Tubuh-tubuh Dari Dasar
Oleh Joko S Gombloh*
Debu yang menyimpan suara:
tubuh, alam, dan ingatan
Rendah hati seperti debu
Rendah diri seperti abu
Demikian larik-larik kata di antara gelombang pesan yang dikirimkan oleh Fitri Setyaningsing melalui WhatsApp Group kepada para penarinya. Kalimat-kalimat itu bak mantra suci, yang menghujam ke dalam dada penari, untuk dapat menggerakkan tubuh dan pikiran mereka. Sebagai koreografer, Fitri membiarkan kalimat-kalimat itu berpendaran, memproduksi tafsir, lalu menggumpal dalam struktur koreografi Deru Debu Dari Dasar yang hening. Keheningan yang mampu menghadirkan suara-suara paling kecil dari dalam.
Para penari, Rendra Bagus Pamungkas, Luluk Ari Setia, Adi Putra, dan Fitri sendiri menjadikan panggung yang serupa kawah gunung berapi itu sebagai ruang imersif. Tubuh-tubuh mereka saling merespon bunyi, suhu, ruang, dan lingkungan ruang belakang Sarang Art, Books & Coffee di Kalurahan Kalipakis, Tirtonirmolo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 21-22 Juni 2025. Dari atas balkon, penonton memperhatikan tubuh-tubuh puitik itu seperti sebuah ruang pengakuan. Tubuh-tubuh yang jauh dari gemulai penari. Tubuh-tubuh yang melampaui gerak demonstratif seorang aktor.
Sebaliknya, mereka bergerak perlahan, lambat, mengitari bibir panggung, berulang, penuh intensitas senyap. Nyaris diam, namun menyimpan ledakan emosional yang tertahan. Ada gerak berulang, seperti usaha untuk mengurai kenangan. Ada tubuh yang tiarap, berguling, menungging, menggeliat—sambil mengaduk-aduk tanah. Ada pula tubuh yang tengadah menjuntai di bibir kawah. Tubuh-tubuh yang menyentuh tanah, tubuh yang berputar serupa Darwis, tubuh yang lahir karena desakan gerak dari bawah, dari dalam, seperti napas yang tertahan teramat lama, seperti dentuman suara yang sesekali terdengar dalam atmosfir ruang belakang Sarang yang terbuka.
Sesuatu yang sangat ironis: tubuh-tubuh senyap itu justru terasa nyaring, menjadi tubuh implosif, yaitu ledakan ke dalam yang, seturut Jacques Derrida, merupakan proses di mana makna-makna (bahasa) saling menyerap, menciptakan jaringan hubungan yang kompleks, menantang konsep makna yang tunggal dan tetap. Tubuh-tubuh itu seperti sedang mendengarkan gema dari dalam dirinya sendiri. Dan meledak atau menyebar ke dalam dirinya sendiri, alih-alih terarah pada satu makna tunggal.
Fitri mengajak para penarinya untuk menelusuri tubuh masing-masing, menebas penjara tubuh penari, memudarkan batasan gerak maskulin dan feminin, membebaskan tubuh dari beban kultur penari, hingga menemukan motif gerak dari dalam tubuhnya sendiri-sendiri. Menyimak Deru Debu Dari Dasar adalah mendengar bisikan dari bawah tanah—suatu lapisan eksisten yang sering dilupakan: debu yang biasa diinjak, suara yang tertimbun waktu, dan tubuh yang memanggul jejak dan luka sejarah. Fitri mengajak menatap ke dasar, yang remeh, yang rapuh, yang sering diabaikan, sedangkan di situ kekuatan tubuh manusia paling purba bersemayam.
Fitri menempatkan tubuh-tubuh penari sebagai arkeologi hidup yang bukan sebagai representasi estetis belaka. Ia menggali ulang makna, membongkar yang terlupakan, dan membisikkan sesuatu yang penting lewat sunyi. Maka, gerak tubuh menjadi bagian dari proses menggali. Menjadi situs penggalian, bukan hanya simbol. Menggali ingatan, menggali luka, menggali suara-suara yang selama ini tidak mendapat ruang bersuara. Para penari seperti sedang mencangkul tanah melalui tubuhnya sendiri.
Mengamati Deru Debu Dari Dasar adalah menyelami kedalaman yang tak terukur, di mana tubuh menjadi saksi dari apa yang tak terucap. Karena sejatinya Fitri tidak hanya menyusun gerak, tetapi mengungkapkan lapisan-lapisan memori, trauma, dan keberanian yang muncul dari bawah—dari dasar tubuh, dari dasar bumi, dari dasar sejarah perempuan. Karena itu, ia tidak menempatkan gunung sebagai perlambang maskulin, yang tegak berdiri seperti phalus. Yang ledakannya eksplosif, membakar dan meratakan kampung sekitar. Sebaliknya, Fitri lebih memilik amblas ke dalam, untuk melahirkan ledakan implosif yang dapat saling menyerap makna-makna.
