916, dan agen Reuters di Batavia. Berretty yang sangat energik dan inventif menggunakan metode yang tidak lazim. Misalnya, ia menggunakan kenalannya yang bekerja di perusahaan pengiriman paket untuk mengirimkan berita-berita terbaru dari surat kabar yang terbit di Singapura, lewat telegram. Lantas berita-berita itu dipasok ke surat-kabar Hindia-Belanda yang menjadi pelanggannya.
Pengetahuanya tentang telegraf saat bekerja di kantor pos semasa muda, juga menguntungkan Berretty. Jika jaringan telegraf di Singapura sibuk, ia bisa tetap memasok berita dengan cepat: dari Belanda diteruskan ke Afrika Selatan, lalu ke Perth di Australia. Dari sana kemudian diteruskan ke Batavia.
Untuk mendapatkan akses berita-berita dari Belanda yang akan dipasok untuk pers Hindia Belanda, Berretty mempekerjakan seorang jurnalis yang bekerja di surat kabar The Vaderland di Den Haag. Sang wartawan, tanpa sepengetahuan majikannya, memasok berita-berita Belanda yang paling penting bagi Batavia. Tidak lama setelah itu, Aneta sudah mendirikan kantornya sendiri di Den Haag. Surat kabar pertama di Belanda yang menggunakan berita tentang Hindia Belanda dari ANETA adalah De Telegraaf, salah satu koran terkemuka di Belanda.
Berkat berbagai inovasi Berretty, ANETA berkembang pesat. Bahkan, ANETA mendapatkan monopoli atas pengadaan berita di Hindia Belanda. Ia menjadi orang yang sangat berkuasa dan ditakuti, posisi yang tak biasa bagi orang Indo-Eropa masa itu. Orang-orang sezaman dan seprofesi dengannya memuji tekad dan wawasannya, “bakatnya yang jenius”. Namun, segi lain wataknya, yaitu “gila kuasa dan sangat boros” juga banyak dibicarakan orang.
Foto Berretty dalam iklan De Zweep di depan kantor Aneta yang megah di Batavia
Kekuatan Berretty ialah bahwa ia dapat merenggut peluang di saat yang tepat. Akibat Perang Dunia I, pengiriman berita ke Hindia Belanda berlangsung seret. Berretty memanfaatkan keadaan itu… “Ketika Hindia terisolasi waktu itu, berita sama nilainya dengan emas: bagi gubernemen, bagi dunia dagang, dan bagi Berretty”.
Kegiatan Berretty diikuti secara cermat oleh Gubernemen Hindia Belanda dan Kementerian Daerah Jajahan. Sekalipun tidak semua pihak senang dengan pribadi Berretty, di kalangan pemerintah ia diterima. Dasarnya adalah alasan-alasan pragmatis… Maka jelas, dengan segera bahwa masa depan ada di tangan Berretty. Dalam sebuah nota tahun 1918, Mr. J. J. Schrieke– yang bekerja pada Kementerian Daerah Jajahan– sudah memperkirakan Aneta akan menjadi kantor berita terbesar di Hindia Belanda… Saat itu, Aneta sudah disubsisi 1.000 gulden sebulan atas perintah Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.
Memang, tak lama kemudian perkiraan itu terbukti. Bulan April 1919, Aneta membeli Nipa (kantor berita milik pemerintah kolonial) 10.000 gulden tunai, dan sisanya 11.000 gulden diangsur tiap bulan 500 gulden. Berretty juga menjadi perwakilan resmi Reuters di Hindia Belanda. Dengan demikian Berretty memonopoli layanan pemberitaan di Hindia Belanda. Ia lalu meneken kontrak dengan sejumlah surat kabar di Hindia-Belanda, dan berjanji untuk menyediakan mereka berita telegraf pada tingkat tertentu. Tertarik oleh kecepatan layanan Aneta, puluhan surat-kabar di Hindia Belanda pun berlangganan. Kantor cabang Aneta pun dibuka di kota-kota utama di Hindia-Belanda.
Foto Berretty mengendarai mobil mewahnya
Tahun 1924, dengan cerdik Berretty memecah ANETA menjadi dua perseroan terbatas (NV): NV ANETA yang merupakan kantor berita, dan NV Reclamebedrijf yang merupakan perusahaan iklan dan reklame. Berretty tetap menjadi direktur kantor berita, dan menjadi presiden komisaris perusahaan periklanan tersebut. Siasat ini makin menambah pundi-pundi uangnya.
