Seni dan Negara (Modernisme di Halaman Belakang) (Bagian 2)
Oleh Afrizal Malna
Batas-batas sejarah sebagai fiksi politik
Batas-batas sejarah merupakan sebuah titik yang kita buat untuk membangun tubuh sejarah yang berbeda pada babakan-babakannya. Kita tidak pernah melihat batas ini sebagai sebuah fiksi. Kadang ia menjadi batas ideologis yang membeku, tempat bersemayamnya hantu-hantu. Batas-batas itu selalu menarik ketika terjadi penafsiran baru, munculnya perspektif baru, atau ditemukannya data-data baru, dan membuat batas itu bergerak. Terjadi dekonstruksi dan rekonstruksi. Atau menjadi sebuah titik yang telah hilang, dan kita tidak tahu, titik itu telah hilang.
Munculnya sekolah AMS Solo pada tahun 1926 (mungkin sebagai realisasi pemerintah Kolonial Belanda atas Politik Etis, 1901), merupakan model pendidikan yang mencoba mencari konteks baru untuk pendidikan di Hindia Belanda. Yaitu model pendidikan multikultural (lihat Heri Priyatmoko: Algemene Middelbare School Solo 1925-1932: Potrait of the First Multicultural Education in Indonesia, Universitas Sanata Dharma). Membuat dialog baru Timur dan Barat, dan pada gilirannya membentuk pemahaman nasionalisme melalui bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia. Generasi dari sekolah inilah yang dibentuk oleh Willem Frederik Stutterheim, dan kemudian meramaikan sastra modern Indonesia melalui Balai Pustaka dan kemudian Poedjangga Baroe. Generasi yang melahirkan Sumpah Pemuda dan Polemik Kebudayaan. Walau kita tidak pernah mencatat Willem Frederik Stutterheim sebagai pembentuk sastra modern Indonesia.
Di luar itu, Indonesia sebagai “Anak Semua Bangsa” (Pramoedya Ananta Toer), ada generasi yang kurang dihitung, bahkan dilupakan. Yaitu generasi dari peranakan Tionghoa, peranakan Belanda atau Eropa, dan generasi yang bahkan dianggap penghianat, seperti Noto Soeroto yang menolak bahasa Indonesia. Kalau Hendro Wiyanto melihat sejarah tidak tunggal, maka respon Noto Soeroto yang melakukan penilaian terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang tidak sepadan dibandingkan dengan bahasa Belanda maupun bahasa Jawa, adalah sebuah perspektif lain untuk menerima keberagaman Indonesia.
Namun dari sekolah AMS Solo juga lahir Sanusi Pane yang mengangkat paradigma lain dan memandang Indonesia sebagai evaluasi Timur atas Barat. Bentuk dari evaluasi ini tampak muncul pada pernyataan Max Dauthendey yang menggali kembali dongeng-dongeng Sunda maupun Jawa, lukisan Walter Spies yang mendalami ruang kosmologi Timur, atau karya-karya arsitektur Henri MacLaine Pont, seorang peranakan Belanda yang lahir di Jatinegara. Arsitektur yang kemudian berkembang pada karya-karya Mangun Wijaya maupun Eko Pranoto, dan menggali kembali material alam seperti bambu.
Masuknya Jepang membuat batas baru melalui propaganda “membebaskan Asia dari penjajahan Barat”. Sebagian tokoh-tokoh penting yang membentuk modernisme awal di masa Hindia Belanda, masuk tahanan Jepang dan sebagian mati dalam penjara. Nama-nama mereka juga hilang dalam sejarah modernisme Indonesia. Antariksa melakukan riset yang luas, bagaimana dalam 3 1/2 tahun pendudukan Jepang melahirkan tokoh-tokoh kuat di berbagai bidang seni, organisasi maupun militer, orientasi pada kerja dan kesetaraan gender (“Teater Arsip”, Dewan Kesenian Jakarta 2018). Jepang ikut membawa Perang Dunia II dan kemudian Indonesia merdeka (yang juga dipersiapkan Jepang melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia – Dokuritsu Junbi Cosakai, 29 April 1945). Hampir seluruh kubu-kubu politik kebudayaan (nasionalisme, agama maupun komunisme) tergabung dalam lembaga kebudayaan yang dibentuk
Jepang (Keimin Bunka Shidoso), kecuali Tan Malaka dan kubu Sutan Sjahril. Sebagian sastrawan terkemuka kita pernah tergabung dalam Heiho, lembaga pendidikan militer yang dibentuk Jepang. Ceramah S. Sudjojoyo tentang kehidupan seni rupa pada Era Pendudukan Jepang, di Taman Ismail Marzuki, 1974, hampir satu-satunya pengakuan tentang peran Jepang dalam pembentukan seni modern di Indonesia dari tokoh yang terlibat langsung pada lembaga Keimin Bunka Shidoso. Era yang dalam buku HB. Jassin digeser menjadi “Gema Tanah Air”. Era yang kemudian dikukuhkan sebagai generasi “Angkatan 45”.
