Napas Jiwa

Oleh Azuzan JG

Saya baru selesai menonton “Napas Jiwa” di kanal Indonesiana tv. Cukup menarik, menggelitik untuk mengamatinya dari segi proses dan teknik pembuatannya.

Jay Subiakto adalah salah seorang fotograper handal yang dipunyai Indonesia. Ia didaulat sebagai sutradara dalam karya tari Atila ini. Kejelian Jay dalam menangkap momen demi momen dalam tarian Napas Jiwa ini patut diacungi jempol. Setiap gambar tampak diperhitungkan betul pencahayaan dan komposisinya. Ini memang spesialisasi Jay sebagai fotograper. Akan tetapi, ketika ia harus merangkai gambar-gambar itu menjadi jalinan cerita – sesuai pesan isi yang hendak disampaikan, itu terasa mengalami sendatan.

Memang, hal merangkai gambar itu dikerjakan oleh Editor. Akan tetapi, kontrol sutradara terhadap editing tidak bisa diabaikan. Di satu sisi, sendatan itu memang tampak disengaja untuk memunculkan nuansa “kekinian” yang dimaksud dalam konsep penggarapannya. Akan tetapi di sisi lainnya, dalam hal prinsip film sebagai gambar yang bercerita, itu mengalami kelemahan. Sepanjang pertunjukan, sangat banyak sisipan gambar-gambar hitam putih yang disengaja, double exposure, disertai efek bunyi di sela-sela adegan tari yang sedang intens mengalir.

Sisipan gambar hitam putih dalam “Napas Jiwa” [Foto: Tangkapan Layar Situs pkn.id]

Bila itu yang dimaksud Jay sebagai upaya memunculkan kekinian (kontemporer) itu, mungkin perlu ditelisik lagi. Upaya mengganggu kenyamanan penonton itu, merupakan teknik yang dikenalkan dramawan Jerman, Bertold Brecht (1898-1956). Ketika penonton sedang asyik menonton, tiba-tiba diselipkan gambar-gambar atau adegan yang tidak sejalan dengan cerita, dengan maksud menyadarkan penontonnya bahwa kehidupan yang sebenarnya bukan berada di pertunjukan yang sedang ditontonnya. Ia adalah manusia yang tidak terlepas dari kehidupan nyata yang sedang dijalaninya.

Teknik menyentak kesadaran penonton ini dipakai Brecht untuk menggugah masyarakat Jerman di masa kekuasaan Nazi. Ia menyajikan cerita yang tidak memakai setting di Jerman, akan tetapi secara halus pada penontonnya disadarkan, bahwa situasi kemanusiaan yang tengah ditontonnya itu sedang terjadi dalam kehidupan kini.

Kembali ke “Napas Jiwa”, apakah sendatan itu dimaksudkan untuk menyadarkan penontonnya bahwa peristiwa di masa lalu itu terjadi pada saat kini? Masing-masing bisa punya jawaban berbeda. Bagi sebagian orang, biarpun masa lalu itu itu telah lewat, tetapi ia bisa menyimpan trauma mendalam – mengganggu jalan di kehidupan kini – apabila peristiwa yang menghantam jiwanya di masa lalu itu tidak di “sucikan” kembali. Kita tahu, ada banyak trauma dalam tubuh sejarah kita. Penyucian jiwa diperlukan, seperti disimbolkan dalam tarian Napas Jiwa ini.

Tujuan utama dalam sebuah pertunjukan – apakah itu real di panggung atau melalui media rekam – adalah menyampaikan “moral message” Pesan moral itu tidak perlu dijelaskan seperti di behind scene-nya atau di opening scene-nya. Pencerapan estetika seni adalah soal pencerapan rasa. Penalaran seni itu indrawi sifatnya. Bila pertunjukan itu cukup kuat, pesan moral itu tanpa dijelaskan melalui bahasa verbal – akan tertangkap oleh audien yang intens mencerapnya.

Setting Candi Barong dalam pertunjukkan “Napas Jiwa” [Foto: Tangkapan Layar Situs pkn.id]

Meski begitu, tidak berarti keseluruhan pertunjukan yang divirtualkan ini menjadi tidak menarik. Ada banyak momen-momen estetis yang sangat tepat ditangkap oleh Jay. Pemilihan setting Candi Barong yang dibangun di abad 9-10, merupakan pilihan jenius. Ada banyak sudut-sudut gambar yang menarik dengan latar candi itu, sekaligus bisa mengingatkan tentang kekayaan peradaban dan budaya peninggalan nenek moyang kita. Aransemen musik Erwin Gutawa cukup luar biasa. Ia berhasil memadukan unsur-unsur musik tradisional dengan instrumen modern, nada-nada diatonik dan pentatonik tampak menyatu. Musik tradisinya masih kental terasa, diperkuat dengan tembang-tembang dan mantra yang mendukung suasana cerita. Ketut Rina sebagai tokoh dalam cerita muncul prima. Ia tidak sekedar bergerak dengan raganya, tapi juga dengan jiwanya. Penari Bali yang juga sahabat dan murid Sardono W. Kusumo ini mampu membuat setiap bagian tari jadi muncul gregetnya. Kesan magis yang dimunculkan koreograper di tarian Topeng di babak II itu juga menarik. Kerlap-kerlip cahaya obor di balik mata topeng itu menimbulkan rasa aneh dan terasing (alienasi), seperti hendak mengatakan: kita sedang berada di dunia yang aneh ini. Selain itu, kolaborasi unsur-unsur tari Bali dan Jawa, terutama dalam tarian dengan memakai properti kuda dari daun janur itu, berhasil memadukan kedua akar budaya itu, menjadi suatu karya yang baru dan kekinian.

Ya, kekinian tidak semata berurusan dengan teknologi.

Kita bisa berkomentar panjang lebar tentang “Napas Jiwa” ini, tidak untuk mencela pertunjukannya, tetapi untuk menganalisa, mempelajari kembali seluk-beluk kesenian agar ia tidak mandeg di satu pencapaian saja. Tingkatan seni tidak ada batasnya.

Gouda 19-11-2021

*Penulis merupakan teaterawan