Sartre : Lakon dan Kebebasan Manusia

Oleh Birul Sinari-Adi**

“Aku tidak ingin menjadi filosof,” begitu kata Jean-Paul Sartre semasa mudanya. Tapi perjalanan hidup seseorang memang sukar ditebak. Pertemuannya dengan pemikiran-pemikiran Bergson telah membuatnya menapakkan  karier sebagai seorang sastrawan sekaligus filosof. Dua bidang yang turut mengangkat nama besarnya.

Sebenarnya, minat Sartre terhadap berbagai hal sangat besar dan aktivitasnya cukup beragam. Ia juga menulis kritik seni, skenario film, dan tulisan-tulisan yang berupa kajian politis. Ia sempat pula terjun dalam dunia jurnalistik dan penerbitan, bahkan sempat terlibat dalam politik praktis. 

Tetapi peranannya dalam kesusastraan dan filsafat bisa disebut yang paling menonjol, sehingga ia lebih dikenal sebagai sastrawan atau filosof. Ia turut memberi warna tersendiri pada dunia kesastraan dan peta pemikiran masa itu. Nama dan pengaruhnya lantas tidak hanya menggaung di kalangan cerdik-pandai Perancis atau Eropa, tetapi juga terdengar di Amerika dan bahkan di seluruh penjuru dunia. 

Sartre lahir pada tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Tidak lama setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dan ia lantas dipelihara oleh kakeknya. Sampai umur sepuluh tahun ia hidup dalam “kesendirian” dan hanya ditemani buku-buku. Ia juga banyak membaca kisah-kisah klasik Perancis dan Jerman dengan bimbingan sang kakek. Dari sini ia memulai karir menulisnya lewat karya plagiat pada usia tujuh tahun dan mulai merasakan kesenangan menulis. 

Sastra Sebagai Bentuk Penyuaraan

Peranan Sartre sebagai sastrawan dan filosof ini menegaskan dirinya sebagai gambaran sosok hasil sintesis antara jiwa artistik yang kental dengan intensitas pikiran yang jenial : suatu figur antara Spinoza dan Stendhal. Kesan semacam itu memang sukar dihindari. Bahkan ia sendiri pernah berkata, “Aku mengimpikan hanya menyuarakan gagasan-gagasanku lewat bentuk yang indah, yaitu karya sastra.”

Meskipun ia menolak jika seluruh karya sastranya hanya diartikan sebagai penggambaran atau penyederhanaan dari karya filsafatnya. Dan kemudian ia sendiri membedakan secara jelas keduanya, para pembaca tetap melihat adanya keterkaitan antara karya sastra dan teks filsafatnya. 

Namun dengan penolakannya itu, Sartre tidak lantas memaksudkan bahwa karya sastranya itu sekadar sebagai ajang penumpahan ekspresi diri atau sebagai ajang pemburuan atas kaidah-kaidah estetika kebahasaan semata, yang hanya berujung pada pencapaian indah kata atau bahasa dan kosong dari pemikiran-pemikiran yang mendasari.

Hal ini mengingat karya sastra Sartre tidak kehilangan bobot kesastraannya, dan memiliki bentuk pengucapan yang berbeda dengan teks-teks filsafatnya.

Sebagai penulis ia tidak menginginkan dirinya berada dalam lingkup elitis. Ia tidak menulis dengan menggunakan bentuk penulisan tertentu, yang sebagai akibatnya mungkin hanya akan dimengerti oleh kalangan tertentu. Sebaliknya, dengan menulis dalam berbagai bentuk penulisan, maka karya-karyanya dan dengan sendirinya pemikiran yang ada, mendapatkan pembaca yang lebih luas.

Hal ini rupanya disadari oleh Sartre. Terbukti sejak awal, ia telah memilah-milah khalayak pembaca dalam kelompok-kelompok tertentu. Karyanya yang berupa kajian filsafat, semacam L’Imagination (1936), L’Etre et le Neant (1943), Critique de la Raison Dialectique (1960), diperuntukkan bagai segolongan kecil intelektual yang menghususkan diri pada bidang filsafat. Dalam karya-karya tersebut digunakan bahasa dan penalaran yang bersifat teknis.

