Boethius: Saatnya untuk Pergi dan Penghiburan Filsafat
Oleh Tony Doludea
Romain (31 tahun), fotografer fashion tampan yang sukses, tiba-tiba pingsan ketika sedang memotret dua modelnya. Kemudian dari dokter yang telah memeriksanya, ia mendapati kenyataan bahwa tubuhnya diam-diam telah digerogoti kanker stadium lanjut
Romain memiliki kesempatan untuk hidup hanya beberapa bulan saja. Padahal ia memiliki karir yang sangat cemerlang, apartemen dan seorang pacar lelaki Sasha.
Namun ia menyembunyikan penyakitnya itu dan menjauh dari keluarga dan pacarnya itu. Bahkan Romain merusak hubungannya dengan Sophie, kakak perempuannya, juga dengan Sasha.
Hanya pada neneknyalah, Laura orang terdekatnya yang menyediakan kasih untuknya, ia baru mau mengungkapkan keadaannya tersebut. Karena untuk mengasihi dan dikasihi, orang harus berada dalam penderitaan. Ia akan mampu memunculkan dan merasakan kasih.
Sementara itu Romain mulai mendapat kunjungan dari dirinya semasa kanak-kanak. Kenangan masa kanak-kanak itu merupakan pertanda semakin dekat kematiannya. Namun itu juga membeberkan cerita bagaimana Romain tumbuh menjadi pria dewasa, yang berbeda dari bocah laki-laki, yang senang bermain dengan kakak perempuannya.
Romain dengan kamera kecilnya itu mulai mengambil foto orang-orang yang ia sungguh kasihi. Laura naneknya dan Sophie, serta memperbaiki hubungannya termasuk juga dengan Sasha dan Jany, pelayan kafe yang ingin mempunyai keturunan darinya.
Romain pergi kembali ke di pantai itu, mengenang masa kecilnya bermain di sana. Ia memotret suasana saat itu, lalu muncul kenangan-kenangannya. Ia berenang dan menyelam. Pada handuk yang ia gelar di atas pasir pantai itu, Romain merebahkan diri, ia merasa damai dan tenang.
Para pengunjung pantai itu satu persatu mulai pergi. Matahari mulai redup, terbenam. Pantai itu sunyi, langit merah lalu gelap. Romain terbaring sendirian, kaku tak bergerak.
Film Time to Leave (2005) ini digarap oleh François Ozon, sebagai penulis naskah sekaligus sutradara. Ozon menyoroti perjalanan Romain berdamai dengan dirinya sendiri. Bahkan kematian Romain itu menjadi metafora, yang dapat membangun sikap kritis orang saat menghadapi kematian.
Kematian adalah misteri besar, di mana manusia menjadi sangat rapuh olehnya. Namun kematian dapat membuat hidup manusia itu menjadi sangat menarik dan menegangkan.
Meskipun kehidupan ini sangat sulit dan berat. Tetapi orang selalu membicarakan tentang kebahagiaan, yaitu waktu-waktu yang baik dan indah.
Time to Leave bertutur tentang kehidupan, temali yang mengikatnya dan tempat ke mana orang harus pergi untuk mendapatkan makna. Di dalam waktu yang tersisa, saat di mana orang harus pergi.
********
Anicius Manlius Torquatus Severinus Boethius (475–525) adalah seorang negarawan dan sarjana Romawi. Boethius lahir di Roma pada 475 M, dalam keluarga bangsawan Romawi, keturunan senator dan penasihat kaisar, beberapa tahun setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.
Boethius menguasai bahasa Latin dan Yunani serta sangat akrab dengan karya-karya para filsuf Yunani. Ia berusaha mendamaikan ajaran Plato dan Aristoteles dengan teologi Kristen. Boethius juga berupaya menerjemahkan karya klasik Yunani antara lain karya Nicomachus, Porphyry serta Cicero. Ia menulis hal-hal yang berkaitan dengan musik, matematika dan teologi.
