Mengenang-ngenang Cangklong (Affandi)

Oleh Agus Dermawan T.

Pipa rokok yang disebut cangklong pernah sangat populer di dunia seniman. Cangklong juga digunakan sebagai perangkat penampilan dan penunjang rasa percaya diri. Selintas tinjauan kosmologis.

****         

PARA SENIMAN Indonesia era tahun 1940 sampai 1960 lebih dari separuhnya perokok. Dan dari barisan perokok itu, sebagiannya menggunakan cangklong (pipa kayu) untuk merokok. Simak pelukis Agus Djaya yang bangga dengan cangklong bertatah permatanya, yang ia dapat dari Belanda. Lee Man Fong yang merasa gaya ketika memasang pipa rokok panjang di mulutnya. Pelukis Harijadi Sumodidjojo, Rustamadji, Kartono Yudhokusumo dan Basuki Resobowo yang selalu mengantongi cangklong kala ia berada di mana-mana.  

Pelukis Agoes Djaya kala menghisap cangklong. (Sumber: agus Dermawan T.)

Lee Man Fong sedang melukis sambil menghisap cangklong. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Tak terkecuali Affandi yang selalu menggenggam cangklong di setiap pertemuan, atau pelukis Sudjojono yang santai nyangklong kala berdebat dengan teman. Sehingga tak heran ketika Affandi dan Sudjojono harus melukis potret diri, yang tergambar adalah momentum ketika mereka dengan cangklongnya tenggelam dalam imajinasi. 

Cangklong. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Pada tahun 1978 TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, menggelar pameran nostalgia Kelompok Lima, grup pelukis di Bandung yang didirikan pada 1935. Dalam acara pembukaan tampil personil kelompok itu: Affandi, Wahdi, Hendra Gunawan, Barli dan Sudarso. Di hadapan para tamu Affandi, Wahdi dan Barli tampak santai mengisap cangklong. Meski kemudian Barli (yang sesungguhnya kurang suka merokok) buru-buru menyembunyikan cangklongnya di kantung celana.

Hal yang agak lucu itu mendorong budayawan D.A. Peransi – yang juga merokok dengan cangklong – menyebut Kelompok Lima sebagai “Kalong-kalong Cangklong”. Artinya, para seniman yang tak pernah tidur malam, dengan cangklong yang menggelantung di mulutnya. 

Tren merokok dengan cangklong ini menjalar ke banyak pelukis pada generasi di bawahnya. Dua di antaranya adalah pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja dan pesenirupa Sapto Hudoyo. Pada tahun 1990-an merokok dengan cangklong masih pula menampakkan kelindan asapnya. Anggota Dewan Kesenian Jakarta Merwan Jusuf, pelukis dan pengurus TIM Mustika serta perupa Astari Rasyid, adalah buktinya. Astari, yang pada kemudian menjadi dutabesar di Bulgaria-Albania-Makedonia Utara, memakai cangklong kayu gaharu yang bentuknya lurus memanjang. Jenis cangklong yang mahal, eksklusif dan bikin perokok jadi terpandang.  

Lukisan potret diri Sudjojono dengan cangklong di mulut. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Tapi memasuki tahun 2000-an tren seniman merokok dengan cangklong ini menyurut, karena diam-diam digantikan oleh tren topi fedora. Sementara topi fedora diam-diam menggeser tren topi pet atau topi baret, atau topi seniman ala Eropa Barat yang sangat populer di Prancis. 

Topi fedora yang menjadi tren di kalangan seniman. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Legenda cangklong Affandi

Mengapa cangklong Affandi acapkali dipandang, digunjingkan, sehingga melegenda? Muncul pernyataan yang mencoba memberikan jawaban: barangkali pertemuan wajah Affandi yang ekspresif dan kasar dengan bentuk cangklong yang mungil dan halus, menghasilkan keselarasan yang unik. Kontrastik wajah Affandi dan cangklong menjadi paduan visual yang gampang diingat. 