Pada dekade 50-an, generasi Angkatan 45 ini melahirkan titik-pandang baru dalam melihat politik Kebudayaan. Yang pertama dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berdiri pada 17 Agustus 1950. Dan kedua dinyatakannya “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang dimuat di majalah Siasat, edisi 22 Oktober 1950. Yang satu sebagai organisasi dan satunya lagi sebagai manifesto. Kehadiran keduanya sangat mengejutkan pada masanya. Lekra berangkat dari premis bahwa Revolusi Indonesia telah gagal. Politik diplomasi yang dijalankan pemerintahan Sukarno membuat Indonesia jatuh dalam neokolonialisme. Dalam mukadimah Lekra, tertulis: “Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-pekerti dan jiwa Rakyat Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa kebudayaan-feodal dan imperialis telah membikin Rakyat Indonesia bodoh, menanamkan jiwa pengecut dan penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak. ….bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan.” Pada sisi lain, dalam pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang, salah satu di antaranya menyatakan “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”.
Kedua pandangan itu bereaksi secara berbeda atas politik diplomasi yang dijalankan Orde Lama yang anti kebudayaan Barat. Namun pada masanya tidak terjadi polemik antara keduanya. Kenapa? Padahal dua korpus inilah awal yang membuat terjadinya konstruksi pembelahan politik kebudayaan di Indonesia antara “Realisme Sosialis” dan “Universalisme”, walau generalisasi atas penggunaan istilah-istilah ini terhadap masing-masing kubu belum pernah mendapatkan bangunan penjelasan yang memadai. Dan menjadi hantu sejarah dalam hutan rimba sejarah Indonesia bersama dengan semak-belukarnya.
Alexander Supartono yang melakukan penelitian dalam bukunya “Lekra vs Manikebu, Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965” (Jakarta, 2000), tidak melihat adanya perseteruan di antara korpus ini. Melalui Joebaar Ajoeb, Sekretaris Lekra, Supartono menangkap kesan bahwa Chairil Anwar, sebagai representasi utama dari Angkatan 45, tetap dipandang sebagai tokoh revolusioner. Dalam sebuah wawancara yang pernah saya lakukan bersama Srikaton (sebagai sutradara) dengan Pramoedya Ananta Toer untuk video sastrawan Indonesia produksi Yayasan Lontar, Pram juga sangat menghormati wawasan Asrul Sani yang dianggapnya luas; sama seperti ia menghormati Idrus sebagai “raksasa prosa” pada masanya. Memunculkan kesan adanya ikatan intelektual yang khas pada generasi Angkatan 45.
Polemik baru terjadi setelah dinyatakannya “Manifes Kebudayaan”, 17 Agustus 1963. Kenapa baru terjadi polemik hebat? Padahal manifes ini lebih memunculkan pandangan moral dalam melihat kebudayaan (“kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia”). Melalui buku Keith Foulcher (Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesia “Institute of People’s Culture 1950-1965”), 1986, Supartono menarik garis logis bahwa adanya unsur Angkatan Darat yang mendukung Manifes Kebudayaan, merupakan faktor berlangsungnya perseteruan ini. Wiratmo Soekito yang merupakan tokoh utama dalam Manifes Kebudayaan, memang juga bekerja di Badan Inteljen dan penyiar radio RRI untuk seni dan sastra. Namun Supartono tidak sempat melihat bahwa Manifes Kebudayaan juga bisa dipandang sebagai munculnya generasi baru setelah Angkatan 45 (seperti Goenawan Mohamad maupun Taufik Ismail); Wiratmo Soekito (1929-2001) sendiri bukan Angkatan 45.
Lukisan S. Sudjojono (“Maka Lahirlah Angkatan ‘66”), sebagai salah satu tokoh penting Angkatan 45 yang menjadi bagian penting dalam tulisan Aminudin TH. Siregar, merupakan sebuah cara pandang yang berusaha keluar dari batas-batas sejarah yang dibentuk penguasa. Sejarah dilihat hanya sebagai data, lalu mendapatkan ruang baru sebagai sebuah desain makna untuk membaca wajah-wajah politik yang oleh kekuasaan ditempatkan sebagai kubu konflik. Lukisan yang membuat kita bertanya: “kenapa kita jadi begitu?”
Wajah kekuasaan seperti itu kembali kita lihat sebagai budaya politik yang pola-polanya berkelanjutan dalam mengkriminalkan seni maupun rakyat. Dan baru saja terjadi pada tindakan vandalisme negara atas mural di beberapa kota. Para seniman perupa mural tiba-tiba menjadi buruan pihak keamanan.
Berakhirnya Perang Dingin menjelang dekade akhir 90, dan kemudian melahirkan pembacaan-pembacaan baru atas sejarah, tidak terjadi di Indonesia. Batas itu mentok pada Tragedi 1965 yang dikonstruksi sebagai tabu politik yang dijaga dan dibekukan. Dan menjadi sangat berbahaya dalam melihat sejarah kita ke depan.
Budaya politik yang kita pelihara itu, akarnya mungkin tertanam lebih dalam sebagai wajah kita bersama. Akar dari kenyataan bahwa modernisasi yang kita jalani berlangsung dalam lingkungan kolonial, berada jauh dari pusatnya di Eropa. Yaitu modernisasi yang berlangsung di halaman belakang. Sebuah halaman yang oleh Lekra disebut sebagai “menyebarkan watak lemah dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak”. Watak yang bahkan tidak mampu membaca muculnya gelombang gerakan Dada di Eropa, walau cover majalah Poedjangga Baru mulai menggunakan gaya grafis Avant Garde dengan dua sosok lelaki berotot yang duduk dan bergerak.
Semua yang kita anggap jelek, entah itu eksotisme, Mooi Indië, kita tempatkan di halaman belakang. Padahal itu adalah wajah kita sendiri.***
*Afrizal Malna. Penyair dan Pengamat Seni.