Ledakan ke dalam barangkali merupakan hal yang didapat oleh Fitri sepanjang perjalanan mengamati gunung-gunung. Selama tiga tahun terakhir, ia menziarahi gunung-gunung tua di Jawa. Ia menjadikan perjalanan tersebut sebagai “laku” spiritual, ketimbang riset dalam pengertian akademik. Bukan pula observasi ilmiah, melainkan sebuah pengalaman tubuh yang sepenuhnya harus dilakoni. Dalam proses itu, tubuh Fitri menjadi media sensori: merekam, mengalami, dan kemudian memproduksi tafsir. Ia tidak datang membawa teori, kecuali kerentanan dan keterbukaan.
Menyelami proses Deru Debu Dari Dasar semakin dapat dimengerti, betapa pesan-pesan magis yang dikirim Fitri kepada para penarinya, sungguh mensugesti semuanya. Beberapa menit menjelang semua penari naik panggung, ia melempar pesan: “Hallo teman-temanku deru debu, semalam hujan turun 7 menitan sebelum kita mulai. Memang semestinya hujan datang, kita pun diharapkan tenang. Keheningan terjadi berlapis-lapis. Dari berhentinya hujan, angin melambat, daun tidak bergerak. Semua terasa deep di bawah. Di sini kerja memori dan intuisi memang menjadi navigasinya… Memang ada yang datang di luar diri kita dan pentingnya untuk diri kita berpegang pada kesadaran diri. Timbang rasa. Utuh. Saling terjaga, terlindungi, sehat, senang, dan slamet.”
Mendengar Yang Tenggelam
Deru Debu Dari Dasar pada akhirnya bukan semata tentang pertunjukan, tapi pengungkapan. Bukan tentang penguasaan panggung, tapi tentang mendengarkan tubuh sendiri yang menyimpan luka dan doa. Hampir seperti karya-karya Fitri sebelumnya, yang berfokus pada kedalaman konseptual.
Sebagaimana Garis Tegak Lurus yang diproduksi setahun yang lalu, bahwa tubuh bukan benda pasif yang mengikuti garis, tetapi subjek yang bisa mempertanyakan garis itu sendiri. Sebab tubuh—dalam pengalaman personal—tak selalu mampu atau mau berjalan lurus. Ia punya caranya sendiri untuk bicara, menolak, bahkan diam sebagai bentuk perlawanan.
Maka, Deru Debu Dari Dasar tidak memberi solusi, tapi menawarkan ruang untuk bertanya dan berdamai dengan tubuh yang kadang bengkok, goyah, atau memilih berbelok untuk menemukan maknanya sendiri. Ini bukan sekadar menyaksikan tarian, melainkan diajak untuk mendengar. Tepatnya mendengar dari dalam, yang membuat terdiam, yang membawa ke dalam ruang batin yang sering diabaikan: ruang di mana luka tidak perlu dijelaskan, tapi dihadirkan.
Ada semacam resonansi spiritual dan eksistensial dalam karya ini. Ini mengingatkan posisi perempuan yang selama ini berada di “dasar”, baik dalam struktur sosial, dalam sejarah, maupun dalam ruang domestik yang sunyi. Karena itu, karya ini bukan hanya tentang perempuan, tapi tentang bagaimana manusia memanggil kembali dirinya yang tercecer dalam waktu dan tekanan hidup. Dengan cara pandang ini, “hening” lantas ditempatkan secara politis dan spiritual lewat tubuh penari yang senyap namun penuh makna.
Penataan lampu dikelola dengan pencahayaan temaram dan spot yang menciptakan bayang-bayang panjang. Senafas dengan warna kostum penari yang temaram. Tata suara menggunakan elemen ambient yang hening, diselingi bunyi dentuman atau dentingan halus yang memberi aksen subtil pada gerakan tubuh. Tataan artistik seperti ini menunjukkan kekuatan koreografi yang tidak berteriak, tetapi merasuk. Dengan itu semua tubuh berkelindan di antara medium spiritual, sosial, dan estetis secara bersamaan. Fitri memadukan tata artistik dengan gerak minimalis dan kekuatan repetisi serta jeda. Gerak tubuh dihadirkan seperti ritus yang menyimpan beban waktu. Para penari membangun ketegangan dan keharmonisan dalam ruang.
Karya ini semakin memperlihatkan kekuatan khas koreografi Fitri yang hening, pelan, namun menghunjam. Ia tidak memaksa tubuh untuk menjadi spektakel, tetapi menjadikannya wahana ekspresi batin dan perenungan simbolik. Ia menyulam kekayaan dasar kepenarian, refleksi sosial, dan estetika kontemporer dengan menjadikan tubuh sebagai lanskap utama produksi makna. Dalam tubuh-tubuh sunyi itu, kita mendengar debu berbicara, dari dasar. Karya ini tidak akan selesai saat lampu panggung padam. Ia justru mulai bekerja setelah penonton pulang—mengendap dalam ingatan dan perasaan, membuka pertanyaan-pertanyaan suara-suara dari dasar.***
—–
*Joko S Gombloh. Pengamat Seni Pertunjukan