Boethius sangat terkenal sebagai negarawan selama kekuasaan Kerajaan Ostrogoth. Ia menjadi senator pada usia 25 tahun, konsul pada usia 33 tahun, kemudian dipilih sebagai penasihat pribadi raja Theodoric Agung (454–526).
Namun ia sangat tidak populer di kalangan anggota istana Ostrogoth lainnya, karena ia mengecam korupsi besar-besaran yang lazim terjadi di antara anggota penguasa tersebut.
Perjalanan hidupnya mencakup waktu kejayaan, penderitaan dan pencarian makna melalui perenungan filsafat. Boethius dengan kebijaksanaannya, menjelajahi dunia filsafat untuk menemukan ketenangan dalam kesendirian dan kesengsaraan.
The Consolation of Philosophy (524) ditulis oleh Boethius, orang yang telah kehilangan segalanya dalam sekejap, keluarga, kekayaan, kedudukan dan perpustakaan, semuanya lenyap. Ia dimasukkan ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman mati.
Suasana hati Boethius ini dapat dilukiskan seperti syair Heman, orang Ezrahi dalam Kitab Mazmur.
Ya Tuhan, Allah yang menyelamatkan aku,
siang hari aku berseru-seru,
pada waktu malam aku menghadap Engkau.
Biarlah doaku datang ke hadapan-Mu,
sendengkanlah telinga-Mu kepada teriakku;
sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka,
dan hidupku sudah dekat dunia orang mati.
Telah Kaujauhkan teman-temanku dari ku,
telah Kaubuat aku menjadi kekejian bagi mereka.
Aku tertahan dan tidak dapat keluar;
mataku merana karena sengsara.
Aku telah berseru kepada-Mu, ya Tuhan, sepanjang hari,
telah mengulurkan tanganku kepada-Mu …
Telah Kaujauhkan dari ku sahabat dan teman,
Sahabat karibku sekarang adalah kegelapan.
(Mazmur 88)
Padahal Boethius bahkan tidak melakukan sesuatu yang jahat. Ia hanya membela seseorang yang dicurangi di pengadilan. Pada pertemuan Dewan Kerajaan di Verona, referendarius Cyprianus menuduh mantan konsul Caecina Decius Faustus Albinus melakukan pengkhianatan bersama Kaisar Justin I.
Kemudian Cyprianus bahkan menuduh Boethius juga melakukan kejahatan yang sama dan mengajukan tiga orang saksi atas kejahatan tersebut. Boethius diasingkan ke Ager Calventianus, sebuah kawasan pedesaan yang jauh, di mana ia kemudian dihukum mati.
Tidak lama kemudian raja Theodoric memerintahkan ayah mertua Boethius, Symmachus, juga dibunuh dan harta mereka dirampas. Karena ia dan Boethius dituduh bersama-sama telah merencanakan pemberontakan.
Boethius di dalam penjara sedang bergumul dan bergulat dengan maut, yang segera akan menjemputnya. Ia mempertanyakan bagaimana Allah mengijinkan hal itu terjadi atasnya. Bagaimana keadilan dan kebaikan dapat menghasilkan penghukuman. Boethius meratap atas hilangnya kebebasannya dan nama baiknya.
Dalam The Consolation of Philosophy, Boethius melakukan eksplorasi dan perenungan filosofis, di mana ia berupaya mendamaikan kemalangan hidupnya itu melalui filsafat.
The Consolation of Philosophy sangat dipengaruhi oleh karya Plato, khususnya Phaedo (360 SM), saat Sokrates di penjara dan menunggu hukuman matinya, ia menggambarkan bagaimana seorang filsuf menghadapi kematian. Juga Republik (360 SM) dan Meno (385 SM) tentang kebakaan dan kecerdasan jiwa serta bagian dari manusia yang tak bertubuh, yang bukan tubuh manusia.
Pengaruh Neoplatonisme oleh Porphyry dan Proclus, serta Stoicisme juga terasa dalam tulisan Boethius ini. Boethius menjelaskan tentang agama, Allah, kejahatan dan bagaimana mereka itu dapat sekaligus ada bersama-sama dalam hidup seorang manusia.
