Memahami dan Mengalami Sang Hyang Kamahayanikan untuk Jaman Ini

Oleh Dr. G. Budi Subanar

Essay ini saya persembahkan kepada Bhikku Shri Pannyavaro yang mengantar, mengajak saya mengalami dan mengenal kehidupan Borobudur lebih dekat dan lebih mendalam, serta memperkaya saya dengan hidup dan ajaran Buddhisme.

Sebagaimana menjadi salah satu cara pikir dan cara kerja dalam disiplin ilmu Kajian Budaya, pembahasan sebuah topik biasanya – bisa bertumpu pada pengalaman hidup yang kemudian diperdalam dan diperkaya dengan proses diskursus (wacana), dan giliran selanjutnya akan didaratkan kembali pada konteks yang lebih luas sekaligus konkrit.

Perjumpaan dan pengenalan saya dengan Bhikku Shri Pannyavaro sudah berlangsung sekitar 15 tahun. Saat bersama-sama terlibat dalam gerakan yang digagas oleh kelompok Dian Inter Fidei. Dalam berbagai pertemuan rutin, pada kesempatan istimewa Dialog Malino II, dan terus berlanjut dengan relasi personal. Masa-masa itu masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia tengah menanggung beban, berhadapan dan giat menangani akibat pasca konflik di sejumlah tempat di Indonesia. Melalui para pimpinan, pemikir, serta para pemeluknya yang tersebar di mana-mana, agama hadir sebagai the Reconciler, pihak yang mendamaikan. Memprakarsai gerakan perdamaian, mengajarkan dan menyuarakan hal-hal mendasar yang perlu diwartakan (bisa jadi voice of the voiceless).

Kesempatan ini, saya mengangkat Borobudur dan Sang Hyang Kamahayanikan. Mengapa? Ada beberapa hal terkait dengan tema ini. Pertama, dalam pengalaman keterlibatan, beberapa tahun lalu, saya mengkoordinir satu mata kuliah (pilihan) di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma. Temanya Telaah Nalar Jawa. Menggali sejumlah Kitab Nusantara. Salah satu kitab yang digunakan dalam perkuliahan tersebut adalah Sang Hyang Kamahayanikan. Kedua, sejak 2012, ada Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) yang diselenggarakan di Borobudur sekaligus menempatkan Sang Hyang Kamahayanikan Award untuk ilmuwan atau tokoh yang berdedikasi pada bidangbidang ilmu humaniora untuk Nusantara. Ketiga, buku Prof Dr, Noerhadi Magertsari, 2017 menerima anugerah Sang Hyang Kamahayanikan Award, dalam bukunya Candi Borobudur Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya, juga menempatkan Sang Hyang Kamahayanikan dan Borobudur secara bersama-sama.

Pengenalan Singkat Sang Hyang Kamahayanikan

Dalam Kepustakaan Jawa (1952 dan 1957) yang disusun Prof Dr. R.M. Poerbotjaraka, Sang Hyang Kamahayanikan ditempatkan sebagai sastra tak bertembang dan termasuk salah satu hasil karya sastra paling tua. Di samping itu ada klasifikasi sastra dalam tembang, dan periode angka tahun yang lebih muda. Sang Hyang Kamahayanikan ditulis dalam aksara dan bahasa Sanskerta dan dengan penjelasan bahasa Jawa Kuno. Pada bagian terakhir tertulis nama Raja Mpu Sindok (929-947 M atau 851-869 Saka) dari Kediri, Jawa Timur. Keterangan yang ditambahkan, kitab ini sudah mengalami alih aksara dalam aksara Latin, dan keterangannya ditulis dalam bahasa Belanda oleh J. Kats. Dicetak di Den Haag, pada 1910.

