Geal Geol Chaos: Membaca Pertunjukan Jalur Bus Wajan Penyok
Oleh Anwari
Sebuah pertunjukan berjudul Jalur Bus Wajan Penyok dibuat dengan model teater eksperimental dan dimainkan dalam bus rute Banyuwangi ke Situbondo pada Minggu 4 Desember 2022, Surabaya ke Madura pada 5 Desember 2022, dan Malang ke Blitar 6 Desember 2022. Pertunjukan ini didukung oleh program Dana Indonesiana 2022 kategori karya inovatif dan dimotori oleh Wulan Destian Natalia sebagai produser bersama Arung Wardhana Ellhafifie sebagai sutradara, dramaturg dan fasilitator. Pertunjukan ini berlangsung selama perjalanan sampai pada titik pemberhentian dengan total sekitar enam sampai tujuh jam setiap harinya. Penonton dapat menyaksikan pertunjukan ini lewat media daring di kanal Youtube Wulan Destian Natali.
Terkait pilihan menggunakan model teater eksperimental, dengan mengutip dari Wikipedia bahasa Indonesia bahwa:
Teater (Inggris: “theater” atau “theatre”; Prancis “théâtre”; bahasa Yunani “theatron” yang berarti tempat penonton atau pertunjukan di mana salah satu seni bermain peran (drama) menyajikan cerita kehidupann nyata di atas pentas.
Dari kutipan ini bisa dipahami jika Jalur Bus Wajan Penyok memang memuat suatu kesengajaan untuk menghadirkan realitas hidup penari yang berkaitan dengan relasi kuasa, institusi, dan keluarga ke dalam ruang realitas pertunjukan. Seperti yang diungkapkan Immanuel Kant, salah seorang filsuf postmodernisme tentang ruang dan waktu, bahwa realitas akan menghadirkan realitas baru dan begitu seterusnya.
Sedangkan pilihan eksperimental dalam pertunjukan ini dapat beralaskan sebagai usaha menawarkan estetika baru dalam seni teater dengan bereksperimen pada ruang, di mana ruang pertunjukan teater selama ini begitu statis dan ditempatkan di ruang khusus yang kaku. Maka pertunjukan dalam bus yang berjalan membuat ruang pentas bergerak bersamaan dengan narasi teks dan tubuh para pemain, hingga melahirkan interaksi ruang dan tubuh yang terkoneksi secara alami. Koneksi ini menghadapi momentum yang tercipta dari kondisi dan situasi di dalam bus maupun di luar bus yang sedang berjalan. Tubuh yang tidak seimbang, sempoyongan, tubuh yang mengalami guncangan, dan tubuh yang terombang-ambing dalam bus, membuat peristiwa yang tercipta dari kondisi dan situasi ini, bisa diterjemahkan pada ketidakberdayaan tubuh menghadapi kuasa eksternal yang menentukan segala kendali pada tubuh sendiri.
Ada yang menarik terkait desain pertunjukan. Dengan bentuk bus yang segi empat, TV yang di dalamnya berbentuk segi empat, kardus, kursi, kamera, HP yang dipegang pemain bentuknya segi empat juga, serta nasi kotak saat para pemain makan dalam bus; terasa ada benang merah relasi “segi empat” di sini. Segi empat memberikan pemahaman tentang tafsir bahwa “yang bersegi empat” menciptakan batas, sedangkan batas membuat jarak, dan setiap segi empat ada sudut yang saling berlawanan walau dalam satu-kesatuan. Maka konsep segi empat membuat manusia berjarak, ada batas antarmanusia yang saling berlawan dalam kesatuan.
Manusia yang seharusnya memiliki kendali penuh terhadap tubuhnya sendiri kini mulai dikendalikan oleh beberapa faktor eksternal seperti sistem, mesin, sosial, budaya, negara, hingga agama. Relasi antartubuh dipersempit dan dikotak-kotakkan, kemudian dengan sengaja memutus konektivitas antarkonsep hidup alam semesta.
Mari kita kaji bagaimana segi empat lahir dalam pertunjukan ini membuat tubuh susah untuk bergerak dalam ruang yang terbatas, seperti masyarakat yang susah bergerak karena sistem yang dibentuk untuk mengekang dan mengendalikan kaum bawah. Hak akses personal manusia yang dibatasi dan tertutup walaupun kelihatannya terbuka namun hanya segelintir orang yang punya relasi kuasa untuk bisa membukanya. Bagaimana segi empat menjelma kotak sebagai penanda ruang dalam dan ruang luar kemudian berafiliasi dengan orang dalam dan orang luar.