Sementara saat Boethius menulis The Consolation of Philosophy ini dalam penjara itu, ia mendapat kunjungan dari seorang perempuan. Tiba-tiba muncul di hadapannya, seorang perempuan yang sangat mempesona dengan daya tarik yang kuat. Ia menggunakan gaun anggun dan ada tertulis huruf Yunani, Pi (Π) dan Theta (Θ). Ia membawa beberapa buku dan sebuah tongkat kerajaan.
Maka terjadilah percakapan antara Boethius dengan Lady Philosophy itu, personifikasi filsafat dalam wujud seorang perempuan, mirip dengan nabiah Diotima dalam Symposium karya Plato itu.
Boethius memang pada awalnya sangat sedih dan bingung, itu karena ia salah memahami dirinya dan melihat kebahagiaan itu sebagai suatu keberuntungan (fortune). Namun Lady Philosophy meluruskan keyakinan yang salah itu dengan mengatakan bahwa kebahagiaan itu merupakan sesuatu di dalam diri seseorang daripada sesuatu yang di luar dirinya.
Lady Philosophy mempersonifikasikan keberuntungan itu sebagai dewi penipu, yang secara licik dan keji menggoda orang, lalu dengan gembira menjatuhkan dan meremukkan mereka. Seperti sebuah roda yang mengangkat ke atas lalu menjatuhkan orang ke bawah. Karena keberuntungan itu selalu berputar dan tidak tetap, maka orang yang mendasarkan kebahagiaanya padanya, seperti Boethius, ia pasti selalu akan kecewa.
Meskipun Boethius berada dalam penjara dan kematiannya yang tak masuk akal itu segera akan datang, namun ia masih memiliki berkat yang luar biasa. Sementara keberuntungannya berupa kekayaan, kehormatan, kekuasaan dan lain sebagainya itu bukanlah milik yang sesungguhnya, karena semua mereka itu diberi atau kemudian dapat diambil lagi.
Boethius memiliki hal-hal berharga yang merupakan miliknya sendiri, yaitu keluarga dan teman sejati, pikiran yang tajam dan benar, serta pemahaman tentang Allah. Menurut Lady Philosophy, orang bijak memusatkan perhatiannya pada hal-hal tersebut. Suatu yang tetap, yang membentuk kebahagiaan, daripada selalu berharap dan khawatir dalam putaran roda nasib Dewi Keberuntungan itu.
Menurut Lady Philosophy, orang selalu mencari lima hal untuk mencapai kebahagiaan melalui keberuntungan, yaitu kekayaan, kedudukan, kekuasaan, ketenaran dan kenikmatan. Inilah kesalahan yang juga dilakukan oleh Boethius. Karena dengan mengejar hal-hal tersebut sesungguhnya akan membawa orang pada penderitaan.
Namun demikian Lady Philosophy juga menegaskan bahwa kelima hal tersebut merupakan hal yang penting, tetapi dengan syarat bahwa orang harus menyeimbangkan kelimanya, baru kemudian ia dapat berbahagia.
Kekayaan itu penting hanya karena akan memberikan kemandirian, kedudukan akan memberikan kehormatan, kekuasaan akan menjamin orang untuk dapat memenuhi kebutuhannya, ketenaran merupakan tanda kesempurnaan dan kenikmatan akan memberikan kesenangan bukannya penderitaan.
Bagaimanapun juga, mengejar hal-hal tersebut secara terpisah sangat berbahaya. Misalnya, mengejar kekayaan itu tidak berguna sama sekali, karena orang hanya akan memiliki benda-benda yang akan membosankan dan tidak memiliki makna. Orang kaya akan cenderung manjadi kasar, jahat, egois, tidak peka dan serakah. Mengejar kekayaan akan membawa penderitaan, bukan kebahagiaan.
Lady Philosophy juga mengatakan hal yang sama tentang kedudukan, kekuasaan, ketenaran dan kenikmatan. Mengejar yang satu akan kehiangan yang lainnya. Maka kebahagiaan sejati menurut Lady Philosophy itu bukannya tentang kelima hal tersebut.
