Puisi-Puisi Muhammad Ibrahim Ilyas

INTROSPEKSI BATU

mimpi menganga, langit menyala
terkurung batu, kuundang imaji
kupilah sepi agar kau tak lari
harus kuapakan duriduri dalam nadi

yang berserakan sepanjang mimpiku bukan hanya batuan candi,
sejarah mengeringkan air mata dan meringis;
borok di kakinya meruyak,
abses semesta yang melewati titik dan garis pada peta

lorong waktu memanjang, menyimpan geram
berpuluh tangan membentang garis beribu
kupanggang kehampaan bumi
menjawabi salam luapan hati
membatu

yang bertebaran sepanjang rindu bukan hanya lumutan sandi,
harapan mengurut dada dan menahan tangis;
bisul pada telinga dan matanya pecah,
buah nasib yang dituba tangan entah

duh, telah kita tepuk dulang kenangan
memercik sesak menindih dada
menghempas cermin ke batu
kerinduanku menjalari wajahmu
mencari wajahku
inilah komedi situasi itu
mengulurkan puluhan pisau tragedi
tak hendak membiarkanku bersuara
peran berebut masuk, pentas jadi kuburku

batu rindu, batu bisu
kudengar suaranya ragu
batu adam batu nuh batu ibrahim
batu musa batu isa batu muhammad
sampaikah batuku padamu

aku telah pulang berguru pada alam,
dan inilah rumah yang tengah kusiapkan,
istirahat tertunda:
memecah batu, menganyamnya jadi benang tajam
yang akan terkalung di leherku

tanggatangga batubatu
mengotakkan rinduku
tujuh tangga batu tujuh tangga rindu
terendam dalam darahku, menyimpan doa
mimpi menganga, langit menyala

Borobudur.

 

SOLITUDE

1.
tak akan kemuraman membiak di ladangmu, walau senja selesai dan malam menderai dinihari. kunang-kunang bergegas dan sekawanan angsa meliar mimpi membias. langit menggaris sunyi dan aku berhenti padamu.

2.
padang terbuka dan kaki-kaki berlari dalam kemurkaan. musim menundukkan kepala, jaka tarub membarakan kurunmu. langkah-langkah yang terhenti di persimpangan mengirimkan debu beku pada salju. dalam jejak-jejak kecil anakku anakmu, keriuhan mendadakkan penyeberangan, kerumunan menuliskan amarah dan doa, keniscayaan mendermaga pada jalan layang dan mall. siapa penulis sejarah yang menghapus puisi pada peta masa lalu?

3.
gerimis menulis tangis, bukit dan lembah meniriskan mimpi, sepasang nyala menuai air matamu. musim masih menyimpan traktat yang sama, malam dan dinihari yang memikul kerandaku.

langit menggaris baris jejak dan hujan memuntahkan keakanan. aksara dan kata menggenang halaman, kalimat dan alinea tumbuh berbisa, kau dan aku memercik membercak pataka.

4.
sejauh takwim meluncur, entah musim gugur entah musim dingin, lahat tanpa dasar, beku tak menadir. anakku anakmu berdiri di sebuah negeri nyeri, mengarsip bengkalai lalai dan menyusun catatan sisa petaka dan bakal bencana. sepanjang padang membentang, kelambu langit abu-abu, siang dan malam nirmakna.

5.
anakku anakmu mengurung murung. luka tak berjenjang naik tanpa tangga turun memetakan kurun keakanan. ikrar menggumpal tanah, kau dan aku membujuk bangau terbang tinggi agar tak ingkar pada kubangan kembali. ranah persumpahan menanggung mendung, janji tinggal sunyi dalam ranji.

6.
jejaklah detak jantung waktu, api menanti sandi, sekam menimbun jerami, pematang menyimpang padang. rahim tanah mengering, musim tanam menuai hama, anak negeriku beribu petaka. kau dan aku terpatri, pemakaman sudah ditandai, senyap melukai ilusi.

7.
sudah tiga cangkir, itu sudah lebih dari cukup, katamu. sampan, biduk atau perahu: sungai, danau atau samudra yang dilayarinya, apa peduli dermaga? aku mau cangkir ke empat, ke tujuh untuk merayakan demamku. kopi tak sesuai, dan kau menangis, lagi. para pelaut itu tak peduli.

8.
berhentilah menulis atau bicara tentang tipuan hawa atau ketakberdayaan adam, gumammu. kau membersit hidung, entah flu entah kepedasan entah sisa airmata. senja menguap mengembun malam, menyulam kunang-kunang di rambutmu. kita tak pernah tak sendirian, langit menyulam bau muram di ruang dalam dan menggenang di halaman.

9.
pamit tak merajut kenangan jadi sejarah. singkirkan kapal, perahu, sampan dan bidukmu. aku perlu rakit saja. bila tak pohon kelapa, batang pisang pun tak apa. tak usah dermaga, biar tak ada upacara. jangan kompas dan peta, cukuplah bagiku samudra. pada penanggalan sama, kau dan aku menyusutkan purnama.

