Hikayat Perupa dalam Sinema # 6: Affandi: Sukrasana, Isterinya, dan Sopirnya. Arie Smit: Di Balik Cahaya Gemerlapan
Oleh Agus Dermawan T.*
Nasib Affandi berada di tangan orang-orang pintar, sehingga karirnya ke seluruh dunia berputar. Apa yang dilakukan oleh isterinya? Dan apa yang ia berikan kepada sopirnya? Sementara Arie Smit adalah putera orang kaya Belanda yang memilih jalan melata–lata. Hidupnya panjang dan ajaib. Siksa neraka dan cahaya bahagia ada di dua tangannya.
——————
RADEN Koesoema agak terkejut ketika melihat anak ketiganya, Affandi, lahir dengan wajah agak buruk. Padahal kedua kakaknya muncul ke dunia ini dengan wajah yang menyenangkan. Meski dipenuhi rasa sayang kepada bayi Affandi, Koesoema – Mantri Ukur Pabrik Gula Ciledug – tidak ingin mencatat tanggal dan bulan lahir puteranya itu. Ini disebabkan Affandi lahir pada bulan Selo (Zulkaidah) tanggal sial di Sabtu Pon. Tanggal, bulan dan pasaran yang tidak membawa keberuntungan bagi kelahiran. Karena itu dalam akta, Affandi hanya tertulis lahir pada 1907.
Menyadari bahwa dirinya jauh dari tampan, ia ingin menjadi orang yang baik. Maka ketika ia menyaksikan lakon pewayangan Mahabharata, dirinya ia samakan dengan Sukrasana, atau Buto Gering. Sukrasana adalah tukang kebun bertubuh kerdil, agak bungkuk, berdirinya tidak ajeg, dan wajahnya serem. Namun hatinya sangat mulia. Kerjanya baik, hidupnya sederhana, sehingga oleh para Dewa dihadiahi kesaktian luar biasa. Meski kesaktian itu tidak pernah ia gunakan, lantaran dirinya tidak memiliki wewenang, apalagi jabatan.

Lukisan potret diri Affandi, 1953. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Kebaikan hati ala Sukrasana ini menjadikan pendidikan Affandi lancar. Selulus sekolah dasar Belanda di Indramayu, ia pindah ke Bandung untuk mengikuti kakaknya, Sabur. Setelah itu ia pindah ke Batavia untuk masuk AMS (Algemeene Middelbare School). Pada waktu itu, jarang ada anak bumiputera yang bisa sekolah sampai AMS.
Ketika di AMS inilah minat melukisnya tumbuh. Seorang sahabat lalu menyarankan agar Affandi mondok di rumah Yudhokusumo yang dikenal suka melukis. Di rumah itu ia berkenalan dengan Kartono Yudhokusumo, yang kelak menjadi pelukis dekoratif ternama. Ketika tinggal di rumah Yudhokusumo ini Affandi berkenalan dengan Sindudarsono Sudjojono – anak angkat Yudhokusumo – yang kelak menjadi tokoh seni lukis nasional. Lalu Affandi belajar melukis kepada Sudjojono.
Merasa sudah bisa melukis, ia minta kepada kakaknya, Sabur, untuk mencarikan jalan agar ia bisa sekolah seni ke Belanda. Sabur menolak permintaan itu. “Bukan saya tidak percaya kepada bakatmu, Bun (Affandi sering dianggil Abun, mungkin karerna matanya sipit seperti Tionghoa). Tapi jika benar-benar menjadi pelukis, kau akan makan batu! Sebaiknya kau masuk THS (Technische Hoogeschool) saja. Di sini kau bisa jadi insinyur. Abun pun, eh Affandi pun, mendaftar ke THS. Tapi ia sengaja menggagalkan diri dalam test. “Sukrasana disuruh jadi tukang insinyur. Maaf…,” katanya dalam bahasa Cirebon.
Affandi lalu bekerja sebagai guru sekolah di Gang Kaji, Batavia. Di sini ia bertemu dengan Maryati, yang ingin ia sunting sebagai isterinya. Pada suatu sore kala gerimis, di bawah pohon waru, Affandi berbisik. “Maukah engkau jadi isteriku?” Maryati menatap sayu wajah Affandi yang kurang memenuhi syarat. Karena merasa kasihan, Maryati bersedia.
Sejak dipeluk Maryati, Affandi giat bekerja sebagai pelukis. Ia bekerja apa saja. Ia pernah menjadi pelukis poster untuk film yang di bioskop Elita, Bandung. Di kota ini lukisan Affandi semakin baik, sehingga bisa disertakan dalam Jaarbeurs, Pasar Malam Tahunan Hindia Belanda. Ketika lukisannya laku sebiji, Affandi dengan gagah perwira mentraktir Maryati nonton di Bioskop Elita, tempat Affandi bekerja, yang tentu saja tidak perlu membeli tiket.
Indonesia merdeka tahun 1945. Affandi bersama ratusan pelukis lain pindah kota untuk mengikuti Presiden Sukarno yang sedang “diungsikan” ke Yogyakarta. Di kota ini Affandi pun bahagia dengan Maryati.