Dengan cepat, ANETA menjadi perusahaan besar dan modern. Berretty mendirikan kantor bertingkat tiga yang megah di kawasan Passer Baroe, Batavia. Kemegahan kantor itu seakan melambangkan ambisi dan kesuksesan Berretty. Di salah satu dinding kantor itu tertulis motto yang diambil dari Napoleon: ‘Activité… Activité… Vitesse!’ (Bergerak.. Bergerak…Cepat!)
Lawan-lawan Beretty sekalipun mengakuinya sebagai seorang yang super-kreatif. Kesuksesannya yang spektakuler segera memberinya kekayaan. Terutama pada akhir 1910-an, komunitas bisnis yang berkembang membayarnya dengan jumlah luar biasa untuk laporan perdagangan saat itu. Pada 1920 ANETA sudah mempekerjakan empat-puluh orang.
April 1924, Berretty mendirikan Aneta Radio, setelah memperoleh izin pemerintah untuk menerima dan mengirimkan telegram berita radio telegraf dari stasiun radio asing. Stasiun radio itu juga menyiarkan berita-berita luar negeri dengan cepat: hanya 24 jam dari peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pertempuran yang terjadi dalam Perang Dunia I, misalnya, sudah didengar pemirsa Hindia-Belanda tak lama kemudian.
ANETA juga membentuk divisi periklanan yang terbilang modern, dengan medatangkan desainer iklan terkenal dari Belanda. Pada 1928, agensi persnya memperoleh hak untuk memasok pers dunia dengan berita tentang Hindia Belanda, melalui cabang ANETA di Den Haag, Belanda, yang didirikan pada 1919. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda membayar ANETA sebesar 3.500 gulden setiap tahun untuk layanan itu. ANETA menjadi terkenal di seantero Hindia Belanda. Berretty pun ikut terkenal, serta kaya-raya.
Pada akhir 1920-an, Berretty telah menjadi salah satu orang terkaya di Hindia-Belanda. Sebagai seorang pria yang membentuk dirinya sendiri, ia menunjukkan sedikit simpati kepada orang-orang Indis (Eurasian) yang merasa dirugikan dan didiskriminasi. Dia menyatakan dalam De Reflector, mingguannya: “Secara keseluruhan, saya bukan pendukung para pengoceh tentang putih dan coklat, tentang totok dan mestizo, tentang mereka yang lahir “di sini” dan mereka yang lahir “di sana”. Majalah ini tidak pernah bergabung dalam teori bodoh tentang susu dan coklat” (Een Groots En Meeslepend Leven: hal. 59). “Semua orang,” tulisnya kemudian, “putih atau coklat, mengamankan tempat yang dia inginkan, melalui sekolah atau melalui belajar mandiri. Ada orang bekerja dengan rajin, yang lain berdasarkan bakatnya” (Een Groots En Meeslepend Leven: hal. 133).
Begitulah seterusnya: Berretty bagaikan “Rupert Murdoch dari Hindia Belanda”, berpihak pada penguasa kolonial dan baron bisnis, memilih mitra yang setia, sembari menyingkirkan lawan-lawan yang lemah. Ia adalah negosiator yang hebat, pembicara yang andal, dan tuan rumah yang murah hati. Ia memikat orang-orang dengan pesona, kemurahan hati, dan penampilannya yang glamour.
Serangan Balik
Dibalik kejayaan DW Berretty dan ANETA di sepanjang dekade 1920an hingga 1930an, banyak cerita miring beredar. Pers Belanda/Indis sebenarnya tidak seberapa senang dengan sepak-terjang Berretty. Posisi monopoli Aneta dan “kontrak-kontrak mencekik” yang diakibatkannya merupakan sumber ketegangan dan perselisihan dengan Aneta. Tapi, mayoritas redaksi surat-kabar sedemikian takut dengan Berretty dan menjadi tergantung kepadanya, sehingga hanya segelintir yang berani melawan “teror ANETA”.
Pada Desember 1918, terjadi pertengkaran antara dia dan sesama editor Indis De Reflector yang menyebabkannya menarik diri dari majalah tersebut. Sebagaimana karakter Berretty, ia kemudian melakukan upaya habis-habisan untuk mengeluarkan De Reflector dari pasar, tidak hanya dengan serangan verbal yang kejam tetapi juga dengan mendirikan majalah saingan. Salah satunya adalah tabloid De Zweep (Cambuk), yang ia dirikan sendiri pada 2 Januari 1922.
Berretty melancarkan kampanye iklan gaya Amerika untuk menanamkan nama majalahnya, De Zweep, di hati dan pikiran masyarakat pembaca yang senang dengan serangan terhadap musuh-musuhnya. Akibatnya, De Reflector kehilangan sebagian besar pembaca, dan terpaksa berhenti terbit akhir tahun 1922.
