Kisah Kuat dan Kesenian Alternatif Kolong Jembatan
Oleh Karen Hardini*
1
Isu hubungan seni dan lingkungan kerap diangkat pada tataran publik yang lebih luas. Saya teringat sosok Romo Mangunwijoyo. Bagaimana ia turut membangun mentalitas warga Kali Code. Romo mengajarkan warga Code tidak membuang sampah sembarangan serta membangun Kali Code menjadi indah, dengan arsitektur yang unik. Saya juga ingat Tisna Sanjaya di Bandung. Kang Tisna di kawasan Cigondewah yang tercemar dengan limbah sampah plastik memiliki beragam proyek yang melibatkan penduduk mulai seni instalasi dari aneka rongsokan limbah sampai terakhir proyek seni kincir air.
Saya juga ingat seniman muda Wisnu Ajitama yang juga kerap melibatkan masyarakat di sebuah lingkungan tertentu untuk membuat instalasi ranting-ranting dan tetumbuhan. Lingkungan menjadi laboratorium kesenian dan aktivitas eco-culturalnya. Di kawasan Watu Payung, Girisuko, Panggang, Gunung Kidul ia membuat instalasi dari tumbuhan-tumbuhan setempat dengan ukuran besar.
Dari sekian perupa itu, saya ingin membicarakan aktivitas seorang perupa bernama Kuat dan gerakan pemuda Siluk semenjak tahun 2018 di Yogja. Kuat bukan merupakan arus utama namun menurut saya kontribusinya besar terhadap lingkungan, seni dan pendidikan.
Jika kita berjalan melewati Jembatan Siluk yang dilintasi sungai Selopamioro, Imogiri, tampa suasana dan pemandangan umum seperti halnya jembatan lain: ramai pengendaran dan kaki lima.Hal berbeda saya temukan ketika mencoba menelusuri, masuk melewati tangga batu curam menuju bawah jembatan. Di situ terdapat sebuah gerakan: aliran sungai, atap bawah jembatan, kesenian, dan proses belajar seni bernama Jembatan Edukasi Siluk (JES).
JES merupakan komunitas yang bergerak pada pendidikan seni anak-anak dan memiliki kepedualian terhadap lingkungan alam khususnya pada area Jembatan Siluk. JES berdiri di atas sungai Oya yang dikenal sebagai lokasi yang sering mengalami banjir karena sampah yang menumpuk. Kondisi ini membuat Kuat berkeinginan untuk merubah kondisi buruk tersebut. Sampah di Jembatan Siluk yang dinilai sangat meresahkan masyarakat sekitar menjadi alasan utama Kuat untuk berpikir kreatif merubah tempat itu.
Kuat lalu bersama pemuda Desa Siluk mencoba untuk berbagi ilmunya bersama untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, sekaligus terhadap seni rupa. Kuat lalu memikiki ide brilliant mengalihfungsikan sekaligus mengalihwahanakan kolong jembatan sebagai ruang kreatif. Pada diri Kuat terdapat visi konsep kesenian kontemporer tidak lantas sebatas berkarya personal tapi melibatkan aksi dalam masyarakat.
Pada tahun 2016 Kuat dan para pemuda Desa Siluk pada mulanya sebatas membersihkan sampah di kolong jembatan, mengumpulkan dan memilah sampah selama satu tahun dan kemudian dijual. Aktivitas mengumpulkan sampah dengan berkeliling desa dilakukan secara disiplin, konsisten, dan mendapat respon yang baik dari warga setempat.
Saya sendiri mencoba mendekati gerakan ini sedekat-dekatnya. Secara konsep, aksi Kuat dan komunitas JES ini saya lihat bekerja dengan metode observasi fenomena lingkungan sekitar Jembatan Siluk dengan kedisiplinan yang tinggi dan tingkat interaktif yang dalam. Kuat pertama-tama membaca observasi diri terhadap kebutuhan lingkungan Desa Siluk. Hasil dari observasi dan interaksi oleh Kuat kemudian diadaptasi dalam bentukkeahlian berkesenian yang dimilikinya dan kemudian membuat ruang alternative bersama
Pada 28 Oktober 2017 bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, Kolong Jembatan Siluk resmi dibuka dengan nama “Jembatan Edukasi Siluk (JES)” tandas Kuat. Aktivitas pertama yaitu beroperasinya di kolong jembatan itu taman baca anak-anak Desa Siluk, dilanjut kelas memasak bagi ibu-ibu sekitar turut meramaikan ruang kegiatan di bawah Jembatan Siluk.
Perpustakaan di bawah kolong Siluk ini pun buku-bukunya banyak berasal dari donasi beberapa pihak. Saya ingat kursi yang digunakan anak-anak masih sangat sederhana yaitu berupa keranjang bekas buah yang dibeli di pasar. Seiring berkembangnya waktu dan dikarenakan kurangnya relawan, muncul kegiatan baru, seperti kelas senam, kelas sampah, kelas melukis, dan kelas keterampilan yang rutin diadakan pada setiap bulannya.