Lukisan Affandi, “Maryati Isteriku dan Kartika Putriku”. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Dari tahun ke tahun akhirnya Maryati tahu, betapa suaminya ternyata agak hypersex. Ia tidak sanggup meladeni hasrat suaminya yang terus bergemuruh bagai air terjun. Sampai pada suatu saat Maryati berkata.
“Papi rasanya perlu isteri lagi. Surius!”
Affandi tentu terkejut, sehingga cangklong di mulutnya terlontar jauh. Affandi minta beberapa hari untuk berpikir. Sampai pada suatu siang ia berkata kepada Maryati.
“Aku mau beristeri lagi, asal Mami yang mencarikan jodohnya. Siapa pun, aku bersedia.”
Pada suatu pagi yang cerah, Maryati meladeni Rubiyem, yang setiap hari datang dengan dagangan tempe bacem di gendongan. Maryati bisik-bisik kepada Rubiyem. Si bakul tempe itu terbelalak matanya. Kemudian cekikikan. Maryati lalu memanggil suaminya.
“Pi, ini lho Rubiyem, isterimu yang baru…” Rubiyem tersipu malu.
Affandi lalu berbalik badan, sambil sejenak kemudian berteriak, “Yo, wislah. Deal! Maryati dan Rubiyem pun bersalaman.
Affandi dan Rubiyem menikah secara sah. Mereka tinggal di rumah yang saling terpisah. Semalam tidur di sana, semalam tidur di sini. Ada becak langganan yang selalu mengantarnya.

Rubiyem di hari tua, isteri kedua Affandi. (Sumber: Dokumen)
Pada beda bab, Affandi punya cerita lain dalam hidupnya: yakni hubungannya dengan Suhardjono. Djon, begitu panggilannya, adalah sopir Affandi yang bekerja selama 25 tahun sejak 1961.
“Saya tidak cuma dipekerjakan sebagai sopir, tapi juga sebagai asisten. Bahkan tukang masak kalau berada di banyak kota di belasan negara,” kata Djon.
Djon memang serba bisa. Ia juga memahami bagaimana Affandi bekerja seni. Seperti diketahui, Affandi bila melukis seringkali membutuhkan orang lain untuk mengambilkan cat yang akan dengan spontan dipelototkan ke kanvas. Djon selalu cepat merespon instruksi Affandi itu. Sehingga, ketika Affandi berteriak pendek “ijo bagus”, maka yang dimaksud adalah soft green. “Kuning bagus” adalah indian yellow. Bila yang diminta “biru bagus”, yang diambilkan pasti ultramarine blue.
Di banyak negara Affandi sering tinggal lama. Di Brussel enam minggu, di Amsterdan sebulan, di Paris tiga minggu, di Melbourne dan Sydney empat minggu, di Tokyo beberapa pekan. Affandi pernah tinggal di Itali lebih dari dua tahun. Sampai Djon mahir bahasa Itali.
Sebagai “sopir plus”, hidup Djon dan keluarganya terjamin. Ia menerima gaji harian. Dalam setiap tahun ia mendapat bonus selembar lukisan Affandi dalam ukuran standar. Maka ketika berhenti sebagai sopir Djon mempunyai tanah seluas 890 meterpersegi di Yogyakarta. Juga rumah yang bagus serta beberapa mobil yang dioperasikan untuk angkutan umum.
“Tapi harta yang paling berharga adalah cerita mengenai perjalanan Pak Affandi, yang menurut saya luar biasa”.
Cerita itu diantaranya adalah ini.
Tahun 1971 Affandi sedang melukis sehampar pemandangan di pinggir kota Kairo, Mesir. Tiba-tiba datang mobil polisi patroli. Affandi dipaksa mengemasi alat-alat lukisnya dan dipaksa dibawa ke kantor polisi. Affandi tentu saja marah. Polisi itu menjelaskan, bahwa siapa pun memang dilarang melukis di situ, karena tak jauh dari lokasi tersebut ada gudang mesiu. Polisi mencurigai Affandi adalah informan yang menyamar sebagai seniman. Affandi menegaskan bahwa dirinya pelukis. Polisi tak percaya. “Mana ada pelukis karyanya corat-coret seperti itu,” ujar salah seorang polisi. Affandi bebas setelah membayar denda. Djon yang membereskannya.

