Tanjung Tirto dan Kebiasaan Pemindahan Temuan Purbakala Pada Abad 19

Oleh Shinta Dwi Prasasti

Tanjung Tirto, sebuah nama yang selama ini identik dengan nama pabrik gula. Pabrik gula yang juga dikenal sebagai Pabrik Gula Kalasan.  Berdasarkan tulisan Lengkong Sanggar Ginaris dalam blognya, Bayangan Kejayaan Pabrik Gula Kalasan (https://jejakkolonial.blogspot.com/2016/05/bayangan-kejayaan-pabrik-gula-kalasan.html), pabrik ini didirikan pada tahun 1874. Di daerah tersebut juga dibangun sekolah kejuruan dan rumah sakit. Keduanya sama sama baru dibangun pada awal abad 20.

Nama ini juga kerap saya jumpai kala membaca laporan masa Hindia Belanda tentang penemuan sejumlah candi. Laporan tersebut banyak yang berasal dari awal dan pertengahan abad 19. Sebut saja tulisan dari  Jan Frederik Gerrit Brumund yang berjudul Indiana. Verzameling van stukken van onderscheiden aard, over Landen, Volken, Oudheden en Geschiedenis van den Indischen Archipel II yang terbit tahun 1854. 

J.F.G Brumund, adalah seorang pastor yang memiliki ketertarikan untuk melakukan perjalanan dan mendokumentasikan tentang sejarah orang Jawa, reruntuhan candi dan sejumlah hal lainnya. Perjalanan ini nampaknya dilakukan sesudah perang Jawa, sesudah tahun 1830. Prakiraan tahun tersebut dipilih, sebab Brumund sempat mengunjungi Kawasan Tegalrejo, tempat tinggal Pangeran Diponegoro. Tegalrejo sudah hancur dan terbakar habis saat dikunjungi Brumund, dampak dari Perang Jawa (1825-1830). Brumund sempat tinggal di Vorstelanden (Tanah para pangeran, sebutan untuk Yogyakarta dan Surakarta) selama 5 tahun. 

Brumund saat berkunjung ke Dataran Sorogedug menyebut bahwa dia beristirahat (mungkin juga tinggal sementara) di landhuis yang ada di Tanjung Tirto, di seberang sungai Opak. Pemilik dari rumah tersebut adalah Tuan Lichte. Nama ini juga masih sempat disebut oleh Jan Willem Ijzerman dalam bukunya Beschrijving der Oudheden nabij de grens der Residentie’s Soerakarta en Djogdjakarta (1891). Penyebabnya, Ijzerman memang merujuk pada tulisan Brumund sebagai salah satu sumbernya. 

Berdasarkan penelusuran data penulis, Tuan Lichte diidentikkan dengan G.P.J Lichte. Nama juga disebut ini muncul dalam daftar nama yang ada di Geschiedenis van den Oorlog Op Java, van 1825 tot 1830 oleh J. Hageman. Lichte disebut sebagai pemilik perkebunan swasta Tanjung Tirto, yang berada di Yogyakarta. 

Sumber lain yaitu Vincent J.H. Houben dalam bukunya Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 (2017) menyebut bahwa G.P.J. Lichte adalah penerjemah Bahasa Belanda. Penerjemah yang bertugas sementara di Karesidenan Yogyakarta pada tahun 1841-1847.

Sementara Laporan N.V Hoepermans, Hindoe = Oudheden van Java, (Tahun 1864?) menyampaikan fakta berbeda. Laporan Hoepermans ini memang tidak menyebutkan tahunnya, namun diduga berasal dari tahun 1860-an. Hoeperman menyebut bahwa Tanjung Tirto pada saat dikunjunginya sudah tidak lagi dimiliki oleh tuan Lichte, tetapi oleh tuan Riviere.

Berdasarkan catatan Brumund, Hoepermans, Ijzerman, dan Verbeek, Tanjung Tirto adalah sebuah landhuis (rumah pedesaan) yang berada di perkebunan. Halaman rumah atau bagian taman dari rumah tersebut juga yang menjadi penampungan sejumlah temuan, baik berupa arca, lingga, yoni dan sejumlah benda lainnya. Mereka berasal dari sejumlah reruntuhan candi yang ada di kawasan Prambanan, baik yang ada di Yogyakarta dan Surakarta.  Kemungkinan besar, landhuis ini berbeda lokasi dengan bangunan pabrik gula yang sudah runtuh, meski sama-sama berada di kawasan Tanjung Tirto. 

