Puisi-Puisi Aming Aminoedhin
SURABAYA MASA PANDEMI
Memotret Surabaya dari jauh masa pandemi, mataku
tak dapat melihat utuh. Cerita kawan, bus-bus
tak ada lagi di Purabaya. Sepi mungkin sunyi.
Jalanan, katanya juga mulai tak seperti biasa lagi.
Macet dan ruwet, tak terdengar kabar. Jalanan
tengah kota, bisa melenggang. Tenang.
Tapi awas ada virus wabah menghadang.
Hati-hati. Portal-portal setiap gang, juga menghadang.
Jangan bertamu, semua warga tutup pintu. Takut ada sesuatu.
Memotret Surabaya dari jauh, bikin hatiku trenyuh.
Surabaya yang hiruk-pikuk, kini terpaksa tunduk
pada aturan tak saling sentuh. Jaga jarak sesama,
mengusir Korona biar sirna.
Mojokerto
BURUNG-BURUNG KERTAS
* buat Mira Aulia
Guna membunuh waktu liburan membosankan, anakku
di rumah bikin burung-burung kertas. Warna-warni indah sekali.
Ini selepas lama sekolah tapi hanya di rumah.
Katanya lelah, amat banyak tugas. Sedang langkah terbatas.
Tapi pecayalah naik kelas.
Hari-hari berlalu memang hanya gagu ambigu.
Rumah juga sekolah, tapi terasa bikin jemu.
Segala tugas secara virtual, seakan memburu. Kelu.
Burung-burung kertas warna-warni ini jadi hiburan tersendiri.
Melepas rasa jenuh bertubi-tubi. Indah sekali.
Ia juga percaya, Korona akan segera pergi.
Angannya telah memburu esok hari
akan bisa pergi ke sekolah lagi.
Mojokerto
PADA UPACARA BENDERA
ada memang yang telah terbuka, pada jalanan kota, gang-gang
kampung, lorong desa, masjid dan gereja. mall dan plasa
juga mulai menggeliat, tapi sekolah dan kampus masih
bertahan dalam diam. adakah perlu syarat?
sekolah berjarak antarsesama siswa, masuk kelas
cuci tangan, dan maskeran.
musim terbaca sudah masuk kemarau. kata
prediksi virus wabah, Korona bakal musnah.
tapi mengapa belum juga boleh sekolah?
rindu bersekolah itu tak tertahan, tapi hari-hari
berjalan terasa begitu lamban. kemarau telah tiba, sekolah
menunggu segera dibuka. anak-anak akan riang, seriang
nyanyi bersama. Indonesia raya, di halaman sekolah
pada upacara bendera.
Mojokerto
SHOLAWATAN MALAM
Lama sudah tak terdengar sholawatan malam.
Empat bulan ini, malam begitu hening begitu bening.
Apa lagi hujan hampir setiap malam jatuh, mengusir
virus wabah yang bikin kisruh.
Malam ini kembali kudengar dendang sholawatan
dari jauh, seperti berkabar indahnya kehidupan.
Melengkapkan usiran pada virus wabah
agar tak menjarah. Hidup indah tanpa wabah.
Sholawatan malam terdengar indah, sayup-sayup
kudengar dari jauh. Malam terasa begitu teduh. Sungguh!
Mojokerto
PERLU TAMASYA
Dua gelas kopiku telah tandas, tapi kata bernas
buat puisi, selalu lepas. Diksi tentang mentari, virus
wabah, atau mimpi sudah biasa jadi baris puisi.
Harus segera ganti.
Barangkali kopi, bisa menyulut kembali imaji.
Atau mungkin sebatang rokok bersama kepulan asap,
bisa menyulap kata jadi berwarna?
Ah…aku tak percaya. Kopiku tandas, berbatang
rokokku tuntas. Tak ada intuisi menemukan kata puisi.
Tawar, hambar, bahkan ambyar. Tanpa warna.
Menulis puisi itu perlu tamasya, baca buku
berlembar-lembar. Agar ada ide segar, dan suntikan
intuisi kembali bergetar. Tak perlu
buku baru, usang pun bisa untuk tamasya.
Mojokerto
WARUNG KOPI BRAAN
* SanRego
Lama sudah tak mampir warung kopi Braan itu.
Barangkali hanya jadwal piket Ibu, dikendala
virus Korona. Bus-bus juga tak jalan waktu itu.
Sedang bersepeda banyak portal di jalanan.
Sesekali pernah mampir rumah SanRego, sekadar
silaturahmi dan omong tentang mimpi seni
tanpa batas tepi. Hidup terasa lebih hidup.
Petani doyan seni, punya impian festival tandur
tak harus gagal. Korona mengundur secara total.
Mau apa lagi?
Warung kopi Braan, hanya di angan-angan.
Kangen minum kopi bersama impianmu
tak kesampaian. Hanya tunggu isyarat
tangan Tuhan, dijadwalkan kapan?
Mojokerto
LUPA MENULIS PUISI
Lantaran siang teramat panas, hingga lupa
menulis puisi. Angin kencang di sini, tak kulihat
layang-layang di langit tinggi. Pada hari-hari
terakhir berlalu, layang-layang ada selalu.
Barangkali anak-anak lagi malas, cuaca begitu panas.
Meski angin mendera, tak satu pun layang-layang
mengudara. Adakah mereka lelah? Mungkin saja, atau
mungkin cuaca di luar begitu gerah.
Malas melangkah.
Panasnya hari, bikin segala jadi malas. Tidur siang
tak jenak, makan terasa ampang. Menulis hanya jadi
berupa garis. Tak jelas berupa apa dan mengapa?
Puisi seperti terbang atau mungkin menghilang.
Sirna tak kutemu jejaknya.
Mojokerto
*Aming Aminoedhin, dikenal sebagai penyair dan teaterawan. Ia lahir di Ngawi, 22 Desember 1957, alumni Fakultas Sastra, Universitas Sebelas Maret Surakarta, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1987). Pernah menjabat biro sastra DKS (Dewan Kesenian Surabaya), Ketua HP-3-N (Himpunan Pengarang, Penulis, dan Penyair Nusantara) Jawa Timur sampai koordinator FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya) dan Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) sampai sekarang.
Pernah tampil baca puisi di Temu penyair Indonesia Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1987); safari baca puisi bersama Roesdi-Zaki dan Pudwianto Arisanto ke Surabaya, Malang, Semarang, dan Yogyakarta (1987-1990-an); pesta puisi se indonesia di Taman Budaya Solo (1990-an); baca puisi “Bosnia Kita” bersama Budi Darma, dan penyair Jakarta (Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, dll.) di Go Skate Surabaya Indah (1992); Festival Puisi Indonesia di PPIA Surabaya (1980-1990-an); baca puisi ‘Duka Atjeh Duka Bersama’ penyair Jatim di Taman Budaya Surabaya (2004); Pertemuan Sastrawan Nusantara XII di Singapura (2003); Pertemuan Sastrawan Nusantara XIII di Surabaya (2004); Pernah ikut baca puisi di KPK Jakarta (2013), bersama penyair se-Indonesia, serta Abraham Samad – Sang Ketua KPK. Ia mendapatkan penghargaan seni Gubernur Jawa Timur, bidang sastra (2011).