Suhardjono didekat mobil milik Affandi. (Sumber: buku Witnessing Affandi.)
Djon memang bekerja berat untuk Affandi. Tapi terkadang ia juga bekerja “ngeri-ngeri sedap” untuk majikannya.
Pada satu periode, ketika bermuhibah di Eropa, Affandi suka melukis porno aksi di kanvas-kanvasnya. Celakanya, atau mungkin “rejekinya”, Djon yang disuruh jadi modelnya. Maka ketika Affandi melukis adegan hubungan seks, Djonlah yang menjadi obyek atau pelakunya. Itu sebabnya, Djon “terpaksa” memainkan berbagai posisi yang dianggap berseni, dengan sejumlah perempuan beragam kulit.
“Betina kuda teji, kuda poni, kuda mustang, kuda gipsi berbagai warna dari berbagai negara, sudah pernah saya kendarai,” kata Djon sambil terbahak. Sejumlah lukisan Affandi bertema langka ini termuat khusus dalam sejilid bukunya.
Bukan main, dengan karya-karya yang memiliki “rahasia” ini Affandi tercatat sebagai pelukis istimewa, sehingga banyak memperoleh penghargaan penting. Seperti Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia 1969, Dag Hammarskjoeld, Belgia, 1977, serta gelar DR. HC dari Universitas Singapura, 1974.
Affandi juga pernah diangkat sebagai Visiting Professor di Ohio State University Columbus, Ohio, Amerika Serikat. Karyanya pernah dijadi gambar sampul majalah TIME. Affandi wafat tahun 1990.
***
Buku acuan pilihan :
Pelukis Affandi, Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1979.
Affandi, Umar Kayam & Raka Sumichan, Yayasan Bina Lestari Budaya, Jakarta, 1987.
Affandi, Sarjana Sumichan (ed), 3 jilid, Bina Lestari Budaya Foundation, Jakarta & Singapore Art Museum, 2007.
The Stories of Affandi, Agung Tobing & Museum Affandi, Yogyakarta, 2012.
Witnessing Affandi, Suhardjono, Jeremy Allan, Afterhours Book, Jakarta, 2028.
Percakapan Agus Dermawan T dengan Affandi, 1972 sampai 1980-an.
——————
Arie Smit,
serdadu di rimba cahaya
ADRIANUS Wihelmus Smit alias Arie Smit (1916-2016) dilahirkan di Zaandam, Belanda, di tengah suasana banjir besar. Ia adalah anak dari keluarga kaya pemilik Smit Expeditie, yang mengoperasikan kapal dan truk. Namun, alih-alih jadi pengusaha, Arie malah memilih jadi seniman. Oleh karena itu ia menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Rotterdam. Kuliah ini terhenti ketika Pemerintah Belanda memerintahkan dirinya menjalani wajib militer. Untuk kemudian “memaksa” Arie berangkat ke Hindia Belanda dengan seragam serdadu. Ia pun melaut selama sebulan penuh di atas kapal “Baloeran” milik Rotterdamsche Lloyd. Pada penugasan itu ia selalu membawa bedil, yang menurut pengakuannya adalah “bedil bodong”, karena tak pernah ditembakkan kepada lawan.

Mantan serdadu Belanda Arie Smit dengan lukisannya. (Sumber: Dokumen)
Di Hindia Belanda ia bersama serdadu lain digiring ke Bandung, lalu dipindah ke Batavia. Di kota besar ini ia diposisikan sebagai penggambar di Topograpische Dients (Jawatan Topografi). Ketika Jepang menjajah Indonesia tahun 1942, Arie ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Malang. Sebuah penjara yang dirancang dan dibangun oleh Arie sendiri. Pada bulan-bulan kemudian ia dikirim ke Siam dan Burma untuk kerja rodi membangun jembatan di Sungai Kwai. Sejalur jembatan mengerikan, yang lantas diabadikan oleh David Lean dalam film berkelas Oscar, The Bridge on the River Kwai.
Pada masa Indonesia merdeka Arie memilih tinggal di Jakarta. Kemudian hijrah ke Bandung lagi untuk mengajar seni grafis. Ia pernah bekerja di percetakan AC Nix serta membantu pujangga Sutan Takdir Alisjahbana dalam melay-out buku-buku yang akan diterbitkan. Ketika pemerintah Belanda mengakui Kedaulatan Indonesia pada 1949, Arie memilih tinggal di Indonesia. Setahun kemudian Franz Bodmer mengajak Arie jadi warga negara Indonesia. Ajakan yang menyentak hati itu ternyata datang dari Presiden Sukarno, karena Frank adalah salah satu fotografer Presiden.
Tahun 1956 Arie merayap ke Bali bersama pelukis Auke Sonnega. Bali yang dipersepsi sebagai sorga ternyata sedang kusut karena gangguan pemberontak yang tak puas dengan pemerintah pusat. Di antara bayangan pemberontak, di matanya berseliang-seliung ratusan tentara RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Arie yang pernah jadi tentara, ternyata merasa takut dan terancam juga. “Kalau begini, cukup dua bulan saja aku hidup di Bali. Aku akan balik ke Bandung!” katanya. Anehnya, keinginan pergi dari Bali itu tak pernah terealisasi sepanjang hayat. Ia terlanjur mencintai Bali pada pijakan kaki yang pertama.

