Gerhana, Korona, dan Masa Depan
Oleh Siti Adiyati
Menyenangkan membaca kisah suara burung atau saur manuk di media ditengah kondisi pandemi yang tanpa henti ini. Seakan ada kehidupan debat ditengah area PASTI (Pasar Satwa dan Tanaman Hias) yang tersohor menjadi tempat hiburan warga tanpa kelas di kota seniman Yogya. Debat yang akan terus bergulir saling sambut dan saling silang dalam forum yang dibungkus dengan nama BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) ini siapa tahu akan membuahkan pikiran segar dan suasana yang membahagiakan bagi banyak orang. Semoga dari sekian tulisan nantinya akan muncul penulis yang non seniman namun memahami seni dan masyarakatnya dengan baik, sehingga akan ada sirkulasi udara atau atmophere seni yang memberi oksigen agar paru paru kesenian kita lebih sehat tanpa alat bantu.
Dibilang usia seni rupa kita belum panjang, mungkin saja, sehingga perdebatan seperti melingkar lingkar disitu situ saja, bagai berkeliling di arena sabung ayam. Ayamnya juga masih jenis yang sama, pemiliknya sedikit bertambah lantaran pemain baru mencoba ikut mengadu untung. Yang paling ramai dan sangat bervariasi tentu saja penontonnya bahkan juga termasuk tukang dolobnya (pemancing). Menurut kabar tukang dolob ini membuahkan hasil masuk dalam kategori profesional. Jadi marilah kita tilik lebih dekat, sambil mengenang usia seni rupa kita yang belumlah terlalu panjang jika kita menghitung mundur sampai zamannya Raden Saleh orang Terbaya, Semarang itu.
Warisan budaya
Seni gambar yang gegap gempita itu sesungguhnya menjadi ramai karena terhubung dengan politik dan nasionalisme kemerdekaan. Sebelumnya telah ramai dengan bersikutan karena ingin memuaskan selera estetik penguasa dizaman kolonial dengan gaya Hindia moleknya. Dan ditentang sebagai gerakan anti selera kolonial dan mengutamakan ekspresi diri sebagai jiwa ketok. Jarak dari Raden Saleh (1811-1880) ke Persagi/ Persatuan Ahli Gambar Indonesia (1938) yang dimotori Agus Djaya, Sujoyono dkk itupun sudah setengah abad sendiri. Kemudian sampai kemerdekaan selama kurun tujuh tahun yang embrionya sdh diawali oleh gerakan politik Sumpah Pemuda 1928. Puncaknya dimeriahkan oleh penolakan pada estetika kolonialis ala Kunstkring , berikutnya masih dibawah kekuasaan kolonial yang lain yakni memasuki kurungan Sindenbu atau Barisan Propaganda Jepang dengan Keimin Bunka Shidoso nya. Lalu keramaian selanjutnya dimeriahkan oleh zaman jargon perjuangan “Revolusi belum selesai” yang artinya show of forse nya partai partai politik yang waktu itu diringkas dalam Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) Lompatan lompatan yang ditangkap sebagai historiografi ini tentu saja seringkali mengalami distorsi., akibatnya banyak hal mengalami penghapusan ingatan bahkan mengidap penyakit lupa. Perjalanan estetik itu juga seringkali di sejajarkan dengan politik , dan sekali lagi dalam ungkapan “politik sebagai panglima” semakin mengeraskan pertentangan itu sebagai menyimpan api dalam sekam.
Ditengah kesulitan membangun negara merdeka dan berdikari, Sukarno sang pecinta seni dan dekat dengan para seniman “mengangkat” beberapa pelukis bekerja di istana. Menurut cerita Lim Wasim salah satu pelukis istana, bayarannya kadangkala kemeja atau pulpen saja tetapi mereka tetap bangga menjadi pelukis istana dan sering bertemu dan bercengkerama dengan sang presiden. Selera seninya memang tergolong unik, tokoh wayang, mitologi bahkan kehidupan sehari hari direkamnya dalam gaya lukisan yang beraneka warna dengan sense ketimuran dan kerakyatan. Tampaknya dalam seni Bung Karno sedang mencari apa itu jiwa rakyatnya. Sang bapak revolusi inilah dianggap sebagai “maecenas” pertama yang memberikan perhatian pada seni dan meninggalkan warisannya kepada bangsa ini.
