Dari Buku Seniman ke Buku Seni
Oleh Syakieb Sungkar
Seorang seniman biasanya mempunyai sebuah buku yang berisi kumpulan corat-coret, sketsa, komentar-komentar atas drawing yang dibuatnya sendiri, sebuah design yang akan dieksekusi dalam bentuk lain. Seringkali, karena hasratnya untuk menggambar atau melukis, ia membuat karya di atas kertas apa saja yang dekat dengan dirinya. Kita dapat melihat sketsa-sketsa Hendra Gunawan yang menjurus ke arah lukisan yang ingin dibuatnya kelak. Demikian pula S. Sudjojono, sebelum melukis dengan kanvas ukuran kolosal, ia membuat rancangan terlebih dahulu. Rancangan tersebut berisi keterangan ukuran kanvas yang akan dibuatnya, pilihan warna, hasil studinya pada dekorasi masa lalu, lengkap dengan judul lukisan itu kelak, disertai tulisan yang menguraikan motif yang mendorongnya mengapa harus membuat lukisan tersebut. Hal itu terbaca pada sketsa-sketsa Sultan Agung yang kemudian karya lukisnya dapat kita nikmati saat ini pada Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota Tua Jakarta. Ditambahkan pula kata-kata mutiara, puisi, gumam dengan tulisan tangan yang rapi dalam gambar. Hal yang sama pada Goenawan Mohamad – ke mana-mana ia pergi, selalu membawa drawing book, sebagai perintang waktu, atau menggambar apa yang dilihatnya, sesuatu yang dilamunkan atau dipikirkannya. Ada seberkas puisi di sana, kadang-kadang sebuah komentar atas peristiwa yang didengar atau dialaminya.
Buku gambar atau drawing book adalah sebuah dapur sebelum seorang seniman membuat karya yang lebih besar di media yang lebih serius. Walau buku itu sebenarnya adalah sebuah pra-karya, tetapi ada keindahan dan keunikan di sana. Karena sebuah “buku seniman” terlihat lebih jujur, apa adanya, suatu rahasia yang kadang-kadang tidak berani diungkapkan ketika dieksekusi menjadi suatu karya ‘official’ yang nantinya dipamerkan kepada khalayak. Sehingga menarik apabila buku seniman ini dipamerkan sehingga masyarakat seni menjadi tahu apa yang sesungguhnya dipikirkan seorang seniman sebelum ia berkarya. Di samping buku seniman itu mempunyai keindahan tersendiri yang berbeda dengan karya-karya yang ditampilkan kemudian – biasanya menjadi sebuah lukisan di atas kanvas berukuran besar. Buku seniman adalah sebuah embrio dari ‘masterpiece’ yang nantinya akan ditampilkan dalam bentuk lebih ‘serius’ pada sebuah pameran di sebuah galeri.
Bagaimana kalau buku seniman tadi ditransformasikan menjadi “buku seni”, artinya buku menjadi suatu karya seni tersendiri yang mandiri, karya yang utuh, bukan lagi hanya sekedar sebuah rancangan pra-karya, apakah itu mungkin? Kali ini Nandanggawe, mengajak teman-temannya dalam “Drawing Class 212” untuk mengolah buku menjadi sebuah karya seni. Buku boleh digarap sesuai dengan selera artistik sang seniman. Isinya bisa apa saja: gambar-gambar yang menggunakan pulpen, charcoal, tinta Cina, watercolor, cat minyak, kolase, sisipan benda-benda sehari-hari, lipatan kertas, dan segala bentuk yang mungkin sehingga menjadikan ‘buku’ itu sebuah karya independen. Dikuratori oleh Heru Hikayat, pameran yang diberi judul “Bandung Artist’s Book Exhibition” itu menjadi meluas dengan diundangnya seniman-seniman lain dari luar kota Bandung. Sehingga wawasan kita dalam melihat buku-buku seniman lain, menjadi lebih kaya. Demikian pula penataan ruang pamer yang apik bernuansa putih pada warna pedestal dan lantai, untuk penyajian karya, telah membuat pameran ini layak dikunjungi oleh para pecinta dan kritikus seni.
Dalam pameran yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Barat itu, kita dapat menikmati karya imajinatif dari Henryette Louise yang bermain-main dengan deformasi bentuk atas figur-figur yang sedang bergumul. Tubuh yang digambarkan Henryette melalui teknik drypoint dan monoprint itu terlihat telanjang, namun ia menyamarkan phalus dari sosok yang ingin diungkapkannya. Ada erotisme tersirat, hasrat tersembunyi, yang akan nampak nyata kalau kita menghayati lembar demi lembar buku yang dibuatnya itu. Ia juga mempersonifikasikan nafsu manusia sebagai hewan berkaki empat atau manusia berbulu dengan kepala terpiuh yang mirip Casper – tokoh kartun Hollywood – ketimbang manusia. Tidak cukup dengan mencetakkan etsa pada lembaran buku, Henryette juga menambahkannya dengan guratan pensil atau imbuhan keterangan melalui coretan pulpen sehingga gambar menjadi lebih dinamis dan liar.
Tisna Sanjaya juga muncul dalam pameran itu, menampilkan buku yang sesuai dengan jati dirinya: anti kemapanan, acak, jeprut, berontak, protes, sarkastis, sekaligus humor. Pada cover buku yang berjudul “Pemilihan Rektor ITB 2019” itu kita dapat melihat bagan pemikiran filosofis Tisna yang melibatkan interaksi antara gender, cebong, kadrun, kapital, radikal, dan metaverse. Soal bagaimana itu semua dapat menjadi suatu formulasi gagasan yang terpadu, bagi kita sangat tidak penting bukan? Ingat, ini buku seni, bukan text book filsafat. Sehingga di dalam buku Tisna itu akan kita dapati suatu keajaiban lain, yaitu Strategi Perang Informasi 2025 yang unsur-unsurnya terdiri atas globaly reflectif, man, machine, dan Tutwuri Mangun Karso. Dengan gambar manusia pendukung yang berdiri di atas sebuah perahu berbendera hitam putih (mungkin maksudnya merah putih). Tidak cukup sampai di situ, di halaman lain ia menguraikan apa yang dimaksud dengan globaly reflectif – yaitu sekumpulan orang dalam ruang rapat melingkar yang memperhatikan seorang sosok perempuan berdiri dengan kedua tangan bergerak-gerak mirip dirigen. Tak lupa ia memention nama-nama seperti Bernard Sihotang, Dedi Kurniadi, Da Vinci, juga: Fulus, World, Manusia, dengan total nominasi 14:55. Itulah dunia imajinasi yang sedang diciptakan Tisna dalam bukunya.
Penguasaan anatomi jelas telihat pada karya-karya Pupung Prayitno sehingga penggarapan gambar-gambarnya menjadi serius dan ada movement atau gerakan dinamis dalam hampir seluruh isi buku. Misalnya pada halaman yang diberi judul “Jati Diri”, terjadi ‘dialog’ antara kucing yang menirukan perempuan sedang berdoa dalam pakaian adat Bali. Pada lembar lain yang diberi judul “Animal Communicator”, ia menggambarkan orang yang mempunyai kekuatan berkomunikasi dengan hewan menggunakan telepati – mind power. Namun, orang yang dimaksud adalah sosok berkepala serigala yang diikat pada bagian moncongnya. Sambil berdiri orang itu berbicara dengan anjing, kambing, tikus, kucing dan ikan hiu. Disertai dengan tambahan watercolor orange dan biru, karya itu terlihat absurd.
Salah satu karya revolusioner dalam pameran itu adalah tumpukan kertas kecil-kecil yang mirip bahan contekan murid sekolah yang sedang ujian, atau hafalan isi bab dari buku, dan jadwal belajar. Kertas-kertas itu oleh Muhamad Ali Rahim ditumpuk menjadi sebuah ‘buku’. Mengingat konsep pameran ini adalah meniadakan jarak antara pengunjung dengan karya, maka kita boleh membuka, membaca, mengebet-ngebet isi buku, dan mengangkatnya dari pedestal untuk diamati. Demikian pula dengan karya Muhamad, kita boleh membacanya lembar demi lembar dan meletakannya kembali tanpa memperhatikan lembar mana yang di atas atau di bawah. Karena buku itu tak punya halaman.
Afrizal Malna juga membuat buku yang ‘gila’, di dalamnya selain berisi catatan dan gambar, puisi-puisi yang sulit dimengerti, juga terselip puntung rokok, abu rokok yang bercampur dengan ludah dalam plastik, kolase gambar-gambar, kartu gaple, dan macam-macam benda muskil yang menjadi asesoris karya. Kiranya kita dapat melihat betapa luas spektrum kemungkinan yang dapat diciptakan dalam proyek buku seni ini. Ada banyak ruang yang dapat dieksplorasi sesuai dengan kreativitas masing-masing seniman. Hal ini juga menjadi bahan renungan untuk berfikir lebih jauh sampai di mana batas-batas demarkasi seni dan bukan seni. Itulah sebabnya pameran ini dapat dikategorikan sebagai seni yang membebaskan karena ia mempertanyakan definisi seni yang telah dibuat para ahli seni konvensional.
Pameran ini melibatkan 80 seniman yang anyar maupun yang sudah established. Masih banyak seniman yang belum dibahas di sini dengan karya-karya yang tidak kalah menarik. Misalnya buku Dipo Andy yang berisi sablon atau print screen tokoh Gus Dur dan juga Ugo Untoro yang bukunya cukup romantis dengan coretan kata serta figur yang kacau. Sayangnya untuk masuk ke ruang pamer harus antri dan dibatasi waktunya, karena alasan protokol kesehatan dan menghindari crowd yang berlebihan. Padahal untuk bisa menikmati sebagian kitab yang dibuat para seniman itu membutuhkan waktu yang lumayan lama. Mungkin perlu datang sekali lagi agar benar-benar dapat ‘membaca’ semua buku itu dengan seksama.
*Penulis adalah kolektor seni rupa.