Lukisan Arie Smit tentang Tampaksiring, Bali. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Pada 1959 Arie melihat kemiskinan di dusun Penestanan, Ubud. Anak-anak tidak sekolah, dan setiap hari hanya menggembala bebek. Arie tergerak untuk mengentaskan kemiskinan itu. Tahun 1960 ia mengajak anak-anak itu untuk jadi pelukis. Maka berdirilah perkumpulan seni Young Artist, yang murid-muridnya berusia 10-14 tahun.
Seni lukis Young Artist berkembang pesat. Ketika Gunung Agung meletus Maret 1963 dan Bali selama hampir setahun senyap dari turis, lukisanYoung Artist menjadi satu-satunya yang hidup secara ekonomi. Ribuan lukisan itu diekspor atas permintaan kolektor dan art dealer berbagai negara. Aktivitas ini mengangkat dusun Penestanan yang tadinya miskin, menjadi dusun yang kaya di Bali. Dan itu terus berlangsung hampir 4 dekade!
Tapi Arie tak hanya cinta dusun Penestanan. Ia mencintai Bali secara keseluruhan. Karena itu selama 60 tahun hidup di Bali, untuk menikmati dan menghayati Bali, ia telah berpindah tempat 35 kali! Atas segala jasanya Arie Smit mendapat medali Wijaya Kusuma dan Dharma Kusumadari Pemerintah Bali, serta medali dari Sanggar Dewata, sebuah organisasi yang mengamati tokoh pemberi kontribusi kepada Bali.

Penduduk desa yang berlarian kala Gunung Agung meletus tahun 1963. (Sumber: Dokumen)
Yang tak boleh dilewatkan adalah, Arie pernah lama menjadi relawan pelatihan melukis dan penyembuhan psikologi bagi kanak-kanak dan remaja di kamp pengungsi di Pulau Galang. Tugas yang dikoordinasi UNHCR (United Nations High Commissioner fo Refugees) ini dilakukan pada tahun 1970-an, kala ratusan kanak-kanak dan remaja Vietnam terimbas perang melawan Amerika.
Syahdan pada 2013 kondisi Arie amat lemah. Hampir sepanjang 2014 ia hanya tergolek di ambin amat sederhana di kediamannya, Villa Sanggingan, Campuan, Ubud. Ia tak lagi bisa berkomunikasi. Bahkan seperti koma. Namun pada 2015 ia mendadak mampu duduk dan bercakap-cakap, meski dengan mata yang nyaris buta. “Saya pemuja warna yang bermata buta,” tuturnya memelas.
Pada tanggal 15 April 2016 pelukis Arie diharapkan genap berusia seabad. Dan Arie menanti kedatangan 100 tahunnya itu dengan penuh kesabaran. Bahkan para familinya di Belanda telah menyiapkan hadiah buku besar, Arie Smit : A Painter’s Life in the Tropics susunan Lucienne Smit. Namun ternyata kematian itu datang! Arie tutup usia pada 3 minggu sebelum ulang tahunnya, Rabu 23 Maret, pas bulan purnama. Jenasah lelaki lajang ini dikremasi esok harinya di krematorium Kristen Mumbul, Nusa Dua, Bali.

HofAS Art & Eatery di Sanggingan, Ubud, untuk meluhurkan Arie Smit. Di belakang resto ini terdapat museum House of Arie Smit. (Sumber: Agus Dermawan T).
Kompleksitas hidup Arie yang panjang, yang melibatkan banjir di Zaandam, keserdaduan Hindia Belanda, perjalanan ke sudut-sudut Indonesia masa silam, tentara RPKAD pemburu pemberontak, letusan Gunung Agung, gairah warna lukisan anak-anak Penestanan, adalah modal berharga bagi sinema.
***
Buku acuan pilihan :
Poetic Realism – The Art of Arie Smit (Garret Kam, Museum Neka & Center of Strategic of International Studies, 1990) ;
Arie Smit (Suteja Neka, Drs Sudarmaji, Koes Artbooks, Bali, 1995) ;
Arie Smit Memburu Cahaya Bali (Putu Wirata, Neka Art Museum, Bali, 2000) ;
Arie Smit – A Painter‘s Life in the Tropics (Pictures Publishers, Netherland, 2016) ;
Arie Smit – Hikayat Luar Biasa Tentara Penembak Cahaya (Agus Dermawan T, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2016).
——
*Agus Dermawan T. Pengamat seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana-istana Presiden RI.