Puisi-puisi Imam Budiman
Al-Asma’i, 739—831
Ia rutin menyalakan bahasa-bahasa baru sebagai lampion
di malam hari kepada dua anak khalifah—yang kelak saling
membantah lalu bersilang darah selepas kematian ayahnya
disadarinya bahwa peristiwa kelam itu tak akan lama lagi.
Sebab ia mengasihi peternakan dan ladang serupa pulang
ke masa kecilnya—kemudian mulai belajar merumuskan:
Derap langkah kuda, punuk unta yang menyimpan mata air
embik anak kambing keseribu, serta mereka yang liar tiada
bersarang, menggiringnya ke dalam kertas-kertas menjelma
pengetahuan—bagaimana meringkas anatomi menjadi puisi.
Dan suara kicau bul-bul yang mengakali muslihat lidah
dibacakannya hingga melantak segala muslihat khalifah.
2025
Al-Mutanabbi, 915—965
Ia tanggalkan kitab suci manusia qarmati
pada ziarah keseribu barangkali ia sudah
menjadi abu—menyublimasi inti ajaran
penyembah api dan ilah yang satu.
Meski didih darah muda itu membakar
pemberontakan di tanah suriah, dingin
penjara sudah cukup menjadikannya
satu di antara jemaat yang letih.
Akulah sang nabi, serunya.
nabi yang kalah dalam sejarah.
Lalu ia mengenakan jubah kembaranya
bertolak ke lembah terjauh dari kufah
menjilati singgasana serta kandang
kuda pilihan milik saif daulah.
Sebab aku mencintai emas dan perak
demi suaka di tanah lain, dalihnya.
Ia masih dan akan menempuh waktu
sebelum jasad dan ruh berpisah
di baghdad yang murung.
2025
Al-Ma’arri, 973—1057
Ia tak pernah berniat menjadi zindiq—yang terbuang
terpinggirkan dalam literatur yang selalu mengerdilkan
namanya dalam sejarah. barangkali, luzumiyat sedikit
menyelamatkannya dari penderitaan disebut anti ilah.
Apakah seorang zahid yang menolak daging lain tumbuh
dalam tubuhnya akan masuk surga tanpa hidangan paha
kambing terbaik—hanya tumbuhan yang mencintainya.
Apakah dosa membunuh hewan dapat ditebus dengan
menulis puisi untuk mereka yang telah tersembelih.
Apakah untuk merawat sebuah peradaban seseorang mesti
memecahkan sebutir telur, memisahkan puting susu dari
anak domba, mencuri madu dengan merusak sarang lebah.
Ataukah ia harus mati dengan pertanyaan-pertanyaan.
2025
Abu Nawas, 747—814
Di balik dingin jeruji ia hitung tahun yang panjang—terlewat
dari berbagai perjamuan besar beserta puisi yang diolah dari
perasan anggur. ia sulit tidur dan nyaris lupa cara tertawa.
Tak ada lagi kepayang sebab arak dan ajal seakan meringsut
pelan pada dinding tahanan itu, setelah memastikan telah
dikunyahnya nama tuhan pada satu hidangan terakhir.
Jika mati barangkali handai taulan tak ingin memusarakannya
tetapi, sebuah munajat menjadi penyelamat dari keterasingan.
2025
Al-Bushiri, 1213—1294
Sebuah ziarah yang jauh dari hamparan pasir menuju pesisir
tiga puluh hari penuh duka, satu pintu rumah mengumumkan
penghuninya bersiap menurunkan sekoci terakhir menuju ilah.
Secarik kertas di pembaringan—kemurungan di kamar itu telah
berkali lipat dan ia merangkumnya setiap hari, menanti dijamah
mualif lumpuh yang menanti nyawa ringsut di batas tenggorokan.
Barangkali aku hanya sampai di sini
moksa kata sudah usai—tak ada lagi.
Dalam tidur yang asing, tidur yang berbeda dari malam lain
ia merasa sendi-sendinya berderak serupa pedati milik tajir
di pasar kampung masa kecilnya. sebuah cahaya—sosok itu
berupaya masuk ke tubuhnya: surban hijau, anak kekunang
beserta wangi kesturi, kemudian membuka berat kedua mata.
Tengkuk yang dingin, masih dirasakannya bekas tangan itu
ingin ia menyalakan suluh mimpi—sekali lagi, sekali lagi.
2025
Ad-Diba’i, 1461—1537
Telah diberkati tanah ini atas rombongan musafir
yang menjadi leluhurnya ketika bertemu kekasih
berabad lalu, masih hangat hikayat di masa kanak.
Zabid yang haus memintal hujan di tanah tandus
sebelum muhadis kecil sempat belajar menangis
ketika kabar kematian tiba, jauh di daratan india.
Bekal delapan dirham berpinak di tahun-tahun halakah
seratus ribu hadis yang terawat setiap pagi dan petang
menjadi kebun bunga yang tumbuh di alas keningnya.
Muhadis itu membuat peta baru dari fasal kesembilan
menjadi dua puluh lima setapak kecil menuju kekasih.
2025
*Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Biografi singkat tentang dirinya termaktub dalam buku: Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017); Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020); dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020).
Beberapa karyanya tersebar di berbagai media cetak nasional seperti: Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Nusa Bali, Majalah Sastra Kandaga, dll. Pemenang terbaik pertama dalam sayembara cerita pendek pada perhelatan Aruh Sastra 2015 dan Sabana Pustaka 2016.
Pada tahun 2017 mendapat Penghargaan Student Achievement Award, kategori buku sastra pilihan, dari Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta ia meraih beasiswa kuliah singkat Klinik Menulis Fiksi di Tempo Institute tahun 2018.
Buku kumpulan puisinya: Kampung Halaman (2016) serta Salik Dakaik; Mencari Anak dalam Kitab Suci (2023). Saat ini, mengabdikan diri sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia serta Ketua Tim Perpustakaan—Literasi Pesantren Madrasah Darus-Sunnah Jakarta.