Untuk mendapatkan kebahagiaan sejati, orang harus berbalik dan meninggalkan dunia material ini dan memusatkan perhatian untuk membangun hubungan dengan Allah.
Karena Allah adalah hakikat kebahagiaan, maka keberuntungan seseorang dalam hidup itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kebahagiaan. Orang bijak tahu bahwa mencari-cari kebahagiaan dalam kesenangan duniawi itu merupakan kesia-siaan belaka. Sebab kebahagiaan sejati itu hanya didapati melalui Allah saja.
Karena tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari Allah, maka menurut Lady Philosophy tidak ada sesuatu pun yang lebih berkuasa dari Allah. Kelima hal itu bukanlah Allah.
Setelah mendengar penjelasan itu, Boethius lalu bertanya tentang bagaimana mencapai kebehagiaan sejati itu, serta hubungan seperti apa yang harus dimiliki manusia dengan Allah.
Lady Philosophy menyadarkan Boethius bahwa melalui pertobatan dan kepatuhan pada kebenaran, juga berlindung dalam doa. Manusia dapat mencapai keselamatan dan perdamaian batiniah. Moralitas yang benar merupakan landasan spiritualitas dan pencarian kebenaran, yang membimbing individu menuju penyatuan dengan kebenaran ilahi.
Kebaikan yang sempurna dan kebahagiaan yang sempurna itu tidak hanya ada pada Allah, mereka itu adalah Allah sendiri. Kebahagiaan sempurna sama sekali tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan dalam keberuntungan duniawi, betapapun hebatnya. Kebahagiaan sejati tidak bergantung pada faktor eksternal, seperti kekuasaan atau kekayaan, tetapi pada kebajikan dan kebijaksanaan.
Lady Philosophy membimbing Boethius keluar dari pandangannya yang salah tentang kebahagiaan, yang didasarkan atas nasib dari roda Dewi Keberuntungan itu. Menuju pada kebahagiaan yang sejati yang terletak pada Allah.
Ia telah menyadarkan Boethius, bahwa kemalangannya itu sesungguhnya adalah kebaikan baginya. Itu adalah cara dunia mengingatkannya tentang Allah, satu-satunnya kebaikan absolut yang ada.
Maka Lady Philosophy mengingatkan Boethius untuk berdoa dan merenung tentang Allah. Ia mengajarkan padanya tentang hakikat Allah, pengetahuan ilahi yang mendatangkan kebahagiaan dan sukacita.
Ia juga mengingatkan Boethius, bahwa saat ia mati, ia akan kembali ke Allah dan berada dalam kebahagiaan sejati. Meskipun ia dicemari oleh keridakadilan yang luar biasa pada hari-hari terakhirnya di dunia ini.
Dari Lady Philosophy, Boethius juga mendapatkan pengharapan dalam keyakinannya pada Allah. Dia percaya bahwa Allah adalah sumber kebaikan dan keadilan, dan bahwa pada akhirnya, keadilan akan ditegakkan. Penebusan dapat dicapai melalui kontemplasi filosofis dan melalui cinta kepada Allah.
Boethius menemukan harapan dan kenyamanan dalam pemikiran bahwa meskipun keadilan mungkin terganggu di dunia ini, namun ada keadilan ilahi yang akhirnya akan menang.
Meskipun demikian, Boethius masih tetap bergumul kuat dengan masalah bagaimana Allah Yang Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Kasih itu mengijinkan terjadinya kejahatan atas manusia. Ia masih berontak atas penjelasan Lady Philosophy tersebut.
Menurut Lady Philosophy, yang jahat itu bukanlah hal yang nyata ada, yang dengan sengaja diadakan oleh Allah. Yang jahat dan kejahatan itu merupakan tidak adanya yang baik atau tidak hadirnya kebaikan. Padahal yang ada hanya kebaikan saja, namun saat kebaikan itu hilang atau berkurang, maka hal itu disebut yang jahat. Maka di sini Allah hanya memberi akibat (tidak adanya kebaikan) pada mereka yang layak menerima.