 

MENJELANG SEPULUH MUHARAM

kurun menyusun nyeri tanggal dan bulan lahirmu, sunyi menampung gerimis. bintang dan kunang-kunang akan menggenapkan hitungan baru tahun masehimu. darah membasah gaza, anakcucu yakub mengabsah petaka. mengapa dunia diam? benarkah kau dan aku hanya benua hening, cuma samudra bergelombang tenang?

gadis sebelah rumah pinjam mukena, ceritamu seusai salam. di ujung sajadah rehal mengembang ayat bani israil, malam menggigil. roket-roket diluncurkan dan bom berjatuhan. tukang tenung dan tongkatnya sudah lama tenggelam laut merah terbelah, anakcucu musa menyihir bentangan gurun, mantranya menyala dan ribuan ular membunuh anak-anak tetangga.

rasanya aku paham kenapa yakub menangis sampai matanya buta, isakmu. ya, sepuluh muharam akan tiba, tidak hanya di karbala. tanjobi omedeto, athifa.

 

SURAT ILALANG

1.
sore ilalang menjelang, suratmu belum terbalas. lidah-lidah mendua tak peduli angin berpaling atau musim berpulang, ludah siap ditelan ulang, bokong warna manapun yang ditikam menang. matahari merendah, ombak menghempas pantai pamitku.

ilalang akan merumpun senja, anakku anakmu masih di alifbata. maafkan, suratmu tak jua terbalas.

2.
ya, kekasih. garis pantai menyekar pertemuan sedangkan malam ilalang tak mengubah arah ombak tanah kelahiranku. kau selalu suka wangi melati dan matamu hanami.

bila akhirnya aku tak mau menunda keberangkatan, itu bukan karena karcis di tangan atau kereta sudah menunggu. betapapun kuyupnya rindu, hujan nyeri kau dan aku tak kunjung teduh.

3.
kekasih kelam menunggu purnama, kunang-kunang menyanyikan sisa lagumu. barangkali kau dan aku memerlukan kamus baru: tanda gambar sudah dicoblos, suara-suara dihitung dan dijumlahkan sedangkan dinihari ilalang tak mampu menerjemahkan gumam malam anakku anakmu.

fajar mengaltarkan subuh mawar, pagi ilalang akan tiba dan matahari akan melihat sepasang cangkir kopi di meja beranda.

4.
siang ilalang membangunkanku, cangkir kopi mengampas pagi. spekulasi berkolaborasi dengan layar tivi, yang belajar sombong banyak sekali, ngomong dan gentong kosong berkolusi, yang ngemong memilih sunyi, anakku anakmu menyusun jeruji dan bertandan harapan memilih bui.
langit masih membarat matari, rantau ilalang merembang padang dan ladang, petang menyeberang di atas pusara ibunda. entah membisik entah menggumam, kau dan aku mengeja gagap doa.

5.
kau dan aku mesti bergegas, tulismu. bunga menuju layu, musim harus diberi pewarna karena detak cuaca makin tak jelas irama. kunci kotak surat menggerutu di tanganmu: masih kosong! petugas pos menghindari matamu, seolah sibuk karena stempel dan perangko. siang, petang, senja dan malam dalam satu amplop saja. akan ada purnama berdarah menggerhana, dinihari ilalang menyembunyikan pematang.

6.
deretan bangku di ruang tunggu, rumah obat dan stasiun mengulur waktu. renungkan air jernih di kali masa kecil, mengair mengalir mencari samudra. hilir mengganti hulu, muara mempertemukan sengketa, benihnya berurat mengakar sejak manusia pertama. ini bukan tentang pemberontakan hawa, bantahmu. ia hanya menawarkan dan kemudian ikut makan sebagai kepatuhan pada putusan adam sang junjungan.

sabarlah, aku sedang mempelajari ilalang surat-suratmu, mempertimbangkan doa baik untuk membalasnya. terlarang atau tidak, simalakama membuah, tetap terbawa dan membekal sampai anakku anakmu. pengembaraan ilalang melewati puncak kurva bencana, belum akan berhenti di musim semi ini.

7.
dan kakiku ilalang di sepanjang pantai barat dan selatan sementara jejak nyerimu membelantara timur pulau-pulau di pinggir benua. pelayaran siapa yang terjebak pusaran laut utara dan bunga mana yang terperangkap musim semu? langkah kecil anakku anakmu menggurun peta di hamparan pasir, ombak menahan riak.

bagaimana mungkin sunyi sempurna, selalu kudengar kecipak tanganmu membasuh tangan, muka dan lengan. azan mengiang, menjumlahkan nyeri shalat yang terabaikan. sujud malam kau dan aku tak akan cukup-cukup, tetapkan cecah sajadah. pamit akan memanen ilalang usia, sang suruhan tak akan terlambat tiba.

8.
ilalang melayarkan biduk pincalang, dan bibit menular yang kau namai sebagai nyeri berkecambah di muara. lengan siang malam mendayung samudra mendung, setiap angin bertiup setiap kabung perih menyusup.

sejauh mana matamu mampu menembus kelam di hadapan? prasangka beranakpinak dan kolase baikburuk warnawarni. anakku anakmu berseteru tentang kemenangan, asik menjumlah angka dan hitungan yang selalu berbeda setiap kali mereka mengulangnya. anakku anakmu memperdebatkan ujian dan ijazah, soal dan jawab yang saling bertukar tempat setiap kali mereka memulainya.

bila akhirnya aku tak bisa mencegah jalan dialih orang lalu, pancuran dan tepian dipindahkan, tanah ulayat tinggal riwayat dan rumah gadang tersimpan dalam kenang: bukankah kau dan aku sudah lama membukukan tambo dan kata pusaka?