Sementara karyanya yang berupa kritik sastra dan tulisan-tulisan politis, seperti : Saint Genet, Comedian et le Martyr, Les Communistes et la paix (1952), L’Idiot de la famille (1971-1972), diperuntukkan bagi para intelektual yang tidak menghususkan diri pada bidang filsafat.

Dan untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang lebih luas, ia menyampaikannya lewat roman dan lakon dramanya, seperti La Nausée (1938), Les Mouches (1943), atau Huis Clos (1944).

Penjadian karya sastra sebagai bentuk pengucapan pemikiran ini, sebenarnya tidak murni datang dari Sartre. Tetapi memang sudah menjadi semacam tradisi bagi pengarang Perancis untuk selalu berangkat dengan konsep-konsep kesastraan yang kemudian menjadi dasar bagi karya-karyanya. 

Berdasarkan pada tradisi kepenulisannya, terlihat bahwa fakta atau alat cerita semacam plot, tokoh maupun gaya penceritaan, bagi Sartre merupakan persoalan kedua. Sebelum itu, ia terlebih dahulu memilih subjek-subjek baku seperti kebebasan, kebetulan, tanggung jawab, dan sebagainya. 

Subjek-subjek baku tersebut dimaksudkan untuk mengisi aforisme-aforisme seperti : malapetaka manusia justru karena dirinya bebas, eksistensi bukan determinasi karena eksistensi berupa kebetulan, lari dari eksistensi masih tetap disebut eksistensi. 

Dalam pandangan Sartre, pengarang tidak berbeda halnya dengan seorang pembicara. Pembicara yang berbicara lewat karya-karyanya. Dan karya sastra mempunyai arti sebagai sarana komunikasi bagi pengarangnya. Pengarang menghendaki agar apa yang diungkapkan lewat karyanya itu dapat tersampaikan pada pembacanya. Sartre memang sangat percaya akan kemampuan karya sastra sebagai sarana penyampai aspirasi pengarang. Dan ia adalah seorang pembicara yang fasih lewat karya-karya sastranya. 

Satu catatan perlu ditambahkan bahwa dengan ancangan semacam itu, Sartre tidak memaksudkan dirinya sebagai pengarang yang sekadar bertutur tentang pemikiran-pemikirannya. Karya sastranya masih berada dalam konteks kesastraan. 

Bagi Sartre agar karya sastra itu dapat dipahami oleh pembacanya maka pengarang harus menampilkannya sebagai suatu kondisi yang benar-benar nyata. Pengarang harus menampilkan persoalan-persoalan aktual manusia yang ada, yaitu persoalan-persoalan yang dikenali oleh pembacanya dengan akrab.

Sebagai pengarang, Sartre memang bermaksud membangun hubungan dialogis dengan pembaca. Ia mempunyai keyakinan bahwa karya sastra mampu menjalin adanya komunikasi yang paling erat antara pengarang dengan pembacanya. Keyakinannya itu didasarkan pada pandangan bahwa karya sastra berada dalam tataran wacana. 

Karya sastra merupakan sebentuk makna yang mengandung suatu pengertian atau merujuk hal tertentu pada suatu realitas dunia. Sebagaimana karya estetik lainnya, menurut Sartre, objek karya sastra adalah realitas dunia, hanya saja realitas itu dihadirkan secara imajinatif.

Realitas dunia itu, dalam pandangan Sartre, dihadirkan untuk menunjukkan pada pembaca bagaimana seharusnya mereka menghadapi dan bertindak dalam realitas semacam itu. Dengan demikian, bagi Sartre, karya sastra merupakan suatu sarana penyelamatan metafisis manusia atas dunianya. 

