Irina-Andrea dan Patung-patung Gembira
Oleh Agus Dermawan T.
Dua hal yang menyebabkan Irina Sie mencipta seni. Pertama ayahnya yang pelukis, pematung dan pembuat alat musik. Kedua adalah kiprah pamannya, perancang busana legendaris Peter Sie.
——-
MENGENANG bulan April tahun 2021. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang berkait dengan pandemi Covid -19 masih tetap diberlakukan. Peraturan Kementerian Kesehatan ini menyebabkan pelukis Irina Sie lebih banyak berdiam di rumah. Karena PPKM menawarkan jam-jam yang luang, Irina punya waktu untuk menjelajahi penciptaan dalam perspektif yang lebih luas dan panjang. Dan lantaran pandemi Covid-19 menyebabkan psikologi keluarga lungkrah dan pasrah, mereka ingin mengeksplorasi apa saja dalam “sisa waktu”nya.
“Yang penting gembira, sehingga hidup selalu terjaga. Maka pada kurun itu, selain melukis, saya menciptakan aneka boneka, yang saya statuskan sebagai patung,” kata Irina, perupa Bandung kelahiran Sukabumi.
Patung boneka itu ia gubah dari dacron, sejenis kain dari anyaman serat tekstil campuran polyester fiber sintetis. Pilihan bahan ini menjadikan patung kain terbentuk dalam kondisi tegar, tidak empuk, tidak lunglai. Patung kain itu kemudian ia olah estetikanya. Pertama dalam representasi benda-benda, seperti sepeda, keranjang, atau teko. Namun kemudian berkembang ke arah figurasi yang mengarah kepada gambaran sosok tokoh dalam ukuran kecil-kecil. Sehingga muncullah patung boneka Michael Jackson, Lionel Richie, John F Kennedy, Nelson Mandela, Fatmawati sampai Soekarno-Hatta.
Setelah satuan-satuan patung tokoh itu berlahiran, muncul ide untuk menghimpun semuanya dalam konfigurasi, dengan berangkat dari peristiwa yang pernah terjadi. Maka jajaran patung Irina pun mulai mengabadikan sejarah. Seperti peristiwa amal akbar artis dunia 1985 yang dibingkai gerakan “We are the World”. Cerita riuhnya reformasi politik yang terjadi pada 1998. Juga atraksi pemimpin dunia dalam memerangi wabah corona, yang dikukuhkan sumpah “Together we Fight”.
Atas patung-patung konfiguratif itu Irina tidak hanya berhenti pada bentuk, karena ia juga melukisi permukaan bentuk. “Jadi sesungguhnya saya tetap saja melukis,” tuturnya.
Sejalan dengan waktu, ia ingin meninggalkan ide konfigurasi. Ia pun mencipta patung-boneka figur mandiri dalam ukuran yang jauh lebih besar. Dari yang setinggi hampir satu meter sampai yang lebih dari 1,5 meter. Nah, patung-patung boneka besar ini merangsang Andrea Antonia – puteri Irina yang juga melukis – untuk ikut intens terlibat menggambari. Maka dalam tubuh patung-patung itu Irina dan (terutama) Andrea, merasa menemukan kanvas baru. “Bahkan Andrea bisa berjam-jam bertekun-tekun melukisi patung boneka,” tutur Irina. Andrea, kelahiran September 1999, pernah kuliah sebentar di Sekolah Tinggi Design Indonesia di Bandung.
Warna-warna semarak yang tercoret dengan cat akrilik menyebar di semua sisi, dari kepala, pundak sampai lutut kaki. Meski lukisannya hadir dalam sapuan yang membekaskan jejak ekspresi, komposisinya tergubah dalam irama yang rapi dan aransemental. Gambar manusia – yang sebagian mengangkat dunia riang anak-anak dalam keluarga – tampil bagai nyanyian sorak-sorak bergembira. Sehingga segala kelir dan bentuk itu bagaikan bunyi-bunyian musikal.
Pada fase lain Irina menggarap patung-patungnya sebagai simbol personal figur sohor yang punya riwayat hebat, seperti Pablo Picasso pelukis terbesar abad 20 atau Jason Momoa sang pemeran film Aquaman. Sehingga patung itu hadir selayak monografi. Salah satu yang memikat adalah patung berwajah Vincent van Gogh. Tubuh patung pelukis Belanda itu oleh Irina dan Andrea dilukisi alur-alur langit bagai yang tampak khas dalam lukisan Van Gogh, Starry Night.
Patung-boneka yang dicipta Irina cenderung berbentuk memanjang, sehingga sosoknya tercitra menjuntai dan menjulang. Sebuah perwujudan yang merupakan buah dari persepsinya atas sejumlah lukisan Salvador Dali, seperti The Space Elephant atau Women with a Head of Roses, yang selalu menggambarkan kaki dengan panjang sekali.
“Saya memang suka benar dengan surealisme Dali,” kata Irina. Sementara Andrea menyukai karya seni siapa saja.
Tidak harus di kanvas
Irina dan Andrea melukis di atas tubuh boneka. Istimewa presentasinya, dan “radikal” perambahan mediumnya. Meskipun hal itu bukan suatu temuan yang baru. “Karena kami sesungguhnya hanya ingin mengembalikan ingatan, bahwa sejak dulu orang boleh melukis di atas benda apa saja,” kata Irina.