Lady Philosophy memberitahu bahwa Boethius salah menilai tentang Allah memberi ganjaran dan hukuman. Bahwa orang jahat diberi ganjaran dan ia sendiri diberi hukuman. Namun pada kenyataannya sebaliknya, karena dunia ini diatur oleh Allah Yang Pemurah.
Menurut Lady Philosophy yang jahat atau kejahatan itu adalah kelemahan, maka yang jahat itu tidak ada dan bukan apa-apa (nothing). Karena Allah tidak menciptakan yang jahat, maka dunia dapat tetap baik adanya.
Yang jahat itu bertentang dengan segala sesuatu yang wajar dan alami. Secara wajar dan alami setiap orang menginginkan kebahagiaan dan melalui kebaikan orang dapat meraihnya. Sedangkan kejahatan tidak memiliki kekuatan dan kekuasan untuk mencapai kebahagiaan.
Yang baik bekerja secara alamiah dan memiliki kekuatan. Yang jahat bekerja tidak secara alamiah karena ia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan hal yang alamiah. Maka yang baik itu kuat sedangkan yang jahat itu lemah. Kekuatan yang jahat itu datang dari kelemahannya tersebut. Karena yang jahat itu lemah, maka orang dapat menjadi jahat meskipun Allah tidak jahat.
Orang yang baik berhasil, sementara orang yang jahat gagal dalam pencarian mereka terhadap yang baik, karena mereka membuat kesalahan. Meskipun bukan yang jahat yang membuat mereka gagal, tetapi karena mereka tidak memiliki yang baik.
Maka orang dapat berbuat jahat di dunia yang diciptakan Allah Yang Maha Sempurna, Yang hanya dapat berbuat baik saja, itu hanya karena mereka tidak sempurna dan sering keliru dan berbuat yang salah.
Sehingga orang jahat itu lebih berbahagia jika mereka menderita hukuman. Bukan hanya hukuman itu memperbaiki dan menghapus kejahatan, namun hukuman kepada orang jahat itu juga adil, karena saat mereka menerima hukuman tersebut mereka menerima sesuatu yang baik. Hukuman itu adalah alat untuk memperbaiki dan membuat mereka menjadi baik.
Meskipun mereka nampaknya bebas dari hukuman, namun pada kenyataannya mereka terus dihukum dan secara tidak adil dibebaskan dari hukuman dan ini hanya membuat mereka semakin celaka.
Orang ini berjalan melawan kewajaran dengan lebih memilih kejahatan daripada keutamaan. Beberapa dari antara mereka menderita kebodohan yang luar biasa sehingga tidak tahu tentang kebaikan. Sedangkan yang lainnya tahu tentang kebaikan, namun tidak dapat mengendalikan diri, sehingga menyerah pada naluri mereka untuk memperoleh kenikmatan. Yang lainnya sadar dan mengingini kejahatan daripada kebaikan, sehingga mereka berhenti ada.
Menjadi jahat sama dengan mati, keduanya sama-sama berarti benar-benar tidak ada lagi. Mereka bisa juga disebut mayat atau bukan manusia sepenuhnya. Mereka telah jauh tersesat dari kecenderungan alamiahnya sebagai manusia.
Boethius mengeluh dan meronta meyaksikan bahwa mereka yang jahat itu memiliki kebebasan untuk bertindak menurut keinginannya. Namun bagi Lady Philosophy, kebebasan orang jahat tersebut merupakan hukuman supaya keinginannya tercapai, yang membuat mereka tidak bahagia dengan memperbanyak kejahatannya. Tetapi untungnya orang jahat itu menghentikan kejahatan mereka saat mereka mati, inipun apabila kejahatan mereka itu tidak kekal.
Boethius sadar kini bahwa keadilan sejati itu diatur oleh Allah sendiri, dengan cara mendamaikan ketidakadilan yang ada. Artinya, kejahatan sebenarnya bertugas untuk menyinari kebaikan dalam diri manusia dan dalam tatanan semesta yang dikelola oleh Allah Yang Maha Pemurah itu.