9.
bolehkan aku menangis, isakmu. sunyi menyeru angkasa dan hujan menyerbuk senja. taman dan pantai menggigil sedu, anakku anakmu menggigit kuku. jari jemari malam membuku tabu, kunang-kunang tersesat di halamanmu.

bolehkah kau menangis? lebih ilalang kalau aku tak menjawab. sebaris titik dan garis bisa mengiris, burung-burung migran menunggu langit tiris. sebingkah purnama menyumbingkan dinihari, kau dan aku mesti merajut ranji. bagaimana pun, nyeri akan lebih pagi.

10.
pada akhirnya, kuterima saja semua surat-suratmu. balasan ilalang merambat di teralis jendela kamar muka, sepantun angin siang melayarkan tanda-tanda, titik dan koma. anakku anakmu bersilang kata kolase atau puzzle, memperdebatkan teka teki silang atau scrabble dan cucuku cucumu tindih menindih silang sengketa: indonesia atau nusantara. pulauku pulaumu haus dahaga, kelapa merayu petaka dan piutang menjelma hutang tak habis-habisnya.

karena telah kuterima surat-suratmu, langit menjeruji kenangan. ibuku dan ibumu akan menjadi sejarah? masalalu ilalang menyusun pecahan kaca, kau dan aku menganyamnya dalam dada.

11.
haruskah kubalas surat-suratmu? teman baikku akan membantu: nani bisa mencarikan kode posmu, yudo tak akan menolak bila melabuh di rute yang sama. pinggir cakrawala tak berhingga, langit memingit pamit dan petang memutar ulang kenangan kadaluarsa. taman-taman dalam kurun yang lewat coklat pucat, merahputih jahitan bu fat masih dirawat, anakku anakmu sudah dalam daftar peserta praktek pelajaran upacara pengibaran bendera. dan cuaca? semakin sering tak tepat ramalannya.

begitu pentingkah kiriman atau pelayaran ini? pagi ilalang menunggu, entah ke mana surat-surat itu mengalamatkan kau dan aku. dermaga atau muara, hulu luka akan menghilir doa.

 

SIMALAKAMA

1.
bagaimana aku mungkin memilih antara tiada dan tiada, bisikmu. bibirmu meringkas senja, hujan mempersempit sunyi. bulan dan tahun akan berkejaran di perigi pagi, langkah meracak jejak, kakiku membekas gabak, halaman merimbun semak, dada sesak koyak. tidakkah dapat kau temukan ruang antara kepergian dan keberangkatan?

2.
anakku anakmu menyusun agenda, berdiskusi, berdebat, interupsi, lobby, musyawarah mufakat, tawar menawar, menghitung-hitung jumlah suara. ruang-ruang sidang hirukpikuk, bilik-bilik keakanan dirancang, dibangun, dirobohkan, dirancang lagi, dibangun lagi, dirobohkan lagi.

sebagaimana kau dan aku pada suatu kurun waktu, giliran mereka sudah di depan mata: harus putuskan salah satu, makan bapak atau ibu.

anakku anakmu hilirmudik, kegelisahan mondarmandir di kalanghulu, matahari menajam bayangan, lapar membusung sepanjang badan. dan langit akan mendermagakan hutang janji: air mengalir, angin bertiup, bunga mekar, putik tumbuh dan membuah: simalakama!

3.
ya, buah itu tak bermusim, tak perlu cahaya matahari atau hujan. tepung sarinya menyerbuk dalam kepala, diairi darah mengalir nadi. dalam waktu, ia matang meruang. sedang ia tunggu mulutmu!

4.
dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. kau dan aku samasekali tak tau bila dan tak ingat telah memilih. daun malam gugur, pucuk pagi mengering dan payung hitam menutup nyala langit. makam kaum diterjang ombak, dan gelombang pantai padang membuah lengang, masa kanak membatu artefak isak.

siapkan bubur merahputih, ruwatlah hutan-hutan terbakar dan gunung-gunung meletus sebelum simalakama memaksa anakku anakmu memilih lagi.

5.
ketika pagi menepi, tak ada rindu lain. matahari membibir cangkir kopi, lengang meredam gumam angin. pisau persimpangan membelah langkahmu: risau atau risaulai.

6.
tidak memilih adalah pilihan! bukit tak berangin lurah tak berair, ninikku ninikmu bertikai berseteru bertikam batu. ayah ibu berebut kalanghulu, kau dan aku mendulang sedu, pulauku pulaumu mengasah ragu.

masih saja kau mau bertukar rupa dengan kata walau tak sampai-sampai ke manapun, bisikmu. malam berbagi sumpah, anakku anakmu menyusun aksara-aksara lain dan angin menjalin dinihari. berapa nyeri bisa menyalin ranji kau dan aku?

7.
siang dan petang membenih senja, malam bersiap menanggalkan hijab. pulauku pulaumu menghamili dinihari, menetap harap menuai janji paling pagi. anakku anakmu sudah menyiapkan pisau dan sendok garpu. makan tak makan, keranda di beranda dan lahat memahat niat, bersucilah, kau dan aku telah sepakat berjaga agar negeriku negerimu tak bergegas merayakan kematian bapak atau ibu.