Perlawanan terhadap ANETA langsung dihukum, seperti yang dialami Het Nieuws van den Dag (surat-kabar yang terbit di Batavia) dan De Locomotief (yang terbit di Semarang). Kedua surat-kabar ini telah melontarkan kritik terhadap Aneta. Hukuman terhadap Het Nieuws van den Dag adalah dengan memberikan dukungan kepada surat-kabar saingannya, sedangkan hukuman terhadap De Locomotief dalam bentuk ancaman: ANETA akan menerbitkan surat-kabar saingan di Semarang.
Contoh lain “teror ANETA” adalah mewajibkan surat-kabar pelanggannya untuk berlanggaan pula mingguan De Zweep (Cambuk) dalam jumlah besar. De Zweep mulai diterbitkan Januari 1922 oleh Berretty, yang terutama dimaksudkan untuk “menelanjangi” lawan-lawannya. Berretty sendiri menulis di majalah bergambar ini dengan menggunakan nama samaran: Jan Karwats. De Zweep dan Jan Karwats seakan menjadi lambang “mingguan yang kejam”. Setiap orang yang bermasalah dengan Berretty, pasti menerima pukulan lewat majalah ini. Seorang pengamat media, pernah menyebut De Zweep dengan sebutan “mingguan makian pornografi”. Memang konten De Zweep dinilai lebih banyak rumors atau gossip, bahkan memuat pornografi dan anti-Semitisme.
Perlawanan terhadap Berretty dan ANETA segera bermunculan. Sepanjang dekade 1920-an, Berretty terlibat konflik dengan sejumlah surat kabar. Dia dituduh melakukan liputan yang bias dan penyalahgunaan kekuasaan. Beberapa surat kabar gencar mengkritik Berretty dan ANETA. Yang paling gencar melawan adalah De Indische Courant, organ Suikerbond (serikat pekerja pabrik gula). Koran progresif yang menyuarakan kepentingan kaum pekerja Indis, terbit untuk edisi Jawa Timur dan Jawa Barat.
Seperti surat-kabar lain, De Indische Courant tak bisa menolak berlangganan De Zweep. Tetapi ia menolak mendistribusikan De Zweep kepada pelanggannya. Akibatnya, ANETA menghentikan pasokan berita telegraf ke koran ini. Lantas menyewa seluruh halaman iklan De Indische Courant edisi Jawa Barat, yang digunakan untuk memuat iklan-iklan yang mempromosikan De Zweep.
Namun, De Indische Courant tak menyerah. Direktur De Indische Courant , W. Burger, mendirikan dinas telegramnya sendiri dengan membeli sebuah pesawat radio penerima telegram. Konflik pun berlangsung berlarut-larut selama sepuluh bulan. De Indische Courant lalu membawa sengketa ini ke pengadilan. Dan pengadilan memvonis ANETA bersalah. ANETA segera harus menyampaikan maaf dan membayar kompensasi yang cukup untuk surat-kabar itu.
Serangan balik tak berhenti sampai disini. Di tahun 1922 juga sempat muncul kritik pedas terhadap ANETA, berkenaan dengan subsidi pemerintah kolonial– yang di tahun 1918 besarnya 1.000 gulden per tahun, dan terus bertambah di tahun-tahun berikutnya. Yang melancarkan kritik pedas itu adalah S. Soeriokoesoemo, anggota Volksraad. Soeriokoesoemo mengeluhkan tingginya jumlah subsidi pemerintah kolonial kepada ANETA, padahal nada pemberitaannya terhadap gerakan kebangsaan—seperti tercermin dalam pemberitaan De Zweep—tidak dapat dikatakan objektif.
Beberapa tahun kemudian, kembali Berretty diserang dengan kritik pedas dan sikap bermusuhan, terutama dari kalangan konservatif di Hindia Belanda. Yang paling gencar menyerangnya adalah H.C. Zentgraaff, pemimpin redaksi dari Soerabaiasch Handelsblad, dan kemudian Java Bode (1932-1939). Di masa itu, Zentgraaff merupakan tokoh konservatif yang berpengaruh di Hindia-Belanda. Kritik dan opininya seringkali membuat jeri pemerintah kolonial. Zentgraff mulai menyerang ANETA dan Berretty, dengan mengirim sebuah nota (tertanggal 30 Januari 1930) kepada sejumlah politisi dan pers, dimana ia menyerang posisi “semi resmi” serta kekuasan keuangan ANETA. Tuduhan ini cukup serius. Dalam nota itu, Zentgraaf menyebutkan bahwa sejak lama surat-kabar di Hindia Belanda gemetar dan ketakutan menghadapi ANETA, karena adanya hubungan kantor berita ini dengan pihak berwenang.