Kejahatan orang jahat membuat orang jahat yang lain menjadi orang baik. Saat orang jahat diperlakukan secara jahat, maka ia akan menjadi sedikit lebih baik. Allah mengerti bagaimana menggunakan kejahatan untuk menghasilkan kebaikan.
Sedangkan manusia tidak dapat memahami secara menyeluruh proses ini. Manusia hanya dapat mengerti bahwa Allah menata segala sesuatu dan mengarahkan mereka kepada kebaikan-Nya tanpa melibatkan kejahatan sama sekali.
Boethius juga akhirnya dapat melihat bahwa penderitaan atau kesedihan tidaklah mutlak, melainkan bergantung pada pikiran seseorang terhadapnya. Jika seseorang dapat mengubah cara pandangnya, maka ia dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan, bahkan dalam keadaan yang pedih sekalipun. Bahwa kebahagiaan sejati tidak tergantung pada faktor eksternal, tetapi pada sikap batin seseorang terhadap kehidupan.
Kemalangan, musibah dan kesulitan muncul dari pikiran seseorang, demikian halnya dengan kebahagiaan dan kesentosaan, bersumber dari pikiran orang itu juga.
Maka dari itu, orang harus tetap tenang dan tidak goyah di hadapan nasib baik maupun nasib buruk. Sebab orang bijak secara berani membuang harapan dan ketakutan atas kedua nasib tersebut. Mereka tidak terpengaruh oleh amarah dan tindakan jahat orang lain.
Seperti nasihat Tilopa (988–1069), seorang mahasiddha Buddha Tantra India yang hidup di tepi Sungai Gangga. Nasihat Tilopa ini diajarkannya kepada muridnya Naropa (1016–1100), yang kemudian menjadi ajaran Buddhisme Tibetan aliran Kagyu.
Jangan mengingat apa yang sudah terjadi.
Jangan membayangkan apa yang akan terjadi.
Jangan memikirkan apa yang sedang terjadi.
Jangan menilai apapun juga.
Jangan mengatur segala yang terjadi.
Santai dan istirahatlah sekarang juga.
Ajaran Buddhisme secara umum didasarkan pada Empat Kebenaran Mulia, yaitu bahwa hidup itu menderita, penderitaan ada penyebabnya, namun penderitaan dapat diakhiri dan ada jalan untuk mengakhiri penderitaan. Jalan ini disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Jalan Mulia Berunsur Delapan ini meliputi Pemahaman Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar. Ajaran ini lalu dapat dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu perilaku moral atau keutamaan (Pemahaman, Pikiran, Ucapan); meditasi dan pengembangan mental (Perbuatan, Penghidupan, Upaya); dan kebijaksanaan atau wawasan (Perhatian dan Konsentrasi).
Tilopa mengajarkan Enam Kata-Kata Nasihat-nya itu kepada Naropa, seperti Lady Philosophy menghibur Boethius ketika ia sedang menderita sengsara di dalam penjara pikirannya sendiri dan penjara fisik raja Theodoric Agung itu.
Sementara dalam tradisi Hinduisme yang didasarkan pada ajaran Mahavakya, Ajaran Tertinggi. Yang percaya bahwa diri individual (jiwa) seseorang itu hakikatnya adalah atman, yang merupakan bagian dan perwujudan Brahman. Ajaran ini dikenal sebagai Advaita Vedanta, percaya bahwa Tat Tvam Asi, “Engkau adalah Itu”; Ahaṁ Brahmāsmi, “Aku adalah Brahman”; Prajñānaṁ Brahma, “Brahman adalah Kesadaran”; Ayam Ātmā Brahma, “Atman adalah Brahman”.
Untuk mempraktikkan dan mengalami sendiri bahwa Ātman-Brahman adalah Kenyataan Yang Tertinggi. Maka Patanjali dalam Sutra Yoga mengajarkan Yoga Ashtanga, yaitu delapan elemen praktik yang berpuncak pada samadhi. Delapan elemen yoga tersebut adalah yama (pantangan), niyama (ketaatan), asana (postur yoga), pranayama (pengendalian napas), pratyahara (penarikan indra), dharana (konsentrasi pikiran), dhyana (meditasi) dan samadhi (keheningan).
