Anam Mushthofa

Puisi-Puisi Anam Mushthofa

Anak-anak

I

Anak-anak tumbuh dalam tubuh waktu.

Darahnya bermain dan melukis halaman. Menggambar nasib,

menggambar misteri. Lalu menangis, permainan terlalu mahal.

Takdir tak bisa dibeli. Air matapun memudar dan lupa, ia

mencari teman, setidaknya tawa tidak diperjualbelikan. 

 

II

Bila mentari bersabda “selamat pagi”. Kita lihat embun yang

memudar, entah raib ke mana. senyum sepatu mungil tergeletak dirak

berdebu diserang kesepian, rumput-rumput liar demonstrasi. Anak-anak

suka mendongeng impian. Kita dengar. Kita bahagia. Kita berharap. 

 

III

Suatu hari anak-anak lelah bermain. Pulang. Mengingat jalan pulang, jalanan yang terus

mengusia. Dimana tawa dan tangis bertukar peran. Jalan pulang begitu mengerikan, 

anak-anak terus pergi dan bermain. Menemukan celah dimana mainan tempat impian terlelap.

 

IV

Mereka menghardikku dan mengatakan

“Anak-anak bukan yang hidup didalam imajinasi mu tentang surga. Berlarian

bersuka cita. Bisakah kau mengerti”. 

Anak-anak tumbuh dalam tubuh waktu.

Arah mata angin

Kelak arah akan mengikuti mu. Atau kau yang akan mengikuti arah. Seorang pengelana

tak pandai membangun alasan. Ia pergi dan pergi dan tak akrab dengan pulang. Tanah

halamannya menjadi dongeng. Pers suka membawa angin di telinganya. Kau tahu,

Kau tahu tidak. Tanah mu itu tanah surga, ah. Surga di dunia memang harus

diperebutkan. Harus dimiliki. Tapi aku pengelana, milik bukan rima hidup ku.

Mata angin menusuk-nusuk pengelana, tersungkur jatuh dalam kisah. Angin berbisik,

sejarah mana yang membawa mu selalu pergi. Duh,

Jiwamu pengelana bukan terlena. Angin-angin didesa

melukis kerinduan, entah raib kemana. Bisa kau pengelana

tunjukkan padaku, air berdansa mengalir dan kau mandi. Tanah tergopoh-gopoh

menggendong padi dan kau makan. 

Kau ingat pengelana, ingat.

Aku mata angin yang menggandeng mu ke barat daya, kau keluar dari rahim.

Atau ke Utara menyaksikan mu menangis.

Atau ke selatan memberi mu tawa.

Hancur, pengelana. Kau tahu hancur.

Segudang badai bertamu, lalu memporak-porandakan.

Kau tahu ketika kita berani ia beringas dan kuat. 

Pulang lah pengelana, kau makamkan kampung halaman dengan nisan yang baik.

Rawat sisa-sisa halaman, kau akan mengenang.

 

Bulan dan bintang

Bulan dan bintang suka menonton bapak dan seorang anak

Lewat jendela melalui siaran malam,

Bulan dan bintang kadang terenyuh, melipat dahi

Ketika bapak tak kuasa membelikan sebuah cita-cita.

Bulan dan bintang tak kuasa, menggaris-garis air mata.

Malam begitu kejam, kepingan nasib begitu terurai,

Manakala bapak tak kuasa menata potongan nasib,

Bulan dan bintang kadang tersenyum

Tubuhnya dipinjam setiap malam.

Untuk dikenakan anaknya.

2022

 

Nafas Halaman

Halaman suka memandikan tubuhnya dengan angin dan air hujan

Kadang kala menjadi tempat berkumpul senyum anak-anak

Sekadar bermain bola, lempar melempar batu, atau hanya seutas tawa

Bila mengenang matahari, halaman begitu arif

Tempat rumput-rumput meliar, rumah bagi pohon menikmat matahari.

Sejak pasir dan batu disulap menjelma bangunan, 

Halaman kehilangan tubuhnya,

Halaman sempit senyumnya,

Halaman sesak nafasnya.

2022

 

Malam Pandemi

Malam itu kau hanya

Mengeja-eja huruf rumah atau sedikit menghiburnya

Agar tak bosan dan jenuh. Mungkin juga menghitung sepi atau merumus berapa kali

Orang-orang telah meninggal dan pergi.

Malam itu kau serta merta 

Menjelma lilin, yang menerangi sunyimu. Atau yang membakar jenuh mu.

Aku ada dalam barisan panjang bus angkutan,

Dalam sebuah kota yang semuanya bertanya tentang dirimu.

2022

 

Aspal

Selepas pulang rapat dengan bulan

Membicarakan birokrasi gelap, kesimpulannya

Belum juga bertandang.

Siapa yang harus dilenyapkan?.

Lampu-lampu jalan membias dikepala, dan menjatuhkan tubuhnya ke aspal.

Selepas latihan orasi

Melayang-layang suara,

Kesejahteraan, Kemakmuran, Hak.

Gemuruh suara tersangkut, 

Lampu-lampu jalan pasi, meredup.

2022

 

*Anam Mushthofa adalah buruh lepas. Suka membaca dan jelajah alam.