Lewat karya sastra itu dibangun suatu konstruksi kebebasan, yang sekaligus menjadi padanan dari realitas dunia. Maka tokoh-tokoh dalam karya sastra Sartre digambarkan berada dalam suatu dunia. Mereka dalam keadaan sendiri, tanpa tujuan yang pasti maupun determinasi-determinasi tertentu. Dalam kondisi demikian itu, mereka mesti menjadi manusia di antara manusia lainnya dengan harapan dapat menemukan arti dari keberadaan mereka yang sebelumnya bukanlah apa-apa. 

Meskipun karya sastra Sartre di kemudian hari mengalami pergeseran, namun bisa dikata tetap menganut pola-pola yang sama. Karya sastra tersebut bisa dipahami sebagai susunan bentuk-bentuk yang menunjukkan dengan jelas kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi kesadaran.

Maka tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh Sartre dalam karya sastranya justru menghadapi persoalan-persoalan ketika mereka sadar bahwa dirinya berada dalam suatu kondisi tertentu. Bahkan, setiap munculnya kesadaran dari tokohnya, mengimplikasikan adanya konsekuensi-konsekuensi yang bisa mencelakakan.

Lakon Sebagai Penggambaran Realitas Dunia

Tidak bisa dipungkiri bahwa ketenaran serta banyaknya perhatian terhadap pemikiran-pemikiran yang dilontarkan Sartre, tidak bisa dilepaskan dari peranan serta dukungan naskah-naskah lakonnya. Lakon-lakonnya itu memang lebih mudah dipahami bila dibandingkan dengan karya filsafatnya. Bahkan mendapat tanggapan serta perhatian dan terutama dapat diterima oleh khalayak luas. 

Di sisi lain, pemikiran-pemikiran kefilsafatan Sartre masih dapat terbaca dengan jelas dalam lakon dramanya itu. Karena tergambarkan lewat bentuk-bentuk yang lebih nyata. Lewat lakon-lakon dramanya itu, pemikiran-pemikiran Sartre yang abstrak termanifestasikan ke dalam bentuk yang lebih kongkrit.

Sejak tahun 1940, Sartre mulai meninggalkan tema-tema kesendirian dan beralih pada solidaritas maupun keterlibatan manusia dalam sejarah. Maka karya-karya sastranya tidak lagi berbicara tentang keberadaan manusia semata, yang tercerabut dan terpisahkan dari persoalan-persoalan sejarahnya. Sebaliknya, Sartre berusaha menggambarkan suatu konsep humanisme yang mengakar dan terlibat aktif dalam menghadapi kondisi zaman.

Dekade 40-an itu bisa dibilang masa produktif Sartre sebagai penulis lakon. Selama lima tahun, yaitu dari 1943-1948, ia menghasilkan lima naskah lakon : Les Mouches (1943), Huis Clos (1944), Morts Sans Sepulture, La Putain Respectueuse (1946), Les Mains Sales (1948).

Menginjak tahun 50-an, intensitas Sartre dalam menulis lakon mulai berkurang, meskipun tidak berhenti sama sekali. Beberapa lakonnya yaitu : Le Diable et le Bon Dieu (1951), Nekrassov (1955), Les Sequestres d’Altona (1959). Dan juga lakon-lakon adaptasi, seperti : Kean (1953) dari karya Alexandre Dumas, Les Troyennes (1965) dari Euripide.

Lakon-lakon drama Sartre itu menunjukkan suatu kesamaan yang mendasar. Tokoh-tokoh lakon ditampilkan sebagai manusia-manusia yang bebas. Ia memang bermaksud menyuarakan kebebasan manusia. Dalam pandangannya, kebebasan manusia tersebut memiliki keterbatasan, jadi manusia adalah makhluk yang bebas dalam keterbatasan. 

Dan pembatas itu tidak lain adalah situasi yang melingkupi diri manusia. Situasi-situasi semacam itu yang mewarnai dan ingin ditampilkan oleh Sartre dalam lakon-lakonnya. Situasi tersebut muncul secara sederhana namun penuh dimensi kemanusiaan. 