Yoga adalah ketenangan indra, pemusatan pikiran. Sebab hanya ketika manas (pikiran) dengan pemikiran dan lima panca indra tetap diam, jika budhi (intelek, daya nalar) tidak goyah, maka itu disebut pembebasan. Orang seperti ini telah bebas dari suka dan duka, dari penderitaan. Terlepas dari lingkaran samsara-nirwana, dari ilusi keselamatan, pembebasan, pencerahan dan ikatan moksa.
Orang ini menyadari bahwa jati dirinya (atman) memang sudah sejak dari awal adalah Brahman sendiri. Maka ketika ia melihat ke belakang atas segala usahanya untuk mencapai kebebasan dari penderitaan dan kegelapan itu, ia merasa malu dan bodoh. Justru duka, penderitaan dan kegelapan itu merupakan cahaya yang menyadarkan dirinya tentang hakikat dirinya sendiri.
********
Usaha Boethius untuk menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani itu terhenti, karena ia harus menjalani hukuman matinya pada bulan Oktober 524 M. Diperkirakan Boethius dihukum mati dengan cara dipenggal atau dipukul atau digantung, cara yang umum digunakan saat itu.
Namun kelihatannya ia disiksa terlebih dahulu, karena ada bekas luka cambukan tali dan tengkorak kepalanya retak serta bola matanya keluar. Mayatnya kemudian dikubur di gereja San Pietro di Ciel d’Oro di Pavia, tempat di mana Augustinus dari Hippo juga dimakamkan.
“Hatiku bergejolak dalam diriku,
menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah;
aku berbicara dengan lidahku:
”Ya Tuhan, beritahukanlah kepadaku ajalku,
dan apa batas umurku,
supaya aku mengetahui betapa fananya aku!
Sungguh, hanya beberapa telempap saja Kautentukan umurku;
bagi-Mu hidupku seperti sesuatu yang hampa.
Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan!
Ia hanyalah bayangan yang berlalu!
Ia hanya mempeributkan yang sia-sia
dan menimbun, tetapi tidak tahu, siapa yang meraupnya nanti.”
Jiwaku haus kepada Allah,
kepada Allah yang hidup.
Bilakah aku boleh datang
melihat Allah?
Air mataku menjadi makananku
siang dan malam,
karena sepanjang hari orang berkata kepadaku:
”Di mana Allahmu?”
(Mazmur 39 dan 42)
Selama Boethius menulis bukunya itu, dalam penjara menanti hari di saat ia harus pergi. Lady Philosophy menyadarkannya bahwa yang mendatangkan kebahagiaan sejati itu adalah kebaikan tertinggi, yaitu Allah sendiri.
Bahwa orang dapat bersatu dengan kebaikan tertinggi itu hanya melalui hidup dengan keutamaan dan rasio, yang mengangkat jiwa manusia melampaui gemuruh Dewi keberuntungan.
Lady Philosophy juga menegaskan pentingnya memegang teguh keutamaan di tengah kesengsaraan dan penderitaan. Ia menguatkan Boethius untuk tetap kokoh melakukan kebaikan dan hidup berkeutamaan.
Keutamaan itu terkandung di dalam swasembada dan kemandirian, tidak tergantung hal di luar diri. Ini akan memberikan perlindungan dari perputaran roda nasib Dewi Keberuntungan. Ini akan memberikan dasar kokoh bagi kebahagiaan dan kedamaian sejati dapat dibangun.
Tidak ada yang lebih berharga dari diri pribadi Boethius sendiri, yang tidak akan dapat dirampas oleh keberuntungan duniawi tersebut. Keswasembadaan adalah bagian dari kebahagiaan dan kebahagiaan sejati itu Allah sendiri. Karena Allah itu adalah kebaikan tertinggi, maka Ia mengatur hidup Boethius dengan kebaikan tersebut. Sehingga tidak ada yang harus disesali dan ditakuti lagi.