Isi Sang Hyang Kamahayanikan terkait dengan ajaran-ajaran Buddha Mahayana. Antara lain menjelaskan dewa-dewa dalam Budha Mahayana. Penjelasan yang ada dalam Sang Hyang Kamahayanikan tersebut amat cocok dengan raja-raja Buddha yang ada dalam relief di candi Borobudur. Di samping itu, Sang Hyang Kamahayanikan juga memuat bimbingan untuk orang bersamadi, dan beberapa hal yang lain.

Sebuah karya disertasi dari Prof. Dr. Noerhadi Magetsari Candi Borobudur, Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya (1997) antara lain memperlihatkan beberapa teori yang melacak asal usul dari Kitab Sang Hyang Kamahayanikan, terkait dengan penyusunnya dan waktu penyusunannya. Baik dari sudut pandangan arkeologi, dan sudut pandang filologi. Ada dua tokoh yang diacu yakni Dignaga seorang ahli logika dari aliran Yogacara (480-540), dan Sri Isana Bhadrotungadeva Mpu Sindok penguasa dan pendiri wangsa Isana di Kerajaan Kediri, Jawa Timur (930). Dari kedua pandangan tersebut, disertasi tersebut membangun teorinya dengan penelitian yang dilakukannya.

Satu masalah yang ada dengan kehadiran Sang Hyang Kamahayanikan antara lain terkait dengan arti tersembunyi dari bahasa semu yang digunakan karena Sang Hyang Kamahayanikan memuat ajaran rahasia (guhya) dan bagian-bagian yang memuat ajaran lisan dari seorang guru.

Memasyarakatkan Sang Hyang Kamahayanikan

Kitab Sang Hyang Kamahayanikan yang merupakan pergulatan intelektual warisan dari abad-abad lampau seakan terkubur jauh di bawah kesadaran bangsa Indonesia yang mewarisi karya peradaban tersebut. Padahal karya itu hadir sebagai teks sastra (kitab suci) dan terjelma dalam bangunan Candi Borobudur. Kendati pun tidak banyak dikenali, masih ada sejumlah pihak yang perduli atas warisan peradaban tersebut. Tentang Borobudur, kajiannya sangat melimpah.

1973, tim penerjemah Kitab Suci Hindu dan Buddha Departemen Agama RI menerbitkan hasil kerjanya berupa Kitab Suci Sang Hyang Kamahayanikan Naskah – Terjemahan – Penjelasannya. Dalam bagian pengantar disebutkan, proses penerjemahan dilakukan dengan mengacu pada sejumlah sumber terjemahan yang sudah ada sebelumnya. Baik yang ada sejak 1910 dari karya J. Kats maupun hasil upaya terjemahan dan penerbitan sebagaimana dilakukan oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1957), atau pun yang diterbitkan Masyarakat Buddhist Jawa Tengah (1973).

Di samping kitab suci ini, suatu tim penerjemah juga masih menghasilkan penerjemahan kitab yang lain yakni Arthasastra (2003). Kitab ini menjadi petunjuk dalam menjalankan tata pemerintahan untuk kesejahteraan. Saya belum menemukan terjemahan kitab Natya Sastra yang menjadi acuan di dalam pembahasan karya seni sebagaimana disebut dalam sejumlah buku. Natya Sastra akan menjadi sumbangan tersendiri di dalam memasyarakatkan pengetahuan yang menjadi kerangka berpikir dan bertindak. Tidak terbatas pada para pemeluk Buddha saja. Apalagi mengingat kaitannya dengan karya seni.

Dengan upaya terjemahan, karya kitab suci dapat diakses oleh khalayak pembaca umum bangsa Indonesia, dan secara khusus umat Buddha di Indonesia. Selain itu, ada bentuk usaha lain bagaimana isi ajaran kitab Sang Hyang Kamahayanikan dikenali sehingga dapat dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dalam programa Mimbar Agama Buddha disiarkan TVRI stasiun Yogyakarta, Dharmakirty Sumonggokarso setiap kali mengutip ajaran Sang Hyang Kamahayanikan. Ini berlangsung dari 1978-1984. Sejak 1985, bekerjasama dengan beberapa pihak mengadakan penulisan Sang Hyang Kamahayanikan dalam bentuk macapat. Setidaknya ada dua bagian dikerjakan secara terpisah. Bagian Mantrayana, dan bagian ketuhanannya. Sedangkan dalam menjaga mutu terjemahan masih meminta bantuan pihak lain untuk mendapatkan kritik dan saran. Sampai akhirnya diterbitkan Sang Hyang Kamahayanikan dalam Bahasa Jawa (1988) dalam bentuk gubahan macapat. Disertai dengan penjabaran ajarannya.