Dunia seni lukis Indonesia memang sejak lama mengisyaratkan bahwa melukis tidak harus di atas kanvas. Suku Asmat dan Wamena di Papua, orang-orang Dayak di Kalimantan, misalnya, sejak dahulu kala melukis di atas kayu atau kulit kayu. Ada kalanya lukisan itu hanya sebagai ornamen belaka. Namun tak jarang lukisan difungsikan sebagai medium ekspresi, penyampai pikiran dan perasaan, yang kemudian terhubung dengan ihwal ritual. Ki Sigit Sukasman, penatah dan pelukis wayang kulit (wayang ukur) tersohor mengatakan, “Orang Jawa itu sejak dulu suka menggubah gambar di atas kulit. Tak perduli itu kulit kayu atau kulit lembu. Yang di kulit lembu banyak yang berobyek wayang,” katanya.
Sedangkan sejarah baheula bertutur bahwa lukisan tertua di bumi Nusantara ini justru termaktub di batu. Seperti yang bisa disaksikan di Goa Leang-leang, Sulawesi Selatan. Suatu realitas yang pernah menstimulasi sekelompok pekerja seni untuk menggelar lomba melukis di atas batu, pada 1980-an.
Beberapa perupa modern Indonesia yang menyadari itu lantas menggubah lukisan di atas latar apa saja. Pematung mashur Gregorius Sidharta melukis di atas arca yang ia bikin. Begitu juga pelukis dekoratif legendaris Soeparto, yang menggambar di atas keramik, topeng dan patung boneka berbentuk manusia dan kucing. Tak terkecuali Indros, yang terkenal dengan ornamentasi tradisional-kontemporer di atas barang kerajinan kayu dan keramik ciptaannya. Jangan dilupa Amrus Natalsya yang berekspresi lukis bebas di atas pahatan kayu bikinannya.
Dari situ kita punya peluang mengeja kembali, bahwa tradisi melukis di kanvas adalah bukan bagian dari seni rupa Indonesia. Tradisi itu datang dari dunia seni lukis Barat, dan dipopulerkan kala neo-klasikisme berjaya, dengan ditokohi Jacques Louis David, Jean Auguste-Dominique Ingres, Angelina Kauffman dan lain-lain pada abad 18. Sebelumnya, pada era klasikisme, para pelukis banyak mencipta di atas lempengan kayu dan bahkan dinding, sebagai mural. Kanvas semakin moncer ketika para pelukis modern Eropa mengenalkan easel painting pada tengah abad 19, yang mengutamakan kanvas ukuran kecil atau sedang agar bisa ditenteng ke mana-mana.
Tradisi berkanvas-ria ini lantas diikuti oleh arus seni lukis modern dunia dan Indonesia selama lebih dari 150 tahun. Sampai akhirnya perupa-perupa seperti Irina Sie dan Andrea Antonia mengoreksinya.
Darah seni Peter Sie
Irina, atau Irina Sie, atau Irina Suharto, adalah pelukis otodidak. Kegemarannya berseni rupa dibawa oleh Ayahnya, Paulus Suharto (Sie Hoat Ho), dan distimulasi oleh pamannya, perancang busana legendaris Indonesia, Peter Sie.
“Ayah saya tak hanya melukis, tapi juga bikin patung, bahkan membuat alat-alat musik. Ayah saya juga pandai main berbagai alat musik, seperti piano, gitar, flute sampai harmonika,” kisah Irina.
Melihat sang ayah berkarya seni, Irina merasa menemukan atmosfir dunia yang penuh suka-cita. Sementara itu, mendengar cerita-cerita kreatif perancang busana Peter Sie – yang sering jadi pembicaraan dalam keluarga – memicu Irina untuk masuk dalam dunia seni. Maka ia pun ikut-ikutan mencipta. “Seni apa saja,” katanya. Semula iseng. Eh, akhirnya jadi pekerjaan yang tak bisa dilepaskan.
Setelah ditambah dengan kekagumannya kepada tokoh-tokoh seni rupa lain di Indonesia dan dunia, maka Irina terlahir sebagai “enlightened fans”, seperti diistilahkan filsuf dan penyair Tomas Gudmundsson. Irina adalah “penggemar yang tercerahkan”, yang kemudian menjadi bagian (penting) dari unsur pencerahan itu sendiri. Sedangkan Andrea adalah fans sang Ibu. Maka ia pun jadi bagian dari “duo yang tercerahkan dan mencerahkan”, bersama Irina.
Puluhan lukisan di atas patung, atau patung yang berlukis, telah dicipta oleh Irina dan Andrea. Karya-karya terakhir yang tak henti menyenangkan mata dan hati menunjukkan kualifikasi mereka sebagai “enlightened fans” handal. Sebagai hasil persekutuan kolaboratif yang tidak biasa. Dan bisa dirasa : lukisan-lukisan Andrea yang unik, naif dan artistik menyumbang daya tarik besar bagi kehadiran patung. Apalagi lukisan Andrea selalu memancarkan aura bahagia, atmosfir gembira-ria.
Menarik, setelah patung-patung berlukis itu terpajang di depan mata, Irina dan Andrea menangkap balik patung-patung ciptaannya itu sebagai obyek lukisannya. Sebuah siklus penciptaan yang lucu dan mengejutkan. Itu sebabnya belum lama ini karya-karya mereka dipamerkan di Neo Gallery, Jalan Tanah Abang, Jakarta. Dan memikat perhatian banyak orang!
Irina Sie dan Andrea Antonia adalah para Kartini baru dalam seni rupa Indonesia.*
—
*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis buku-buku budaya dan seni.