Era Orde Baru selama hampir empat puluh tahun menjadi kiprah banyak seniman dan berbagai macam jenis serta gerakan seni termasuk juga institusi pendidikan seni. Di era ini juga melahirkan “maecenas” lain namanya Adam Malik yang dikenal sebagai Bung Kecil. Mantan menlu dengan segudang pengalaman dari jurnalis, diplomat hingga politikus dan akhirnya menjadi Wapres, juga menaungi banyak seniman. Koleksinya tidak hanya karya seniman Indonesia akan tetapi juga ikon Rusia yang sangat menarik. Semua koleksinya didapatkannya ketika tugas diplomatiknya memungkinkan menjelajahi seantero belahan bumi ini. Namun patut disayangkan ketika sang Bung Kecil ini tiada sebagian besar koleksinya juga dengan setia mengikutinya ke nirwana.
Pengalaman dan perjalanan yang semakin ramai dengan bentuk ekspresi, gaya dan pasar yang tadinya banyak sedikitnya dipengaruhi oleh institusi negara atau orang berpengaruh. Zaman yang menumbuhkan kelompok OKB (orang kaya baru) yang berorientasi pada gaya hidup orang kaya entah merujuk pada bentuk aristokrasi atau modern memperluas cakrawala seni. Frekwensi kegiatan juga semakin meluas, berlaku juga sistem koncoisme maupun koneksi yang disebut sebagai relasi. Seni rupa pada awalnya boleh berekspresi bebas bahkan mendapat porsi sebagai “dokumentator” dibawah Pertamina sebagai “maecenas” baru.
Hibah pelukis Perancis tahun 1959
Masih dalam semangat melahirkan republik yang merdeka, berbudaya dan bermartabat , perjuangan para budayawanpun tidak hanya berhenti dalam politik dan militer meraih kemerdekaan melainkan juga membangun silaturahmi dengan para seniman di dunia. Alkisah budayawan sekaligus diplomat Ilen Surianegara yang kala itu menjabat sebagai Atase Kebudayaan dan Pers KBRI Perancis ( 1954-1959). Pak Ilen yang adalah juga mertua Eros Jarot dan Slamet Raharjo ini berkawan dengan pemikir dan filsuf Jean Paul Sartre dan kemudian dengan Andre Malraux. Peranan Ilen yang piawai dalam soft power diplomacy juga berkawan dengan sekelompok akademisi dan intelektual ahli Indonesia seperti Denys Lombard, Pierre Labrousse, Christian Pelras sehingga melahirkan majalah terkenal Archipel (1970 an). Dari perkenalan tersebut membawa Ilen kepada sahabat Andre Malraux, Etienette Bineschou yang dekat dengan para seniman muda Perancis saat itu. Berbekal semangat diplomasi dari sebuah negara yang baru merdeka dan modal nama besar Sukarno yang dikagumi pemuda Perancis itu, Ilen mengatakan ingin mendirikan Museum of Modern Art di Jakarta sebagai ibu kota negara. Tanpa pikir panjang mereka menerima gagasan itu dan para seniman menyumbangkan karyanya dengan membawanya ke KBRI. Ilen mengenang peristiwa itu selalu dengan mata berkaca kaca. Masih jelas teringat karya yang terdiri dari jenis lithografi, cat diatas kanvas maupun cat air dibawa sendiri oleh 104 seniman diantarqnya Robert dan Sonia Delaunay, Hans Hartung, Kandinsky, Vasarely, Zao Wou Ki, Soulages, Charles Lapicque Cueco dll. Ketika itu dikirim lewat kapal laut dan kala itu dipamerkan di Gedung yang dihadiri dan dibuka oleh Presiden Sukarno dan dijanjikan akan di bangun Museum of Modern Art yang membanggakan. Madame Bineschou mewakili para penghibah seniman Perancis merasa terhormat bisa ikut membantu merealisasikan cita cita besar itu. Tapi sampai sekarangpun Museum of Modern Art yang pernah di”janji”kan itu tidak pernah lahir. Tempat dimana kita bisa belajar seni rupa modern Eropa dan berdampingan dengan seni rupa Indonesia sejamannya. Betapa bahagianya jika kita bisa melihatnya sendiri karya maestro ini bersama maestro kita ditempat kita sendiri tanpa harus pergi keluar negri. Bahkan menurut Claire Stoullig kurator Museum of Modern Art Georges Pompidou, Paris ini adalah koleksi paling besar yang ditemukan diluar Perancis, mewakili seni modern Perancis yang menjadi pertukaran budaya global dan metropolis.