Yang semula bukan merupakan sastra tembang, setelah 10 abad Sang Hyang Kamahaya nikan dijadikan tembang. Apalagi menjadi macapat, yang memiliki aturan-aturan tersendiri, terkait guru lagu (bunyi akhir) guru wilangan (jumlah suku kata tiap larik). Demikian juga jumlah larik tiap bait. Dengan menjadi macapat, cara mengakrabkan menjadi sangat efektif. Sekaligus sangat mengena. Apalagi susunan jenis mijil, pangkur, sampai megatruh juga memiliki filosofi tersendiri. Dengan demikian Sang Hyang Kamahayanikan sungguh sangat didekatkan. Perubahan bentuk tidak merusak isi. Justru semakin dekat dan dikonkritkan. Bukan sebagai retorika tanpa penghayatan.

Pokok-pokok Sang Hyang Kamahayanikan dan nilai yang disebarkan

Kajian yang dilakukan Prof Dr Noerhadi Magetsari menyebutkan penelitian yang dilakukan tidak menggunakan sumber yang diterjemahkan oleh Bimas Hindu dan Buddha. Proses penulisan paper ini justru sebaliknya. Pertama, saya sama sekali tidak menguasai bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Dari yang dapat diakses setidaknya menggunakan dua sumber: terjemahan Bimas Hindu dan Buddha, kedua terjemahan bahasa Jawa dalam bentuk macapat.

Kedua buku Sang Hyang Kamahayanikan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, pada bagian pendahuluan menempatkan pandangan teologis dan Mantranaya yang diacu. Sebagaimana disebut di atas, Sang Hyang Kamahayanikan memuat rahasia (guhya), yang pada satu sisi disampaikan secara tertulis, di sisi lain juga ada keterangan lisan yang disampaikan oleh guru. Beberapa pokok berikut ada dalam kedua terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Jawa dengan penekanannya masing-masing. Antara lain disebutkan sebagai berikut.

  1. Pemahaman struktur “Tri Aksara” terdiri dari kaya, wak, citta bajra untuk memahami dan menempatkan tata susun benda, ungkapan kata-kata, gagasan ideal serta daya kekuatannya. (1)
  2. Tata laku tapa dan meditasi sebagai jalan olah rohani sampai penghayatannya. Winaya yang memuat aturan pelaksanaan ajaran Buddha akan menuntun bertutur baik dan berperi laku baik (25). Dengan pokok etisnya cila (kebajikan), sammadhi (memusatkan pikiran yang baik) dan prajna (kebijaksanaan) (37)
  3. Mandala yang memuat ajaran rahasia untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. (27)

Pokok-pokok ajaran sebagaimana disebut di atas dengan berbagai macam perinciannya, tentu tidak menjadi monopoli khusus dan terbatas bagi pemeluk agama Buddha. Sebagaimana Dharmakirty Sumonggokarso mengungkapkan dalam Pangkur berikut:

Sang Hyang kamahayanikan
Nenggih pusaka sayekti
Bangsa Indonesia luhur
Dadya piwulang nyata
Mustikaning ngelmu jatining manekung
Manembah mring Hyang wisesa
Prayoga den taberi niti