Segala sesuatu itu memiliki kecenderungan alami kepada kebaikan, sehingga semuanya akan seirama dan selaras dengan Allah. Apa saja yang berusaha berjalan melawan Allah akan kalah, karena Allah Maha Kuasa dan tidak ada sesuatu pun yang dapat bertindak bertentangan dengan-Nya.
Keswasembadaan adalah kekuatan dari orang yang memiliki kelemahan, yang olehnya ia mendapatkan kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Karena dunia luar manusia ini hanya menjanjikan akan memberikan bayang-bayang kebaikan saja.
Benda dan barang duniawi, yang dianggap sangat bernilai oleh masyarakat, hanyalah bayang-bayang jika dibandingkan dengan kebaikan yang asli, yang kekal dan abadi itu.
Meskipun bermanfaat, kekayaan itu tidak memberikan kebahagiaan, namun justru akan menghasilkan keserakahan, iri hati dan kerusakan moral. Kekayaan tidak dapat meningkatkan karakter dan keutamaan seseorang. Demikian hal juga dengan kekuasaan dan ketenaran. Kekuasan akan menghancurkan karakter orang dan ketenaran akan segera menguap hilang.
Lady Philosophy secara cermat mengupas ilusi, bayangan palsu terkait kegembiraan duniawi, sambil menguak kedamaian abadi yang datang dari keselarasan hidup seseorang dengan keutamaan dan kesadaran ilahi.
Boethius lalu belajar untuk melampaui penderitaannya, supaya sampai pada kedamaian batin. Melalui penyelarasan pikirannya dengan kesadaran ilahi. Ia mendapatkan penghiburan di tengah kesengsaraan tersebut.
Pada akhirnya Boethius pun mengakui Allah sebagai sumber kebahagiaan sejati dan menyadari bahwa kemalangan duniawi ini telah kehilangan sengat racunnya. Malahan telah berubah dan menyajikan peluang bagi pertumbuhan, kematangan dan kedewasaannya untuk masuk dalam keselarasan dengan Allah.
Boethius sungguh dapat menyadari, merasakan dan mengalami berlimpahnya kebaikan Allah dalam waktu paling gelap, penderitaan dan kesengsaraannya itu. Maka tiba saatnya bagi Boethius untuk pergi.
Di suatu malam yang gelap,
Cinta membara oleh kegelisahan
Oh, sangat membahagiakan
Aku pergi tanpa diperhatikan,
Rumahku kini menjadi tenang
Dalam kegelapan dan keamanan,
Oleh tangga rahasia, tersamar
Oh, sangat membahagiakan
Dalam kegelapan dan tersembunyi,
Rumahku kini menjadi tenang …
Aku tetap tersesat dalam kelupaan,
Kepalaku bersandar pada kekasihku
Kehilangan segala hal juga diriku sendiri,
Di tengah bunga-bunga lili,
Kekhawatiranku terbuang jauh
(St. John of the Cross, The Dark Night of the Soul)
——
Kepustakaan
Boethius. The Consolation of Philosophy. Oxford University Press, Oxford and New York, 2000.
Bujdoss, Justin von. Modern Tantric Buddhism Embodiment and Authenticity in Dharma Practice. North Atlantic Books, Berkeley, 2019.
Gibson, M. (ed.). Boethius. His Life, Thought and Influence. Blackwell, Oxford, 1981.
Marenbon, John. Boethius. Oxford University Press, New York, 2002.
Marenbon, John. Boethius, Great Medieval Thinkers. Oxford University Press, Oxford, 2003.
Marenbon, John. The Cambridge Companion to Boethius. Cambridge University Press, Cambridge, 2009.
Relihan, J. C. Boethius, ‘Consolation of Philosophy’. Hackett, Indianapolis, 2001.
St. John of the Cross. The Dark Night of the Soul. Thomas Baker, London, 1908.
Thrangu, Khenchen. Tilopa’s Wisdom His Life and Teachings on the Ganges Mahamudra. Shambhala, Boulder, 2019.
White, David Gordon. The Yoga Sutra of Patanjali. Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2014.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.