 

SURAT LAIN TAHUN

selamat tahun baru, pesanmu. camar sekumpul melayang di cakrawala pesisir, selat dan lautku menyelenggarakan perkabungan, pulau-pulau sesak dada menahan isak bunda. bukan anakku anakmu yang meniup terompet di beranda, mereka sibuk menelusuri halaman-halaman kamus, semakin banyak bekas kata, mantan sinonim, anak pungut bahasa lain benua dan frasa yang terlihat lelah. seseorang – entah kau dan aku memerlukan identitasnya – berteriak tanpa suara: apakah pengertian dari makna, berbedakah dengan makna dari pengertian?

aku tak bisa merayakannya, kaoru membutuhkan sepatu, sedang kau masih sibuk menulis puisi dan terus percaya akan sampai pada ungkapan baru, tulismu lagi. aku berhenti membaca, memandang melalui jendela yang sama, rumput halaman samping meninggi, pot tak menyisa bunga dan sepasang sepatu bekas berdiam diri di kaki pohon mangga. gunung murung menisan musim dan cuaca. migrasi detik, menit, jam, hari dan bulan telah menjelma berhala, dan cicitcucu adam memujanya: meniup terompet, membakar petasan dan kembang api. bahkan sang augustus sendiri tak mengira, kalendernya mewujud merupa altar, jadi persembahan yang menyalakan lilin ilusi sukacita. pada titik yang dinamai tengah malam, lihatlah gerombolan ekstase itu, mulut-mulut khusuk yang melafalkan sepuluh angka diurut mundur, berjamaah dan bersorak sorai merapal mantra yang sama: selamat tahun baru!

migrainku kambuh lagi, kucukupkan kabar ini, pesanmu menutup. nyeri tak cukup-cukup, rindu tak mampu menghentikan hujan, lengang menyeru keakanan. terimakasih telah mengingatkan. maaf, tak kulihat tahun yang baru, bahkan sulit bagiku paham tentang apa yang mereka pertengkarkan, mereka sepakati atau mereka sebut sebagai tahun. angka dusta tak berhingga dan ritus hipokrisi menderet ukur, bisakah kau dan aku mencukupkan hanya detak sepatu dan denyut nadi?

siang memetang. andai di pantai, bisa kau saksikan senja leluasa merajah langit warnawarni dan keluasan laut terabstraksi. karena kau dan aku adalah airmata, biarkan pasir bergembira menyerapnya, menghisap lenyap. aku sedang belajar berhitung agar bisa menemukan lain tahun. sabarlah, akan kukirimkan sepatu baru untuk kaoru.

 

ANTARA AKU DAN BEKASI

 ingat chairil 

entah ia pernah sampai di karawang, atau hanya di antara. dan aku membayangkan bekasi, menjelangkan gerombol bangau terbang di atas senja sawah-sawah dan ketika membuka mata: kau temukan ribuan kendaraan aneka
berjejal warna, usia dan ketika; dan malam mencemplungkan mereka ke kerumunan kardus migran, makam dan tilam yang menepi dari rimba jakarta.

entahlah soal tulang-tulang itu, antara aku dan bekasi lebih sering berserakan, berdetak pada jam-jam yang menjarum, tajam dan terpisah. kalian mana yang akan menderu? apakah kau dan aku telah memegang amanah, berjaga atau berlupa? rel kereta melengkapi persepakatan harapan, menggantung pada ingatan sejarah, menggelembungkan hampa pada hari kerja. kau dan aku mondar-mandir di utopia gerimis, dan bukit lembah agraris berganti wujud jadi lapangan tenis dan kubu kubis yang meredam tangis.

entahlah, kekasih. akan lebih banyak rinai dan tempias yang menguap dan membias. satu catatan mungkin akan melabuhkan sejumlah cemas. ada banyak titik yang menggaris, menjadi kata dan kalimat, menyusun alinea dan membuku: negeri ini? halaman-halaman baru akan terus ditulis, baris dan bab lama menguning, daun dan ranting menghijau karena kloropil atau plastik dan pewarna. janji palsu tumbuh subur dan variannya dalam dusta menggembur. dan tulang-tulang itu, entah tergusur atau sudah dilebur.

aku dan bekasi? entah mana yang bisa bertahan mendahan dan merimbun pohon kurun. barangkali, kau dan aku hanya mampu satu puisi, maafkan ketakberdayaan ini. dan bekas bekasi, jejaknya menapak sampai nadi anakku anakmu, menggigilkan kampung halaman nyeri.

 

MALAM KAFKA

1.
bisakah kau dan aku hidup dalam dunia tanpa makan? kafka, yang lahir bersamaan dengan gerhana tigapuluh tiga tahun lalu, berbisik pada julaiha. matahari baru saja beranjak, perawan pelayan restoran itu terhenyak.

aku suka bakwan, dan aku akan kehilangan pekerjaan, julaiha terisak. angin melarutkan sisa senja. dalam diam, kafka mengantar julaiha. di trotoar, daun mahoni kuning dan daun mahoni kering menggugur sunyi.

bila tak ada makan, tak akan ada memakan, kata kafka. seperti biasa. malam tak menjawab, dan kafka tak memerlukan. tak ada saksi yang tau apakah julaiha akan nyenyak atau bermimpi makan bakwan berikutnya.

aku tak akan tidur, pulas akan memakanku. malam adalah ketentuan pengadilan yang lain, gumamnya.

