Tubuh Tari Indonesia sebagai Situs Artikulasi Sosial dan Tindakan Eksistensial
Oleh Purnawan Andra*
Tubuh dalam tari Indonesia tidak pernah netral. Ia bukan semata alat ekspresi artistik, melainkan wahana sejarah yang memanggul berbagai beban simbolik—nasionalisme, moralitas, kesakralan, sekaligus modernitas. Dalam tubuh itulah nilai-nilai dipahat dan ditanamkan, tetapi juga digugat dan dihidupkan kembali. Tubuh penari adalah ladang konflik: antara hasrat untuk melestarikan dan kebutuhan untuk membebaskan.
Sejak awal republik, negara memandang tari sebagai cermin dari keutuhan dan kekayaan budaya bangsa. Tari-tarian daerah diangkat ke panggung-panggung negara sebagai representasi harmoni Indonesia yang majemuk. Penari menjadi duta identitas, dan tubuhnya dijaga, dikoreksi, dikoreografikan. Koreografi menjadi bukan sekadar soal bentuk artistik, tetapi menjadi bagian dari proyek ideologis: tubuh yang harus tertib, bersih, halus, dan penuh takzim.
Afrizal Malna (2007) menyebut proses ini sebagai “kromonisasi tubuh”—sebuah istilah yang merujuk pada estetika visual tubuh-tubuh penari yang dikontrol agar sesuai selera Orde Baru: disiplin, halus, dan menghibur. Tubuh menjadi barang pajangan yang dirawat untuk konsumsi panggung, bukan untuk menyuarakan kegelisahan atau pengalaman personal.
Dalam kerangka ini, tubuh-tari disusun seperti museum berjalan. Lembaga pendidikan seni menekankan pada teknik pelestarian: penari belajar pola gerak tradisi secara turun-temurun, tetapi jarang diberi ruang untuk menyelami ulang makna gerak tersebut dalam konteks zaman yang terus berubah. Tubuh pun menjadi benda mati yang mengulang-ulang bentuk, tapi tak menyentuh realitas hidup.
“Tubuh studio” semacam ini, menurut Afrizal, kerap tampil memesona di panggung tetapi terasa jauh dari pengalaman keseharian. Ketika tubuh tidak lagi bersentuhan dengan lumpur, matahari, atau suara jalanan, ia kehilangan konteks. Ia menjadi tubuh yang cantik tapi bisu.
Krisis semacam ini menjangkiti banyak koreografi tari kontemporer Indonesia: indah secara visual, rumit secara teknik, tetapi miskin keberanian untuk bertanya. Koreografi menjadi semacam pameran kemampuan tubuh, bukan medium untuk mengolah pertanyaan sosial, spiritual, atau ekologis.
Menolak Tubuh sebagai Objek
Namun, tidak semua seniman pasrah pada situasi ini. Beberapa mencoba membuka jalur lain. Salah satunya adalah Suprapto Suryodarmo dengan pendekatan Amerta Movement—gerakan yang menolak koreografi tertulis dan justru menggali gerak dari keheningan, dari tubuh yang sadar terhadap gravitasi, ruang, dan pernapasan. Dalam latihan-latihannya yang menyerupai ritual, Suprapto mengembalikan tubuh kepada kesadaran batiniah. Gerak bukan datang dari pola, tetapi dari pertalian tubuh dengan waktu dan tempat.
Berbeda dari Suprapto yang menempuh jalur spiritual dan hening, Melati Suryodarmo membawa tubuh ke wilayah ekstrem. Dalam Exergie – Butter Dance (2000), ia menari di atas lantai licin yang dilapisi mentega cair. Ia tergelincir, jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi. Penonton tidak lagi menyaksikan gerak yang indah, melainkan menyaksikan tubuh yang rapuh, tubuh yang terluka, tubuh yang terus mencoba. Ini bukan tubuh yang ingin ditonton, tetapi tubuh yang menolak ditundukkan.
Keduanya menolak tubuh sebagai objek. Mereka menjadikan tubuh sebagai subjek pencipta: tubuh sebagai bahasa. Ini penting dalam iklim pertunjukan kita yang masih menempatkan teknik sebagai ukuran utama mutu. Ketika teknik menjadi tujuan, bukan medium, maka kreativitas akan mampat dan tubuh hanya menjadi pengikut.