Selain itu, masih ada satu pokok mendasar yang perlu dikemukakan di sini. Dalam berbagai khasanah pembicaraan atau pembahasan, salah satu yang menjadi acuan hidup bagi bangsa Indonesia, terkait perkara rasa. Menyebutkan satu konsep ini seakan mengalami keterbatasan menjelaskannya. Uraian tentang rasa ini diperoleh pada pembahasan yang mempertemukan pengalaman estetik yang sekaligus menjadi pengalaman religius. Memang ada berbagai cara penjelasan. Memang ada berbagai pendekatan, antara lain sebagaimana pernah dikemukakan Prof. N Drijarkara saat menjelaskan pengalaman estetik dan hubungannya dengan pengalaman religius. Menempatkan pengalaman estetik yang sublim kemudian beralih pada pengolahan dalam proses berkarya yang berangkat dari pengolahan pengalaman dan sekaligus mengekspresikannya.

Pada pembahasan sastra Jawa Kuna, Kuntara menyebutkan proses kreatif seorang kawi, yogi sebagai pujangga yang menuliskan karyanya, akan mengarahkan diri pada dewa yang dipujanya (istadewata). Sebagai manusia, setiap orang memiliki berbagai rasa, dibedakan dalam daftar akan menjadi 8:

1. Srngara (asmara)
2. Hasya (komik)
3. Karuna (belas kasihan)
4. Raudra (ganas)
5. Vira (kepahlawanan)
6. Bhayanaka (khawatir)
7. Bibhatsa (ngeri)
8. Adbhuta (takjub)

Rasa yang dialami tersebut ternyata memiliki kesejajaran dengan 8 jenis emosi yang dialami, yakni:

1. Rati (cinta)
2. Hasa (humor)
3. Soka (sedih)
4. Krodha (marah)
5. Utsaha (teguh)
6. Bhaya (takut)
7. Jugupsa (muak)
8. Vismaya (heran)

Di samping itu, ada 1 rasa yang ditambahkan yakni santa (damai). Padanannya dalam emosi adalah sama (tenang). Berbagai rasa ini dari pengalaman psikologi akan menyublim dalam tataran estetik. Dalam dinamika pengalaman estetik tersebut, sebagai yogi, pujangga akan membangun candi-nya dalam karya sastranya itu.

Tawaran Sang Hyang Kamahayanikan untuk jaman kita

Dalam perspektif lain, pengalaman perdamaian secara berjenjang ditempatkan dalam perkembangan secara berjenjang dalam tingkatan mulai dari diri – keluarga – masyarakat – bangsa – dunia secara timbal balik. Dalam sebuah skema untuk menempatkan pendekatan damai yang melibatkan komunitas keagamaan, berikut ini tabel yang menempatkan penjenjangan lingkup atau skala perdamaian yang diusahakan. Sekaligus menempatkan wilayah batin atau wilayah luar yang dipengaruhi. Skemanya adalah sebagai berikut:

Skema yang berdasar ilmu pragmatis profan, kedamaian dapat ditempatkan sebagai tujuan yang diarah/ diupayakan. Sebagai tujuan yang diarah, perlu adanya strategi langkah-langkah yang mengarah ke tujuan akhir. Dalam perspektif holistik, termasuk dimensi spiritual, perdamaian ditempatkan sebagai proses berkelanjutan yang tidak pernah berakhir. Dengan cara pandang yanag menempatkan perdamaian sebagai sebuah proses, memberi tempat pada rahmat di luar upaya manusia turut terlibat. Dengan kedua sisi cara pandang tersebut upaya yang dilakukan orang beriman akan mendapatkan keseimbangan dalam dua perspektif. Di sinilah ajaran Sang Hyang Kamahayanikan mendapatkan tempatnya.

Dengan berkembangnya peralatan komunikasi yang sangat didukung dengan TIK- ITC (Information technology of communication) dan sangat mempengaruhi cara berkomunikasi, praktik agama-agama pun juga dapat disorot dan ditempatkan dengan kerangka pandang ini. Agama-agama di dalam dunia modern melakukan sebuah upaya branding, mengupayakan strategi bagaimana agama-agama dunia masuk di dalam ranah kehidupan masyarakat, ditempatkan sebagai produksi yang ditangani dengan manajemen untuk dinempatkan mulai dari branding awarenesssampai post sale service and supportyang berlaku di dalam manajemen sekuler.