2.
pamit tak pamit, semua garis akan sampai ke titik akhir, tulis julaiha. kafka membiarkan senja berlinang karena maut tak akan bergeming. tak bersisa hujan di pantai, pasir selalu menyerapnya. bukan gunung yang dikejar lari, tangan
belum tentu mau memeluknya. hanya sederet meja hijau, cuma beberapa jubah hitam dan sebuah palu.

panjang, sekejap atau selamanya: aku mau tidur, gumam kafka. dan malam, akan kubiarkan ia menjalani hukumannya.

3.
ada rindu sesudah senja? duhai. pipi julaiha aneka warna, cakrawala ungu, jingga dan kesumba. musim menggiring iklim, langit merajut awan dan laut. bangku-bangku taman terisi sesak, pohon mahoni dan flamboyan berayun, daun
daun menggugur isak.

kafka menggigil, luka bibirnya bergumam. sudah kusaksikan puluhan ribu matahari terbit: kupilah mana yang indah, kucatat mana yang cacat, kuhitung gabak yang murung, kukeringkan yang kuyup hujan, kusimpan semua rawan. tapi matahari yang diam, tenggelam di balik malam, bagaimana aku tahu nyerinya?

senja menyemai malam, kota dan benua menuai kelam. kafka mondar-mandir, getir menghulu hilir. putih hitam putih bolak-balik hitam putih hitam. wahai. julaiha, bukalah mata, biarpun nyala berbisa.

4.
berapa tahun aku menanti sudah? kafka menengadah, ruas dan buku jari menjumlah telah. ruang tunggu mendebu dan barisan antre mencandi, tulang belulang punggung, paha dan kaki menuai tua.

aku membenalu di gerbangmu, keadilan tumbuh jadi parasit dalam urat darah, hukum menjamur di kulit dan pori. aku masih memerlukan malam, merenung sunyi langit sebelum musim semi pamit. dan julaiha? duri mana yang bisa kucabut dari nyeri matanya?
5.
senja usai, hujan tak selesai. kafka menelusuri jalan dan lorong kota lama. sunyi di kaki, api di hati dan nyala luka terbuka: barisan telong-telong, bekas ladam kuda dan jejak roda pedati. hei, aku belum berhenti, aku belum dihentikan! ajal belum ke tapal, menanti belum di mati.

pulang bagai kiambang, halaman penuh kunang-kunang, pintu kelam terpentang. serumpun melati yang dulu ditanam bunda membunga: segenggam menyeduh teh upacara, beberapa untai memantrai pesta, sejumlah rangkai penutup keranda, sisanya membukitkan pusara.

beribu sembilu rindu menyerbu, kafka tersedu. tanjakan dan turunan masih punya rambu, keadilan pastilah lebih dari sekedar a i u.

malam mesti jadi dinihari, fajar akan menimba pagi. julaiha, pulaskah tidurmu?

6.
ini senja yang berbeda, bisik julaiha. kali ini, berhentilah bicara tentang gerbang tak terbuka, wajah hakim jaksa pengacara panitera, bau taplak meja ruang sidang, kitab jemu yang ayatnya berdebu dan ketukan palu yang mengayun pilu. pastikan saja hukuman kau dan aku, katakan perihal mawar keakanan sebelum tenggat menekan pekat.

sepasang gagak hinggap di pintu pagar dan kafka terpesona. aku bisa melihat mereka! apa yang sedang mereka percakapkan? pengadilan atau perkawinan? minumlah, kata julaiha. kafka mengangkat cangkir, seteguk sunyi mengental bibir dan lidah.

duh, kopi tak bergula! kafka tak mau bertanya karena julaiha akan bilang itu takaran yang biasa, karena mata julaiha akan terluka. kafka memenuh reguk, sepasang gagak terbang dan jam malam berdentang.

duhai, ini bukan karena kopi julaiha tak bergula. trotoar berbatu tajam, lampu jalan yang muram, pohon-pohon yang menghitam! pahit membait, sepi menggeram, nyeri akan sepanjang jejak. pahit membait, puisi pagi tak akan terbit
dan keadilan sudah berpamit.

7.
tak mungkin meminta agar malam tiada. tidak adil bagi siang bila matahari tak berbelah bagi, protes julaiha. baiklah, kafka memilih diam.

dalam tak suara, ngilu tumbuh sayapnya, terbang balik arah ke perigi sejarah. ayo, sebentar berlepas dari segala teori dan antitesis. bersuci, ikhlaskan pamit segenap omong kosong.

bersunyi, lupa sejenak semua igau tentang pengadil atau keadilan. ada saatnya ya, ada waktunya tidak, ada ketika entah.

mungkin malam akan meraut sembilu, pisau fajar terasah tajam dan kilaunya bersiap di urat lehermu. baiklah, kafka memilih diam.