Dalam perkembangan yang lebih urban, eksplorasi tubuh menemukan medan baru yang lebih sosial. Koreografer Eko Supriyanto dalam Trilogi Jailolo memilih para remaja pesisir Halmahera sebagai penarinya. Mereka tidak diajarkan teknik kontemporer atau tradisi klasik secara utuh, tetapi diajak mengolah gerak dari aktivitas keseharian mereka: mendayung, melompat dari perahu, menyelam. Gerak hidup itu kemudian diolah secara komposisional dengan pendekatan tari modern. Hasilnya bukan sekadar pertunjukan tari, tetapi semacam peristiwa tubuh yang memproduksi makna baru.
Demikian juga karya tari Wajah oleh Hartati. Ia mengangkat pengalaman urban perantau Minangkabau di Jakarta. Tubuh penari digerakkan oleh gestur pasar: mengangkat payung, menjajakan dagangan, bersitegang dalam tawar-menawar. Ini dipadu dengan idiom tari kontemporer yang bebas dan reflektif. Tubuh dalam tari Wajah bukan lagi tubuh ideal, tetapi tubuh yang nyata—penuh beban hidup, penuh ketegangan antara kampung dan kota.
Banyak koreografer muda kini memfokuskan karya pada konteks dan topik masa kini, terutama yang urban. Pada gelaran IDF, ada koreografer memanfaatkan khazanah tari tradisional untuk membahas problematika urban perantau. Ada juga yang menghadirkan gerakan membungkus nasi sebagai cerminan perjuangan ekonomi masyarakat urban saat ini.
Karya-karya seperti ini memperlihatkan bahwa tubuh bisa kembali menjadi situs artikulasi sosial. Bahwa koreografi bisa bersumber dari pengalaman konkret: dari tubuh-tubuh yang bekerja, berjalan, berdoa, mengasuh anak, atau menyusuri gang sempit kota. Tubuh sehari-hari ini memiliki vitalitas yang tak kalah penting dari tubuh-tari yang “terlatih”.
Belum Siap
Sayangnya, banyak ruang pertunjukan kita belum sepenuhnya siap menampung tubuh semacam itu. Logika penilaian masih bertumpu pada teknik, keluwesan, dan harmoni. Ketika Dana Indonesiana dan program pemerintah mengucurkan dukungan pada seni pertunjukan, ukurannya pun kerap kuantitatif: berapa banyak penonton, berapa kali pertunjukan, berapa dampak pariwisata.
Akibatnya, tubuh-tubuh yang hadir dalam pertunjukan cenderung “dibersihkan” kembali: menjadi atraktif, tetapi kehilangan intensitas. Padahal, jika kita ingin seni pertunjukan hidup, tubuh harus diberi ruang untuk jujur. Tubuh harus bisa gamang, takut, bingung, dan ragu. Dari kegamangan itu, tubuh bisa mulai menciptakan bahasanya sendiri.
Masa depan tari Indonesia, karenanya, tidak bisa disandarkan hanya pada pelestarian bentuk. Ia harus membuka diri pada ketidakterdugaan, pada keganjilan, pada keberagaman cara hidup. Koreografi tidak harus selalu bermakna. Ia bisa menjadi cara tubuh untuk bertanya, menggugat, atau bahkan diam.
Kita perlu ruang-ruang baru—baik di dalam panggung maupun di luar panggung—yang mengizinkan tubuh-tubuh marjinal untuk hadir: tubuh pekerja, tubuh transgender, tubuh difabel, tubuh minoritas. Tubuh-tubuh ini menyimpan sejarah dan keberanian yang tidak diajarkan di studio tari.
Jika tubuh-tari bisa kembali menjadi tempat untuk bernegosiasi dengan dunia, bukan sekadar merepresentasikannya, maka seni pertunjukan akan menemukan kembali kekuatannya: bukan sekadar hiburan atau instrumen budaya, tetapi sebagai tindakan eksistensial. Tubuh yang menari bukan hanya menunjukkan, tetapi mengada. Ia tidak hadir untuk menyenangkan penonton, tetapi untuk merayakan hidup—dengan segala luka dan cintanya.
Dan di sanalah, tubuh-tari Indonesia akan terus menemukan masa depannya.
—
*Purnawan Andra, alumnus Governance & Management of Culture Fellowship Program di Daegu Catholic University Korea Selatan.