Lukisan Bayu Yuliansyah, “Testimoni Cangklong Affandi”. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Itu sebabnya, tanpa disuruh, tak kurang dari 22 dari 60 pelukis dalam pagelaran Imagined Affandi di Gedung Arsip Jakarta, pada Juni 2007, mengangkat cangklong Affandi sebagai topik. Termasuk pelukis asing, Yu Xiao Fu!

Tak sedikit yang mengatakan bahwa gaya Affandi dan para seniman lain dalam bercangklong itu hasil tularan para seniman Barat sejak tengah abad 19. Simak, Van Gogh, Camille Pissaro, Claude Monet, Edward Manet, sampai Pablo Picasso yang dekat sekali dengan canglong. Pada tahun-tahun kemudian sejumlah sutradara film ternama seperti Alfred Hitchcock dan Federico Fellini sering terpotret merokok dengan cangklong.

Lukisan potret diri Van Gogh yang merokok dengan cangklong. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Menurut Imam Munandar, sekretaris Museum Affandi, cangklong yang digunakan Affandi ada beberapa jenis. Yang paling sering dipakai adalah cangklong yang terbuat dari kayu atau natural pipe. Perhitungannya, selain tidak mudah patah, cangklong jenis ini memiliki kemampuan alami untuk merespon panas, sehingga dapat menghangatkan tembakau secara merata. Sedangkan modelnya mengasimilasikan cangklong gaya Corncob Series dan Sherlock Holmes Series, sehingga bentuknya mirip uleg-uleg, penumbuk cabai. 

Lukisan potret diri Affandi sedang mengisap cangklong.(Sumber: Agus Dermawan T.)

Corncob Series adalah cangklong yang bentuk kepalanya berupa sebuah tabung kayu bulat pendek (sebagai tempat tembakau) yang di bagian samping-bawahnya ditusuk oleh pipa panjang. Ujung pipa panjang ini difungsikan sebagai alat penghisap. Cangklong model ini memperoleh popularitas ketika Jenderal Douglas MacArthur sampai Popeye menghisapnya di depan umum. 

Sementara Sherlock Holmes Series adalah cangklong dengan lengkungan seperti saxophone. Disebut begitu, lantaran model cangklong ini selalu dipakai oleh detektif fiktif terkenal Sherlock Holmes ciptaan Sir Arhur Conan Doyle. 

Atas kayu cangklong yang digunakan, Affandi juga punya pilihan. Menurut Suhardjono (sopir istimewa Affandi), yang paling disenangi adalah cangklong kayu sligi-hitam dengan serat bagus. Jenis kayu yang juga disukai oleh industri pipa rokok. Meski cangklong sligi-hitam Affandi sering hilang, lantaran konon diambil menantunya, Sapto Hudoyo. 

Sementara itu para seniman lain menggunakan cangklong sesuai dengan pilihannya. Ada yang berbahan kayu sonokeling yang coklat dan kemerah-merahan. Ada yang memilih jenis kayu Tlogosari, yang lembut dan mudah diukir serta ditempeli berbagai aksesori, seperti cangklong Sudjojono. 

Sudjojono dengan cangklongnya. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Hikayat si cangklong

Barangkali karena handy dan simpel, cangklong model Affandi ini paling banyak dipakai di Indonesia. Dan kita boleh bertahu-menahu, bahwa di bumi ini ternyata selalu terbit model cangklong baru, yang bentuknya menandai selera dan gaya hidup kelompok atau bangsa tertentu. Karena itu ada cangklong Canadian dan Liverpoolian, yang komposisi kepala dan pipa cangklongnya membentuk sudut 90 derajat. Kaku tapi lucu.

Ada pula cangklong gaya Saddle Billiard, gaya Diamond Shank Bent, dan cangklong Pot, yang bentuk dan lubangnya persegi, serta dibuat dari kayu pohon cherry. Mungkin lantaran bentuknya rada aneh dan serem, ia disebut cangklong Bulldog. Jangan lupa cangklong Indian, yang pipa penghisapnya kecil dengan panjang sampai 30 cm.