Kelas pengolahan sampah dilaksanakan dengan cara keliling dusun sekitar untuk mengambil sampah di setiap rumah yang kemudian disebut mubheng sampah oleh komunitas JES. Kegiatan ini bermanfaat bagi proses edukasi serta penyadaran masyarakat sekitar terhadap langkah pengelolaan sampah. Sampah yang dikumpulkan kemudian dipilah dan dijual. Hasil penjualan sampah yang diperoleh digunakan untuk membeli dan melengkapi kebutuhan kegiatan edukasi di Jembatan Siluk itu sendiri, salah satunya untuk perlengkapan kelas melukis.
Komunitas JES bergerak pada tataran kerja non-profit, namun demikan sebagai gantinya setiap kehadiran anak-anak diwajibkan membawa 3 botol bekas yang kemudian dapat ditukarkan dengan alat dan bahan untuk menggambar. Konsep tukar botol bekas tersebut dilakukan sebagai upaya menumbuhkan kesadaran cinta lingkungan terhadap anak agar tidak membuang sembarangan. Botol-botol dikumpulkan untuk dijual dan dibelikan alat dan bahan berkarya, juga difungsikan sebagai media berkarya seni rupa. Gelaran pameran anak-anak yang bertajuk “Sewu Lukisan Anak” yaitu sebanyak 1000 lukisan juga dilakukan di bawah jembatan. Ia jadikan bawah jembatan tepat di bantaran sungai menjadi galeri alternatif.
Ketajaman pemahaman Kuat terhadap lingkungan dan karakter masyarakat membuat Kuat berani mencoba mengusung gerakan yang berasal dari sampah dan menghasilkan manfaat khususnya untuk masyarakat sekitar Desa Siluk. Kekuatan observasi inderawi Kuat terhadap lingkungan yang mengganggu pikiran Kuat itu, lantas menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, “seni harus bisa menghidupkan saya, lingkungan, dan masyarakat disekitarnya” begitu tandas Kuat.
Gerakannya sederhana Kuat ini mampu menjadikan kolong Jembatan yang tadinya sunyi dan kumuh jadi berarti. Kuat bersama para pemuda Siluk agaknya layak dikatakan telah berhasil mentransubtansi Kolong jembatan menjadi ruang kesenian. Ia mendobrak kemapanan ruang belajar yang ideal, dan menjadikan kolong jembatan sebagai galeri alternatif yang edukatif nan artistik.
2
Tranformasi ruang belajar JES ternyata sangat pesat. Jika tidak salah ingat satu tahun kemudian tepatnya pada penyelenggaraan pameran sewu lukisan ketiga di tahun 2020, saya kembali ke tempat ini. Kuat seakan melangkah perlahan tapi pasti membawa komunitas JES untuk semakin menunjukan gerakannya bukan saja sebagai ruang alternatif untuk anak-anak, tetapi ruang untuk belajar kesenian dan wirausaha bagi masyarakat sekitar.
Lokasi belajar yang pada awalnya berada di bawah jembatan kemudian dipindahkan tempat yang lebih aman yakni posisinya berada di sebelah timur jembatan pada sebidang tanah yang letaknya tidak jauh dari jembatan Siluk. Telah dibangun pendopo sebagai ruang belajar, perpustakaan, ruang baca, dan kedai kecil. Lokasi ini dibangunnya atas kerjasama dengan beberapa pihak. Polanya begini jika siang sampai sore adalah waktunya untuk belajar bersama anak-anak, maka tentu saja sore sampai malam hari tempat ini berubah menjadi kedai yang asik untuk menikmati senja dengan pemandangan jembatan Siluk, sungai, dan alam sekitar yang membentang menyegarkan mata.
Menjadi menarik bahwa Kuat bukan saja membangun ruang kreatif bagi anak-anak, tetapi juga membangun kemandirian untuk memulai membangkitkan kemampuan wirausaha bagi pemuda sekitar Siluk. Selain itu perpustakaan di sini semakin banyak mendapat dukungan hibah buku-buku dari berbagai pihak, ini sangat berguna bagi anak-anak khususnya sebagai bahan bacaan dan melatih mereka untuk membuka cakrawala pengetahuan lewat aktivitas membaca.
Pandemi mengakibatkan JES memberhentikan semua aktivitas yang berkaitan dengan anak-anak, meski di tahun 2020 ia tetap menyelenggarakan pameran Sewu Lukisan ketiga, tentu karya-karya yang ditampilkan adalah hasil proses kreasi anak-anak di rumah selama pandemi. Jumlahnya tidak sebanyak saat sebelum pandemi, tentu, pun tiada masalah dengan jumlah, yang penting karya anak-anak terpajang.
Sekitar November 2021 lalu JES kembali memulai kelas menggambar bersama seniman Yuswantoro Adi dengan mematuhi protokol kesehatan dengan jumlah yang terkondisikan. Kelas lain seperti menari untuk anak-anak pun juga turut diselenggarakan.
Ruang alternatif ini akhirnya berkembang menjadi ruang yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas seperti senam bagi remaja dan ibu-ibu setempat, jelajah alamdan berbagai macam workshop kesenian yang terbuka bagi semua pihak.
*Penulis adalah mahasiswa studi S-2 di Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Terlibat dalam dunia anak-anak sebagai guru gambar dan tertarik pada ranah penulisan seni rupa dan pendidikan seni.