Penyair Lombok

Puisi-Puisi Kiki Sulistyo

Setelah Vaksin Kita Bikin Teater Lagi

oto rumah sakit akan menindasmu pada hari senin
di depan toko bahan kue, hantu-hantu sawah meleleh
melihat jam kerja tak punya mata untuk melihat mata kaki
proletariat tersandung negara.

setelah vaksin kita bikin teater lagi (lawan catur-
kenneth arthur), untuk menimbang seberapa
rendra tradisi kita. mungkin batang jarum bakal mencatat
jumlah keledai yang berbaris di dekat lubangnya.

tiket dicetak sedemikian rupa hingga mirip kartu prakerja
poster elektronik dan siaran langsung, menyeberangi pasar
tempat influenza terjulur seperti tali rafia. di situ tubuhmu
memiliki papan kode, berkedip ketika mata uang menatapnya.

hari sabtu pertunjukan dinyalakan, kera-kera milenia
membabat hutan makna. ongkos produksi berdiri menyerupai
paramiliter di depan sampah kota. berapa keping tepuk
tangan tersimpan di saku kirimu? setelah ini kita hijrah
ke alam pikiran pecinta kucing.

hari minggu kamu sakit, memintaku memotret rumah sakit
kucing itu mulai mengeong dalam auratmu, ideologi yang dingin
dalam pakaian pengantin. aku di sebelahnya, mengacungkan
jari tengah, terlambat satu giga dari saat kamu menggerakkan
langkah pertama

 

Semangat Seorang Pemuda Ketika Memasak
Mi Instan untuk Perdamaian Dunia

sebelum tengah hari tukang koran datang
dia tak pernah bersuara, hanya bunyi kakinya
terdengar seperti kudeta di asia tenggara.
waktu itu orang pergi kerja
tapi kamu sibuk memperhatikan sarang laba-laba
dan terkenang pada sebutir ciuman yang lepas
dari pucuk senapan.

kamu butuh sendok plastik untuk menyuap
berita-berita, kamu ingat ilda dan bertanya-tanya
kenapa ranselnya selalu penuh, mungkin karena
dia guru bahasa inggris (bahasa inggris adalah cinta
yang menjahit kita jadi trauma) kamu terharu pada
aforisma itu, setidaknya membuatmu merasa sanggup
memahami kenapa semua benda bisa bertulis
“made in china”.

berita-berita diam saja, koloni semut mau melubangi
tabir matahari. secara daring terdengar bunyi denting
semangat seorang pemuda ketika memasak mi instan
untuk perdamaian dunia. itu membuatmu kembali haru.
piring terbang bersinar di dekat sumur, menumbuhkan
biji-biji feminis dalam dirimu.

menjelang tengah hari, rasa malas membangun rel
dari wuhan ke israel. waktu itu para pekerja bersiap isoma
tapi kamu sibuk mendaki wikipedia dan membayangkan
sebuah pabrik agama berdiri tegak di atas kolom sastra

 

Lelucon Kelas Menengah

letakkan tank itu di dekat lemari
hari sudah sore, film akan diputar

stempel untuk suatu generasi
dikeluarkan dari lemari es
bila kau mengingat lagi
tetangga yang kehilangan sepatu
ketika gubernur sedang main tenis

warna sirup itu seperti darah, bukan?
tapi baunya berbeda, baunya seperti
parfum yang meledak di dasar laut
beberapa jam sebelum roket-roket
melepaskan celananya

hari ini tak terlampau buruk, lihat
tank itu jadi tampak suci, kita bisa
menangkup tangan di depannya
sambil membayangkan padang pasir
dengan permukiman tua

adakah kanak-kanak yang berubah
jadi debu hari ini? kalau sore tergelincir
kita bisa memastikan gelak tawa mereka
memenuhi panci-panci logam di dapur
sebagai lelucon kelas menengah