Maecenas atau spekulan
Walau enam puluh tahun berlalu, museum seni modern yang dimaksudkan tidak kunjung tiba. Sementara di masa geger auction, sebuah lelang bergengsi di Singapore ,pernah menyodorkan file kepada saya untuk konfirmasi apakah ini benar koleksi milik negara. Berita yang memalukan itu sempat menohok ulu hati para pencinta seni kita, siapa peduli. Walau pada akhirnya dianggap tidak lolos fit and proper test, untungnya ada uji kelayakannya. Demikian juga banyak kebobolan ketika karya karya terbaik pelukis kita hijrah keluar negeri menempati dinding dan ruang ruang museum bergengsi.
Sesungguhnya sudah sejak lama virus yang menggerogoti ketika gerhana sedang terjadi bukanlah hal baru. Ketika “warisan” budaya tidak diperlakukan dan dibuka untuk umum maka mudah sekali karya anak bangsa yang sekian lama dianggap sebagai “secret canopy” itupun mendapat hembusan sang virus sekaligus cahayanya tertutup oleh debu dan waktu ibarat tertutup terus menerus oleh gerhana. Jika semua warga merasa memiliki dan terbuka untuk bisa mempelajari maupun mengaguminya itu satu hal yang bisa dianggap pencinta seni sebagai sabuk pengaman maupun pelestari, akan tumbuh rasa cinta dan memiliki. Sang maecenas sudah sekian lama tidur panjang, sedangkan para pengejar seni dan para pemuda yang suka “gambling” atau berspekulasi layaknya didepan mesin jackpot mulailah melirik barang seni sebagai investasi maupun kesenangan yang membawa keberuntungan. Golongan ini belajar sangat cepat, gesit lewat tutorial atau buku dan pengalaman.
Era milinial perubahan tidak hanya terjadi secara lokal tetapi juga secara menyeluruh terhubung dengan perubahan diseluruh dunia. Seni rupa sebagai salah satu “produk”budaya dunia menjadi saling terhubung oleh tatanan dunia yang baru, internasional, global dan marketable. Maka disinilah kemudian gerhana itu mulai memperlihatkan sosoknya, dalam mitologi Jawa sosok Betara Kala itu mulai menelan bola apinya. Maka cerita rakyat mengisahkan teriakan suara dari kenthongan, lesung dan suara berisik membangunkan sang Kala agar memuntahkan bola apinya kembali. Demikian juga ketika para budayawan dan pemerhati seni rupa ini peduli dan prihatin dengan keadaan yang terkurung itu,maka berteriak secara literer adalah upaya membangunkan dari mimpi yang menyesakan.
Awan berarak jalan bersimpang
Dikawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah gudangnya para seniman seni rupa tanpa batasan usia dan gender. Modal seni anak bangsa yang begitu besar ini dalam dua puluh tahun terakhir ini tengah mengalami pertumbuhan yang pesat meski tidak bisa dibilang sebagai kemajuan. Tumbuhnya teknologi digital sangat memungkinkan teknik menjadi acuan tingkat “kemajuan” yang dianggap inovatip dan menyajikan hal baru. Seniman Indonesia yang dianggap responsip terhadap perkembangan dan peka pada lingkungannya menjadi sangat terbuka, banyak pengalaman internasional serta masuk dalam percaturan dan market diseluruh sudut dunia. Market bukanlah satu satunya narasi dan tolok ukur “kesuksesan” seni dan seniman. Bahkan seringkali antara market dan nilai seni tidak terhubung , seperti antara selera dan nilai kultural bukanlah hal yang sama.
Keadaan seni rupa kita sekarang yang rancu dalam nilai meski didukung oleh banyaknya kegiatan dan kesempatan dengan sendirinya berharap jangan turun standart dan mengalami situasi rabun. Yang menggembirakan adalah meski mengalami badai korona yang berkepanjangan akan tetapi tidak menyurutkan kegiatan dan mentalitas seniman meski secara ekonomi menuju ketitik rendah. Anehnya lukisan Haryadi S orang Yogya itu “Awan berarak jalan bersimpang” berangka tahun 1955 seperti mengingatkan kita, bahwa awan kegelapan di angkasa yang tampak warna warni itu menghentikan sekelompok manusia yang kebingungan jalan mana yang mau ditempuh. Berbahagialah jika kita secara bersama mampu berpikir dengan cara lain mencari jalan sekaligus mengurai jalan yang sudah kita lewati dengan lebih kritis dan teliti tanpa harus menyurutkan langkah maupun masuk ke kotak pandora. Sehingga gerhana , virus korona tak berkepanjangan menjadi hambatan untuk merajut masa depan olah seni di tanah air kita.
*Penulis adalah pencinta seni dan pelukis