Karena menyangkut gaya hidup, cangklong lantas terus dikembangkan bentuknya. Sehingga kemudian muncul cangklong yang bisa berdiri dengan kepala di bawah. Tetangga Donald Trump menyebut ini dengan freehand pipe. Oleh karena bisa berdiri, si cangklong lalu juga difungsikan sebagai benda hias. Lantaran dipandang sebagai benda hias, maka cangklong dibikin dekoratif. Berbagai ornamen ukir dan tempel (dari logam sampai batu giok) diterakan di kepala cangklong. Kepala cangklong pun berbentuk wajah manusia, raksana atau hewan seperti naga. Ben Wade dan Don Carlos terduduk sebagai pencipta termashur cangklong model ini.

Hikayat bertutur bahwa cangklong telah dibuat di Yunani pada zaman Herodotus (485-425 SM) berkuasa. Alat merokok ini kemudian diadopsi oleh orang-orang Romawi pada beberapa abad setelahnya. Pada abad 15 cangklong sudah populer di kawasan Jerman, Celtic dan Nordic. Pada abad 16 orang-orang Amerika mulai mengenal alat ini untuk mengisap hasis. Dari situ cangklong ekspansi ke Timur Tengah, Asia Tengah dan India. Di semua tempat itu cangklong lebih banyak dipakai untuk menikmati mariyuana. Baru pada abad 18 cangklong diposisikan sebagai pipa rokok khas. Pada abad 19 sudah muncul pabrik-pabrik cangklong. Skotlandia, Irlandia dan Amerika Serikat lantas dikenal sebagai negeri pengekspor cangklong. 

Popeye dengan cangklongnya yang mengepulkan asap. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Dari dunia gaya-bergaya itulah barangkali lantas banyak seniman ikutan merokok dengan cangklong. Harus diakui pipa ini bisa mengangkat penampilan perokok menjadi maskulin dan sedikit bangsawan. Mengusung citra menjadi mapan dan tenang, serta membungkus perasaan perupa menjadi lebih percaya diri. 

Dari masa ke masa cangklong adalah bagian dari gaya hidup seniman yang merasa mapan, dalam konotasi “sudah jadi”, bermutu, terkenal, pintar serta kaya. Sangat jarang perupa yang baru tumbuh dan masih proletar sudah mengisap rokok cangklong. Maka para seniman bisa saja merasa, ketika mengisap cangklong ia setara dengan bintang film Cary Grant, Bing Crosby, dan Marlon Brando.

Cangklong tak hanya menggelantung di bibir perupa, tapi juga terpapar dalam karya-karya seni rupa mereka. Seperti yang dikreasi oleh Pablo Picasso Garcon a la pipe (Lelaki dengan Pipa), yang dalam lelang Sotheby’s New York, 5 Mei 2004, terbayar $.104.168.000. Atau sekitar Rp1,6 trilyun (kurs April 2024). 

Lukisan Pablo Picasso, “Garcon a la pipe”. Lelaki Paris dengan cangklong. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Lukisan Garcon a la pipe dilukis tahun 1905 kala Picasso memasuki periode “merah jambu”. Periode ini sering dikonotasikan sebagai periode awal jatuh cintanya Picasso terhadap (banyak) perempuan. Maka lelaki Paris yang ada dalam kanvasnya itu adalah personifikasi dirinya sendiri yang masih muda. Dengan diiringi latar belakang bunga-bunga mawar mekar, “Picasso” nampak duduk dengan perasaan gundah, sambil jari-jari tangan kirinya menjepit pipa cangklong. Pipa rokok tersebut diangkat oleh Picasso sebagai simbol hati si anak muda yang ingin dianggap sudah matang. ***

                                                                          

*Agus Dermawan T. Pengamat seni rupa. Penulis buku-buku budaya dan seni.