tapi ke mana jari tengahmu? aku tak
melihatnya semenjak pemilihan minggu lalu
sineas muda sudah bikin profil penguasa
memperbaiki posisi tidurnya supaya mimpi
tak membuat undang-undang sendiri

besok kita rencanakan protes, bikin ambulans
dari kartu-kartu kadaluarsa, barangkali chairil
mau ikut, seribu tahun belum selesai dia menjahit
satu kata; lawan. hubungi juga badrul mustafa
sebab dia gondrong dan memakai kacamata

setelah itu hapus saja semuanya dan periksa
di dekat tumpukan sajak itu masih adakah
sisa racun serangga?

 

Pencuri Masuk Rumah Kontrakan

pencuri masuk rumah kontrakan, di mataram
alfamart buka 24 jam, juga ketika pisau kecil
mencungkil bibir jendela. saya belum tidur.
laptop masih menyala dengan barisan kata-kata
merencanakan kudeta bagi dirinya sendiri.
pencuri belum tidur. memakai topeng dan kaus partai.
beras saya habis. buku-buku bisu seperti cadas
dengan beberapa gram emas di dalamnya.
pencuri melihat saya. suatu peristiwa astronomi
tergenang di antara kami. saya melihat matanya
yang dilapisi trauma. itu mata saya.

 

Candi Akrilik

tidur andesit cuma pahit lagu, lirik-
lirik buta berjalan ke arah kesadaran
digali dalam bunyi, peristiwa lain
setelah terbangun dan menemukan
dunia demikian matang di pucuk sumbu

candi akrilik berdiri, meniupkan kemujuran
bagi tiap denting logam, bulatan-bulatan
hujan berjatuhan ke kanvas, muram seperti
tali pengusir burung, di halaman museum
padi sudah hangus, bulir-bulir meletus
pelepah cahaya tak sampai ke mata bahasa

hanya panorama, gambar orang berkuda
dan kebisuan sebatang tiang, tempat cermin
dipasang, menghadap belakang, menghadap
lambang, ukiran panorama yang sama; gambar
orang berkuda dan kebisuan sebatang tiang,
tempat cermin membilas sebagian dari
bagian-bagian yang hilang di luar kanvas.

 

Memakan Malam 

makan malam menunggu di meja; sebutir pir
dan bisa ular, di luar, bau gerhana mempersempit
terowongan ke arah rumah

ada genangan, sisa nyanyian suku-suku lain
berdenting pada kancing di kain musafir, itu
pengampunan, sebentang garis antara
ruang tunggu dan tugu peringatan

lilin ungu perayaan, selepas tubuh korban
dilarutkan bersama garam, ingatan pada teluk
menunjuk jalan berbeda, bukan ke rumah, melainkan
ke lembah, tempat kejatuhan dimulai

jantung siapa ini, berdenyut mencari pisau
untuk memakan malam yang jadi liar
setelah ular bergerak keluar, sebutir pir
jadi sebutir pil, telanlah, pelan-perlahan
lahan-lahan dipindah ke perutmu

 

Animasi

tak ada duri di tengah wangi matahari
para petani bunga melepaskan dunia
dari telapak kakinya

tapi tinggi sekali dinding ini, bagi tangan mimpi
setelah sungai mengangkatnya ke permukaan

adalah satu buldan, di mana bulan tinggal tulang
dan pola-pola lain lahir dari fosil dalam pikiran;
ombak hijau, animasi, di atas kulit
dinosaurus mati.

 

*Kiki Sulistyo lahir di Ampenan, Lombok. Buku-buku puisinya ialah Hikayat Lintah (2014), Rencana Berciuman (2015), Penangkar Bekisar (2015), Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (2017), Rawi Tanah Bakarti (2018), dan Dinding Diwani (2020). Dia meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa (2017) dan Buku Puisi Terbaik TEMPO (2018). Saat ini sedang menyiapkan buku puisi Tuhan Padi.