Catatan Verbeek, Oudheden van Java yang terbit pada 1891 menyebut bahwa dagoba yang ditemukan di Cupuwatu, Kalasan pun sempat dipasang di sana. Sebelum akhirnya berakhir di rumah residen atau sekarang dikenal sebagai Gedung Agung, Yogyakarta

Peta Perkebunan Tanjung Tirto (Sumber : buku Beschrijving der Oudheden nabij de grens der Residentie’s Soerakarta en Djogdjakarta (1891) karya J.W. Ijzerman)

Kebiasan memindahkan temuan

Kebiasaan memindahkan sejumlah temuan ini adalah hal yang kerap terjadi pada abad 19. Kegiatan ini terekam dalam catatan orang Belanda. Pelakunya bisa orang Belanda maupun bangsawan Jawa sendiri. Mereka melakukan itu dengan berbagai dalih. Salah satunya adalah untuk memperindah sudut taman dan rumah mereka.

Ijzerman mencatat bahwa banyak orang yang menemukan arca di Yogyakarta, yang banyak  berasal dari Prambanan. Mereka memindahkan arca-arca tersebut atas perintah raja-raja atau pembesar pribumi. Banyak di antaranya memang berakhir di halaman rumah Residen. 

Ijzerman juga menyebut tentang adanya dugaan bahwa sejumlah arca yang berasal dari Candi Kalasan telah diambil. Arca-arca ini diambil dan dipajang di sebuah keraton yang dibangun oleh Susuhunan Kuning di daerah Sambiroto. Peristiwa ini terjadi saat perlawanan orang Tionghoa pada 1740-1743. 

Sementara Christoper Reinhart dalam tulisannya di laman Tirto, Upaya Belanda Menggali Peninggalan Purbakala di Negeri Jajahan (https://tirto.id/upaya-belanda-menggali-peninggalan-purbakala-di-negeri-jajahan-ggHp) menuliskan bahwa para bangsawan Yogyakarta memang mengambil benda – benda purbakala dari Candi Prambanan dan situs lainnya. Mereka membawanya untuk menghias halaman/taman dan tempat semadi mereka. Pada tahun 1823 residen Yogyakarta, A.H. Smissaert harus melaporkannya pada presiden komisi purbakala di Jawa. 

Ijzerman saat berkunjung ke candi Prambanan pada rentang tahun 1885-1886, menyebut tentang banyaknya arca ataupun benda purbakala lainnya yang ada di pesanggrahan yang ada di selatan dari Candi Prambanan. Pesanggrahan ini diidentifikasi berada di dekat jalan utama dari Yogyakarta Surakarta. Dan sebagian telah runtuh karena pembangunan jalur rel kereta api.

Keberadaan pesanggrahan ini juga disebut dalam Babad Bedhahing Kutha Yogyakarta, yang ditulis oleh Bendara Raden Arya Panular. Panular menyebutkan bahwa Sultan Hamengkubuwono III sempat singgah di pesanggrahan ini. Kunjungan ini berlangsung pada Desember 1812. 

Kebiasaan memindahkan temuan juga dilakukan oleh orang Belanda. Seperti yang saya tuliskan di awal, landhuis Tanjung Tirto adalah salah satu tempatnya. Catatan dari orang Belanda kerap menyebutnya sebagai lokasi pemindahan dari sejumlah arca dan temuan purbakala lainnya. 

Tanjung Tirto menjadi destinasi yang kerap disebut-sebut ketika melaporkan reruntuhan dari bangunan candi. Bahwa temuan arca dari sana, khususnya yang berada di Dataran Sorogedug telah dibawa ke Tanjung Tirto. Memang ada juga landhuis Sorogedug, namun jumlah temuan yang dibawa tidak sebanyak yang ada di Tanjung Tirto.

Upaya untuk memindahkan arca tersebut memang bisa menjadi sebuah upaya penyelamatan. Hal ini disebabkan banyak dari pemindahan arca dilakukan pada candi-candi yang sudah runtuh. Namun proses pemindahan ini tidak disertai data yang lengkap. Sehingga seperti apa yang dituliskan Ijzerman. Sayangnya, tidak seorang pun yang dapat memastikan dari mana asal dari temuan tersebut.

Penegasan yang sama disampaikan oleh J.F. Scheltema  dalam terjemahan Monumental Java Sejarah Candi dan Monumen di Jawa (2018). Para pejabat dan pemilik perkebunan swasta biasa pergi mencari batu candi untuk hiasan rumah dan taman mereka. Banyak koleksi yang ditemukan di sekitar Yogyakarta dipindahkan ke perkebunan Tanjung Tirto. Mereka melakukan dengan bebas dan tidak peduli untuk mencatat asal dari patung atau temuan tersebut. Maka kita tidak mengetahui makna dari patung atau temuan tersebut. 

