Moelyono, Ludruk dan Perlawanan Terhadap Pabrik Gula Era Kolonial

Kesenian Moel adalah kesenian grassroot. Menyaksikan pentas ludruk Budhi Wijaya yang dibawa Moel dari Desa Ketapang Kuning, Jombang pada pamerannya: “Moelyono dan Seni Rupa Ludrukan Desa” di Bentara Budaya Jakarta, kita dapat merefleksikan seni rupa kita sesungguhnya bisa menjadi bagian seni pertunjukan rakyat yang kritis.

Judul pentas: Geger Pabrik Gula Gempol Kerep menyiratkan pernah ada ”peristiwa sosial” di pabrik gula yang lokasinya tak jauh dari Desa Ketapang Kuning itu. Bila kita menuju desa dari arah Trowulan, pabrik berada di sisi kanan jalan raya. Pabrik didirikan oleh pemerintah kolonial tahun 1849, dan dinasionalisasi tahun 1958. Tahun 1920 terjadi pemogokan besar buruh di situ. Pemogokan ini menyusul pemogokan pabrik-pabrik gula Yogyakarta yang dikoordinasi R.M Suryopranoto, kakak kandung Ki Hajar Dewantara. Buruh-buruh Gempol Kerep bagian dari aliansi sarikat kerja pimpinan Suryopranoto. Dalam diskusi ditekankan banyak naskah ludruk yang berkaitan dengan pemberontakan terhadap pabrik gula. Naskah-naskah populer seperti Sakerah, Sarip Tambak Yoso, Kasan Mukmin bercerita perlawanan terhadap modernisasi pabrik gula kolonial yang makin menindas. Ludruk bisa disebut satu-satunya kesenian rakyat yang merawat ingatan atas hal itu. 

Pembukaan pameran Moelyono oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Supriyadi didampingi tim kurator pameran (Efix Mulyadi & Frans Sartono), penulis pameran Seno Joko Suyono, Ilham Khoiri (Bentara Budaya Jakarta), Syakib Sungkar (Kolektor & Pelukis), Moelyono dan tim Ludruk Budhi Wijaya. (Foto: Bentara Budaya Jakarta – Kompas)

Lukisan Geger Pabrik Gula menunjukkan sensibilitas Moel. Lukisan menampilkan warga desa melawan aparat pabrik gula. Semua sosok di lukisan pemain ludruk Budhi Wijaya. Mereka berpose seolah bertempur. Moel memotretnya dan kemudian melukisnya. “Saya tetap mempertahankan humor ludruk. Di tengah ketegangan ada yang kocak merias diri“ kata Moel. 

Tari Remo sebagai pembuka pertunjukan Ludruk sebelum acara diskusi pameran. (Foto: Sijo)

Pertunjukan ‘Geger Pabrik Gula Gempol Kerep” oleh Ludruk Budhi Wijaya pada acara pembukaan pameran. (Foto: Bentara Budaya Jakarta – Kompas)

Lukisan-lukisan Moel lain penuh idiom lori, mandor tebu, transvesti. Pameran ini perkembangan estetis seni rupa penyadaran Moel. Moel bisa terus kerjasama dengan Budhi Wijaya membuat naskah-naskah baru. Masih banyak perlawanan lokal yang belum diangkat. BWCF baru saja mengadakan workshop di Lasem. Di sana kisah Perang kuning masih diingat keturunan Cina. Pada 1741-1742 para pendekar Cina yang selamat dari Massacre Batavia 1740 berkoalisi dengan Panji Margono, bangsawan Lasem dan tokoh-tokoh santri – melawan VOC. Namun sama sekali tak ada kesenian rakyat yang merekam hal itu. Kalau Moel terus bekerjasama- dengan ludruk Budhi Wijaya memunculkan tema-tema perlawan di Jawa tentu menarik.

Diskusi “Moelyono, Ludruk dan Perlawanan Rakyat Pedesaan”  dengan pembicara Didik Purwanto (Ketua Ludruk Budhi Wijaya), Seno Joko Suyono (Penulis – BWCF), Moelyono (Pelukis), Rifda Amalia dan moderator Frans Sartono. (Foto: Sijo)

Foto: Bentara Budaya Jakarta – Kompas

*Pameran Tunggal “Moelyono & Seni Rupa Ludrukan Desa” berlangsung pada tanggal 11 – 19 Juli, pukul 10.00 – 18.00 WIB di Bentara Budaya Jakarta.

BWCF 2025