Berdasarkan nota itu, seorang anggota parlemen Belanda, Ch.G. Cramer, mengangkat masalah ini. Februari 1930, Cramer mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai kinerja ANETA. Hal ini mengakibatkan dibentuknya sebuah komisi penyelidikan, yang diberi nama “Komisi ANETA”. Laporan komisi penyelidikan tanggal 15 April 1930, membenarkan sejumlah keluhan mengenai kinerja Aneta dan posisi monopolinya. Namun, hal ini tidak menjadi alasan bagi gubernemen untuk memutuskan hubungan dengan Aneta, karena “gubernemen sangat membutuhkan kantor berita itu…, terutama karena Aneta tetap merupakan sumber terpenting pasokan berita untuk pers berbahasa Belanda dan untuk penerangan di luar negeri…”
Meski berhasil lolos dari masalah, penyelidikan ini telah merusak reputasi Berretty.
Pertikaian Zentgraff dengan Berretty makin membara ketika muncul rumor “sang raja media” menjalin hubungan asmara dengan putri Gubernur Jenderal BC de Jonge. Dibanding tiga pendahulunya (JP graaf van Limburg Stirum, D. Fock, dan jhr. ACD de Graeff), de Jonge memang terbilang lebih konservatif dan lebih keras menghadapi kalangan pribumi dan Indis. Zentgraff, yang berteman baik dengan de Jonge, melancarkan serangan terhadap gaya hidup Berretty lewat korannya. Koran-koran lain yang memendam sakit hati kepada Berretty, kemudian ikut-ikutan mengangkat isu rumor tersebut.
Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga pula: Berretty pun limbung. Akibatnya, ia sempat mengalami depresi mental yang cukup akut. Butuh waktu cukup lama, hampir setahun, bagi Berretty untuk bisa pulih dari depresi terse but.
Villa Isola dan Akhir Hidup Yang Tragis
Tak lama setelah penyelidikan, di musim gugur 1932, Berretty menugaskan pembangunan sebuah ranch di lereng bukit jalan dari Bandung menuju Lembang, dengan sebuah villa monumental ditengahnya. Villa itu dibangun oleh Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA), salah satu biro arsitektur dan konstruksi paling terkenal di Hindia-Belanda masa itu. Pesan Beerretty saat membangun vila itu singkat saja: bangunan itu harus spektakuler dan abadi. Berapapun biayanya, akan disanggupi. Inilah puncak ambisi Berretty.
Mendapat pesanan itu, Direksi AIA langsung menghubungi seorang arsitek jenius dan eksentrik: Charles Prosper Wolff Schoemaker, yang bermukim di Bandung. Tak butuh waktu lama, Schoemaker menerima tawawan mendesain villa pesanan Berretty. Setelah beberapa kali pertemuan, desain disepakati. Selanjutnya, Oktober 1932, dimulai pembangunan konstruksi. Enam bulan kemudian, Maret 1933, pengerjaan konstruksi tuntas, dan villa siap dihuni.
Berretty memberi nama bangunan super-megah itu Villa Isola, yang bermakna menyendiri. Bisa jadi pilihan nama ini menyiratkan kondisi kejiwaan Berretty yang sedang galau berat, akibat berbagai tuduhan dan kritik terhadap langkah bisnisnya, juga pribadinya. Seorang kawan dekatnya melukiskan Berretty “… sebagai seorang yang berbakat, tapi hidupnya didera kesepian dan tidak bahagia”.
Villa Isola berdiri diatas lahan 7,5 hektar. Luas bangunannya sendiri 12.000 meter persegi, semua menggunakan bahan dengan kualitas terbaik. Misalnya, semua jendela menggunakan kaca trisan yang diimpor dari Perancis. Demikian pula seluruh perabotan rumah diimpor dari Paris. Villa itu dilengkapi pula taman bunga, kolam renang, dan air-mancur. Banyak penilaian inilah karya arsitektur Wolff Schoemaker yang terbaik dan “paling murni”.
Biaya pembangunan Villa Isola juga terhitung spektakuler untuk ukuran zaman itu: 500.000 gulden (setara sekitar Rp 70 miliar untuk harga saat ini). Berretty membayar lunas demi menggapai “puncak ambisinya” tersebut. Meski saat itu ia sedang mengalami masalah keuangan yang serius. Bahkan, sudah nyaris bangkrut.