Upaya branding dilakukan dalam dunia saat ini telah membuat generasi sekarang hidup di dalam ajaran agama yang sumbernya telah dibaca kembali oleh para pengajarnya. Prosesnya melewati dua penyederhanaan – sumber dan pelaku. Menjadi penting bagaimana pelaku generasi sekarang mengalami bahaya pemiskinan dan distorsi.

Dalam situasi yang demikian itu, menjadi relevan kehadiran Borobudur dan Sanghyang Kamahayanikan. Keduanya menjadi sumber sekaligus monumen yang menyuarakan dan menebarkan damai di tengah ujaran kebencian (hate speech) yang tengah merebak dan mewarnai kehidupan masyarakat kita.

Dengan demikian, kita melihat pentingnya aktivitas kita sekarang ini. Seperti halnya yang dilakukan dalam konperensi ini. Sebagaimana juga yang diupayakan oleh Borobudur Writer and Cultural Festival: setiap kali menganugerahi Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada tokoh yang bergerak dan berkarya dalam dunia sunyi. Di sana, pada karya yang bergerak di kedalaman menyumbang untuk pengetahuan dan perdamaian. Inilah yang perlu terus-menerus untuk dikumandangkan, dan disebarkan ke berbagai pihak di berbagai wilayah. Seperti halnya, Borobudur dan Sang Hyang Kamahayanikan yang menyimpan kekayaan yang tidak lekang dimakan waktu dan terus menyumbang untuk peradaban.

—————–

Catatan – pihak-pihak yang telah menerima Sanghyang Kamahayanikan Award sebagaimana disebutkan dalam buku acara Borobudur Writer and Cultural Festival dari 2012 – 2020: 

1. 2012 – Singgih Hadi (SH) Mintardja

2. 2013 – Prof. Dr. AB Lapian

3. 2014 – Dr. Peter Carey

4. 2015- Hadi Sidomulyo – Nigel Bullough

5. 2016 – Karkono Kamajaya – Prof. Halilintar

6. 2017 – Prof. Dr. Noerhadi Magetsari

7. 2018 – Dr. Tan Ta Sen

8. 2019 – Prof. Dr. Achadiati Ikhram

9. 2020 – Dr. Riboet Darmosoetopo

—————–

Daftar Pustaka

  • Astana, Made, Anomdiputro, C.S. (penerj.), Arthasastra, Denpasar, Paramita, 2003
  • Drijarkara, N., Kesenian dan Religi, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1962
  • Einstein, Mara, Brand of Faith. Marketing Religion in a Commercial Age, London-New York, Routledge, 2008
  • Jhanji, Rekha, The Sensous Art, Indian Institute of Advance Study, 1989
  • Magetsari, Noerhadi, Candi Borobudur, Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya, Depok, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997
  • Panitya Penyusun penterjemah Sanghayang Kamahayanikan, Kitab Suci Sanghyang Kamahayanikan Naskah – Terjemahan – Penjelasannya, Jakarta, Proyek Penterjemahan Kitab Suci Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, 1973
  • Poerbatjaraka, R.M., dan Hadidjaja, Tardjan, Kepustakaan Jawa, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1957
  • Sumonggokarso, Dharmakirty, Sanghyang Kamahayanikan (dalam Bahasa Jawa), Jakarta, CV Lovina Indah, 1988
  • Swan, Bernard, Peace in Perspective. The Temporal and the Christic, Sri Lanka, Logos, 1999
  • Wiryamartana, I. Kuntara, Arjunawiwaha, Yogyakarta, Duta Wacana University Press, 1990″
  • Buku Acara Borobudur Writer and Cultural Festival 2012, dan seterusnya

*Penulis adalah Rohaniawan dan Pengajar Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.