Hal itu, oleh Sartre, dimaksudkan untuk mewujudkan gambaran manusia yang terlibat dalam pilihan-pilihan bebas, saat-saat manusia sedang bertindak, dan saat-saat manusia harus melibatkan dirinya dengan suatu moral dan keseluruhan hidupnya. 

Dalam penggambaran itu, lakon-lakon Sartre tidak menampilkan karakter-karakter psikologis manusia, semacam watak-watak pengecut, penipu, ambisius, dan sebagainya. Sartre memang tidak membangun lakon-lakonnya dengan konflik-konflik karakter. Ia justru menggantikannya dengan konflik-konflik hak, yang menduduki tempat sebagai situasi itu sendiri. Situasi tempat manusia-manusia itu berada. 

Sebagai penulis lakon, Sartre memang tidak terlihat mengupayakan adanya pembaharuan dalam lakon-lakonnya. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Beckett atau Ionesco. Ia lebih memanfaatkan tradisi. Hal ini terlihat dari upaya penempaan mitos-mitos Yunani sebagai pijakan ceritanya. 

Sartre juga meminjam pengertian yang telah diajukan oleh Hegel dan Corneille. Dari Hegel diambil pengertian bahwa kegairahan manusia tidak semata sebagai cerminan dari sifat manusia, tetapi lebih mendasar yaitu kegairahan itu dipandang sebagai hak. Dan dari Corneille, manusia dilihat dalam seluruh kompleksitasnya dan realitas totalnya.

Lakon-lakon Sartre berangkat dari pengertian bahwa manusia bebas dalam keterbatasan situasinya sendiri, dan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus dipilihnya, entah menyenangkan atau tidak. Meskipun pilihan itu untuk diri sendiri namun mempunyai konsekuensi untuk orang lain. 

Dan tujuan lakon semacam itu, bagi Sartre, dimaksudkan untuk mengungkapkan seluruh situasi yang paling dikenal dalam pengalaman hidup manusia, situasi yang mungkin hadir dalam kehidupan sehari-hari. Maka lakon-lakon Sartre mencoba mengungkapkan keseluruhan kondisi manusia dan menghadapkannya pada manusia modern akan potret mereka sendiri, persoalan-persoalan mereka, harapan-harapan dan bahkan pergulatan mereka. 

Sebagai representasi dari pandangan semacam itu, mempunyai pengaruh terhadap struktur penceritaan lakon-lakon Sartre. Lakon-lakon itu biasanya memulai “permainannya” sejak dari awal. Alur terbangun dari puncak, karena dari mula konflik-konfliknya telah terbangun, dan hanya berbicara pada satu pusat peristiwa. 

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita tidak begitu banyak. Cerita berlangsung dalam waktu yang pendek, kadang hanya berlangsung dalam beberapa jam saja. Kedatangan Oreste—tokoh dalam Les Mouches—ke Argos dengan saat ia membunuh Egisthe dan Clytemnestre hanya berselang beberapa waktu. 

Demikian pula dalam Huis Clos, konfilk tokoh-tokohnya berlangsung dalam intensitas waktu yang tidak jauh berbeda. Lakon-lakon Sartre itu, lewat tokoh-tokohnya, akhirnya mempunya arti sebagai pembenaran dan sekaligus contoh yang fungsional untuk menunjukkan realitas kehidupan manusia itu sendiri. 

Hal itu, oleh Sartre, ditempuh dengan cara menciptakan realitas lakon sebagai mitos, dengan jalan menyajikan pada publik suatu gambaran yang diperbesar dan diperkaya dengan kenistaan yang dialam oleh manusia sendiri. 

 —–

Tulisan  ini pernah dimuat di Media Online suratkabar.com pada tanggal 16 Juni 1999

*Birul Sinari-Adi, alumnus Jurusan Sastra Perancis, Fak. Sastra, UGM