Sabtu malam, 17 Desember 1933, Villa Isola diresmikan. Berretty menggelar pesta makan malam yang mewah. Tamu-tamu yang diundang kebanyakan kaum elit selebrita dari berbagai kota. Ada pula yang datang dari luar negeri. Juga para wartawan. CP. Schoemaker memandu para tamu untuk berkeliling Villa Isola. Ruang makan, ruang tamu luas, kantor, dan ruangan besar lainnya memberikan kesan megah, membawa ketenangan. Dekorasi dinding dan mahkota Venesia yang indah dipilih dengan cermat sebagai penghias ruang adalah kunci yang memancarkan keramahan yang hangat.
Foto Berretty bersama Wolf Schomaker di depan Villa Isola
Para tamu berjalan melalui kamar menginap tamu dan taman di atas atap yang bernuansa misterius diterangi obor dari kedua menara di kanan dan kirinya…. Mereka kemudian dibawa memasuki ruang luas yang terdapat di bawah taman atap berada. Di sepanjang dinding ruangan terpajang lukisan yang indah karya pelukis Hindia Belanda dan pelukis asing yang terkenal. Di belakang sofa yang indah tergantung sebuah lukisan besar yang menyajikan panorama Villa Isola dilihat dari bagian timur dataran tinggi.
Foto Berretty di ruang kerjannya di Villa Isola
Berrety sendiri tak lama menikmati kenyamanan Villa Isola. Ditengah situasi sulit itu, 20 Desember 1934, Berretty yang sedang berada di Belanda, menaiki ‘De Uiver’, pesawat yang menjadi terkenal karena sebulan sebelumnya berhasil menerbangi rute London-Melbourne. Pesawat berangkat dari bandara Schipol Belanda, akan terbang ke Batavia, dengan singgah di beberapa bandara. Malam hari, tak lama setelah lepas landas dari Bandara Kairo, Mesir, cuaca buruk menghadang. Nahas, pesawat jatuh di gurun pasir yang masuk wilayah Suriah. Menewaskan tujuh penumpangnya, termasuk Berretty. Usia Berretty saat itu masih tergolong muda: 43 tahun.
Setelah kematiannya, cukup banyak berita tentang kecelakaan yang dialami Beretty di media Hindia Belanda, juga in-memoriam atau obituari. Umumnya memuji Berretty sebagai warga Hindia-Belanda yang hebat. Sempat pula beredar sas-sus bernada konspirasi bahwa kecelakaan itu terkait “kontrak spionase” Berretty dengan pihak intelijen Jepang. Konon, nilai “kontrak spionase” itu sebesar 500 ribu gulden. Hal ini membuat Gubernur Belanda saat itu B.C De Jonge tidak senang dengan Berretty.
Betapapun, seperti dikatakan JH Ritman: “Ia (Berretty) meninggal seperti saat ia hidup: menakjubkan…!” Seorang teman baiknya, Herman Salomonson, Direktur ANETA-The Hague, melukiskan Berretty sebagai seorang yang berbakat, tapi hidupnya didera kesepian dan tidak bahagia. “Ia hanya bisa merasa nyaman di tengah-tengah sekelompok kecil kawan karib. Ia menemukan kebahagiaan sejati saat menikmati kepercayaan dari orang lain”. Pada akhirnya, ambisi besar Berretty terkubur bersama jasadnya di gurun pasir Suriah. Akhir kehidupan yang tragis.
Menarik pula disimak pendapat Kees Snouk: “Bagi saya, terlihat bahwa penegakan diri dan ambisi Berretty, yang selama ini menjadi kekuatan pendorong kewirausahaan dan jurnalismenya, telah berkembang menjadi megalomania yang mengaburkan perasaan realitas yang akut. Untuk mengaktifkan pembangunan ranch dan villa prestisiusnya, ia meminjam sejumlah besar uang dari modal operasional Aneta. Jumlah utangnya tidak jelas sampai kematiannya dalam kecelakaan pesawat pada 20 Desember 1934, dalam penerbangan dari Belanda menuju Hindia Belanda”.
Snouk melanjutkan: “(Berretty) adalah seorang pengagum kemajuan teknis dan modernitas, dari penerbangan dan mobil balap mewah, jiwa gelisah ini mati seperti hidupnya. Dia meninggalkan empat anak dari tiga pasangan yang berbeda, dan juga perempuan Portugal yang lahir sebagai pendamping empat tahun terakhirnya. Tak satu pun dari lima pernikahan resminya yang bertahan lebih dari empat tahun, bagaikan menyimbolkan kegelisahannya, pengejaran kebahagiaan yang romantis, seperti yang dikatakan oleh penulis biografinya: kerinduan akan kesempurnaan, dan kesunyiannya yang esensial di dunia yang tidak sempurna.”
*Penulis dan Produser