 

SYAIR DALAM SEKAM

1.
pulauku pulaumu menyimpan demam, titik api baru tiap pagi, rimba dan belantara yang menguning memerah menghitam, sawah-sawah yang mengering, dan siang ilalang sejauh mata memandang. airmata dan gumam tenggelam diam dalam malam. anak negriku menuai risau, mengasah sembilu ragu, kasak kusuk mencari benih baru. parak dan ladang harus ditanam!

tak cukup hanya puisi, bencana sepenggalahan matahari. tunas cemas meliar akar, kuatir menggangsir beton dan kaca, melorong jadi gorong-gorong dalam tubuhku tubuhmu. mekarkah bunganya sebelum musim semi yang ini berakhir?

2.
panen usai, padi dituai tumbuk beras selesai, sekam seiring bengkalai. api dalam diam menyelesai. abai menggumpal gabak, menghilir membanjir menyungai, duka menghanyut muara luka mengair samudra. angin menyulam gejolak, riak ombak menggelombang menghempas menulis luka sepanjang pesisir pantai.

aku menunggu rinai, isakmu. lembah dan gunung menyiapkan jarum dan benang, anakku anakmu bertikai tentang siapa yang akan mulai menjahit bibirku bibirmu.
langit tak menyemai andai, kurun menyemai benih baru, tahun memetik dawai usia. tangan musim membelai rambutmu, helai kelopak mawar menderai.

3.
nasi dimakan rasa sekam, ungkap ninik mengiang. senja dan malam berputih mata, pohon-pohon ditanam dan ditebang, rindu dan sunyi disiang dan diperembunkan. ada air mata di pipi hutan rimba pulauku pulaumu. sesiapa menangis menganak sungai, luka berdarah di gunung dan lembah. di kota-kota, bibirmu bibirku bergelimang janji dan tahi: bau selokan, comberan, gorong-gorong dan aroma rumah-rumah kardus di bawah jembatan layang menjadi asing tak terbaca.

sekam termakan menyimpan api, lidah-lidah tersayat dan ngilu di gigi. langit di mulut dan langit di luar tak bisa bersekutu, harapan menajam sembilu. samudra memuai mengapung menggumpal awan hitam dan negeriku menyulam merajut menjahit cemas: ibunda menggumam

cukuplah rinai. kau dan aku diselangkangi birahi kebodohan: menjilat dan meremas, bekerja keras siang malam memburu napas, membuatnya orgasme dan memutuskan tak perlu keramas. gabak di cakrawala, gerimis tangis akan tiba. dapatkah kau dan aku mendengar suara-suara yang disembunyikan hujan?

4.
dari sekam ke sekam, duka berdiam. kau dan aku bersedekap senyap, menjingkat langkah demi langkah, menjaga sunyi tetap membunuh bunyi, supaya tangis tak merusak bedak di pipi ibu. siang menjala petang, ngilu menjalar setiap helai bulu, dan lorong perkabungan memanjang tak hingga.

dari diam ke diam, luka bersekam. benih perih bertunas berakar berbunga, tumbuh dan berbuah dalam dada. anakku anakmu mendekam demam, gunung dan lembah menahan panas dingin, laut dan langit menyembunyikan gigil, agar kutukan tak melukai bibir ibu. senja merajut malam dan nyeri menjarum setiap liang pori. semua orang sibuk belajar mencabik kain kafan, bertanya-tanya cara menggali kubur, berbisik-bisik perihal peti jenazah, keranda, lahat, tujuh gumpal tanah, pemakaman dan batu nisan, kasak-kusuk tentang melati dan setanggi, berdebat tak selesai mengenai doa yang paling khusuk dan dikabulkan.

tumpukan sekam tak hanya menyimpan diam, isakmu. dukaluka yang berdiam bersekam tajam: anakku anakmu menyala api, kau dan aku menggelap asap, pulauku pulaumu jadi abu?

5.
taukah kau bahwa sebagian besar got, parit, selokan, gorong-gorong, dan banjir kanal yang dinamai sebagai koran, majalah, radio, televisi, media sosial dan online sudah penuhsesak, sumpek, mampat dan tersumbat sampah berita buatan? sesekali, mau dan sempatkah kau mengajakku bertamasya ke dalam tumpukan sekam, tanyamu. kau menuang air ke cangkir, wajahmu alangkah getir.

kuhafalkan bunyi sesendok gula, segulung gumam tak jelas, dentingan yang menguap embunkan aroma kafein dan bau tubuhmu. kenangan menggigilkan hari ini. begitulah, bibirmu menetes darah dan tanganmu sungguh sunyi
menata isi meja minum sore.

senja dan malam bisa berbaris menjadi pusara dan makam. biarkan kureguk seteguk candu hitam, kau dan aku tak perlu lagi mengasah sembilu tajam. sudah kelam, waktunya merapatkan pintu dan jendela.

minumlah, ini ketika yang pas dengan takaran yang sudah kusesuaikan, bisikmu. lidahku terluka, dan aku hanya bisa mengangguk saja. ada sekam dalam kopiku!

