Imajinasi Komunal dan Kebudayaan Indonesia Pascatradisi (Catatan Festival Budaya Panji 2024)
Oleh: Purnawan Andra*
Memperingati penetapan kisah Panji sebagai Memory of The World oleh UNESCO tahun 2017, digelar Festival Budaya Panji (FBP) di Gedung Kesenian Jakarta pada 22-24 Oktober 2024. Sepuluh kelompok terpilih menampilkan tafsir kisah Panji dengan kekayaan cerita dan ekspresi artistik menjadi wajah budaya Panji di Indonesia hari ini.
Karena tidak hanya semata ekspresi seni pertunjukan, Panji sebagai sebuah narasi lokal menjadi basis penciptaan berbagai wujud estetika mulai dari musik (seni kentrung), rupa (wayang gedhog, beber, dan lainnya), tutur (cakele ataupun kisah-kisah rakyat) dan lainnya. Dengan tema-tema yang diangkat serta cara bertutur yang beragam, FBP tidak hanya menjadi dokumentasi karya tapi juga menggambarkan perkembangan dinamika budaya merespon isu kontemporer.
Para penampil berasal dari Malang, Indramayu, Sumenep, Wonosobo, Banjarmasin, Karanganyar, Bali, Klaten, Palu dan Banyuwangi. Baik berbasis tradisi maupun kontemporer, FBP menyediakan ruang untuk menyimak sejauh mana penyebaran, kontekstualisasi dan dialektika para pelakunya sebagai karya seni pergelaran (performance), yang mempresentasikan potret kreatif sekaligus merepresentasikan kondisi sosial budaya masyarakat.
Ini bisa dilihat dari tampilan atas tafsir kisah Panji yang terasa segar dan menarik, dengan bersumber dari lokalitas (mitos/legenda, identitas komunal) hingga merespon isu-isu kontemporer (sosial, ekologi dan kultural). Sanggar Wayang Bundeng Gepuk Wonosobo misalnya, menafsir legenda kawah Sikidang di Dieng untuk mengangkat isu kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Begitu juga Komunitas Topeng Ghulur Sumenep sajian ritus agraris dengan para penari bertopeng bergulung-gulung diatas pentas, menjadi simbolisme konsep grounding keterhubungan (tubuh) manusia dengan bumi sebagai bagian dari ekosistem. Pertunjukan ini mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dan alam, sekaligus menawarkan refleksi ekologis dalam konteks lingkungan modern.
Di sisi lain, Padepokan Seni Mangun Dharma Malang dengan berbasis pada Prasasti Pabanolan (1381 M) memotret isu kesehatan (fisik dan mental) yang sebenarnya menjadi tafsir kekinian sekaligus representasi kenyataan kehidupan manusia kiwari yang kesepian dalam kesendirian.
Wacana feminisme diangkat oleh Sanggar Kedhaton Ati Karanganyar dengan mangadaptasi pola-pola kehidupan masyarakat (perempuan) nelayan Madura dalam konteks kehidupan kesehariannya. Hasilnya berupa sajian reaktualisasi wayang dengan sentuhan sinematik.
Pun Pesinauan Sekolah Adat Osing menampilkan wujud artistik Barong Kemiren untuk mengisahkan historisitas sebuah (wilayah) kelompok masyarakat di ujung timur Jawa dalam konteks hubungan manusia dengan alam dan entitas supranatural yang mencerminkan nilai-nilai keseimbangan dan harmoni, dunia bawah – dunia atas, bumi – angkasa, masa lalu – masa depan. Sebuah pemaknaan atas tema universal tentang waktu.
FBP membuktikan daya jangkau para seniman untuk lebih jauh mengangkat cerita-cerita tentang personalitas, kelokalan dan komunalitas – nilai-nilai yang masih berlaku di masyarakat. Hal ini, seturut Marleau-Ponty, menjadi tindakan melihat (act of viewing) dunia dan menjadi suatu kemampuan (faculty) yang mampu menjembatani cara melihat dunia. Pengalaman, tindakan sekaligus kemampuan (dan kedewasaan) melihat kenyataan keberagaman dan menyikapinya sebagai potensi budaya bangsa ini.