Dagoba Cupuwatu, pernah dipasang di Tanjung Tirto (Sumber : buku Inleiding tot de Hindoe-Javaansche kunst (1920) karya N.J. Krom)

Nasib arca atau temuan yang sudah dipindahkan

Arca atau temuan yang sudah dipindahkan dari lokasi awalnya biasanya tidak lama berada di tempat yang baru. Hal ini memang sudah termuat dalam catatan Belanda. Ada yang berakhir di taman depan rumah Residen. Ada juga yang dibawa ke Museum di Batavia. Dan ada juga dibawa sampai ke luar negeri.

N.J. Krom dalam Inleiding tot de Hindoe-Javaansche kunst (1920), menyebut bahwa ada kepala arca Budha dari candi Plaosan yang sudah sampai di Kopenhagen, Denmark. Ini membuktikan bahwa memang ada sejumlah upaya memindahkan arca dan temuan lain hingga ke luar negeri. 

Bukti lainnya tertera dalam tulisan Caroline Drieenhuizen, berjudul Being ‘European’ in Colonial Indonesia. Tulisan ini menyebutkan salah satu alasan mengapa begitu banyak temuan yang bisa berpindah, yaitu status sosial. Pada abad-19, beberapa orang Eropa yang tinggal di Jawa, menjadi kolektor dari sejumlah temuan purbakala dan barang antik lainnya.

Caroline menyebut dua nama, yaitu Jacob Dieduksman dan George Lodewijk Weijnschenk. Keduanya secara aktif menyumbangkan koleksi yang mereka miliki pada sejumlah museum di Eropa. Pada masa itu, semua museum di Eropa yang memiliki koleksi etnologi memiliki keinginan untuk menambah koleksi sebanyak mungkin. Mereka berlomba dengan museum lain atau bendanya bakal hilang. Koleksi yang dimaksud adalah benda-benda yang menggambarkan kehidupan, tradisi, agama masyarakat non-Eropa yang dikumpulkan selama ekspedisi ilmiah, pada pameran internasional, melalui kolektor dan pedagang, maupun pertukaran di antara museum-museum Eropa. 

Perlombaan penambahan koleksi inilah yang membuat banyaknya permintaan pada benda-benda purbakala dan artefak lainnya. Dieduksman dan Weijnschenk adalah kolektor dari Jawa yang kemudian bersedia memasok koleksi untuk mereka. Keduanya memiliki kepentingan agar status sosial sebagai orang Indo bisa “naik kelas”. Mereka bisa setara dengan orang Eropa lainnya. Perubahan status ini diperlukan karena mereka bukanlah kelahiran Eropa, tetapi orang Eropa yang lahir Jawa, atau orang Indo. 

Epilog

Pemindahan temuan purbakala sudah berlangsung sejak lama. Pemindahan ini tidak hanya berlangsung di kawasan Jawa bagian tengah, tetapi juga di bagian timur. Keberadaan Prasasti Sangguran dan Pucangan yang berasal dari Jawa Timur di Inggris dan India adalah buktinya. Kedua prasasti dibawa Raffles dari Jawa. Begitu juga sejumlah arca dari Candi Singosari, yang telah berhasil dikembalikan dari Belanda ke Indonesia. Mereka juga bagian dari kebiasaan memindahkan temuan tadi. 

Data yang berasal dari orang Eropa, baik Belanda maupun Inggris baru merekamnya pada abad 18 dan 19. Pemindahan terjadi karena memang bangunan candi tempat temuan itu berasal sudah runtuh. Runtuhnya candi tersebut dikarenakan sudah tidak digunakan lagi. 

Masyarakat yang berada di sekitar candi saat itu tidak mengetahui kegunaan candi karena mereka baru datang. Reruntuhan candi menjadi tempat yang dikeramatkan beserta dengan arca dan benda lain yang ada di tempat tersebut. Bangsawan Jawa dan orang Eropa yang datang kemudian memutuskan membawanya karena mengagumi keindahannya. 

Proses pemindahan ini tidak disertai data yang lengkap. Maka para peneliti yang datang di masa selanjutnya dan kita, generasi penerus, kesulitan memastikan dari mana sebenarnya temuan tersebut berasal. Beruntungnya di abad 20 hingga awal abad 21 ini, sudah ada upaya kegiatan untuk menginventarisasi sejumlah temuan lepas dan sekaligus memutakhirkannya secara periodik. 

Kegiatan ini berada di bawah tanggung jawab pemerintah. Baik  pemerintah Hindia Belanda maupun pemerintah Indonesia dewasa ini. Upaya ini bisa mengurangi kesalahan data yang ada sebelumnya. Agar generasi selanjutnya bisa mulai belajar turut serta melestarikan temuan purbakala yang menjadi bagian dari jati diri bangsa.  

*Shinta Dwi Prasasti. Penyuka sejarah, arkeologi, dan heritage. Bekerja di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X.