Terkait material properti yang dihadirkan di dalam bus berupa celana dalam yang digantung; wajan yang digantung; juga kasur, kardus, tv, kamera, mikrofon, baju, kaos kaki, dan kertas karton yang ditempel. Kehadiran material yang ditempatkan secara acak membuat pertanyaan tersendiri bagi yang melihatnya hingga memunculkan impresi tertentu. Ini bisa dilihat dari komentar cukup menarik dari para netizen di kanal YouTube Tumpakrejo TV yang sudah ditonton empat ribu kali.
Dari berbagai komentar bisa dilihat bahwa pertunjukan ini terasa aneh bagi netizen, sedangkan kata “aneh” sendiri bersinonim dengan tabu, abnormal, dan absurd. Dari sinonim kata aneh menimbulkan sesuatu yang tabu untuk diungkapkan di mana abnormal sendiri menjadi perlawanan terhadap sesuatu yang dibuat normal atau yang dinormalisasi, tentu dalam konteks pertunjukan ini. Hingga kemudian tiba pada pemahaman yang absurd, konyol dan tidak jelas. Namun bukankah ketidakjelasan lebih banyak dan lebih nyata dalam realitas hidup manusia di luar pertunjukan ini? Bagaimana manusia memperlakukan manusia lainnya, atau manusia memperlakukan alamnya? dan bukankah seni merupakan peniruan dari fenomena-fenomena alam, termasuk perilaku dan sifat manusia itu sendiri? Apakah komentar dari reaksi netizen adalah bentuk kejujuran yang tidak terbebani oleh pengetahuan seni secara akademis?
Menanggapi kemelut pertanyaan itu melahirkan sebuah pemikiran berupa pertanyaan baru, “Apakah pertunjukan yang harus memahami masyarakat, ataukah masyarakat yang harus memahami pertunjukan?” dan pertanyaan lainnya, “Untuk apa dan siapa pertunjukan ini?”
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas memungkinkan untuk mengurai sesuatu yang ruwet, mumet, jelimet, dan kusut, agar menjadi suatu pengetahuan yang mampu memprediksi masa depan lewat indikasi realitas hari ini, dan kemudian dengan sadar mempersiapkan diri menghadapi realitas masa depan yang akan terjadi.
Pada akhirnya pertunjukan ini mencoba membongkar konvensi estetik yang menjadi paradigma selama ini. Seperti halnya estetika dalam seni yang dipahami hanya berupa keindahan, sedangkan pengertian estetika di abad pertengahan berupa persepsi inderawi dan konseptual. Kata persepsi sendiri bersifat relativitas yang masih bisa memungkinkan untuk pengajuan proposal estetika baru. Ketika ada tesis estetika maka harus ada antitesis estetika agar tidak menjadi kebenaran tunggal terhadap pemahaman. Ketika tesis dan antitesis dipertemukan maka kemungkinan akan melahirkan sintesis dari dua perbedaan itu. Ketika pendekatan estetika dipertanyakan ulang dan didebatkan dalam suatu ilmu pengetahuan maka semakin bergerak menuju jalur yang abstrak. Sebab dari abstrak itu menjadi kajian terbuka untuk menginterpretasikan secara personal dengan tingkat pengetahuan yang berbeda. Semua pemahaman akan realitas ini juga hadir dalam pertunjukan.
Sebuah pertanyaan juga kemudian muncul, bagaimana konsep dramaturgi dalam sosiologi dipakai untuk memahami realitas sosial melalui interaksi antarmanusia dengan manusia lainnya hingga pada pemahaman tentang kemanusiaan? Dalam proses interaksi sosial, paradigma diri (the self) terdesain lewat interaksi dengan orang lain dalam situasi sosial tertentu meliputi, ruang, waktu dan peristiwa dalam hidup. Diri dalam pertunjukan ini berupa sikap konfrontasi terhadap sistem relasi kuasa yang membentuk benteng hierarki dalam suatu instansi kebudayaan di Jawa Timur, bagaimana kesenian hanya menjadi bidak catur dari teknokrat yang memegang kuasa. Keberangkatan pertunjukan ini menjadi karya sangat objektif jika berangkat dari data kemudian diolah tanpa menutupi realitasnya. Namun ada kemungkinan karya tersebut menjadi subjektif jika tercampur dengan asumsi-asumsi personal penggarap yang memanipulasi data.