Keberakaran
Diluar itu semua, tampil juga kelompok-kelompok Panji “klasik” seperti Yayasan Tari Topeng Mimi Rasinah (Indramayu), Topeng Dalang Somakaton (Klaten), Sanggar Satriya Lelana (Bali) hingga ritus Manopeng dari Sanggar Albanyiuri (Banjarmasin). Mereka adalah perawat tradisi Panji dalam ekspresi sajiannya sejak lama hingga kini. Ini menjadi upaya menelusur keberakaran sekaligus dua wajah Panji yang kontekstual: refleksi dan re-kreasi.
Kisah Panji sebagai produk kebudayaan memberi ruang bagi publik untuk menafsir dan menafsir ulang secara kritis, mencipta dan mencipta ulang berbagai pengertian dengan mengandaikan gagasan untuk menyusun artefak imajinasi komunal, yang membentuk dan mempresentasikan entitas sebuah kelompok masyarakat. Kisah Panji adalah sebuah bangunan logika, konstruksi psikologi dan teori budaya masyarakat.
Melalui lapis-lapis dalam teks (gerak, kostum, iringan dan lainnya) serta konteks (maksud, tujuan, konten hingga esensi pergelaran), FBP bisa menjadi wahana penting dalam upaya menjalin komunikasi dan interaksi kultural dengan publik, tentang banyak hal: refleksi kearifan, nilai komunal hingga narasi kebudayaan Indonesia pascatradisi. Dengannya, kelangsungan antara khasanah tradisi dengan yang modern bisa bersatu, dan ada sejenis wahana artistik yang menghubungkan (dan memfasilitasi)nya.
Ekosistem
Ini bisa menumbuhkan ekosistem seni, yang mengacu UU no 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sebagai suatu sistem dengan segenap unsur yang saling mempengaruhi dalam sebuah hubungan timbal balik yang tak terpisahkan. Tidak hanya terdiri dari seniman, kelompok kesenian dan penontonnya, tapi juga laboratorium inkubasi, ruang etalase dan distribusi karya, dengan dukungan kebijakan yang mencipta iklim kreatif, kondusif dan apresiatif hingga dampak sosial, ekonomi dan politis bagi seniman dan masyarakat.
Pembaharuan nilai-nilai khasanah seni yang disajikan melalui festival, merupakan wujud dari kesadaran bahwa bagaimana suatu arah perubahan yang berbasis laboratoris dirumuskan dan diekspresikan melalui pengaryaan, penyajian dan diskursus pergelaran sebagai realitas artistik dan simbolik yang organik.
FBP hanya salah satu contoh elemen ekosistem kultural yang diharapkan bisa terus menjaga ruang kreatif, basis logika penciptaan dan kecerdasan teknik, serta artikulasi artistik yang menjadi semangat dasar ekspresi seni budaya Panji. FBP menjadi usaha pelacakan, riset pendataan, pengarsipan dan tentu saja apresiasi juga tafsir kritis untuk menjaga proses kelangsungan kehidupan seni budaya Panji.
Kekuatan ini bisa menjamin keberlangsungan aktifitas, dinamika dan dialektika yang akan menciptakan kesadaran tatanan nilai melalui suatu tafsir dan rumusan baru tentang ruang kehidupan budaya Panji di masadepan.
Karena kebudayaan di negeri ini bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, tapi juga sebuah piranti sosial yang efektif mengatasi persoalan-persoalan kontemporer, mampu berdialog dengan dinamika kiwari untuk bisa mengembangkan diri dan meneguhkan eksistensi kulturalnya.
***
*Purnawan Andra, salah satu penulis buku Topeng Panji Mengajak Kepada yang Tersembunyi (Balai Soedjatmoko, 2014); bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek.