Martin Aleida dan Mama-Mama Malind Anim Terima Penghargaan Akademi Jakarta 2025
Jakarta — Senin, 13 Oktober 2025 menjadi momen istimewa di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, ketika Akademi Jakarta menganugerahkan penghargaan tahunannya kepada dua penerima: Martin Aleida, sastrawan senior Indonesia, dan Komunitas Mama-Mama Masyarakat Adat Malind Anim dari Papua. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap kontribusi besar keduanya dalam menjaga dan memperkuat kebudayaan Indonesia.

Argumentasi Penghargaan disampaikan oleh Karlina Supelli

Sambutan Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma
Acara berlangsung sederhana namun khidmat. Sejumlah tokoh sastra, budayawan, seniman, akademisi, serta perwakilan komunitas adat hadir dalam kesempatan tersebut. Ketua Akademi Jakarta dalam sambutannya menegaskan bahwa penghargaan tahun ini diberikan kepada dua penerima yang mewakili dua sisi penting kebudayaan nasional: suara sejarah yang pernah dibungkam dan pengetahuan lokal yang terancam hilang.
Penghargaan untuk Martin Aleida
Penerima penganugerahan kategori individu tahun ini diberikan kepada Martin Aleida, sastrawan senior yang dikenal luas melalui karya-karya yang menyoroti peristiwa politik 1965 dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Martin dianggap memiliki peran penting dalam menjaga ingatan kolektif bangsa melalui sastra.
Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 31 Desember 1943. Ia aktif menulis sejak masa muda dan mengalami langsung masa represi politik pasca-1965. Martin sempat ditahan tanpa proses hukum dan mengalami pembungkaman di ruang publik. Pengalaman tersebut menjadi sumber inspirasi bagi karya-karyanya yang banyak mengangkat tema ketidakadilan, kemanusiaan, dan sejarah.
Dalam pidato penerimaan penghargaan, Martin menegaskan pentingnya peran sastra dalam menghadirkan kembali suara-suara yang hilang dari sejarah resmi. “Sastra bagi saya bukan sekadar retorika, tetapi cara menghidupkan suara-suara yang ingin dibungkam,” ujarnya.
Akademi Jakarta menilai keberanian dan konsistensi Martin menulis tentang masa-masa gelap sejarah Indonesia merupakan bentuk kontribusi signifikan terhadap perkembangan sastra dan kebudayaan nasional. Melalui karya seperti Mata Luka Seorang Lelaki dan Romantika Kiri, Martin mengajak publik untuk tidak melupakan masa lalu dan menempatkan pengalaman sejarah masyarakat sebagai bagian penting dari narasi kebangsaan.
Martin saat ini dikenal tidak hanya sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai salah satu suara publik yang terus mendorong pembicaraan terbuka mengenai peristiwa 1965. Pemberian penghargaan ini dianggap relevan dalam konteks upaya menjaga ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Pengakuan untuk Mama-Mama Malind Anim
Selain Martin Aleida, penghargaan tahun ini juga diberikan kepada Komunitas Mama-Mama Masyarakat Adat Malind Anim. Kelompok perempuan adat ini dinilai memiliki peran penting dalam menjaga tradisi pengelolaan lahan sagu dan pengetahuan lokal masyarakat Malind Anim di Papua Selatan.
Dalam struktur sosial masyarakat Malind Anim, perempuan memegang peranan utama dalam proses bertani sagu, mulai dari pengelolaan lahan, ritual adat, hingga distribusi pangan. Praktik ini telah diwariskan turun-temurun dan menjadi fondasi keberlanjutan hidup komunitas tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, lahan adat masyarakat Malind Anim mengalami tekanan akibat ekspansi industri skala besar, terutama Proyek Strategis Nasional food estate di Merauke, Papua Selatan.
Melalui penghargaan ini, Akademi Jakarta ingin menegaskan bahwa pelestarian kebudayaan tidak hanya mencakup karya sastra atau seni urban, tetapi juga pengetahuan ekologis lokal yang dijaga oleh komunitas adat.
Perwakilan Mama-Mama Malind Anim yang hadir secara daring dalam acara tersebut menyampaikan apresiasi atas penghargaan ini. Mereka menilai pengakuan publik semacam ini dapat memperkuat posisi komunitas adat dalam memperjuangkan hak atas tanah dan kelestarian tradisi mereka.
Kebudayaan sebagai Penopang Identitas Nasional
Penganugerahan Akademi Jakarta merupakan agenda tahunan yang telah berlangsung sejak 1975. Setiap tahun, Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada individu dan kelompok (sejak 2021) yang dinilai berjasa besar dalam bidang kesusastraan, kesenian, ilmu pengetahuan, atau pelestarian kebudayaan. Nama-nama yang pernah menerima penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Jakob Sumardjo, serta Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno.
Ketua Akademi Jakarta, Seno Gumira Ajidarma dalam sambutannya menyatakan bahwa penghargaan kepada Martin Aleida dan Mama-Mama Malind Anim sesungguhnya merupakan sebuah penanda tentang siapa yang harus dibela; penanda akan siapa yang harus dipedulikan; diperjuangkan, diberikan perhatian sepenuhnya, dan yang semestinya dimenangkan.
Dalam akhir pidatonya, Seno Gumira Ajidarma menutup: “Apakah kita semua sungguh-sungguh masih Sebangsa dan Setanah air adanya?”
Pemberian penghargaan ini juga menegaskan posisi kebudayaan sebagai penopang identitas nasional. Dalam situasi ketika kebebasan berekspresi menghadapi tekanan dan pengetahuan lokal terancam oleh kepentingan ekonomi, keberadaan tokoh dan komunitas seperti Martin Aleida dan Mama-Mama Malind Anim menjadi semakin penting.
Acara penganugerahan ditutup dengan penyerahan piagam penghargaan kepada kedua penerima. Martin Aleida menutup pidatonya dengan seruan agar masyarakat tidak melupakan sejarah. Sementara perwakilan Mama-Mama Malind Anim menyampaikan komitmen mereka untuk terus menjaga tanah dan tradisi.
Penghargaan Akademi Jakarta 2025 menunjukkan bahwa kebudayaan Indonesia memiliki banyak wajah. Ia hadir dalam bentuk tulisan yang membuka kembali ingatan kolektif, dan juga dalam bentuk praktik kehidupan sehari-hari yang menjaga kesinambungan pengetahuan leluhur. Keduanya menjadi bagian tak terpisahkan dari suatu perjalanan bangsa.