Pertunjukan ini tampak berantakan dan kacau, namun itulah yang mungkin tepat mendeskripsikan kenyataan yang sedang terjadi saat ini. Mungkin saja ini sebuah strategi pertunjukan yang dengan sengaja membuat kacau hingga tidak ada lagi batas realitas pentas. Dalam sudut pandang pertunjukan konvensional yang menganut kesempurnaan dengan meminimalisasi kesalahan, kasus Jalur Bus Wajan Penyok justru menampakkan hal-hal yang eror dan trouble menjadi lebur dalam peristiwa yang dilihat sebagai pertunjukan.
Ada juga hal lain yang menarik terkait posisi bus yang hadir sebagai transportasi manusia untuk berpindah tempat dari peristiwa awal menuju peristiwa lainnya. Tempat di sini bisa diartikan ruang yang hadir sebagai realitas yang saling tumpang tindih dengan realitas yang berlangsung dengan realitas yang tersimpan dalam diri. Mungkin yang tepat dalam pembacaan pertunjukan ini bisa lewat dramaturgi “hijrah”, bagaimana konsep hijrah menjadi penanda sebagai usaha berpindah menuju ke yang lebih baik.
Mari kita telusuri kata hijrah dan korelasi dalam pertunjukan ini. Kata hijrah (هِجْرَةٌ) berasal dari akar kata hajara (هَجَرَ) yang berarti berpindah (tempat, keadaan, atau sifat), dari pengertian ini bisa dikaitkan bagaimana Jalur Bus Wajan Penyok memakai dramaturgi hijrah sebagai medan tempuh untuk berpindah dari suatu yang kacau dan gelap menuju hal yang damai dan terang. Tercapai atau tidaknya tujuan hijrah tergantung pada sejauh mana dan sebesar apa semangat yang tertanam dalam diri ketika berpindah. Dengan demikian, hijrah membutuhkan “jihad” dan niat dari para pelaku pertunjukan dalam menentukan visi dan misi dalam karya ini.
Setiap pemain dan tim yang terlibat dalam bus selama tiga hari terlihat sedang melakukan “jihad” yang berarti mengerahkan segala kemampuan, kesanggupan, daya upaya, dan kekuatan. Upaya ini dilakukan untuk mendorong energi pada titik optimal hingga membentuk dalam satu kesatuan peristiwa yang dijalani. Proses ini ditempuh dalam sebuah perjalanan panjang dengan membawa harapan. Pilihan melakukan perjalanan untuk berpindah merupakan suatu keputusan dalam menentukan keberlangsungan hidup yang ideal. Ideal sendiri adalah sebuah kondisi utopis manusia yang secara kodrat menginginkan kebahagiaan.
Dalam pertunjukan Jalur Bus Wajan Penyok secara sadar aktor berkoloni dalam bus melakukan perjalanan menuju titik pemberhentian di setiap kota yang ditentukan. Peristiwa yang terjadi dalam bus menjadi penanda akan bagaimana konsep hijrah bertolak dari kondisi dan situasi dalam ruang kesenian hari ini. Apa yang terlihat adalah bagaimana suatu rombongan yang dipimpin oleh “kepala suku” menentukan sikap dengan jalur tempuh menuju suatu keniscayaan, yang berarti tujuan tersebut belum pasti sesuai dengan harapan awal.
Untuk mengakhiri tulisan ini, mari menengok sebuah kutipan buku Kesatuan Kreatif yang ditulis Rabindranath Tagore, “Kita tidak bisa menjelaskan kepada diri kita apa kita ini sebagai sebuah keseluruhan karena kita mengetahui terlalu banyak; karena pengetahuan kita itu lebih dari sekadar pengetahuan. Ia adalah suatu kesadaran seketika atas kepribadian, dan penilaiannya membawa emosi, kebahagiaan dan kesedihan, malu dan kebanggaan.”
Surakarta, 24 Desember 2022
*Penulis adalah Sutradara Teater