6.
hujan menyambung malam siang dan malam lagi, air diminum rasa duri. nyeri berpadupadan, kuyup luka sepanjang badan. langit menangis, kata nenekku. apa siapa yang menyebabkan matanya menderas tak berbatas?

rinai dan gerimis, anakcucu hujan dan awan: berbaris menulis tiris. sekam tajam di trotoar, jalan dan jembatan: gabak sudah memecah isak, cakrawala mengisi gelas-gelas kecemasan dan anakku anakmu mereguknya, negriku habis airmata.

agaknya, kau dan aku memang perlu mandi. berendamlah sejenak, cuci mulut yang berbau cacimaki, bersihkan wajah dan tubuh yang penuh daki hipokrisi. hujan adalah rahmat, selamanya begitu.

7.
pagi dan nyeri pun memiliki sekamnya sendiri. pergi merumuskan siang, sunyi mengaku mengerti. kau dan aku dapat menjadi kita, dan kita bisa hanya menjadi angka. pulang mengidentifikasi malam, waham merasa memahami.

seperti bukit sekam, kau dan aku diam-diam api mendekam. asap mengurung stasiun dan pelabuhan, peron penuh laron dan segerombolan burung migran memenuhi dermaga. mulut bunda sesak mantra, entah kutukan mana dipilih isaknya. anakku anakmu merapal keakanan, zikir membibir dan kuatir membanjir. rindu mencakar langit, pamit membait pahit.

8.
dalam sekam, apa yang sempat dilakukan kalam? kata kata disusun oleh aksara terluka, kalimat dan alinea bisa mendermaga bencana. kau dan aku harus hati-hati mengeja, syair dapat segera menjelma api, mengabukan semua makna.

kecemasan sudah mengairmata, katamu. pandanglah seputih mata: sungai siang, muara senja, pantai malam dan samudra dinihari, masih mondar mandir antara panas matahari, uap, embun, awan, gabak dan gerimis. kau masih mungkin berlarian dalam hujan.

9.
ini musim semi, sudahilah menulis sekam. pohon, belukar, dan beragam rumput sedang mewarnai bunga-bunga. kudengar gemetar mawar di ruas jarimu, ikebana merangkai gumammu.

ya, kekasih. aku melihat dan aromanya menghirupku. dapatkah kau mengalih mata dari riak pantai dan samudra, bisakah kau menutup telinga dari isak ranah dan benua? riak sedang menuju raung tangisan tak berpuncak, isak segera sampai pada badai gelombang ombak

saksikan segi banyak tak beraturan ini, gerak paling tak mau tak dan bunyi paling perigi, akan diam mendermaga, dan anakku anakmu mengarca. pasti kutulis sekam ini, mesti kutelan sekam ini. kau dan aku harus berkejar api.

 

CATATAN INI, UNTUKMU

sungguh, kau dan aku pernah benar bersua. duka dan rindu yang menyeberang tanah jawa. akukah tulang rusukmu yang hilang, tanyamu. gilimanuk melabuhkan malam, pulau seribu arca menetap dalam diam.

lalu. lembah dan perbukitan? kenangan siapa yang akan tetap menyusunnya? gedung dan rumah-rumah terus dibangun, sawah-sawah hanya akan tersimpan dalam album dan buku pelajaran cicitku cicitmu. sunyi kau dan aku terus mengembara, nyeri menulis hutan dan rimba.

akhirnya aku akan melarutkan laut dalam dada. riak hari lalu melacak jejak, niatmu kubaitkan pada ujung ada tiada. kau dan aku bukan lagi sekedar pelintas yang berkilah, sudah kupetakan keperihan dan keindahan ini.

 

SUBLIMASI AKHIR TAHUN

keberangkatan akhirnya matang dan memelukmu. bergegaskah tahun dan kurun? suara yang subuh masih melekat dan gumam fajar menyayup. menunggumu selesai mandi, aku menyusun ulang titik garis jadi aksara. meninggalkan atau ditinggalkan sama saja, entah siapa yang menyesatkannya, hulu tak berhilir akan mendekam dalam dada.

apa yang tersisa dari malam lalu? tidur dan bangun menyaur usia, mimpi tak terbaca. kau dan aku masih mengeja aiu, ditipu sunyi yang mengantar petang. angin menyayupkan garis wajahmu agar aku tahu harus segera pergi, karena senja menanti malam berikutnya menari.

waktu mengalir dan muaranya tiada. rindu tak akan berhenti, dan nyeri menghitung debar menduri. ninikku membuka pura pusaka: kata! dan kata-kata alangkah wahai, berbaris memulai rinai, menghujan badai, menggenang bengkalai, dan menyungai semua sangsai. magrib memberanda dan ketukan pintu segera tiba. untunglah, langit masih menyisakan sebaris dua, sebelum lahat mengganti keranda.

pada inda

 

AKU DAN KAORU

1.
ada selat pada kau dan aku. ada pulau kau dan aku. malam selalu menyukai matamu: kalimat tak berhingga tak berkoma tak terhentikan. siang dan petang melorong panjang, rindu terpotong-potong sementara musim menderas ruang kosong. sejumlah tanda tanya pontang panting dan titik-titik menyeru sedu.

kata-kata membanjir di ladangku. langit melipat satu musim gugur lagi. guruh hinggap sore hari dan bakal purnama terbata pucat menaiki timur pelangi. angin dingin bersegera menampar malam, bintang bintang menyusun debarmu.

2.
ada selat pada kau dan aku. ada pulau kau dan aku. hujan mengirimkan lagi tarianmu, perjanjian menggegas. aku masih menghafalkan percakapan denganmu, sepasang mata yang menyalakan tapak langkahku. awan berwarna coklat tersedu mencatat sebab akibat, angin berlari, kau meracak ombak dan bermain air, tak peduli salju mencair di lain hilir.

karena kata-kata memperjalankanku, kau dan aku diseret lengan waktu, tergesa menyeberangi nyeri sebelum pergantian hari mematri sunyi, sebelum janji mengurai badai, sebelum rindu menderaikan gerimis: kau dan aku janganlah membatu

3.
ada selat pada kau dan aku. ada pulau kau dan aku. selat jadi samudra, pulau menjelma benua. anak dan bapak akan bertukar jejak atau selat dan pulau merekat tenggat?

di selatmu dan pulauku, gerimis senja merapal doa, menggiring kelam menyusun dinihari, memisah mawar memekar fajar. siapapun yang berduka, langit akan membangunkan pagi.

pada kaoru

 

KEKASIH, AKU TAK MAU DI RUMAH SAJA!

1.
dan musim itu bermula. aku tak boleh ke mana-mana katamu. di rumah saja. baiklah. peradaban sedang membersihkan dapurmu, mencuci piring plastik atau membakar gelas kertas. boleh pilih, mau lihat lagi puncak himalaya atau dikubur tanpa upacara seharusnya. pakai masker dan tapis, kemas cemas berlapis. mulailah pembatasan ini. tentukan skalanya, besar atau melingkar, menetap atau berubah tiap mulut tiap sesat tiap saat.

2.
ya, kekasih. aku di rumah saja. rumah? aku membolak balik sejumlah referensi, membongkar lupa dan menundukkan kenangan, belajar lagi trigonometri. barangkali nanti, anakku anakmu mengerti bahwa rumah tak melulu matra dan persegi. taukah kau? aku menemukan sekumpulan siput yang sedang melelang cangkangnya. tawar atau asin, air menawarkan gerombolan kuman dan spesies bakteri baru.

3.
jadi, rumah mana yang mesti kuhuni? aku tak bisa berlama-lama. aku masih ingin jadi saksi. selalu kudengar, di luar sana ada entah, entah berdoa entah menyumpah, keentahan gemetar bersama: corona! corona! kita punya berhala baru, selain kenangan tentang kebebasan dan keterbatasan.

di ruang mana kau simpan peralatanku? terserah yang mana saja: pinsil atau pena, mesin tik, komputer atau smartphone. aku harus menulis lagi, walau hanyut dalam samudrabenua kabar palsu. kepercayaan dan ideologi kelampauan tinggal nama, namun aku sudah menetap di situ

5.
anakku anakmu di ruang baca, dan mereka tak mau baca apapun. keakanan jadi virus mutan, lidah menjelma bunglon, berita memicu bencana, informasi mengawali anarki dan komunikasi memupuksuburkan hipokrisi. dengarkan koor gemuruhnya: “corona, corona!”

6.
siapa membantu siapa? tiap orang mendefinisikan kata bantu, dan buntu. anak negeriku mengusung mantra bisu, jalanan penuh sesak oleh sunyi dan kutukan ibu.

7.
ya, kekasih. aku di rumah saja. kau di mana? di urat leherku, di mana-mana, atau aku tak boleh berhenti bertanya? hei, aku mencarimu. kau yang sebenar rumah, kau yang bukan seolah rumah. rumah saja bukan rumahku, di rumah saja aku terus mencarimu.

 

SUBLIMASI SUJUD

tersebab katamu, sudah kujejak pulaumu. di pulau kata kata, aku menyelam diam tuhan, mereguk sibuk tuhan, mengeja aksara tuhan: tersentak dalam isak: jauh dari mencapai, sadar belum sampai sampai, belum sampai belum.

kata-kata di pulau tuhan, tak henti kurapal ulang doa yang sama: aku fakir yang nyinyir, terbata di pasir sebutir. kurancah panjang pesisir, tersadar lidahku membibir getir. aku fakir yang nyinyir, sering tersihir ilusi takdir. kutulis berbaris syair, seolah aku telah berzikir.

tersebab katamu, setelah kujejak pulau-pulaumu, menetapkah aku lebih dekat dari urat leherku. tuhan di pulau kata-kataku. aku mendebu, malu menyeru malu. pulangkan aku, pada rumah sungguh rumahmu.

 

*Muhammad Ibrahim Ilyas lahir di Padang, 28 Januari. Mulai aktivitas menulis dan seni lainnya 1977. Memenangkan sejumlah sayembara penulisan puisi, esai dan naskah drama. Karyanya dimuat dalam sejumlah antologi puisi dan drama. Aktor, sutradara dan penata artistik di beberapa kelompok teater. Mengikuti program pertukaran seniman muda Asia, untuk kolaborasi teater dan tari di Jepang, 1997. Kumpulan puisi tunggalnya Ziarah Kemerdekaan (2015) dan Syair Dalam Sekam (2017). Buku dramanya Dalam Tubuh Waktu, tiga lakon Muhammad Ibrahim Ilyas, menerima Anugrah Sastra Indonesia 2017 dari Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Tinggal di Padang. Pendiri kegiatan Padang Kata Kata, 2021.